The Boy Backdoor - Chapter 3,4,5

0
0
Deskripsi

Chapter 3 - Halo, ketemu lagi kita

Chapter 4 - Sabina-nya Lingga

Chapter 5 - Lingga si tengil

Chapter 3 - Halo, ketemu lagi kita 

 

 

"Binaaa, udah siap belum nak? Ayo berangkat!"

Sabina ingin mengarang cerita kalau ia sakit perut, hingga tak bisa datang ke pengajian di rumah Lingga. Tapi Bundanya itu bukan jenis orang yang mudah dikibuli.

Apalagi, Bundanya tahu kalau ia punya 'masalah' dengan Lingga setelah lulus SMA. Siasatnya untuk menghindari lelaki itu pasti langsung ketahuan. Dan Bina yakin, Bundanya akan menasihatinya panjang lebar kalau tahu ia masih belum bisa berdamai dengan masa lalu.

"Yaaa."

Malas-malasan Sabina keluar dari kamar. Saat ini ia mengenakan setelan baju kurung berbahan katun dengan warna broken white, lengkap dengan hijab paris segiempat berwarna senada. Penampilannya memang tak se-syar'i saat mengajar di sekolah, tapi tetap tertutup dan sopan.

"Cantiknyaaa anak gadisku." puji Bunda saat menatap putrinya turun dari tangga. "Bantu Bunda bawa ini, nak."

Bina menerima uluran bingkisan berisi aneka buah dari Bunda. Lalu, mereka berjalan bersisian menuju ke rumah Lingga, yang terletak di RT sebelah. Meskipun rumah mereka saling membelakangi, letak muka rumahnya sudah beda jalan dan beda RT.

Tenda beserta kursi-kursi sudah didirikan rapi didepan rumah. Beruntungnya, rumah Lingga ini terletak di paling ujung jalan buntu, jadi jika menggelar acara seperti ini tak akan mengganggu akses keluar-masuk tetangga lain.

Sudah lama sekali Bina tak menjajakan kaki di jalan ini. Terakhir kali, mungkin saat SMA?

"Nahhh ini dia yang ditunggu!" Mama Lingga menyambut Sabina dan Bunda Fitria dengan ramah. Mereka cipika-cipiki lalu berbasa-basi.

Sesuai intruksi, Bina menaruh bingkisannya diatas meja panjang didalam rumah. Pandangannya menelisik ke sekeliling rumah Lingga yang tak banyak berubah. Perasaan nostalgia menyusupi hatinya—sewaktu kecil, Bina sering sekali main kesini bersama dengan Kak Naren, kakak laki-lakinya yang sekarang bertugas jauh.

"Apa kabar bu haji?"

Suara tengil itu membuat Bina terperanjat. Ia berbalik dan hampir saja menabrak Lingga yang berada begitu dekat. Laki-laki itu mengenakan baju koko berwarna putih, rambutnya yang ikal tampak ditata rapi kebelakang. Sebuah kacamata yang bertengger di hidungnya membuat Bina mengernyit.

"Sejak kapan pakai kacamata..?" Bina refleks bertanya, meskipun dengan suara begitu pelan.

Tapi, suaranya terdengar oleh Lingga. Sudut bibir lelaki itu terangkat, senang karena Sabina menanyainya setelah sekian lama. "Udah lama, mata aku minus 2."

"Oh."

"Kamu sejak kapan hijaban gini?"

"Sejak..." tiba-tiba tengkuk Bina meremang, ih, kenapa dia jadi beramah-tamah begini dengan cowok ini?? "Lulus kuliah."

Sabina melengos pergi meninggalkan Lingga kembali ke depan rumah. Jantungnya berdebar tak karuan. Shit. Saking berdebarnya perutnya jadi mules betulan.

Bina menengok ke kanan dan kiri, mencari sosok Bunda, tapi tak terlihat. Akhirnya, ia memutuskan untuk berjalan pulang tanpa pamitan untuk buang hajat dirumah.

"Kemana Bin?"

Bina lagi-lagi berjengit saat mendengar suara Lingga dibelakangnya. Ia menoleh dan menatap dengan galak.

"Ngapain ngikutin??"

"Ditanya mau kemana?"

"Pulang bentar, sakit perut!"

Lingga terkekeh. "Kalau mau beol dirumah aku aja, kamar mandi sama sabun lengkap."

Sabina tak menggubrisnya. Ia melangkah cepat menuju ke rumahnya. Alisnya bertaut saat menyadari Lingga mengekorinya—

"Kamu ngapain??"

"Jalan-jalan."

"Ih, sana, ikut pengajian!"

"Belum mulai kok. Udah cepetan. Ntar brol di jalan repot."

Bina mendengus. Setengah berlari, ia memasuki rumah. Ayahnya, yang baru akan berangkat ke pengajian bertanya heran melihat putrinya grasak-grusuk sendiri. Bina tak sempat menjawab karena mulas yang dirasa, cepat-cepat ia masuk ke toilet untuk membuang semua sampah di perutnya.

15 menit kemudian, Bina sudah selesai. Tapi, ia masih terduduk diatas kloset, menatap keramik toilet berwarna abu-abu sambil melamun.

"Kamu masih suka sama aku Bin?"

"Ih, nggak ya! Nggak usah kegeeran!"

"Kalau aku yang suka sama kamu, gimana?"

Bina memejam erat, menggeleng dengan gerakan cepat agar memori masa putih abu itu menguap dari otaknya. Ih. Sinting. Kenapa juga aku keinget-inget?? Itu kan udah lama!

Ia mengulum bibir dengan gelisah. Si Lingga itu... apa dia beneran bakal tinggal disini lagi? Duh, malesin banget kalau iya!!

Saat kakinya mulai terasa keram karena terlalu lama duduk, Bina akhirnya menyerah dan keluar dari toilet. Tubuhnya membeku saat melihat sosok Lingga sedang leyeh-leyeh santai di sofa ruang tamu.

"Heh! Ngapain disini??" Debar jantung Bina kembali menggila. Rasanya ia merasa tak aman dengan kehadiran laki-laki itu.

"Nungguin kamu lah, lama banget, mencret ya?"

"Nggak!" sergah Bina. "Hus hus sana pulang! Ikut pengajian!"

"Ya ayo, kamu juga ikut. Jangan kabur."

Bina mendecak, saat Lingga bangkit dari sofa, perempuan itu buru-buru melesat keluar rumah. Ih. Astaga. Bisa nggak sih mereka jangan dekat-dekat??

"Ini kuncinya, tadi ayah kamu nitipin."

Ragu-ragu Bina mengulurkan tangan untuk meraih kunci yang Lingga sodorkan. Sebisa mungkin ia menghindari menyentuh kulit lelaki itu. Najis. Najis mugholadhoh!

"Bin, kamu tuh, sengaja banget ya jauhin aku?"

Tuduhan tepat sasaran itu membuat gerakan Bina yang sedang mengunci pintu melambat.

"Kenapa Bin? Aku salah apa? Sampai semuanya kamu block."

Bina berbalik, kembali berjengit saat menyadari posisi Lingga yang berada terlalu dekat dengannya. Tangannya terangkat untuk mendorong dada laki-laki itu agar menjauh—

"Nggak usah deket-deket, hus hus." hardik Bina sambil melengos pergi.

"Heh, kalau ditanya, jawab."

"Nggak mau jawab."

"Aneh kamu mah."

"Emang! Udah sana ah, nggak usah sok akrab, okey?"

"Aku sedih tau Bin."

Sabina menghentikan langkahnya, ia menengok pada Lingga yang berjalan dibelakang. Saat melihat ekspresi tengil di wajah lelaki itu, Bina langsung menyesal karena telah repot-repot berhenti. Mana ada, orang sedih nyengir kuda begitu??

"Ih, Bin, jawab, salah aku apa?"

Bina mengunci rapat mulutnya. Pevita Pearce. Itu salahnya. Tapi sampai kapanpun Bina tak akan beritahu!

Sesampainya di rumah Lingga, Bina langsung bergabung dengan ibu-ibu komplek yang sedang duduk di tenda, sementara Lingga masuk kedalam rumah.

Rencananya, Sabina akan langsung pulang setelah mengikuti agenda pengajian, tanpa ikut acara makan-makan.

Tapi rencana tinggal rencana saat Bunda menarik lengannya untuk ikut membantu menyajikan makanan pada para tamu. Kehabisan alasan, Bina tak bisa menolak. Jadilah sekarang Bina sibuk memotong-motong brownies didapur untuk ditaruh di nampan dan dibagikan.

Acara pengajian yang khidmat berubah jadi lomba karaoke dadakan sesaat kemudian. Tetangga di cluster perumahan ini memang cenderung rukun dan dekat—acara kumpul-kumpul seperti ini pasti berlangsung sampai sore hari. Entah kenapa, para orang tua itu begitu betah bercengkerama.

Setelah dipaksa makan dan berbasa-basi dengan para tetangga, Bina berancang-ancang untuk pulang ke rumah. Tapi, rencananya lagi-lagi gagal saat Ayahnya menariknya ke depan TV untuk mereka berkaraoke bersama.

"Kita sambut perwakilan RT 05, Sabina Malaikha!!" seru Ayah, yang disambut oleh suara tepuk tangan riuh.

"Nggak mau ah, Yah!" tolak Sabina gelagapan, pipinya terasa panas karena malu tiba-tiba jadi pusat perhatian.

"Ayo Biiiin, jangan malu-malu! Udah lama nggak dengar Bina nyanyi." timpal Mama Lingga. "Suara Bina kan bagus banget."

Bina rasanya ingin menjerit frustasi, tapi, ia tahu ia tak akan bisa lolos dari momen ini. Jadi, biar cepat, ia segera mengambil microfon yang ayahnya sodorkan.

"Satu lagu aja ya!"

"Lagu apa Bin?"

"Itu aja—Nothings Gonna Change My Love For You." jawab Bina cepat-cepat.

"Siaaaaap."

"Duet sama ayah!" paksa Bina, dan ayahnya mengiyakan dengan sepenuh hati.

Sesaat kemudian, lagu sudah diputar. Sepanjang menyanyi, Bina terus menghadap pada ayahnya, tak sekalipun melirik kearah para tetangga yang menonton. Sumpah, sejujurnya, ia malu sekali!

Saat lagu selesai, tepuk tangan riuh kembali terdengar.

"Bagus banget suaranya Bin, ikutan Indonesian Idol bisa ini!!" komentar Pak Yudi, Pak RTnya.

Bina hanya tersenyum, dan cepat-cepat kembali menyerahkan mic pada ayahnya.

"Satu lagu lagi atuh—"

"Bina mau ke toilet!" sergah Bina sebelum ayahnya sempat memaksa.

Ia segera beranjak kearah pintu keluar. Sialnya, di bawah tenda, para pemuda dan pemudi komplek sedang bercengkerama. Ada Amanda, Adit, David, Ibra, Hanifa, Muthi, dan tentu saja si nyebelin Lingga. Semua tatapan langsung tertuju pada Bina begitu ia menampakan kaki diluar.

"Bin! Sini sini!"

Kalau bisa, Bina rasanya ingin pura-pura budeg dan langsung melesat pulang. Tapi, tak mungkin begitu. Nanti kalau dia di cap sombong bagaimana?

Jadi, Bina memutuskan untuk bersikap dewasa—memperlihatkan senyum ramah dan melangkah mendekat.

"Hai, pada sehat?"

"Sehat Bin, ih, aku jarang banget lihat kamu." sahut Amanda, yang usianya sepantaran dengannya.

"Aku tiap hari keluar padahal, kan sekarang ngajar di SDIT." timpal Bina, yang kemudian memutuskan duduk disamping Amanda.

"Iya ya? Aku juga denger dari si Mamah. Katanya pas di Jakarta parah banget ya Bin?"

Bina meringis, pasti si Bunda nih yang cerita-cerita. "Banget. Trauma berat aku."

"Emang kenapa Bin?"

Itu Lingga yang bertanya. Tapi Bina hanya memutar bola mata dengan malas. "Gitu lah."

"Eh, tadi yang nyanyi kamu ya Bin?" kali ini Adit yang bicara.

Bina mengangguk. "Sumbang ya?"

"Enggak. Bagus suaranya."

"Hehe makasih, makasih."

"Kalau ngamen, pasti banyak yang ngasih tuh." Itu celetukan Lingga lagi, tentu saja Bina menganggapnya bagai angin lalu.

"Kamu kerja dimana sih Ga sekarang?"

Pertanyaan Hanifa membuat indra pendengaran Bina menajam.

"Aku di perusahaan game online." Lingga menjawab.

"Ohh, di Jakarta atuh kerjanya?"

"Kantor pusatnya ada di Jakarta, tapi kerjanya mah remote sih."

Tatapan Bina tertuju pada kucing kampung yang sedang memakan sisa makanan di dekat bak sampah—berusaha untuk sok cuek, padahal sebenarnya mendengarkan jalannya percakapan.

"Eh, bikin grup WA yuk, biar kalau mau ngumpul bisa gampang!" usul Amanda. "Mumpung semuanya udah pada ngumpul disini!"

"Boleh, boleh,"

Akhirnya, mereka bertukar nomor dan membuat grup WA. Dulu, saat masih kecil sampai remaja, mereka sering sekali main bersama, entah itu untuk bersepeda, cfd, ngeliwet, bakar-bakaran, atau jadi panitia kegitan komplek. Tapi saat masuk waktu kuliah, semuanya mendadak lost contact— sibuk akan kehidupan masing-masing.

"Yang udah punya pacar disini siapa aja?"

Semuanya terdiam mendengar pertanyaan Muthi.

"Hah?? Masa pada jomblo?? Ngenes banget!!"

Dan semuanya sontak tergelak.

"Aku baru putus sih." cerita David. "Masih gamon."

"Kalau aku masih tahap pdkt, tapi nggak tau tuh bakalan jadi apa nggak." timpal Amanda.

Satu persatu dari mereka mulai curhat tentang kehidupan asmara masing-masing. Bina mendengarkan dengan seksama, rasanya sudah lama sekali ia tak mengobrol seasik ini dengan teman sebaya.

"Lingga gimana? Masih sama cewek hits yang di instagram itu?" tanya Amanda.

Deg. Sesaat, jantung Bina seolah berhenti berdetak. Eh. Si Lingga punya pacar ya..? Entah kenapa, ada yang tak beres dengan perasaannya. Hei! Kenapa pula dia seperti merasa kecewa?? Memang udah gila Sabina ini.

"Udah nggak kok. Itu mah udah putus dari lama."

"Kalau Sabin? Aku nggak pernah lihat Sabin update apa-apa di IG, jangan-jangan diem-diem punya pacar ya?"

"Pacar nggak ada." Senyum tipis terulas di bibir Sabina kala ia menjawab pertanyaan itu. "Tapi kalau calon suami sih, punya."

 

***

 

Chapter 4 - Sabina-nya Lingga

 

Jawaban yang dilontarkan Sabina membuat Lingga tak berkutik. Ia seperti dihantam bogem mentah tiba-tiba—

Hah?!

Calon suami????

"Serius Bina?? Siapa?? Pasti guru di SDIT ya??" tembak Muthi.

Lalu, tawa merdu Sabina pecah. "Bercanda deeeeng, nggak ada kok, nggak adaaa."

Begitu saja, beban berat seolah terangkat dari pundak Lingga. Perasaan lega membanjiri benaknya kala melihat raut wajah iseng perempuan itu. Ia melirik kesamping, keningnya berkerut saat melihat Adit dan Ibra juga sama-sama terlihat lega.

Wets. Enak saja. Cewek ini incarannya. Dan ia tak berniat melepaskannya kali ini.

Asal semua tahu, meskipun tak pernah benar-benar pacaran, Sabina dan Lingga ini saling suka sejak SMA. Mereka baru saling confess menjelang hari kelulusan. Dan setelahnya... Lingga di block. Entah apa alasannya. Sialan memang.

Lingga merengut saat teringat masa lalu. Bina tiba-tiba hilang di hari wisuda, dengan alasan tak masuk akal mendadak pergi ke Jakarta.

Sampai Lingga berangkat ke Jogja, batang hidung perempuan itu tak tampak. Paling gongnya, nomor dan semua sosial media Lingga di blokir. Di telfon dengan berbagai nomor pun, tak diangkat. Lingga sampai sempat berpikir kalau handphone Bina dimaling. Butuh waktu beberapa bulan sampai Lingga sadar kalau perempuan itu memang sengaja menjauhinya.

Kenapa? Dosa apa yang Lingga perbuat sampai pantas dibeginikan??

Mendadak, Lingga jadi emosi. Ia menatap tajam Bina, yang jelas-jelas mengabaikannya sejak tadi.

Pokoknya, ia akan meminta kejelasan setelah ini!

Adzan maghrib yang berkumandang membubarkan sesi reunian mereka. Sabina berdiri, entah bagaimana, Lingga bisa tahu perempuan itu lega karena akan segera pergi menghindarinya. Tapi tentu saja, Lingga tak berniat untuk membuat hidup tetangganya itu tenang setelah ini.

Setidaknya, ia harus mendapatkan penjelasan. Dan menurut Lingga, alasan Bina menjauhinya pasti tak masuk akal, karena seingatnya, ia tak melakukan kesalahan fatal sampai layak dijauhi sebegitunya.

Pokoknya, Lingga akan membuat perhitungan. Begini-begini, dia juga sakit hati dengan perlakuan perempuan itu.

Waktu Lingga bilang dia suka Sabina, dia benar-benar serius akan perasaannya. Bahkan dia sudah berencana untuk 'nembak' Sabina di hari wisuda. Meskipun nantinya mereka akan LDR, hal itu sama sekali tak masalah, karena memang, Lingga sesayang itu dengan Sabina, dan tak rela jika perempuan itu direbut orang lain.

Saat ia di block dengan begitu tega, Lingga sempat merasa sangat frustasi. Ia bahkan beberapa kali berencana untuk mengunjungi Bandung, hanya untuk menemui Sabina. Tapi, disisi lain, ia juga marah—egonya terluka, ia merasa tak diinginkan dan tak dihargai. Jadilah, ia mengurungkan niat dan mencoba melupakan perempuan itu.

Beberapa kali Lingga mencoba untuk berpacaran, tapi hubungannya tak pernah langgeng. Paling lama ia pacaran dengan Rachel, teman kuliahnya, itupun harus berakhir karena mereka beda keyakinan. Hal itu pula yang menjadi alasan kuat Lingga pindah dari Jogja ke Bandung, agar ia bisa move on dari Rachel.

Awalnya, Lingga pikir ia patah hati dan akan sulit melupakan Rachel yang baik.  Tapi ia salah. Sangat salah. Ternyata, Sabina Malaikha masih menduduki takhta nomor 1 di hatinya. Hal itu ia sadari ketika ia melihat Bina untuk pertama kali setelah sekian lama.

Perasaannya pada Sabina tetap sama. Sedikit pun tak ada yang berubah. Malah mungkin, bertambah? Karena sejujurnya, Lingga sungguh kangen dengan tetangganya itu.

Bayangan pertemuan pertama mereka di balkon kemarin membuat Lingga kembali bereaksi. Apa Bina yang sekarang tak sepolos dulu? Tapi, siapa yang mengajari perempuan itu hal-hal seperti itu? Apa Bina pernah punya pacar sampai melakukan hal-hal yang diluar batas?

Tiba-tiba, perasaan Lingga diliputi awan kelabu. Ia cemburu. Amat sangat cemburu, tak rela dan kecewa. Lingga saja, tak pernah macam-macam dengan mantannya. Masa, Sabina yang sebegitu disayang ayahnya tak bisa menjaga diri??

"Aa, anterin bingkisan ke rumahnya Bunda Fitria, tadi dia lupa bawa."

Kepala Mama Lingga menyembul dari celah pintu kamarnya yang terbuka. Lingga, yang baru saja menyelesaikan titah untuk mengepel seluruh rumah bangkit dari ranjang. Sedari tadi ia overthinking sambil menatap ke balkon tetangga belakang yang belakangan pintunya selalu tertutup rapat.

"Lewat jendela aja Ma, Aa panggil si Sabin."

"Eh? Nanti jatoh nggak?"

"Nggak lah, isinya juga bukan pecah belah kan?"

"Bukan sih, ya udah sok atuh terserah mau gimana, Mama masih riweuh ini."

Lingga meraih tas kain yang ia periksa berisi minyak, gula, kecap, sarden, kornet, dan teh. Senyumnya merekah. Ia membuka jendela tak berjeruji itu lebar-lebar, lalu memanggil Sabina beberapa kali. Saat tak ada tanggapan,  Lingga mengambil kerikil kecil dari dalam akuarium kosong di sudut kamarnya dan melempari jendela serta pintu tetangga belakang.

"Ya ampun, Lingga, apa-apaan sih??"

Sesaat kemudian, wajah marah Sabina muncul. Ia mengenakan celana tidur kotak-kotak panjang dan hoodie kebesaran, yang tudungnya di kenakan untuk menutupi rambutnya.

"Lagian dipanggil nggak keluar-keluar,"

"Mau apa??"

"Ini, bingkisan buat Bunda kamu, tadi ketinggalan."

Sabina bergeming sesaat sebelum menyahut ketus. "Lewat depan nggak bisa emang? Masa lewat balkon ngasihnya? Sopan dikit!"

Lingga nyengir kuda mendengar omelan perempuan itu. "Hoream ah, muter."

"Yaudah mana, siniin."

Bina menjulurkan tangannya, tapi, Lingga punya pemikiran lain.

"Nggak akan nyampe Bin."

Bola mata perempuan itu berputar. "Tuh tau! Udah besok aja aku ambil ke rumah kamu."

"Awas Bin—"

Belum sempat Sabina bereaksi, Lingga sudah secara impulsif loncat dari jendelanya ke balkon kamar Bina. Saking terkejutnya, perempuan itu hanya dapat mematung ditempat.

"Gila ya????" seru Bina saat kesadarannya sudah kembali. "Kalau jatoh gimana, Lingga???"

"Ya jatoh mah kebawah atuh, terbang baru keatas."

Jawaban konyol tetangganya itu membuat Bina menggeleng tak habis pikir. Belegug jelema teh!

"Nih."

Bina menerima tas kain berwarna biru itu—memeluknya erat di dada untuk menyamarkan debar jantungnya yang menggila. "Sekarang kamu gimana baliknya? Emang bisa loncat dari sini ke jendela itu??"

"Ya bisa aja Bin, ngeremehin ih."

Tapi, bukannya meloncat kembali ke kamarnya, Lingga melengos masuk kedalam kamar Bina. "Lagi ngapain?"

Menyadari kehadiran sosok asing di kamarnya, Bina gelagapan. "Lingga! Keluar ih!"

Seketika Lingga pura-pura tuli. Ia mengedarkan pandangannya pada kamar sederhana Sabina yang bernuansa putih-hijau mint. Sudut bibir lelaki itu terangkat. Ternyata, tak ada yang berubah disini.

"Linggaaaa." Sabina menarik-narik kaos Lingga agar keluar dari kamarnya. "Ngapain malah room tour?? Sana pulang!! Kan udah ngasih bingkisannya?"

Lingga malah lancang berbaring diatas ranjang Bina. Ia menggeser macbook yang sedang dalam posisi terbuka, menampilkan suatu film yang sekarang sedang dijeda. "Lagi nonton apa?"

Sabina sebenarnya sudah merasa sangat marah karena Lingga seenaknya. Tapi ia takut kalau orang tuanya mendengar ribut-ribut dan berakhir mengecek kamarnya. Rasanya, tak akan baik kalau mereka tahu Lingga masuk ke kamarnya begini.

Jadi, Bina menuju ke pintu dan memutar kunci, jaga-jaga agar tak ada yang menerobos masuk.

"Lingga, balik nggak?? Nanti kalau ketahuan Bunda sama Ayah, nggak enak!" bisiknya kesal.

"Lah, kan kita nggak ngapa-ngapain? Lagian dari dulu juga kan kita sering main bareng."

"Tetep aja Lingga, kita kan bukan anak kecil lagi!!"

Perkataan Bina membuat Lingga bergeming. Iya. Benar. Mereka bukan anak kecil lagi sekarang. Mereka berdua sama-sama sudah dewasa. Ngomong-ngomong, kenapa Bina sekarang jadi semok begitu ya? Padahal dulu terakhir mereka bertemu perempuan itu masih cungkring, rata depan belakang.

Hanya satu hal yang terpikirkan oleh Lingga sebagai jawaban dari pertanyaannya. Dan ia sungguh tak suka akan kemungkinan itu. Lingga bangkit duduk dan menatap Bina dengan sorot serius.

"Kamu—pacaran Bin?"

Sabina mengernyit mendengar pertanyaan tetangga menyebalkannya. "Apa urusan kamu tanya-tanya?"

"Jawab aja, Bin."

Bina terdiam ditempatnya, menatap bingung Lingga yang tiba-tiba bertingkah aneh. "Nggak, nggak ada pacar. Puas?"

"Pas kuliah?"

"Hah?"

"Pas kuliah pacaran?"

Kali ini Bina mulai merasa kesal. Kenapa ia jadi diinterogasi begini coba?? "Pulang sana!!"

"Jawab dulu."

"Ish, malesin banget, ada untungnya buat aku jawabin pertanyaan kamu??"

Tok tok tok—

Kedua orang itu berjengit saat pintu kamar tiba-tiba diketuk. Sabina menaruh telunjuknya didepan bibir, mengisyaratkan Lingga untuk diam sambil melotot galak.

"Bina, Bunda sama Ayah mau ngebakso, ikut nggak?"

"Ng-nggak Bun!!"

"Mau nitip dibeliin apa nak?" Kali ini pintu dicoba dibuka. "Lho, tumben dikunci?"

"Bina lagi ganti baju Bun!" sahut Bina, terpaksa berbohong. Matanya semakin melotot saat Lingga malah menyeringai lebar di kasurnya, seolah semua ini lucu.

"Oh—ya udah, Bunda berangkat ya? Kalau ada yang mau di titip WA aja."

"Oke Bunda, hati-hati."

Selama 3 menit kemudian, baik Sabina dan Lingga sama-sama terdiam ditempat. Saat suara sepeda motor samar terdengar dinyalakan dan beranjak menjauhi rumah, tubuh Sabina bersandar lemas di tembok. Gila. Hampir saja!!

"Lingga, awas ya kalau kamu masuk kamarku kayak gini lagi, aku laporin Pak RT!" ancamnya sambil bertolak pinggang.

Yang diancam malah cengengesan. "Ih, galak amat Sabinaku."

Mata Bina memicing mendengar Lingga memanggilnya begitu. Ih. Kayaknya orang ini memang tak waras.

"Lingga, pulang." perintah perempuan itu untuk yang kesekian kalinya

Lingga beringsut bangkit dari ranjang. Jantung Bina mulai berdebar kencang ketika laki-laki itu melangkah mendekat. Saat jarak mereka hanya tinggal satu langkah, Bina tak punya pilihan lain selain mendongak agar bisa bersitatap dengan Lingga yang jauh lebih tinggi darinya.

"Ngapain heh???"

"Aku salah apa, Bin?"

Pertanyaan itu diajukan dengan nada begitu lembut, membuat Bina mendadak bingung harus bereaksi seperti apa.

"Aku dijauhin, di block, itu pasti ada alasannya kan? Bisa tolong kamu kasih tau apa salah aku?"

Jir. Sejak kapan si Lingga jadi soft spoken begini? Oh. Pasti karena dia sudah sering pacaran, jadi sudah belajar cara merayu perempuan. Mendadak, Sabina merasa kesal. Masalahnya, dia cuma pernah pacaran sekali saat kuliah, itupun hanya berlangsung selama satu bulan karena Bina mendadak ilfeel.

Eh, tapi kenapa dia mesti kesal coba? Ih. Memang ya, penyakit gila itu menular.

"Salah kamu banyak." jawab Sabina sekenanya, tatapannya teralih pada sablonan di kaos Lingga. "Udahlah, nggak usah dibahas. Sana pulang!"

Lingga terdiam, lalu mendengus geli. "Ternyata masih Sabina yang dulu ya?"

Sebelah alis Sabina terangkat. "Maksud?"

"Ya ini— Sabina yang selalu mendem apa-apa sendirian. Sabina yang nggak mau terbuka. Sabina yang selalu bersikap seolah semua baik-baik aja. Dan Sabina yang selalu bikin kesimpulan sendiri."

Ditodong begitu, Sabina membeku. Bukan apa-apa. Yang Lingga katakan benar semua.

"Tapi aku juga masih Lingga yang dulu Bin," lelaki itu menunduk, memaksa tatapan mereka bertemu. "Masih Lingga yang suka ngorek-ngorek kamu, Lingga yang nggak akan diem aja kalau kamu diemin."

Napas Bina tertahan ditenggorokan. Ih. Kenapa pula si Lingga ini?

"Hati-hati kalau kamu punya buku diary, karena kalau aku temuin itu, pasti bakal aku baca buat tau apa yang ada dipikiran kamu. Kayak waktu dulu."

Setelah melayangkan ancaman itu, Lingga berbalik menuju ke balkon. Sabina masih mematung ditempatnya sambil memerhatikan Lingga yang dengan begitu lihai meloncat dari balkonnya. Sesaat Bina berdoa agar Lingga jatuh, siapa tahu laki-laki itu bisa jera. Tapi tidak, ia mendarat dengan mulus didalam kamarnya. Tak salah memang Sabina sering mengatai Lingga Monyet dulu—

Setelah mendapatkan kembali kekuatannya, Sabina membanting pintu balkon agar tertutup dan langsung menguncinya.

Sialan. Lingga. Kenapa dia bertingkah seolah paling mengerti aku begitu sih??



 

***

 

Chapter 5 - Lingga si tengil

 

"Kamu suka sama aku?"

Tiba-tiba ditanya begitu, Sabina membeku. "Hah?"

"Aneh ih. Jangan suka sama aku, Sabina. Kita tuh udah kayak saudara."

Mata Sabina membelalak.

"Apaan sih?? Nggak ada yang suka sama kamu!! Kegeeran!!"

"Tapi itu di diary, kenapa kamu tulis 'kayaknya aku suka sama Lingga deh'?"

Kali ini, Sabina cengo. Tangannya meremat-remat rok seragam biru dongker yang ia kenakan. "Kamu... kamu baca diary aku???"

"Iya, baca. Dari halaman depan sampai tamat. Sehari doang. Hebat kan?"

Dengan sekuat tenaga, Sabina melempar buku paket sejarah setebal 10cm yang berada diatas meja belajar pada Lingga. Lemparannya telak mengenai kepala laki-laki itu hingga ia terjerembab di lantai.

"Aduh!"

"Kurang ajar, Lingga!!!" jerit Sabina histeris.

Mendengar ribut-ribut, Narendra, kakak laki-laki Sabina yang barusan sedang buang hajat di toilet buru-buru datang. Matanya melotot saat melihat Lingga terduduk di lantai dengan kepala yang mengucurkan darah.

"Eh, kenapa ini???"

Sementara itu, adiknya, Sabina, berdiri sambil menangis sesenggukan di ujung ruangan. Situasi langsung berubah chaos, Lingga dibawa ke klinik karena pelipisnya robek, sementara itu Sabina ditenangkan karena tak henti-hentinya menangis.

Tak ada yang tahu kalau masalah hari itu dipicu oleh buku diary. Baik Lingga dan Sabina sama-sama bungkam.

Selepas kejadian itu, Sabina-Lingga sempat perang dingin selama 6 bulan, sebelum akhirnya Lingga meminta maaf sambil bersimpuh pada Sabina, di hari raya idul fitri.

.

.

.

Mengingat memori itu, Sabina geleng-geleng kepala sendiri. Harusnya, ia tak pernah memaafkan Lingga. Laki-laki itu pada dasarnya memang tengil dan gila. Harusnya biarkan saja hubungan pertemanan mereka kandas saat itu juga. Biar tak ada lagi drama-drama!!

"Sama Lingga akur kan, Bina?"

Sabina menoleh dari pemandangan di luar jendela mobil pada Bunda yang sedang menyetir. "Nggak, Bun. Males banget, kenapa sih dia mesti balik sini lagi?"

Bunda menepuk paha anak gadisnya. "Masalah yang waktu itu belum selesai emangnya? Udah lama banget lho."

Bina hanya bergumam panjang sebagai jawaban.

Bundanya tak tahu alasan kenapa hubungan Bina dan Lingga bisa merenggang pasca lulus SMA. Ia memang bertanya, tapi ketika Bina urung menjawab, ia tak sampai hati untuk mengoreknya. Sejak dulu, Bina memang anak yang cenderung tertutup, kalau dipaksa bercerita, yang ada anak itu akan menjauh dan semakin tertutup.

"Lingga itu selalu care sama kamu lho, Bin." kata Bunda. "Dari dulu, meskipun dia memang suka nakal, Bunda tahu dia sayang sama kamu, udah kayak ke adik sendiri."

Bina menghempaskan punggung di jok mobil sambil menghela napas. Amit-amit punya abang macam si Lingga! Hatinya mencela.

"Coba maafin kesalahannya ya Bin? Atau semisal memang ada kesalahpahaman diantara kalian, coba dikomunikasikan. Belajar terbuka ya sayang?"

Bina tak menjawab. Duh. Niatnya hari minggu ini ikut jalan-jalan dengan Bunda ke kota biar tak direcoki Lingga, ehhh sekarang malah Bundanya selalu membicarakan laki-laki itu. Tau ah, Bina pusing!

Mungkin bagi sebagian orang alasan Bina konyol, marah dan kecewa sampai sebegininya hanya karena Lingga menulis nama Pevita Pearce sebagai jawaban secret crush di buku tahunan. Tapi bagi Bina, permasalahannya tak sesederhana itu—ia merasa dibohongi, dibodohi, dipermalukan, semuanya sekaligus.

Menulis nama Lingga di buku tahunan sebagai secret crush itu mungkin hal paling berani yang pernah Sabina lakukan seumur hidup.

Sial, moodnya jadi betul-betul anjlok sekarang.

"Bunda, aku mau ke gramed aja deh."

"Oh, nggak jadi ikut Bunda ke Pasar Baru?"

"Nggak, baru inget ada yang mesti di cari." Bina beralasan. "Nanti Bina pulang sendiri aja, naik grab."

"Oke deh, Bunda drop di gramed depan ya?"

"Iya, makasih Bun. Bina agak malem ya pulangnya, mau jalan-jalan sekalian."

Akhirnya, seharian Sabina habiskan dengan berkeliling toko buku dan jalan-jalan sendirian di mall kota. Selain membeli buku, ia juga membeli beberapa potong gamis baru untuk mengajar. Selama ini, Bina selalu beli gamis online, dan entah kenapa, ia selalu tak puas—entah dengan bahan atau polanya. Rasanya, memang paling benar beli baju secara langsung saja.

Tinggi Sabina 159cm, dengan berat badan 51kg. Dulu, waktu remaja, ia kurus sekali, berat badannya mentok di 42kg. Tapi semua itu berubah ketika ia masuk dunia kerja dan mulai terbiasa ngemil setiap sedang merasa stress. Dalam kurun waktu 6 bulan, bbnya naik 10 kg. Padahal dulu, ia sampai minum madu yang katanya bisa menambah berat badan agar tak terlalu cungkring. Hiii. Tekanan batin pekerjaannya memang sedahsyat itu.

Tiba-tiba handphone Bina bergetar. Ia mengernyit saat melihat nomor tak dikenal mengiriminya pesan whatsapp—

+6285299667xxxx
Bonbin
Dimana?

Meskipun kontak itu tak pakai foto profil, Bina tahu itu Lingga. Siapa lagi coba yang memanggilnya Bonbin?

Sabina menghela napas, tak berniat untuk membalas pesan itu. Tapi kemudian, pesan lain dari nomor yang sama kembali masuk—

+6285299667xxxx
Bin
Ikut bakar-bakaran di lapangan nanti malem?
Ayo kesana bareng

Kali ini Bina mengecek pesan grup whatsapp 'kumpulan jones cluster Daffodil'. Ia tak sadar grup itu ramai, karena sejak awal bergabung, ia langsung mute notifikasi grupnya. Bukan apa-apa, semua grup di whatsappnya juga Bina bisukan demi ketenangan mental.

Tampaknya, tetangga-tetangganya itu berniat untuk barbekyuan nanti malam di lapangan cluster selepas isya. Tapi sekarang sudah maghrib dan Bina masih betah berada di Mall, belum mau pulang.

Me
Aku lagi di BIP nih
Kalau keburu aku nyusul yaa

Tak lama setelah mengirim balasan di grup, Lingga kembali mengirim Sabina pesan—

+6285299667xxxx
Astagfirullah
Bales grup bisa, bales chat aku nggak bisa?
Tega sih

Bina mendengus. Rasain!!

+6285299667xxxx
Sabina
Di BIP sama siapa?

Kali ini, Bina mengetik balasan—

Me
Pacar

+6285299667xxxx
Wadul
Kan gak punya
Bin
Sabin
Aku telfon angkat ya

Me
Spam
*Block*

+6285299667xxxx
Si raja tega

Me
*ratu

Sabina terperanjat saat handphonenya bergetar dan nomor Lingga benar-benar menelfon. Ia menunggu telfonnya mati, tapi kemudian, seolah bersikukuh, Lingga menelfon lagi. Ih. Apaan sih. Aku block beneran baru tahu rasa!

Tapi, di sudut hatinya, Sabina tak dapat menampik rasa penasaran akan apa yang ingin Lingga katakan padanya. Saat telfon kembali berdering untuk yang ketiga kalinya, Sabina akhirnya menekan tombol hijau.

"Apa, Lingga?" serobotnya, entah kenapa mendadak merasa gugup.

"Assalamualikum dulu gitu,"

"Aku tutup—"

"Ehhhh jangan. Kamu di BIP sekarang?"

"Iya. Nggak usah nitip-nitip, uang aku udah habis buat beli baju."

"Deuhh, shopping neng? Sendirian?"

"Emang kenapa kalau sendiri??"

"Kenapa nggak minta temenin aku?"

"Ngapain minta temenin kamu? Aku tutup ah—"

"Bina, bina, dimana?"

"Kan udah dibilang di BIP. Pikun apa gimana??"

"Maksud aku, kamu sekarang posisi di BIP sebelah mana?"

"Rahasia."

"Ah, paling lagi makan mcflurry di mekdi? Ya kan?"

Bina menghentikan adukan sendoknya pada eskrim mcflurry dihadapannya. Heh. Kok dia bisa tau sih??

"Ya kan?? Aku bener kan??"

"Udah? Mau ngomong apa lagi??"

"Aku jemput ya Bin,"

"Nggak usah, Lingga, aku naik grab. Udah ah, kirain aku bakalan penting makanya spam call. Aku tutup ya."

Segera Sabina menyentuh tombol merah. Tapi sedetik kemudian, Lingga kembali menelfon. Cepat-cepat Sabina menyalakan mode do not disturb. Dalam hati merutuki keanehan Lingga. Apa baiknya dia block lagi nomor laki-laki itu??

Daripada pusing memikirkan tetangga randomnya, akhirnya Bina memilih untuk membuka plastik kemasan novel yang baru ia beli. Iseng-iseng ia membaca halaman pertama dan kedua—tapi dasar kutu buku, sekali mulai membaca akan sulit berhentinya. Bina begitu larut dalam bacaan, mengabaikan fakta kalau besok ia harus masuk ke sekolah lebih pagi karena upacara.

"Pulang, Sabina, udah malem."

Sabina terperanjat saat mendengar suara familiar itu. Ia mendongak, bingung saat melihat Lingga berada di sampingnya, mengenakan jaket kulit berwarna hitam, juga jeans berwarna senada.

"Kok disini??"

"Jemput kamu kan."

"Hah?? Nggak ada yang minta dijemput!"

Lingga nyengir lebar. "Ya inisiatif lah."

Mendadak, debar jantung Bina naik drastis melihat sosok laki-laki itu. Gila. Kenapa pakai serba hitam begini si Lingga jadi keren banget kelihatannya?? Wah. Nggak beres ini!

"Lingga, kenapa sih kamu sok akrab? Males aku." gerutu Bina sambil membereskan buku kedalam tote bag. "Kita kayak orang nggak kenal aja, bisa nggak sih??"

Tanggap, Lingga meraih tas belanjaan Bina yang berisi gamis dari atas kursi. "Nggak bisa."

Sabina mendecih, lalu, ia bangkit berdiri dan melengos meninggalkan Lingga, yang tentu saja bersikeras mengekorinya.

"Aku parkir disana, Bin."

"Ya udah sana pulang, aku mau pesen ojol."

"Ih, Sabina. Jangan gitulah."

"Terserah aku dong."

"Sabina Malaikha, malaikatnya aku, kok sekarang kelakuannya nyebelin kayak setan ya? Masa namanya harus diganti jadi Sabina Syaiton?"

Si Lingga ini, ngebanyol sendiri, ketawa sendiri. Sabina memasang wajah masam sambil menatap tajam Lingga yang sedang cengengesan. "Lucu? Iya?"

"Meuni galak gini ih, orang bercanda,"

"Lingga, tapi beneran, kita nggak usah deket-deket gini, bersikap kayak tetangga biasa aja." kata Sabina dengan mimik serius.

Saat itulah, senyum tengil di wajah Lingga memudar, mereka saling bertatapan selama beberapa saat, sebelum Lingga angkat bicara.

"Kamu kasih tau dulu, alasan kenapa jauhin aku." tuntutnya. "Aku juga punya perasaan kali Bin. Tiba-tiba di cut off cewek yang disayang itu sakit, tau nggak?"

Sabina mengerjap pelan. Hah? Apa katanya? Cewek yang di—apa??? Mendadak, kepalanya konslet, lidahnya kelu. Sial sial sial. Dia betulan tak tahu harus merespon apa sekarang!

Akhirnya, yang bisa Bina lakukan hanyalah mengalihkan pandangannya dari Lingga. Tengkuknya mulai terasa panas-dingin karena gelisah. Kedua tangannya meremas ujung cardigan yang ia kenakan, sementara otaknya sibuk mencari alasan—

"Y-ya kamu mikir lah!!"

Bina tahu responnya terdengar kekanakan, tapi tak ada hal lain yang terpikirkan di kepalanya. Masa dia mau jujur bilang ini semua karena Pevita Pearce??

"Ngomong, Sabina. Biar jelas semuanya."

"Nggak mau! Wlee."

Setelah menjulurkan lidahnya dengan tengil, Sabina kembali melengos pergi. Baru tiga langkah, tiba-tiba tangannya digenggam erat, dan ia ditarik kearah berlawanan.

"Aku bilang motornya disini, sayang."

Bulu kuduk Bina langsung meremang. "Sayang sayang sipatokaan??!! Lingga, lepas nggak?!?"

"Nggak."

"Ih! Kenapa sih kamu??"

"Nggak akan aku lepas sebelum kamu kasih tau alasannya. Emang cuma kamu yang bisa seenaknya? Aku juga bisa, Sabina."

Tidak ada yang hafal seberapa keras kepalanya Lingga, selain Sabina. Saat meminta maaf padanya setelah insiden buku diary itu, Lingga bersikukuh bersimpuh di halaman rumahnya dari siang sampai maghrib, agar Sabina mau kembali bicara dengannya.

Perempuan itu menggigit bibir menahan gusar. Ia menatap panik tangannya yang digenggam erat, sambil mereka berjalan membelah kerumunan manusia.

Astaga. Jantung! Berdetak normal! Bisa nggak sih??

"P-pevita pearce!!!" jerit Sabina akhirnya.

Lingga berhenti melangkah dan menatapnya bingung. "Hah?"

"Alasannya—pevita pearce!!!"





 

***

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Boy Backdoor - Chapter 6,7,8
0
0
Chapter 6 - Salah paham SabinaChapter 7 - Awal mulanya (1)Chapter 8 - Awal mulanya (2)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan