The Boy Backdoor - Chapter 15,16,17

0
0
Deskripsi

Chapter 15 - Garam atau madu

Chapter 16 - Dia atau aku

Chapyer 17 - Tekanan Batin

CHAPTER 15 - Garam atau madu

.

.

Hal yang paling sulit Sabina lakukan adalah menolak permintaan orang yang sudah berjasa pada dirinya.

Tak perlu diragukan lagi, Sabina termasuk ke dalam golongan people pleaser. Sejak dulu, tanpa bisa dikontrol, ia selalu mendahulukan kepentingan orang lain sebelum dirinya. Kadang Bina juga merasa muak dengan sisi dirinya yang itu, tapi, bersikap 'egois' selalu membuatnya merasa bersalah—

Ustadzah Ghania termasuk kategori orang yang sangat berjasa dalam perkembangan karir mengajar Sabina di SDIT Permata Hati. Sejak awal, ia merangkul Sabina seperti saudari perempuan sendiri—tak ada persaingan antar mereka, yang ada hanyalah dukungan tulus dan murni antar pendidik.

Tapi, permintaan perempuan itu kali ini agaknya diluar nalar. Maksudnya—MASA IYA SABINA MAU JADI ISTRI KEDUA??? Jadi, mengesampingkan perasaan sungkannya, Sabina langsung menolak tawaran yang diberikan perempuan itu dengan lembut.

"Ustadzah Ghania—"

"Panggil Ghania aja, Miss B. Aku kan umurnya setahun lebih muda dari Miss B.."

"Ah, iya... Ghania... maaf banget, tapi, aku nggak bisa terima tawaran kamu."

Sorot pengharapan yang terpancar dari tatapan Ghania meredup. Sudut bibirnya melengkung kebawah. "Miss... aku tau permintaaanku ini berat, tapi, boleh nggak Miss B pikirkan dulu..?"

Sabina menelan ludah. Satu lagi hal yang sulit ia hadapi—paksaan. Sejak dulu, Sabina cenderung akan langsung menurut jika diperintahkan sesuatu, ketimbang mendebat meskipun merasa keberatan. Demi menghindari konflik, ia rela berkorban meskipun harus menelan pahit sendiri.

Tapi kali ini, kasusnya terlalu berat. Kalau Sabina menurut, yang dipertaruhkan adalah seumur hidupnya.

Diamnya Sabina tampaknya disalah artikan sebagai persetujuan oleh Ghania. Ia lantas mengeratkan genggaman tangan mereka.

"Aku nggak akan maksa Miss B untuk setuju, tapi, aku ingin Miss B pertimbangkan dulu sebelum menolak. Please?" Ia memohon.

Sabina membasahi bibirnya dengan lidah. Disuguhi tatapan memelas begitu, ia tak tahu harus menolak bagaimana lagi. Otaknya mendadak konslet, dan sungguh, sekarang malah Bina yang ingin sekali menangis frustasi.

"Ghania? Ayo pulang."

Suara bariton yang tiba-tiba bergema di keheningan membuat kedua perempuan itu menoleh bersamaan. Ustadz Adam berdiri diambang pintu ruang guru. Sabina mengerjap menatap sosoknya, lantas langsung mengalihkan pandangan—mendadak, jantungnya berdebar kencang.

Bukan. Bukan karena salah tingkah atau kesengsem melihat sosok tampan nan teduh itu—tapi karena perasaan takut yang tiba-tiba menyergap hatinya.

Amit-amit. Sabina tak mau jadi benalu di pernikahan pasangan bahagia ini!

"Ah, iya," Ghania bangkit dari duduknya. "Nanti kita ngobrol lagi ya Miss? Aku pamit pulang dulu. Asaalamualikum."

Sabina hanya mampu menjawab dengan anggukan. Sedari tadi, tangannya meremat-remat erat ujung hijab panjang  yang ia kenakan. Rasanya ia ingin menangis—tapi masih punya akal sehat untuk menjaga emosinya agar tak tumpah di sembarang tempat.

Setelah beberapa tarikan napas panjang, Sabina akhirnya mampu beranjak pulang meninggalkan lingkungan sekolah. Pikirannya kacau balau, sedang hatinya kalut. Ia butuh bersemedi di kamarnya agar dapat merasa lebih tenang menghadapi ujian ini—

Saat tengah berjalan, tatapan Sabina menangkap sosok familiar di sudut lapangan cluster—Lingga. Kemarin, Sabina diceritakan oleh Mamanya kalau laki-laki itu sedang pergi ke Jakarta karena ada urusan mendadak di kantor—

Bina sempat berharap Lingga tak kembali ke Bandung lagi agar hidupnya kembali aman damai sentosa. Tapi nampaknya harapannya harus pupus karena ternyata, laki-laki itu kembali.

Lingga tak menyadari keberadaan Sabina karena tengah sibuk bercanda tawa dengan Amanda—entah membicarakan apa. Sepertinya seru sekali, karena keduanya tertawa ngakak sambil sesekali saling toyor.

Pemandangan itu membuat Sabina termangu selama beberapa detik. Iya. Lingga sedari dulu memang begitu. Suka bercanda dan dekat dengan siapa saja—bukan hanya dengan Sabina.

Mungkin, pada Amanda pun, Lingga dapat dengan mudah mengatakan suka dan mengajaknya berpacaran.

Sabina mendengus. Benar kan? Sabina itu tidak spesial. Eh. Memangnya sejak kapan Sabina spesial? Dan kenapa pula ia harus spesial?

Awan mendung yang menyelimuti hati Sabina kian tebal, seolah siap untuk melepas badai. Setengah berlari, Sabina beranjak menuju ke rumahnya. Untunglah, Bunda dan Ayahnya sedang tak ada dirumah, karena saat ini Sabina butuh menumpahkan emosinya tanpa ditahan—ia akan menangis dengan suara yang kencang.

***

"Si Sabina kok nggak lewat-lewat ya..?"

Amanda mengangkat pandangannya dari layar handphone. "Sabin? Sabin dari tadi udah lewat, kali."

Gerakan tangan Lingga yang tengah memantulkan bola basket terhenti. "Hah?? Kapan??"

"10 menit yang lalu, mungkin?"

"Duh! Kok nggak bilang sih Man?"

"Laaah, mana aku tau. Tadi aku mau panggil dia, tapi kayaknya lagi buru-buru." sahut Amanda. "Jadi disini tuh lagi nungguin si Sabin lewat ya?"

Lingga mengangguk pasti. "Doain ya Man, biar lancar pdkt aku."

"Widiiiih beneran ini??? Setuju banget lah, kalian cocok! Ditunggu lho undangan nikahannya! Seragam buat anak komplek jangan lupa—"

"Gampang itu maaah."

"Ya udah sana! Susulin aja ke rumahnya. Btw ini jadi kan order dimsum mentainya buat malem?"

Lingga mengangguk. "Jadi, jadi, kirimin aja QRIS atau no.reknya ya, aku cabut dulu! Dah Manda!"

Lingga melangkah lebar menuju ke rumah Sabina. Ia sudah menunggu perempuan itu lewat di lapangan sejak jam 3. Tadi, saat tengah membunuh waktu dengan bermain basket, Amanda tiba-tiba datang dan mempromosikan dagangannya sambil mengajaknya mengobrol. Jadilah, Lingga tak fokus memerhatikan jalanan.

Lagian, si Sabina aneh, bukannya menyapa tetangga, malah langsung ngibrit pergi. Kebelet beol kah dia? Ckckckck. Sombongnyaa.

Lingga mengetuk pintu rumah Sabina, tapi hening, tak ada jawaban. Apa perempuan itu pergi? Garasinya kosong, tak ada mobil yaris kuning atau motor beat yang biasa terparkir. Ia menunggu selama 15 menit, sebelum akhirnya menyerah dan memutuskan untuk kembali pulang.

Dari kamarnya, pintu balkon kamar Sabina tampak tertutup rapat. Berulang kali Lingga mencoba menelfon dan mengirimi tetangganya pesan, tapi tak digubris juga. Uh. Nggak tahu apa ya si Sabina kalau Lingga kangen berat??
 

***

Sabina menangis dibawah kucuran air hangat dari shower kamar mandi kamarnya, mungkin sekitar 30 menit, sebelum akhirnya tumbang diatas ranjang dan tidur sampai waktu isya. Ketika terbangun, kamar dan rumahnya dalam keadaan gelap gulita, Bunda dan Ayah mengabari kalau mereka akan pulang larut malam, jadilah Bina sendirian dirumah.

Kepala Sabina terasa seperti dihantam palu, sedang matanya panas dan perih karena efek menangis. Seolah tak cukup dibuat menderita, tamu bulanannya memutuskan untuk datang malam itu juga.

Tapi, hatinya terasa lebih plong setelah menangis sepuasnya. Ia tak merasa se-frustasi tadi sore. Sambil menyesap teh manis hangat, Sabina mulai berpikir—

Oke. Pertama, untuk tawaran Ghania, Sabina sudah pasti akan menolak. Ia tak mau jadi madu dalam rumah tangga siapapun. Sabina memang jomblo, tapi ia tak se-desperate itu untuk mendapatkan pasangan hingga menyetujui jadi yang kedua. Poligami memang boleh dalam agama, tapi itu hal yang sangat tidak familiar untuk Sabina. Dan maaf, ia ogah untuk mencoba. Lagipula, usianya masih 24 tahun—dan ia tak terburu-buru untuk menikah.

Kedua, tentang karirnya sebagai guru di SDIT. Sebenarnya, yang paling Bina takutkan adalah, ia tak bisa lanjut mengajar dengan nyaman apabila menolak tawaran Ghania. Tapi, Sabina sangsi Ghania akan berubah jadi jahat padanya, karena setahu Bina, perempuan itu punya hati sebaik malaikat. Dia pasti akan mengerti akan keputusannya.

Dan semisal ternyata hal terburuk benar-benar terjadi, Bina selalu punya pilihan untuk resign dan mencari pekerjaan di tempat baru.

Ya kan?

Bina baru kembali menyesap tehnya, ketika handphonenya yang terletak diatas meja menyala. Ada pesan WhatsApp dari Ghania—

Ustadzah Ghania
Dear Miss B,
Ini CV taaruf Mas Adam
Bisa dibaca dulu ya Miss, kalau ada pertanyaan, jangan ragu untuk tanya aku
Terimakasih Miss B 🥰

Sabina hampir saja menjatuhkan gelasnya, tapi untung ia sigap untuk menaruh gelas itu di meja. Jantungnya kembali berdebar kencang—segera ia mematikan jaringan wifi dan data, lalu membuka pesan dari Ghania.

Bohong, kalau ia bilang tak penasaran dengan isi CV taaruf Ustadz Adam.

Bina membaca cepat apa yang tertera di file Pdf itu, mirip dengan Cv melamar kerja, hanya saja detailnya lebih personal. Ia mengerjap saat menatap foto Ustadz Adam disana. Sumpah. Kalau soal ganteng, Bina tak akan menampiknya. Kalian tahu Dimas Anggara? Ustadz Adam itu versi lebih putihnya.

Kalau soal akhlak. Waduh. Bisa dibilang Ustadz Adam ini bukan di kategori green flag lagi, tapi green forrest. Pribadinya benar-benar santun, dengan senyum hangat yang selalu terulas dibibir. Saking baiknya, ia selalu mendapat predikat Ustadz favorit setiap tahun dari angket guru yang dibagikan pada anak-anak SDIT. Pada istrinya pun, ia begitu romantis. Beberapa kali Sabina memergoki interaksi manis antar kedua insan itu. Bina sempat berpikir, Ghania begitu beruntung dapat suami paket lengkap seperti Ustadz Adam.

Dan kalau soal harta, tak perlu diragukan lagi, dia jelas tajir melintir. Keluarganya pemilik yayasan pendidikan Permata Hati, pernah Bina mendengar sekilas kalau pemilik yayasan juga punya usaha peternakan sapi dan domba di daerah Lembang. Dijamin Sabina tak akan kekurangan meskipun jadi istri nomor dua.

Eh, apa barusan ia baru saja menimbang-nimbang kemungkinan itu? Ih, gila. Sadar Sabinaaa!

Ditengah pergumulan batinnya, handphone Sabina kembali menyala. Lingga 🐒 menelfonnya, untuk yang kesekian kali. Bina bukannya tak sadar lelaki itu menghubungi, hanya saja ia malas untuk meladeni.

Tak lama kemudian, terdengar suara gemelutuk dari arah balkonnya. Tanpa ragu Bina yakin suara itu tercipta karena ulah tetangga belakang rumahnya yang melempari pintu dan jendelanya dengan kerikil. Saat suara itu tak berhenti selama 15 menit lamanya, Bina menggeram kesal. Si iseng itu... mau apa lagi sih dia??

"Apaan sih, Lingga??? Aduh!" Bina refleks memejam saat beberapa kerikil tepat mengenai wajahnya.

"Eh, eh, maaf Bin, sakit??"

Sabina melotot murka. "BERHENTI ISENG NGGAK??"

Lingga meringis, tahu pasti sudah membuat Sabina marah. "Maaf, maaf, Bin—"

BRAK!! Pintu balkon ditutup dengan satu bantingan keras. Lingga memanggil-manggil Sabina berulang kali, saat tak kunjung digubris, ia kembali membulatkan tekad untuk melompat ke balkon tetangganya.

Lingga meraih kantung plastik berisi kotak dimsum mentai yang baru saja Amanda antarkan. Ia butuh senjata untuk merayu Bina, dan Lingga paling tahu perempuan itu tak akan menolak jika disuguhi jajanan, apalagi yang rasanya gurih pedas seperti ini.

Lingga menggigit kresek itu dan bersiap untuk melompat. Tapi seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, sesekali akan jatuh juga, keadaan kusen jendelanya yang basah sehabis terkena gerimis membuat kakinya yang berpijak disana tergelincir.

Sepersekian detik kemudian, terdengar suara berdebum kencang yang membuat Sabina refleks kembali membuka pintu balkon. Jendela kamar Lingga masih terbuka lebar, tapi tak ada siapapun disana—

"B-Bin..."

Sabina terperanjat mendengar suara itu. Jantungnya berdetak kencang menyadari hal yang mungkin saja terjadi. Dengan langkah lebar ia mendekat ke pagar dan langsung menengok kebawah—

"YA ALLAH LINGGA!!!!"
 

***

 

CHAPTER 16 - Dia atau aku

 

.
 

.

 

"Aduh, aduh, sakit Bin, pelan-pelan."

"Lagian siapa suruh sih???"

Sabina menyeka kasar lutut Lingga yang lecet dan berdarah dengan kapas yang sudah dilumuri alkohol. Beruntung, Lingga hanya lecet di lutut dan telapak tangan, tanpa ada bagian tubuhnya yang terkilir atau patah. Tadi, ia mendarat diatas paving block taman belakang rumah Sabina dengan posisi persis seperti orang sedang push-up. Suara berdebum keras tercipta karena kakinya menendang pot tanaman milik Bunda hingga terjatuh dan pecah.

"Kan udah dibilang, jangan suka loncat-loncat! Bahaya!" omel Sabina.

"Habis... kamu dipanggil nggak nyahut, di telfon nggak angkat—"

"Kok jadi nyalahin aku??"

"Duh, duh, ampun—ampun, Sabina... sakit ih,"

Sabina mendengus. Tadi, jantungnya nyaris copot melihat Lingga tergeletak di atas paving block dengan posisi tengkurap. Ia sudah takut tetangganya ini cedera fatal karena jatuh dari lantai dua!

"Janji sama aku jangan loncat ke balkon lagi!"

"Tapi Bin—"

"Kalau kamu nggak janji aku nggak akan mau lagi ngomong sama kamu!!"

Tahu pasti kalau Sabina mampu untuk menjalankan ancamannya, Lingga langsung mengangguk-angguk panik. "Iya, janji nggak bakal loncat lagi, Sabina... jangan galak-galak atuh ih, nggak kasihan aku lagi berdarah gini?"

Sabina masih merengut, setelah menutup luka dengan kasa, ia membereskan kapas-kapas yang kotor dilumuri darah dalam diam. Sementara itu, pasiennya memerhatikan sambil sesekali meringis kesakitan.

"Ada lagi yang sakit nggak?" tanya Bina.

"Nggak ada, eh—ada deng."

"Apa? Mana?"

"Ini," Lingga menaruh telapak tangannya diatas dada. "Dalem sini sakit banget,"

"Hah?? Beneran?? Mesti ke rumah sakit kali Ga, takutnya kebentur dan luka dalam—"

Melihat air muka Sabina yang jelas khawatir, Lingga jadi urung untuk melanjutkan candaannya yang tadinya mau bilang kalau hatinya sakit karena digalaki Sabina. Feeling -nya, perempuan itu akan semakin murka kalau ia benar-benar berani melontarkan candaan seperti itu di kondisi ini.

Jadi, Lingga menarik nafas panjang beberapa kali, lalu berpura-pura menampikan wajah lega.

"Nggak, nggak perlu, ini udah enakan kok."

"Ih, beneran??"

"Bener!—Eh, itu aku bawain dimsum mentai buat kamu, tadi aku beli sama si Amanda. Tuh tuh, yang kresek putih."

Kata dimsum mentai sukses mengalihkan atensi Sabina. Perempuan itu mengedarkan pandangannya ke paving block taman, lalu meraih kantung plastik putih yang tergeletak disana.

"Ooh, tadi tuh kamu beli dimsum sama Amanda?"

Ada nada sarat akan kelegaan di suara Sabina, dan hal itu disadari olehnya. Ia mengernyit, kenapa pula ia mesti merasa lega?

"Tadi pas nungguin kamu pulang di lapangan si Amanda nawarin, katanya Ibunya sekarang jualan dimsum." cerita Lingga. "Tadi kenapa nggak samperin kita di lapangan Bin? Sombong banget ih,"

Sabina memindahkan dimsum yang sudah acak-acakan itu ke piring. "Aku buru-buru, pusing ingin tidur." Yah, jawaban itu tak sepenuhnya bohong. Tadi kan kepalanya memang kalut sekali.

"Hmm padahal aku kangen banget banget banget tau Bin."

Sabina pura-pura tak dengar sambil melahap satu buah dimsum. Matanya mengerjap saat merasakan gurih dan kenyalnya kudapan itu dalam mulut. Sejak dulu, Ibunya Amanda memang tak pernah gagal membuat apapun, semuanya pasti selalu enak!

"Cobain, Ga, enak banget lho." Ia menyodorkan garpu yang sudah menusuk dimsum pada Lingga.

"Aaaaa,"

Saat tetangganya itu malah membuka lebar mulutnya, Sabina mendecak sebal. "Dasar manja."

Senyum lebar tersungging di bibir Lingga saat Sabina benar-benar menyuapinya. Duh, tak sia-sia ia jatuh dari lantai dua. Kalau hasilnya si Sabina jadi perhatian begini, sumpah dia iklas dan rela!

"Enak banget, apalagi makannya disuapin kamu, makin-makin deh—"

Sabina tak menggubris ucapan tetangganya. Kakinya sibuk mondar-mandir kesana-kemari untuk menyalakan lampu rumah dan halaman depan. Ia baru duduk di kursi meja makan setelah mengambil segelas air es dan menyalakan siaran TV.

Lingga, yang sedari tadi duduk di kursi taman belakang memasuki rumah dan bergabung dengan Sabina di meja makan. Lantai satu rumah Sabina memang terdiri dari satu ruangan panjang tak bersekat yang mencakup ruang keluarga, ruang makan dan juga dapur, yang langsung menghadap ke taman belakang.

"Bunda sama Ayah kamu lagi pergi Bin?"

Sabina mengangguk, sementara mulutnya sibuk mengunyah.

"Pulang kapan?"

"Nanti...jam 11 kayaknya,"

"Oh... jadi dari tadi kamu di rumah sendirian ya?"

Bina mengangguk lagi. Lingga memerhatikan dengan hati berbunga pemandangan dihadapannya. Sabina tampak lucu mengenakan hoodie kebesaran dengan tudung yang menutupi rambutnya. Dan benar dugaan Lingga, dimsum mentai itu senjata jitu untuk meluluhkan Sabina. Buktinya, sekarang perempuan itu sudah tak tampak marah lagi.

Tapi, sesaat kemudian, dibawah cahaya lampu terang, Lingga baru menyadari kalau mata perempuan itu merah dan bengkak, seolah ia baru saja menangis.

Tidak, bukan seolah. Sabina sudah pasti habis menangis. Lingga hafal dengan pemandangan itu, karena tak sekali-dua kali ia memergoki Bina menangis—entah karena ulahnya, atau karena hal lain yang tak Lingga ketahui.

"Bin, ada masalah di sekolah?"

Sejenak, Sabina mengalihkan tatapannya dari layar TV pada Lingga. "Nggak,"

"Terus kenapa nangis?"

Bina bergeming. "Emang kelihatan banget ya..?"

"Kenapa Bin, cerita aja sama aku biar lega."

Sabina bangkit berdiri dan beranjak menuju ke lemari es di sudut ruangan. Ia mengeluarkan beberapa bongkah es untuk mengompres matanya yang memang terasa tak nyaman.

"Bin, kenapa? Soal anak badung itu ya?"

"Anak badung?"

"Itu, yang kata kamu suka bully orang,"

Menyadari maksud Lingga adalah masalah tentang Dion, Bina menggeleng. "Bukan kok. Btw, dia ternyata nggak seburuk yang aku bayangin. Anaknya aslinya baik, cuma kurang dipahami aja dia tuh—"

Sabina kembali duduk di kursinya sambil mengompres mata dengan es yang dilapisi kain, tatapannya terarah pada TV, tapi fokusnya jelas melanglang buana.

"Terus karena apa dong?" Lingga masih berusaha untuk mengulik. Ketika perempuan dihadapannya tak kunjung menjawab, ia mulai menerka-nerka. "Ada guru yang nyebelin? Atau jangan-jangan ada guru genit godain kamu ya?"

Sumpah. Awalnya Lingga tak serius dengan dugaan itu. Tapi, saat ia menangkap perubahan mimik wajah Sabina, alarm di kepalanya langsung menyala.

"Iya Bin? Ada yang berani kurang ajar sama kamu??"

"Nggak—nggak gitu kok!"

Kening Lingga berkerut dalam. "Terus apa dong?"

"Nggak ada apa-apa!!"

"Dih, berani sumpah demi Allah nggak ada apa-apa?"

Saat Sabina tak menyahut, Lingga melanjutkan. "Kenapa sih Bin? Ada guru creepy yang ngejar-ngejar kamu ya?"

"Bukan ngejar-ngejar!!" Sabina mengibaskan tangannya panik. "Nggak—nggak gitu ceritanya."

Kali ini, Lingga bersedekap diatas meja, tatapannya menajam, punggungnya tegak—siap untuk menginterogasi Sabina dengan serius. "Yang mana orangnya??"

Sabina menggigit bibirnya, mendadak hatinya diliputi gelisah. Jujur, dia memang butuh teman cerita mengenai 'masalah'nya dengan Ghania. Tapi masa iya dia mau sharing dengan si Lingga? Yang ada nanti cowok itu ngakak karena tahu ia ditawari jadi istri kedua!

"Apa sih Lingga? Nggak penting juga kok."

"Yang mana, Sabin, coba lihat,"

"Nggak usah lah!"

Sesaat, kedua insan itu saling melempar tatapan sengit.

"Pasti orangnya jelek kan, makanya kamu nggak berani lihatin?" tebak Lingga sambil tersenyum meremehkan. "Kayak si Danu itu."

Bina melotot saat nama itu disebut. Danu itu nama kakak kelas yang mengejar Sabina saat SMA. Danu memang tak tampan, tapi menurut Bina, laki-laki itu manis dan enak dipandang. Tapi, entah kenapa, Lingga selalu meledek Danu mirip biawak, padahal nggak ada mirip-miripnya!

"Nggak jelek ya!!" sergah Sabina tak terima. Ia merogoh saku hoodienya untuk mengambil handphone dan membuka aplikasi WhatsApp.

"Nih, ganteng tau!!"katanya sambil memperlihatkan foto profil WhatsApp Ustadz Adam yang sedang tersenyum sambil melipat kedua tangan didada diantara pohon pinus.

Tatapan Lingga memicing saat memerhatikan sosok yang terasa tak asing itu.

"Ini mah foto artis kali Bin! Emang aku nggak tahu apa?"

Sabina mendengus. "Bukan artis kok! Ini namanya Ustadz Adam, dia emang ganteng mirip sama artis Dimas Anggara— orangnya juga baik banget banget banget, pokoknya akhlaknya plus plus deh, beda sama kamu yang minus!"

Hati Lingga seolah diremas-remas mendengar Sabina membicarakan laki-laki lain sebegitunya. Ia tak suka. Benar-benar tak suka. Tanpa sadar, tangannya mengepal erat.

Disisi lain, Sabina juga tak tahu kenapa dia bisa begitu lancang memamerkan Ustadz Adam yang sama sekali tak memiliki hubungan apapun dengannya. Mana dia pakai acara membandingkan beliau dengan Lingga, pula! Entahlah hal apa yang sedang ia perbuat, yang jelas Bina pun merasa konyol.

Tiba-tiba, Lingga bangkit berdiri dan beranjak dengan langkah terpincang-pincang menuju ke pintu keluar.

"Mau kemana?" tanya Bina kebingungan. "Hei, Lingga!"

"Pulang lah, ngapain juga disini?"

Jawaban yang dilontarkan dengan nada sinis itu membuat Bina membeku. "D-dimsumnya??"

"Buang aja lah." jawab Lingga tanpa menoleh. "Atau kamu bagi aja tuh sama si Dimas Anggara KW."

Sebelah alis Bina terangkat.

"Lingga, kenapa tiba-tiba marah gitu sih??"

"Emang aku suka marah-marah, nggak ada akhlak, pokoknya nggak ada baik-baiknya kalau dibanding sama si Dimas Anggara!"

Sabina memiringkan kepalanya, Ih, kenapa pula si Lingga merepet begitu?? Masa dia betulan sakit hati karena dibandingin sama Ustadz Adam sih??




 

***
 

CHAPTER 17 - Tekanan batin

 

 "Miss? Miss B!!"

Sabina terperanjat saat pundaknya tiba-tiba di tepuk. Hanifa, anak didiknya menatap heran.

"Miss kok ngelamun sih..?"

"Eh—nggak kok, Miss cuma lagi ngantuk. Kenapa Fa?"

"Itu, Della jatuh pas tadi main bakiak, lututnya berdarah."

Mendengar hal itu, Sabina langsung menaruh gunting dan kertas bergambar bunga yang barusan hendak ia potong. "Dimana Della sekarang??"

"Di UKS Miss,"

"Oke, Miss kesana."

Dengan langkah tergesa Sabina menuruni tangga menuju ke ruang UKS. Dari pagi, ia memang banyak berdiam diri di kelas, membantu anak-anak menghias mading untuk lomba—sekaligus, menghindari Ghania. Jujur, Bina masih belum siap mental kalau perempuan itu kembali menbahas topik kemarin.

Di UKS, Della, anak didiknya sedang diobati oleh Ustadzah Fahira. Matanya sembab karena habis menangis.

"Del, jatuh ya?"

"Iya Miss... sakiiiit." jawab Della sambil kembali berkaca-kaca.

"Aduh... kasihan..."

"Nggak apa-apa, sembuh bentar lagi," sahut Ustadzah Fahira. "Dah, jangan nangis bageur."

Sabina mengucapkan terima kasih pada Ustadzah Fahira yang telah mengurusi anak didiknya dengan begitu telaten. Setelahnya, ia menunggui Della yang bersikeras untuk pulang ke rumah. Untung saja, orang tuanya bisa segera menjemput karena jarak rumahnya dekat.

"Miss B, makasih ya, maaf Della jadi ngerepotin,"

Sabina menggeleng mendengar perkataan Ibunya Della. "Nggak ngereotin Bu, saya yang minta maaf karena lalai jagain anak-anak, semoga Della lekas sembuh ya."

Sabina melambaikan tangan sampai mobil itu berlalu dari pandangan. Saat ia balik badan untuk kembali menuju ke kelas, tatapannya bertemu dengan Ustadz Adam yang tengah membawa tumpukan snack box menuju ke ruang guru.

Jantung Sabina langsung berpacu cepat melihatnya. Kedua tangannya refleks mengepal karena gugup.

"Miss Sabina."

Sabina berjengit saat namanya tiba-tiba dipanggil dengan begitu lembut. "Y-ya??"

"Maaf Miss, bisa bantu turunin box makanan dari mobil dan taruh di ruang guru?"

"B-bisa!"

Dengan gerakan yang super kikuk, Sabina mendekat. Tidak, bukan hanya Sabina dan Ustadz Adam saja yang menurunkan barang-barang dari mobil, ada Pak Jaja, cleaning servicenya SDIT yang turut membantu.

"Ini buat makan siang ya?" tanya Sabina berbasa-basi.

"Iya, ada kiriman dari orang tua murid."

"Begitu... udah semua kan ya Ustadz? Saya pamit mau kembali ke kelas—"

"Ehm, Miss, saya mau ngomong sebentar, bisa?"

Sabina yang hendak ngibrit kabur terpaksa menahan langkahnya. "Ada apa ya Ustadz?"

"Saya sudah dengar dari Ghania, kalau niat baik kami kemarin sudah ia sampaikan,"

Deg. 'Niat baik kami'. Mendengarnya, Sabina sungguh ingin ditelan bumi saat ini juga.

"Saya, sebenarnya nggak ngebet ingin—yah, poligami." jelas Ustadz Adam, tampak jelas canggung membahas hal ini. "Tapi, mengingat kondisinya, mungkin memang ini bisa jadi solusi,"

Saat Sabina tak kunjung menanggapi, lelaki itu melanjutkan—

"Saya hanya ingin menyampaikan kalau saya tak keberatan jika Miss berkenan—karena Ghanianya sendiri nampaknya suka sekali dengan Miss," ujarnya. "Saya harap Miss bisa pertimbangkan."

Sabina menelan ludah, tangannya meremas ujung vest yang ia kenakan hingga buku-buku jarinya memutih. Suara teriakan 'Gooool!!' yang berasal dari lapangan mengembalikan kesadaran Bina yang hampir menguap habis.

"S-saya pertimbangkan dulu Ustadz, permisi!"

Begitu saja, Sabina melenggang pergi dengan langkah terburu. Jantungnya berdebar begitu kencang, hingga rasanya ia ingin muntah. Jadi, bukan cuma Ghania, tapi Ustadz Adam juga mau dengannya..?? Astaganaga. Ia harus bagaimana kalau sudah begini?? Fix sih, Bina tak bisa menghadapi hal ini sendirian—sehabis ini ia harus bercerita pada Bunda dirumah untuk meminta solusi!

Karena hari ini Jum'at, kegiatan di sekolah selesai lebih cepat. Sabina sudah berniat untuk kabur pulang ke rumah selepas sholat dzuhur. Ia akan pura-pura tak membaca pengumuman di group WhatsApp yang menginstruksikan para guru untuk berkumpul di aula jam 1 siang.

Tapi lagi-lagi niatnya kandas saat Ghania, dengan ekspresi yang begitu ceria, mulai menempelinya dari tempat berwudhu hingga selesai sholat berjamaah.

Ish. Sumpah. Sabina betulan kepingin mewek saking frustasinya sekarang!

"Miss B, udah baca CVnya Mas Adam?" tanya Ghania saat mereka sedang makan bersama di pojok aula. Karena terus ditempeli, Sabina jadi tak bisa kabur kemana-mana dan berakhir mengikuti acara makan-makan bersama.

"Udah..." jawab Sabina jujur.

"Terus gimana? Ada yang mau ditanyain?"

Kepala Sabina menggeleng sebagai jawaban. Otaknya sedang berusaha mencari cara terjitu untuk menolak tawaran poligami ini, karena Bina perhatikan, sebatas kata 'tidak' tak dapat memukul mundur Ghania.

Mengumpulkan keberanian, Sabina mulai angkat bicara. "Ghania... kenapa kalian mesti poligami..? Kalau alasannya susah punya anak, kan jaman sudah canggih, kalian bisa coba program bayi tabung. Tante jauh ku, nikah 10 tahun baru punya anak."

Ghania bergeming sejenak, lalu, senyuman sedih terulas di bibirnya. "Aku menopause dini, Miss B."

Deg. Begitu saja, lidah Sabina mendadak kelu. Astaga... menopause dini? Memang bisa ya?? Ghania kan masih muda banget!

"Dari remaja mensku memang nggak pernah teratur, tapi setahun kebelakang, aku benar-benar nggak mens sama sekali. Kukira hamil, tapi pas di cek ke dokter, aku di diagnosis menopause prematur," cerita Ghania. "Jadi, kemungkinan untuk aku hamil nol, Miss B."

"G-gitu ya..."

"Iya, Miss B. Aku tahu hal ini sekitar 3 bulan yang lalu. Sedih ya? Tapi mau gimana lagi... udah takdirku begini."

"A-adopsi gimana? Nggak tertarik? Kan, banyak anak-anak diluar sana yang butuh asuhan orang tua..." tiba-tiba, bayang Lingga muncul di kepala Sabina. "Tetanggaku juga adopsi anak cowok... sekarang anaknya sayang banget sama orang tua."

Ghania mengangguk. "Jujur, aku juga kepikiran ke arah sana, udah bilang ke Mas Adam juga, dan beliau membolehkan semisal aku mau adopsi anak nantinya—"

Kening Sabina berkerut. "Kalau gitu, bukannya problem solved ya?"

"Aku nggak ingin egois, Miss B. Meskipun nggak pernah bilang, aku tahu Mas Adam di hati kecilnya ingin punya keturunan dari darah daging sendiri. Belum lagi tuntutan dari keluarga,"

Ghania menghela napas panjang sebelum melanjutkan. "Mas Adam tuh baiiiiik banget selama ini sama aku, jadi, aku rela berkorban demi kebahagiaan dia, meskipun harus dimadu,"

"Dijamin deh, kalau Miss B jadi istrinya, pasti bakal berasa kayak ratu. Beliau bener-bener lembut, nggak pernah marah, nggak pernah pelit sama aku."

Sabina hanya tersenyum simpul mendengarnya, ya Allah, tolong, dia sudah kehabisan cara untuk menolak secara halus. Tapi ia juga tak ingin menyakiti hati perempuan disampingnya yang tampak begitu rapuh.

"Aku juga udah diskusi sama Mas Adam, nanti untuk meminimalisir terjadinya konflik, kita bakalan tinggal di rumah yang beda. Aku bakalan pindah ngajar ke SMP-IT, biar disini Miss B tetap bisa leluasa— tapi semisal Miss B hamil dan mau full jadi ibu rumah tangga, Mas Adam juga nggak masalah!"

Mendengar rentetan kalimat itu, Sabina mengerjap cepat. Tunggu, tunggu, tunggu, kok kesannya seperti dia sudah setuju sih??

"Ghania—bentar, aku—nggak bisa!" Sabina meletakkan kotak makanan yang masih sepenuhnya terisi ke lantai, lalu menghadap Ghania dan menatapnya lurus. "Maaf, tapi, aku nggak bisa jadi istri keduanya Ustadz Adam."

Air muka Ghania sontak berubah keruh. "Kenapa Miss? Apa alasannya? Mas Adam kan masuk ke kriteria Miss B, ganteng, sholeh, kaya—"

"Alasannya—banyak, tapi yang terpenting, aku rasa aku bukan tipe yang akan sanggup terlibat dalam sebuah poligami." cetus Sabina. "Aku tahu Ustadz Adam itu baik, kamu juga baik sama aku, tapi... aku tahu kapasitasku sendiri."

Kali ini Ghania menggeleng. "Aku tahu Miss B wanita hebat, jangan nilai diri sendiri rendah begitu.."

Sabina melongo, bingung harus merespon kata-kata itu bagaimana. Astaga. Dia tak tahu kalau perempuan dihadapannya ini bisa begitu tak peka dan keras kepala??

"Sabtu besok, aku dan Mas Adam rencana ingin silaturahmi ke rumahnya Miss B, sekaligus menyampaikan niat baik kami pada orang tua Miss B," kata Ghania. "Kita obrolin hal ini secara kekeluargaan besok ya Miss? Aku harap, dengan dukungan orang tua, Miss B bisa lebih percaya diri untuk ambil keputusan ini."

Napas Sabina tertahan di tenggorokan. Kata-kata yang keluat dari mulut Ghania seperti gunting yang memutus kabel-kabel di otaknya hingga tak dapat berfungsi. Begitu banyak hal yang ingin ia ucapkan, tapi tak satu kalimat pun yang dapat terangkai—

Perasaan stress yang tiba-tiba melanda membuat ia merasa mual, astaga, sudah lama sekali sejak terakhir kali asam lambungnya naik. Sabina beristigfar dalam hati, mencoba mengatur napasnya yang mulai terasa sesak.

Percakapan mengenai topik ini terputus saat beberapa ustadzah bergabung dengan mereka di sudut aula. Sabina memanfaatkan kesempatan itu untuk berpamitan pulang, beralasan Bundanya menelfon karena ada urusan mendadak. Sumpah, rasanya, Bina bisa pingsan kalau lebih lama berada di lingkungan sekolah.

Dengan langkah cepat, Sabina menyusuri jalan komplek menuju rumah. Hatinya tambah merasa murung, ketika tak mendapati sosok Lingga di lapangan basket seperti biasa. Bina tahu Lingga sakit hati karena kata-katanya kemarin. Yah, siapa sih yang tak sakit hati jika dibandingkan dan dijelek-jelekan begitu?? Uh, apa ia harus meminta maaf?

Duh, urusan si Lingga nanti dulu, sekarang ada yang lebih penting yang harus ia hadapi!

Sabina tak sabar untuk segera membicarakan hal ini pada Bunda dan Ayahnya. Ia yakin, mereka punya solusi bijak mengenai permasalahan ini.

Tapi, perempuan itu harus menelan kecewa saat lagi-lagi kedua orang tuanya tak berada di rumah, kali ini, mereka mengabarkan sedang otw ke Jakarta untuk melayat saudara Bunda yang baru saja meninggal dunia.

Bina hampir saja merengek ikut dan meminta orang tuanya putar balik untuk menjemputnya, tapi, isak tangis Bunda yang tengah berduka di telfon serta-merta mengurungkan niatnya.

Jadilah, Sabina sendirian dirumah, berguling ke kanan dan ke kiri diatas ranjangnya, gelisah menunggu hari esok tiba. Ia mencoba untuk mengundang kantuk dengan menonton drama turki yang membosankan, tapi, pesan dari Ustadzah Ghania yang muncul tiba-tiba membuat jantungnya kembali berdetak dengan ritme yang mengkhawatirkan—

Ustadzah Ghania
Assalamualaikum Miss B
Besok aku jadi berkunjung ke rumah jam 10 yaa
Terimakasih 🥰

ASTAGFIRULLAHHALADZIM.

Perut Sabina kembali teraduk-aduk. Ia berlari kearah kamar mandi dan langsung memuntahkan makan malamnya diatas wastafel. Air mata mulai bercucuran di pipinya, sementara tangannya yang gemetar hebat mencengkeram sisi wastafel erat.

Takut...

Sungguh, ia takut sekali!

.

.

.

 

***

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Boy Backdoor - Chapter 18,19,20
0
0
Chapter 18 - KabuuuuuurChapter 19 - Curhat (2)Chapter 20 - Bukan bercanda
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan