
Chapter 12 - Pepet terus
Chapter 13 - Curhat
Chapter 14 - Shick-Shack-Shock
CHAPTER 12 - Pepet terus
Jika ada satu hal yang harus Sabina camkan di benaknya, itu adalah Lingga bukan jenis orang yang dapat dipercaya omongannya.
Sejak kecil, entah berapa kali Sabina jadi korban pembodohan tetangganya itu. Mulai dari percaya kalau pohon beringin didepan komplek sudah ditanam dari zaman nabi Musa, sampai percaya kalau Ustadz Anwar, guru ngaji mereka di TPQ*, pernah pergi haji lewat Gua Jepang.
Tapi kali ini, Sabina tak akan lagi percaya dengan mudah omongan yang keluar dari mulutnya. Sori sori. Dia sudah belajar dari pengalaman. Dan bukan lagi orang yang mudah dibodohi.
Jadi, ketika Lingga dengan cengiran isengnya itu mengajaknya berpacaran, Sabina benar-benat tak menganggapnya sebagai hal yang serius. Tembok beton setinggi langit sudah dibangun di sekeliling hatinya, menjaga agar virus baper tak bisa meringsek masuk.
"Nggak mau, ewh."
"Ih, kenapa Bin?"
"Maaf ya Lingga, tipe-tipe aku tuh yang dewasa, pria-pria matang yang beraninya ngajak nikah, bukan pacaran!"
"Ya udah, aku berjemur dulu deh biar jadi pria matang."
Mendengar banyolannya, Sabina memutar bola mata. Tuh kan. Dia cuma bercanda. "Aku bakar aja, mau?? Biar jadi pria gosong sekalian!"
Saat tawa Lingga meledak, Sabina mengambil banyak-banyak potongan coklat yang harganya mahal dan memasukannya kedalam keranjang.
"Nih, bayarin!!" katanya sambil menyodorkan keranjang plastik yang sudah penuh terisi.
"Siap sayang,"
"Ih, najis ah! Jangan panggil gitu!" gerutu Sabina sambil mencubit pinggang Lingga keras-keras.
"Aduh, ampun, ampun!"
"Aku ke fotocopy samping dulu beli kertas origami!"
"Eh, bareng dong, tungguin—"
"Nggak mau, ntar kamu malah kabur nggak jadi bayarin."
"Nggak akan, Bonbin. Rekening aku banyak isinya. Mau lihat?"
Sabina hanya mencibir sambil tetap pergi menuju ke kios fotocopy yang terletak tak jauh dari minimarket, mengabaikan Lingga yang memanggil-manggil namanya.
Tepat setelah ia selesai memilih kertas origami dan beberapa alat tulis baru, Lingga datang menyusul dengan satu tas kain besar ditangan.
"Udah? Berapa? Sini aku yang bayar."
Sebelah alis Sabina terangkat. "Dermawan banget?"
"Iya lah, namanya sama calon istri."
Kali ini, Sabina hanya memutar bola mata, sudah enggan dan tak ada energi untuk meladeni tetangga sintingnya.
"Aku bayar sendiri aja,"
"Teh, bisa QRIS?" tanya Lingga pada kakak penjaga kios, mengabaikan penolakan Sabina.
"Bisa A,"
Sementara itu, Sabina menunggu belanjaannya dihitung dalam diam, dan ketika Lingga benar-benar membayar, ia membiarkan. Namanya rezeki, ngapain ditolak?
"Makasih lho," kata Sabina saat mereka sudah berjalan pulang. Tiba-tiba ia jadi merasa tak enak hati. "Tadi belanjaan di indomaret berapa? 300ribuan nyampe?"
"Mau kamu belanja sampai 3juta juga aku iklas, Bin."
Sabina mendecak. "Sekarang gombal banget ya, aku liat-liat??"
"Cuma sama kamu lho Bin."
"Ya ya ya, terserah."
Lingga tersenyum. Dalam hati, ia merasa sungguh lega karena bisa kembali berinteraksi akrab dengan Sabina. Sungguh. Kali ini ia tak akan membiarkan hubungan mereka kembali merenggang. Pokoknya pepet terusss sampai jadi!
"Jadi guru gajinya berapa Bin?"
"Sopan nanya gaji gitu?"
"UMR Bandung ya?" tanya Lingga lagi, mengabaikan sindiran Bina.
"Nggak, lebih,"
"5 juta ada?"
"Kenapa emang sih?"
"Ya kepo aja Sabinaaa,"
"Ya segituan lah," jawab Sabina sekenanya. "Kenapa? Kamu ada loker dengan gaji dua digit untuk aku?"
"Nggak—eh, ada deh, mau?"
Kali ini Sabina betulan tertarik. Ia mendongak dan menatap Lingga antusias. "Apa kerjanya? Dimana? Jakarta?"
"Disini kok, Di Bandung. Kerjanya jadi istri aku, bulanannya dua digit deh, boleh."
Kali ini, Sabina benar-benar muak. Tangannya kembali terangkat untuk mencubit-cubit pinggang Lingga tanpa ampun.
"Ogah ogah ogah!"
"Aw! Aduh! Ih! Ampun! Sabin!"
Saat Sabina tak ada tanda-tanda untuk berhenti mencubiti pinggangnya, Lingga tak punya pilihan lain selain berlari kabur. Benar-benar kesal, Sabina melepas satu sendalnya dan mengarahkannya pada punggung laki-laki itu, saat lemparannya meleset jauh, Lingga tergelak dan meraih sandal Bina—membawanya kabur.
"Lingga!!!!! Ih!!!! Balikin sendalnya!!!!"
***
"Miss B! Dion ambil pensil aku nggak bilang-bilang!!"
"Aku pinjem bentar sih! Pelit banget!"
Sabina yang tengah berkeliling kelas sambil mengecek pekerjaan murid-muridnya sontak menoleh pada sumber keributan. Di sudut, Alfa dan Dion sudah saling dorong. Tentu saja Alfa yang berpostur lebih kecil kalah telak, tubuhnya menabrak kursi hingga hampir terjerembab di lantai—
"Stop! Kekerasan tidak diperkenankan di kelas ini!" seru Sabina dengan tegas. "Dion, ikut Miss B keluar sekarang!"
Sabina menarik lengan Dion agar mengikutinya keluar kelas. Untung saja, anak bongsor itu tak melawan. Setelah memberikan intruksi pada Hanifa—sang ketua kelas—untuk menjaga situasi kelas agar kondusif sementara ia berbincang dengan Dion, Sabina baru menghadapi anak itu.
"Dion, tadi itu kenapa?"
"Aku cuma mau pinjam pensil Miss!!"
"Sudah izin dulu ke Alfa? Atau kamu main ambil saja barangnya?"
"Ah elah Miss! Cuma pinjem bentar doang, lagian si Alfa pelit banget sih!"
Sabina menggeleng. "Meskipun sebentar, tetap saja itu barang kepunyaan orang lain. Izin itu penting, Dion. Coba kalau barang kamu yang sembarangan diambil orang, emang kamu nggak apa-apa?"
"Ya nggak apa-apa Miss! Ambil aja! Aku nggak pelit kok orangnya!"
Sabina menepuk pelan pundak anak bongsor itu. "Nah. Itu dia. Kita nggak bisa anggap orang lain sama dengan kita. Dion bisa aja nggak tersinggung barangnya dipinjam tanpa izin, tapi orang lain belum tentu. Jadi memang paling benar—kita izin dulu sama yang punya."
Dion cemberut. "Dia nggak akan bolehin aku pinjam Miss! Semuanya di kelas itu nggak ada yang baik sama aku!"
Deg. Sesaat, Sabina tertegun mendengarnya. Percakapannya dengan Lingga kemarin terngiang. Apa jangan-jangan anak ini kesepian karena nggak punya teman ya? Makanya dia caper dengan cari masalah?
"Nggak masalah kalau dia nggak bolehin, itu kan emang barangnya dia. Kita nggak bisa maksa." kata Sabina. "Kamu bisa pinjam pensilnya Miss B, kalau kamu izin dengan baik, pasti Miss pinjamkan kok!"
Dion hanya terdiam dengan muka tertekuk. Sabina kembali menepuk pundaknya pelan. "Jadi udah jelas ya? Harus selalu izin baik-baik apabila ingin pinjam barang teman. Dan semisal dia nggak kasih izin untuk pinjamkan, kita nggak boleh maksa. Mengerti?"
"Iya, Miss."
"Okeh! Yuk kita masuk kelas lagi! Miss B mau adain games seru habis ini, yang menang bakalan dapat hadiah lho!!"
***
Minggu pertama Dion di kelas 4 Umar bin Khattab berlalu tanpa ada masalah yang berarti. Sebenarnya, jika diperhatikan, anak itu punya karakter yang cenderung pendiam. Dalam hal pelajaran juga, ia mendengarkan pemaparan materi dengan baik dan mampu menangkap apa yang diajarkan dengan cepat.
Yang Sabina nilai selanjutnya adalah, Dion sulit untuk berbaur dengan teman sebayanya—dan ketika mencoba, ia cenderung menjadi agresif pada sekitar, hingga membuat orang lain tak nyaman dan memilih untuk menjaga jarak. Keributan kecil selalu terjadi ketika ia terlibat dalam kegiatan berkelompok, entah itu karena berebut barang atau perbedaan pendapat.
Hal itulah yang menjadi PR Sabina sebagai guru. Bagaimana cara ia dapat mengarahkan anak didiknya untuk berubah jadi lebih baik. Dan Sabina tahu, mewujudkan perubahan itu tak bisa instan.
Awalnya, Sabina merasa frustasi, tapi, entah kenapa sekarang tantangan ini justru jadi hal yang menarik sekali untuk dihadapi. Ia sungguh berharap, ia bisa jadi sosok guru yang berhasil menjadi seorang pendidik.
"Dion gimana Miss B?"
Sabina yang sedang bersiap untuk pulang menghentikan aktivitasnya saat Ustadzah Ghania datang dan duduk di kursi kosong disampingnya.
"So far ok banget kok, menurutku Dion itu bukan anak bermasalah, cuma kurang dipahami aja anaknya."
"Iya ya Miss? Aku juga setuju. Dia termasuk anak yang pintar juga kan?"
Sabina mengangguk setuju. "Bener Ustadzah, kalau ada guru pasti dia selalu fokus perhatikan materi."
"Berarti tepat ya, Pak kepala sekolah pindahin Dion ke kelasnya Miss B." ujar Ustadzah Ghania sambil tersenyum. "Miss B orangnya kan lembut banget, pasti bisa meluluhkan hati anak manapun."
Mendengarnya, Sabina tertawa. "Haissssh mana ada begituu."
"Eh, Miss B, udah punya pacar belum?"
Pertanyaan itu sontak membuat Sabina terbelalak. Ia melirik ke kanan dan ke kiri, mengecek situasi. Eh. Aneh banget nih Ustadzah. Mana ada guru SDIT boleh pacaran? Apa ini pertanyaan jebakan? Secara Ustadzah Ghania adalah menantu dari pemilik yayasan SDIT ini. Please lah. Dia belum siap kalau harus didepak dari pekerjaannya saat ini.
"Nggaklah, aku maunya langsung di halalin." sahut Sabina, memilih untuk cari aman.
"Oh... udah nyoba taaruf gitu?"
"Hmm untuk saat ini sih belum yaa." Bina menatap was-was perempuan cantik berhijab lilac dihadapannya. "Kenapa emangnya Ustadzah..? Kok topiknya tiba-tiba begini, jadi grogi aku."
Tawa merdu Ustadzah Ghania terdengar. "Nggak apa-apa, aku cuma penasaran doang kok! Maaf ya, random banget."
"Oh... kukira mau kenalin orang."
Sungguh, niatan Sabina bercanda saja. Tapi, tiba-tiba Ustadzah Ghania menatapnya dengan sorot berbinar.
"Tipenya Miss B yang kayak apa? Kalau yang kayak suamiku, suka nggak?"
Sabina mengerjap. Bjiiiirrr. Ini pertanyaan jebakan lagi kah..?? Kalau Bina jawab tak suka, nanti dikiranya ia sombong dan mencela—tapi semisal ia menjawab suka, apa nggak bahaya??
"Ustadzah... sumpah... pertanyaannya menjebak banget."
"Ihhh menjebak apanyaa?"
Sabina menggeleng. "Yaa pokoknya yang baik dan sholeh—ganteng dan kaya, itu udah cukup banget buat aku."
"Itu aja?"
"Eh—yaa itu aja sih..."
Ustadzah Ghania tersenyum lebar. "Okay!"
Sabina mengernyit, apa pula maksud dari nada 'okay' nya yang riang itu?
Suara petir menggelegar disertai hujan yang tiba-tiba turun deras mengalihkan perhatian kedua guru muda itu. Mereka sama-sama mendekati jendela untuk memerhatikan keadaan diluar.
"Waduh, lupa! Sepatuku tadi dipinggir lapangan!" seru Ustadzah Ghania, dengan langkah tergesa ia beranjak keluar ruang guru.
Sabina kembali ke mejanya untuk mencari-cari payung, tapi benda itu tak berada dimanapun. Sejenak kemudian ia teringat kalau payungnya sempat dipinjam oleh salah seorang murid dan belum dikembalikan sampai saat ini.
Baru saja Sabina berniat untuk duduk sambil scroll social media, menunggu hujan reda. layar handphonenya menyala—
Ada telfon dari nomor tak dikenal.
Ralat, bukan nomor tak dikenal. Lebih tepatnya nomor yang sengaja tak Sabina simpan di kontak handphonenya.
Sabina menunggu agar telfonnya mati sendiri, tapi saat orang gila itu terus saja menelfon, ia akhirnya menekan tombol hijau yang muncul terus di layar—
"Apaaaaaaa??"
"Assalamualaikum dulu bu guru."
"Waalaikumsalam, apaaaaa?"
"Aku di parkiran deket perpus, mobil civic hitam."
Kelopak mata Sabina melebar. "Hah?? Ngapain??"
"Jemput kamu, kan hujan Bin."
"Ngapain, Lingga??? Nggak usah jemput-jemput segala! Aku nunggu reda aja!"
"Ih, hujan kayak gini mah lama redanya, lihat aja langitnya mendung banget."
"Ya terus kenapaaaaaa?? Udah sana pulang!!"
"Aku bawain payung ya? Kamu dimana? Ruang guru kan? Dari sini pintunya kelihatan."
"Lingga!!!! Jangan kesini!!! Anj—Astagfirullah, Lingga!!!" Bina mendesis menahan emosi. "Aku tuh guru SDIT, apa kata orang kalau lihat aku sepayung sama cowok yang bukan suami??"
"Yaudah, kapan atuh mau resmi jadi suaminya?"
Sabina memutar bola mata, lelah. "Nggak bakalan!"
"Ih, Sabina, ngomong yang baik-baik dong, masa gitu??"
"Ck, iyaaa iya, aku tutup!! Sana pulang!!"
Begitu saja, Sabina menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan. Ia kembali celingukan, mengamati sekitar, takut-takut tadi ada yang mendengar percakapannya. Bisa gawat reputasinya kalau ada yang menguping tadi!
Beberapa detik kemudian, rentetan pesan WhatsApp masuk ke handphonenya—
+6285299667xxx
Aku tungguin di parkiran yaaa
5 menit nggak muncul aku jemput di ruang guru lho
😍
Sabina melotot menatap layar.
ASTAGANAGA LINGGA!!!!!
***
*TPQ : Taman Pendidikan Al-Quran, semacam sekolah ngaji buat anak-anak, biasanya diadain sore di masjid
CHAPTER 13 - Curhat
Tergesa, Sabina menyusuri koridor menuju ke gedung perpustakaan yang berjarak sekitar 20 meter dari ruang guru. Bagian bawah gamisnya basah terkena cipratan air hujan yang memang sedang turun begitu deras. Suara petir yang bersahutan membuat kuduknya bergidik ngeri. Sekarang masih jam 2 siang, tapi langit begitu gelap seolah sebentar lagi masuk waktu malam.
Dibawah parkiran mobil berkanopi, Sabina bisa melihat satu mobil civic hitam terparkir diantara mobil lain. Suara dengung mesin mobil yang dibiarkan menyala baru terdengar ketika Bina sampai disamping pintu penumpang—
Tanpa berpikir dua kali Sabina membuka pintu bagian belakang dan langsung masuk.
"Ih, Sabin, duduk depan lah." protes Lingga.
"Nggak mau! Ntar kalau kelihatan guru lain terus aku ditanya-tanya bahaya, Lingga."
"Siapa juga yang mau tanya-tanya sih? Orang nggak ada siapa-siapa."
Sabina mendecak. "Ya udah sih, nggak ada bedanya aku duduk disini atau didepan. Kan deket juga jaraknya."
Lingga menghela napas, kali ini terpaksa mengalah. Akhirnya, ia melajukan mobilnya keluar lingkungan sekolah.
"Langsung pulang ya, Lingga."
"Aku laper Bin, anter beli makan dulu ya?"
"Ish! Tuh kan! Aku tau kamu pasti ada maunya."
"Dirumah aku sendirian, Bin. Si Mama sama Papap lagi pergi dari kemarin. Aku belum makan dari pagi tau nggak..." cerita Lingga sambil memasang tampang memelas. "Masa nggak kasihan sih?"
Bina memutar bola mata. "Sekarang ada yang namanya layanan gofood, Lingga."
"Aku nggak keingetan, dari tadi sibuk depan laptop. Lagian kasihan mang ojolnya atuh kalau nganterin makanan pas hujan deras gini." Lingga menatap Bina melalui spion tengah. "Temenin cari makan ya?"
Bina menghempaskan punggungnya di jok mobil, pasrah. Lagipula, mau menolak pun, ia rasa akan percuma. "Terserah lah."
"Ih, yang iklas dong bu guru, masa kayak terpaksa gitu?"
"Emang!!"
Tapi, bukannya merasa tak enak hati, Lingga malah cengengesan senang. Sejak bangun tidur, ia sudah tak sabar menunggu momen bertemu kembali dengan Sabina. Meskipun disuguhi ekspresi prengat-prengut, tak apa—itu sudah lebih dari cukup untuknya.
"Bin, sini sih kedepan, susah mau lihat muka kamu kalau gini."
"Lihatin jalan, bukan muka aku!"
"Ish ish, galaknya bu guru."
Sabina tak menggubris dan memilih untuk membuka sosial media di handphonenya. Bukan apa-apa, ia betulan lelah. Jiwa introvertnya meronta-ronta untuk didengarkan. Sekarang, yang ia inginkan hanyalah mandi air hangat dan leyeh-leyeh di kasur—bukannya kembali meladeni tingkah tetangga belakang rumahnya ini.
Mobil melaju pelan membelah jalanan diantara hujan deras. Lingga lapar, tapi ia juga tak tahu ingin makan apa. Saat tatapannya menangkap plang besar dipinggir jalan yang menandakan suatu restoran fast food, ia langsung membelokan mobil dan masuk ke jalur drive thru.
"Mau pesen apa Bin?"
Sabina mengangkat pandangannya sejenak. "Nggak usah deh."
"Cheese burger, apa nasi ayam?"
Bina hendak menolak lagi, tapi mendadak air liurnya berkumpul dimulut. Eh. Kok cheese burger kayak yang enak ya?
"Cheese burger aja deh—yang paketan aja Ga, aku minumnya ganti cafe latte ya, nanti aku ganti uang kamu."
"Nggak usah diganti segala, beb."
Sabina mendesis kencang mendengar panggilan itu. Sumpah ya. Si Lingga ini. Benar-benar deh.
Setelah menuntaskan transaksi dan mendapatkan pesanannya, Lingga memarkir mobilnya di halaman belakang restoran. Menyadari itu, alis Sabina berkerut.
"Mau makan disini?"
"Iya, bentar ya, sueeeerrr aku laper banget."
Secepat kilat, Lingga beringsut ke kursi belakang mobil melalui celah antar jok. Sabina melongo saat tubuh besar lelaki itu tiba-tiba memenuhi bagian kosong disampingnya.
"Ya ampun, Lingga, ngapain sih??" protes Sabina saat ia sudah pulih dari keterkejutan.
"Ya kamu disuruh kedepan nggak mau."
Kepala Sabina menggeleng tak habis pikir. "Kamu tuh beneran kayak monyet tau nggak? Lompat sana-sini luwes banget!"
Lingga tergelak. "Aku dipanggil monyet sama kamu seneng aja kok Bin, nggak tersinggung sama sekali,"
Bina bergeming, lalu menggeleng pelan. "Tapi nggak boleh—Ibu bilang aku nggak boleh panggil orang lain pakai sebutan hewan, nggak baik."
Lingga menatap lurus perempuan disampingnya. Topik tentang almarhumah Ibu Sabina yang tiba-tiba dibawa memantik simpati di hatinya. "Gitu?"
"Iya, Ibu denger aku panggil kamu Nyet, terus langsung ditegur malemnya." cerita Sabina sambil tersenyum sedih. "Makanya aku berhenti manggil kamu monyet, kalau kamu notice."
"Hmm, anak baik ya, nurut sama Ibu."
Sabina terdiam saat Lingga menepuk kepalanya pelan. Ih. Kok dia jadi kepingin nangis ya? Bertahun-tahun terlewati, tapi Bina selalu merasa melow setiap mengingat almarhumah Ibunya. Tak seharipun berlalu tanpa Bina merasa rindu.
Menyadari atmosfir yang berubah jadi sendu, Lingga meraih paper bag berisi makanan mereka dari jok depan. "Dah, jangan nangis. Nih, makan, mumpung masih hangat, aku juga beliin es krim kesukaan kamu tuh."
Sabina mengerjap untuk mengenyahkan air mata yang hendak luruh. "Makasih Ga,"
"Nggak usah makasih segala, Bonbin. Makan! Makan yang banyak! Kalau habis ini masih laper, kita jajan lagi."
Sudut bibir Sabina terangkat menyadari perhatian Lingga. Perasaan sedih yang barusan ia rasa menguap seiring dengan gigitan pada cheese burger yang entah kenapa terasa begitu lezat. Sesaat kemudian, kedua muda-mudi itu sibuk mengunyah, diiringi dengan lagu-lagu dari playlist Spotify milik Lingga.
"Emangnya kopi enak, Bin?" tanya Lingga saat melihat Sabina menyesap kopinya begitu nikmat.
"Enak lah, kamu emang nggak minum kopi?"
"Nggak. Menurut aku rasanya nggak enak. Mending teh."
"Itu karena kamu nggak terbiasa." sahut Bina. "Aku jadi kebiasa minum kopi semenjak kerja di Jakarta."
"Emang Di Jakarta kenapa sih Bin?."
Sabina mengumpulkan sampah makanannya pada paperbag yang kosong, lantas mengelap tangannya dengan tisu basah yang ia bawa. "Yah gitu deh, sedih kalau diceritain—"
"Ish, cerita ke aku atuh, aku penasaran."
Bina mendecak. "Pokoknya lingkungannya toxic banget. Atasan aku kerjanya marah-marah terus, mana suka pakai bahasa kasar. Pernah aku dikatain anjing babi, cuma gara-gara aku salah kirim dokumen gitu... terus, temen kerja aku juga backstabber semua, suka fitnah aku yang nggak-nggak, padahal kamu tau kan, aku orangnya lurus-lurus aja? Pokoknya aku udah hampir gila deh, kerja disana."
Kening Lingga berkerut dalam mendengar cerita Sabina. "Ya ampun, kasihan... lagian kamu kok nggak langsung apply jadi guru aja? Malah ke perusahaan nggak jelas begitu."
"Ya namanya fresh grad, semuanya di lamar. Kebetulan disana nyantolnya. Aku nyoba aja sih awalnya—nggak nyangka bakal zonk segitunya." cerita Sabina. "Lagian apply jadi guru juga nggak semudah itu tau. Ini hoki aja aku dapat referral dari Bu Yani buat kerja di SDIT."
"Bu Yani istrinya Pak RW ya?"
Sabina mengangguk dan mulai memakan eskrimnya. "Kan Bu Yani udah lama kerja di bagian Tata Usaha Permata Hati."
"Iya, udah kamu jadi guru aja, nanti habis kita nikah kalau mau lanjut ngajar juga aku izinin."
Sabina memutar bola matanya. "Terus aja ngimpi, mumpung gratis!"
Mendengar respon sinis itu, Lingga terkekeh geli.
"Eh, lap tangan kamu pakai tisu basah, jangan pakai tisu kering doang, nggak bersih—" Sabina menarik dua lembar tisu basah dan menyerahkannya pada Lingga. "Nih."
"Makasih ya, perhatian banget, jadi tambah sayang."
"Istigfar sih, Lingga."
"Astagfirullahaladzim..."
Sabina menggeleng pelan, lelah dengan tingkah tetangganya yang begitu-begitu saja.
"Eh, ini baju yang dibeli di mall kemarin kan?" Lingga menunjuk gamis berwarna khaki yang Sabina kenakan dengan dagunya. "Bagus."
Sabina mengerjap kaget. "Kok tahu??"
"Iya, kan aku sempet lihat itu tas belanjaan isinya apa. Bagus nih, daripada warna tua, kamu bagusan pakai warna earthtone gini."
Mendengar kata earthtone, Sabina sontak mendengus geli. "Berlagak pengamat fashion kah bapak ini?"
"Terus hijabnya cantik yang rapi begini, daripada yang lehernya kelihatan itu."
Kali ini, Sabina tergelak. "Emang iya?"
"Eh, tapi kamu mau pakai apapun juga cantik deng Bin. Apalagi kalau sering-sering senyum gini—beuuuuh damage-nya nggak main-main."
"Mulaaaai mulai."
Lingga tersenyum lebar saat melihat perempuan disampingnya nampak begitu santai bercanda tawa dengannya. Nah. Ini kemajuan yang bagus untuk hubungan mereka kan?
"Kamu kerja di perusahaan sekarang udah lama?" tanya Sabina, sengaja mencari topik agar tak ada keheningan canggung yang tercipta. Sabina bukannya tak sadar akan situasi mereka yang sedang berduaan saja didalam mobil dengan background hujan deras dan lagu-lagu romantis—hanya saja ia mati-matian berusaha bersikap cuek.
"Baru setahunan kok, sebelumnya aku di e-commerce gitu, cuma kena lay off."
Bina mengangguk-angguk. "Gaji kamu sekarang berapa?"
Sudut bibir Lingga kembali terangkat mendengar pertanyaan itu. "Kenapa emangnya?"
"Kamu kemarin nanya gaji aku, ya sekarang gantian dong!"
"Hmm aku masih di angka belasan sih, doain ya, biar bisa naik terus karir aku."
"Aamiin. Tapi dapet belasan di umur segini udah alhamdulillah banget nggak sih? Banyak-banyak bersyukur, Lingga!"
"Iyaaa, alhamdulillah, aku bersyukur banget kok bu guruuuu,"
"Terus ini mobil siapa?" Sabina mengedarkan pandangannya pada interior mobil. "Seinget aku mobil keluarga kamu innova, apa udah ganti?"
"Innova masih ada, sekarang lagi dipakai ortu aku pergi. Yang civic ini patungan aku sama si Papap,"
"Hmm... pasti dinamain juga ya, mobilnya?"
Lingga nyengir lebar. "Pastilaaaah."
"Apa namanya?"
"Zoro. Keren kan?"
Sabina mendecak. "Lebih pantes dikasih nama Ujang, sok-sok-an banget Zoro."
Mendengarnya, Lingga tergelak. Mau mengakuinya atau tidak, selera humornya dan Bina itu memang setara recehnya.
"Ada lagi nggak, yang mau ditanyain? Sebelum kita lanjut ke jenjang lebih serius nih,"
Sabina menghela napas panjang, entah untuk yang keberapa kalinya hari ini. "Lingga... udah sih, gitu mulu bercandanya, cari pacar beneran sana!!"
Lingga mengernyit, kedua tangannya bersidekap menghalau udara dingin yang berembus dari AC yang dibiarkan menyala. "Ih, aneh kamu mah, masa nyuruh aku nyari pacar sih? Orang aku maunya sama kamu."
"Halah," Sabina lagi-lagi memutar bola mata. "Dibilang tipe aku yang umurnya lebih tua!"
"Ish, Sabin, aku kan lebih tua 5 bulan dari kamu,"
"Apaan 5 bulan? Minimal beda 5 tahun tuh, baru aku mau!"
Lingga mendecak tak terima. "Kamu nonton apa sih? Sampai tipenya jadi aki-aki gitu??"
"Aki-aki apanya? Aku bilang beda 5 tahun, bukan 50 tahun!"
Lingga merengut, jelas tak setuju dengan gagasan itu. Kalau tipenya Sabina merujuk soal tampilan atau sifat, Lingga masih bisa berusaha. Tapi kalau umur... bisa apa dia??
***
CHAPTER 14 - Shick-Shack-Shock
.
"Orang banyak yang mau sama berondong, kamu kenapa malah mau sama aki-aki Bin?"
"Lah, ya terserah aku lah."
"Ish, Sabinaaaa. Nggak boleh gitu ah."
Mendengar nada merajuk itu, Sabina jadi kelepasan tertawa. "Kok malah kamu yang ngatur?"
"Aku nggak bisa apa-apa kalau mainnya umur, Sabina.."
Saat itulah handphone Sabina berdering. Bundanya menelfon menanyakan apakah ia mau dijemput dengan mobil karena hujan yang tak kunjung reda.
"Bina pulang dijemput Lingga Bun."
"Lho? Kok bisa?"
"Kebetulan lewat aja si Lingga, habis nyari makan dia. Sekalian bareng deh." jawab Bina, entah kenapa malah berbohong seperti itu.
"Gitu, ya udah cepet pulang ya, jangan mampir-mampir soalnya banjir dimana-mana."
"Oke Bun, ini udah mau pulang kok."
Sabina mengernyit heran saat tanpa kata Lingga kembali ke kursi pengemudi, dan langsung menjalankan mobilnya keluar dari parkiran restoran.
Sepanjang perjalanan, tak seperti biasanya, laki-laki itu diam.
"Lingga, kamu kenapa?" tanya Sabina akhirnya, jengah karena merasa didiamkan.
"Kenapa apa?"
"Tumben diem."
"Hm."
"Nahan beol ya?"
"Nggak."
Sabina mengernyit. Dih, kenapa pula si tengil ini?
***
Sampai Sabina diantar ke rumah, Lingga benar-benar tak merecokinya lagi. Ucapan terimakasih yang Bina utarakan juga hanya dibalas 'sama-sama' yang terkesan dingin.
Awalnya, Bina ingin bersikap bodo amat, tapi entah kenapa, ia jadi kepikiran sendiri. Apalagi setelahnya, di akhir pekan, batang hidung Lingga tak muncul sama sekali di radar penglihatannya. Padahal, Sabina sudah kegeeran akan diganggu oleh tetangganya seperti kemarin-kemarin—
Handphone Sabinapun sepi, tanpa ada notifikasi WhatsApp dari nomor Lingga, yang baru kemarin Bina simpan dengan nama 'Lingga 🐒'. Bukannya dia berharap sih—eh, apa sebenarnya berharap?
Sabina menggeleng, lantas membenturkan keningnya keatas meja belajar agar dapat berpikir jernih. Bukannya malah bagus ya kalau si Lingga itu tak merecokinya lagi??
Tapi masa sih, dia ngambek gara-gara Sabina bilang suka laki-laki yang lebih tua?? Aneh ah..
Atau karena apa?? Sabina berusaha berpikir dan tak menemukan hal lain yang sekiranya bisa membuat Lingga marah.
Tapi kenapa pula si Lingga mesti marah?? Memangnya dia serius punya perasaan dengannya?? Ah, Sabina sangsi berat akan hal itu. Ia kapok membiarkan dirinya jadi pihak yang baper duluan. Buru-buru Bina mendatangkan truk molen untuk menambal cor-coran tembok yang mengelilingi hatinya agar tak bisa dijebol.
Sadar, Sabina!
***
Di sisi lain, Lingga bukannya tak ingin merecoki akhir pekan Sabina—tapi tak bisa. Tiba-tiba, di malam Sabtu, bosnya menelfon dan meminta Lingga untuk datang ke Jakarta saat itu juga karena ada masalah mendadak yang perlu investigasi data secara real-time.
Jadilah Lingga menghabiskan waktu akhir pekannya yang berharga di kantor, bersama dengan rekan kerjanya yang lain.
Kesibukannya sama sekali tak memberikan Lingga kesempatan untuk membuka handphone. Ia terus-menerus berada di depan komputer, dan sekalinya ada kesempatan untuk beristirahat, ia akan menggunakan waktu itu untuk makan, tidur ayam, ke toilet, atau sholat, lalu lanjut bekerja lagi. Begitu terus, sampai bug teratasi dan server game kembali bisa berjalan secara normal.
Lingga baru ada tenaga untuk menyetir kembali ke Bandung di hari Kamis pagi, setelah tepar dan berakhir tidur di atas bean bag kantor selama 12 jam seperti orang mati.
Bagaimana perasaannya sekarang? Jangan ditanya. Ia kangen berat dengan Sabina.
Meskipun Lingga memang sempat ngambek karena Sabina keukeuh ingin dengan aki-aki, tapi itu tak melunturkan semangatnya untuk meluluhkan hati perempuan itu—masa iya ia menyerah hanya karena hal sepele begitu? Maaf maaf Lingga tak se-cemen itu.
Lagipula, si Sabina itu harusnya diberi pengertian kalau perbedaan usia harusnya tak jadi tolak ukur dalam memilih pasangan hidup, tapi chemistry. Dan Lingga yakin 100% kalau mereka itu cocok satu sama lain. Ya kan? Pokoknya harus iya.
Lingga melirik ke layar handphonenya yang menunjukan pukul 11.05. Sejak tadi, ia ingin sekali menelfon Sabina, tak sabar untuk kembali mendengar suaranya yang lucu, tapi, saat ini perempuan itu pasti sedang sibuk mengajar di sekolah, bisa kena semprot Lingga kalau nekat menelfon!
Sudut bibir lelaki itu terangkat saat ekspresi prengat-prengut Sabina tergambar jelas di benaknya. Ia meremas-remas setir dengan gemas, seolah itu pipi gembulnya Sabina. Duh, kangennya...
Sabaaaaar. Sabar Lingga. 4 jam lagi!
***
"Kelas 4 Umar!! Semangat!!"
Sabina tak henti bersorak disamping lapangan, menyemangati the krucils yang sebentar lagi akan lomba tarik tambang. Minggu ini pekan kreatifitas dan olah raga di sekolah, dimana berbagai macam lomba seru diadakan setiap harinya. Untuk hari ini, lomba yang diadakan ada tarik tambang, lari pasangan, lomba bakiak dan balap karung.
Senyum Sabina mengembang saat melihat Hanifa, sang ketua kelas dengan lugas mengarahkan teman-temannya. Dion, yang turut menjadi peserta tarik tambang tampak memerhatikan Hanifa dengan seksama.
Sabina sungguh senang. Berkat perlombaan ini, Dion mulai bisa berbaur dengan the krucils. Tubuhnya yang bongsor jadi nilai plus saat mengikuti lomba-lomba yang melibatkan kekuatan fisik. Kemarin saja, kelas mereka terus menang hingga berhasil masuk ke final lomba estafet karena lari Dion yang super cepat.
"Mana yel-yelnya? Ayo kita yel-yel lagi biar teman-teman yang lomba pada semangat!" seru Sabina, yang langsung ditanggapi seru oleh the krucils.
Sesaat kemudian, sesuai dugaan, kelas 4 Umar bisa memenangkan perlombaan tarik tambang sesi pertama dengan mudah, begitupun dengan sesi kedua, ketiga dan keempat. Kemenangan yang terus mereka raih membawa mereka pada sesi final, yang akan diselenggarakan besok.
"Kalian hebat banget!!! Siap-siap ya buat besok, makan yang sehat, tidur yang cukup, biar tenaganya maksimal!" seru Sabina dengan antusias.
"Dion hebat Miss, tarikannya kuat banget!" puji Hanifa. "Untung dia masuk ke kelas kita ya!"
Dion yang mendengar hal itu mesem-mesem salah tingkah.
"Iya, aku tadi sempet kepeleset, untung sama si Dion ketahan tuh talinya." cerita Salfa.
"Iya, Miss lihat, kerjasama team kalian emang TOP banget! Bangga Miss lihatnya!"
Selepas sholat dzuhur berjamaah, siswa sudah diperkenankan untuk pulang. Sementara itu, Sabina harus menghadiri rapat wali kelas, yang membahas hal-hal strategis dan operasional yang berhubungan langsung dengan pengelolaan siswa di kelas, baik dari sisi akademik, karakter, hingga komunikasi dengan orang tua.
Melalui rapat itu pula, diputuskan Dion akan lanjut dibimbing di kelas 4 Umar bin Khattab.
"Miss B, kalau punya anak, pasti jadi Mama hebat."
Pujian random yang dilontarkan Ustadzah Ghania membuat Sabina terkekeh geli.
"Ustadzah Ghania juga dong! Pasti jadi Mama hebat yang disayang banget sama anak, secara Ustadzah kan baik banget."
Perempuan itu duduk disamping Sabina yang tengah membereskan barang-barangnya, bersiap pulang.
"Miss B, aku mau curhat boleh nggak?"
Menyadari raut sedih pada wajah Ustadzah Ghania yang biasanya ceria, Sabina menghentikan pergerakannya. "Boleh banget dong... kenapa?"
Sejenak, perempuan itu menengok ke kanan dan kiri, mengecek keadaan sekitar. Saat yakin diruang guru itu tak ada siapapun selain mereka, ia baru berani angkat bicara.
"Kata Dokter, aku mandul..."
Sabina mengerjap, cukup syok dengan informasi yang baru ia terima.
"Makanya sampai sekarang aku belum punya anak..." sebulir air mata jatuh, dan langsung diseka oleh Ustadzah Ghania dengan ujung hijabnya. "Duh, malah jadi nangis, maaf Miss, entah kenapa hari ini rasanya melow banget.."
Tanpa ragu, Sabina merengkuh perempuan cantik disampingnya erat. "Nggak apa-apa Ustadzah, wajar kalau sedih," ucapnya pelan.
Sesaat kemudian, Ustadzah Ghania terisak hebat dalam pelukan Sabina. Sekuat tenaga Sabina menahan agar tak ikut menangis. Hatinya seolah ikut tercabik. Uh. Kenapa ujian orang baik seperti Ghania ini seberat itu??
"Duh, kok aku j-jadi nangis heboh gini yah..? Maaf, Miss.."
Sabina mengambil beberapa lembar tisu dari atas mejanya, lantas menyeka lembut pipi Ustadzah Ghania yang kini merah merona.
"Nggak apa-apa, keluarin aja, biar lega..."
"Aku—aku tahu, Mas Adam tuh—harus punya keturunan, nggak bisa nggak."
Sabina diam mendengarkan sambil menggenggam tangan Ustadzah Ghania.
"Miss tahu kan? Dia itu penerus yayasan... orang tuanyapun udah mendesak untuk dia menikah lagi biar punya anak." cerita perempuan itu begitu sedih. "T—tapi aku nggak bisa bayangin dimadu sama perempuan yang nggak kusuka—"
"Iya, aku paham, pasti bakal berat banget jalaninnya..."
"T-tapi, kalau sama Miss B, aku mau.."
Sabina mengerjap. Apa?
"Aku—udah mikirin hal ini dari lama." giliran Ghania yang mengeratkan genggamannya pada Sabina. "Miss B, mau nggak, jadi madu di rumah tanggaku?"
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
