
Chapter 6 - Salah paham Sabina
Chapter 7 - Awal mulanya (1)
Chapter 8 - Awal mulanya (2)
CHAPTER 6 - Salah paham Sabina
Alis tebal bak ulat bulu milik Lingga menukik tajam.
Kenapa tiba-tiba yang disebut Pevita Pearce?
Sekuat tenaga, Sabina melerai genggaman tangan mereka, lantas langsung memasukan tangannya kedalam saku cardigan yang ia kenakan.
"Udah kan?? Jadi mau anter pulang nggak? Besok aku masuk pagi, upacara!"
Lingga menatap perempuan dihadapannya dengan heran. "Kenapa tiba-tiba pevita pearce deh?"
"Ya pikir aja sendiri coba!! Udah ah, aku mau naik ojol aja kalau kamu lama!!"
Bak pencopet handal, Lingga merampas handphone yang baru Bina rogoh dari tas dan kembali menggenggam tangannya.
"Eh, eh!" Bina hanya bisa tergagap saat tetangga kurang ajarnya itu kembali menariknya untuk berjalan.
Duh! Dari dulu selalu begini, Sabina selalu jadi korban pemaksaan Lingga. Laki-laki itu selalu punya ribuan cara agar Bina mau mengikuti segala keinginannya. Saat mereka kelas 4 SD, pernah Bina sampai dimarahi Pak RT karena ikut-ikutan maling mangga bersama dengan Lingga. Padahal, ia terpaksa ikut memanjat pohon karena takut aib suka mengompolnya akan disebar oleh laki-laki sialan itu. Ish. Kalau diingat Bina jadi emosi sendiri.
Tak lama kemudian, mereka sampai di parkiran basemen.
"Aku ambil helm dulu, bentar."
"HP aku mana??"
"Disita."
Bina menghentakkan kakinya frustasi. Dengan sorot penuh dendam ia memerhatikan sosok Lingga yang sedang mengambil helm di tempat penitipan yang terletak tak jauh dari posisi mereka. Sesaat kemudian, ia kembali dengan dua helm ditangan.
"Nih, pake yang bener."
Ogah-ogahan Bina menerima helm putih itu . "Motornya dimana?"
"Ya yang ini."
Bina melotot saat Lingga menepuk motor kawasaki ninja berwarna hitam disamping mereka. "Yang bener aja Lingga! Aku duduk dimana??"
"Ya di belakang lah, kalau duduk didepan aku nggak kelihatan ntar."
"Bukan gitu! Ini sempit banget joknya! Kenapa nggak pakai vario aja sih? Sengaja ya biar kita duduknya mepet-mepet??"
Sebenarnya, Lingga sama sekali tak berpikir kearah sana. Baru saja tadi pagi motor kesayangan yang ia beri nama Zizi ini sampai dari Jogja. Ia cuma ingin memamerkan Zizi pada Sabina, itu saja sih.
"Taruh aja tas belanjaannya ditengah-tengah, kalau nggak mau nempel."
"Aku naik ojol aja Lingga."
"Naik, Sabina. Kalau nggak naik aku jual iphone kamu ya."
"Ih! Dasar mental maling!!"
Sabina terpaku saat melihat Lingga memakai helm fullfacenya. Jantungnya berdebar-debar secara abnormal. Anjirrrrr emang boleh ya si Lingga kelihatan sekeren ini??
Cepat-cepat Sabina memakai helm agar tak berpikir melantur. Sekarang yang penting cepat pulang deh!
"Hati-hati naiknya."
Sabina terperanjat saat mendengar suara Lingga begitu dekat ditelinganya.
"Eh? Ini ada micnya ya helmnya??"
Lelaki itu tertawa. "Interkom namanya. Keren kan?"
Bina mengangguk. "Suara aku juga kedengeran jelas?"
"Iya."
"Lingga bloon." Bisik Sabina, yang langsung disambut dengan jitakan di helmnya oleh Lingga.
"Emang boleh ya, bu guru ngata-ngatain orang begitu?"
Bina memutar bola mata. Ia menatap jok motor ninja yang miring itu dengan malas. Udah sempit, nggak ada pegangan belakangnya pula!
"Aku naik ya."
"Hati-hati."
Saat Bina menyentuh pundaknya sebagai tumpuan, Lingga tak dapat menahan senyum kemenangan dibalik helmnya. Untung saja tadi ia bersegera mandi dan menyusul Bina ke mall!
Bina menjadikan tas belanjaannya sebagai pembatas antara dadanya dan punggung Lingga, lalu, karena tak ada pilihan lain, ia melingkarkan tangannya di pinggang laki-laki itu. Ia juga takut terjungkal dan jatuh ke aspal kalau tak pegangan dengan benar.
Meskipun sentuhan mereka terhalang jaket kulit tebal, Lingga tetap merasa hangat menjalari hatinya. Ini bukan kali pertama ia membonceng Sabina. Tapi entah mengapa kali ini rasanya sungguh... berbeda.
"Lingga, nggak usah ngebut ya."
"Iya sayang, nggak akan."
"Sayang, sayang! Dasar playboy cap kapak!"
Lingga tertawa mendengar umpatan Sabina . "Bin, jelasin kenapa tiba-tiba Pevita Pearce?"
Sabina merasa perutnya mulas karena topik itu kembali dibahas. "Fokus nyetir aja bisa?"
"Jawab aja, Sabina. Biar masalah kita cepet kelar. Kebiasaan menghindar jangan dipelihara atuh."
Bina memilih untuk diam dan tak menjawab. Ia mengira-ngira, mungkin, sekitar 15 menit lagi mereka akan sampai ke rumah, selama itu, dia berniat untuk tutup mulut saja.
Tapi, ketika Lingga malah lurus dan tak berbelok ke arah perumahan mereka, Sabina terpaksa angkat bicara.
"Belokannya kelewat!"
"Hm? Ya masa langsung pulang? Masih jam 8 ini."
"Astagfirullah Lingga! Dibilang besok aku harus berangkat pagi!!"
"Emangnya aku nggak tahu kamu kebiasaan tidur jam 12 malem?"
"Sok tahu banget!"
"Lah, orang kamu selalu matiin lampu jam segituan kok."
Sabina tertegun. Astaga. Apa selama ini si Lingga selalu memerhatikan kamarnya? Hih. Dasar penguntit!
"Ini mau kemana Lingga? Jangan jauh-jauh!" Menepis perasaan gusarnya, Sabina bertanya.
"Kemana ya Bin?"
"Lah, malah balik nanya! Udah, pulang aja!"
"Oh, oh, aku tahu kita harus kemana!"
"Kemana??"
Lingga tak menjawab dan mempercepat laju motornya. Dibawa ngebut begitu, pegangan Sabina mengerat. Ia memejamkan matanya, ngeri melihat jalanan yang seolah berubah menjadi mode fast forward. Awas aja si Lingga, kalau sampai-sampai mereka tabrakan dan sesuatu terjadi padanya, ia tak akan sudi memaafkannya lagi!!
Bina mengintip saat laju motor mulai melambat. Mereka kembali ke daerah kota, tepatnya di Braga. Ia mendecak malas saat motor benar-benar parkir disisi jalan. Duh, ngapain juga mereka kesini? Berlagak turis aja mainnya ke Braga!
"Udah lama aku nggak kesini Bin."
"Hmm, jangan lama-lama!"
"Ya pokoknya, semakin cepet masalah kita kelar, semakin cepet pulang."
Bina merutuk dalam hati. Dia lupa kalau si Lingga ini orangnya memang keras kepala. Ugh. Sial. Gimana caranya dia kabur kalau begini?
"Bawa aja helmnya Bin, takut dimaling."
Bina hanya memasang wajah judes sambil memeluk helm yang barusan ia lepas.
"Mau dimana?" tanya Lingga.
"Di situ aja, kursi depan alfa kosong."
"Nggak mau di coffee shop gitu? Biar ngobrolnya lebih enak."
"Nggak usah sok-sok-an coffee shop lah, cepetan!"
Dengan langkah yang dihentak-hentakan, Bina beranjak duluan menuju ke kursi besi didepan minimarket. Ia duduk dan menatap lurus kedepan.
"Jadi? Ada apa dengan pevita pearce?"
Bina menggeram pelan, ia menoleh dan menatap sengit Lingga yang baru saja mendaratkan bokong disampingnya.
"Kamu—tulis nama pevita pearce di secret crush buku tahunan!!"
Saat kata-kata itu meluncur dari mulutnya, bahkan Sabinapun merasa hal itu sangat konyol. Tapi—sudahlah! Dia juga tak tahu mau mengarang alasan apa. Sekalian saja bilang yang sejujurnya.
Sementara itu, Lingga disampingnya termangu. Ia menatap Bina dengan sorot tak percaya. "Cuma gara-gara itu, kamu block aku???"
"Itu bukan 'cuma'!" Bina menyergah, wajahnya memanas karena merasa malu. "Kamu bohongin aku!"
Hening.
Gelisah, Bina melirik pada Lingga. Laki-laki itu masih menatapnya dengan sorot yang tak terbaca.
Dan Sabina semakin merasa gelagapan dibuatnya.
"Kamu sendiri yang bilang bakalan tulis nama aku—dan aku juga udah tulis nama kamu disitu! Tapi—kamu malah tulis nama pevita pearce. Aku malu, Lingga! K-Kesannya kayak aku kepedean banget nulis nama kamu disitu. Nggak ada lagi cowok yang namanya Lingga di sekolah, jadi udah pasti semua yang baca mikir aku naksir kamu!"
Kelopak mata Sabina memejam erat. Sial. Semakin dia jelaskan, semakin ia terdengar begitu bodoh dan kekanakan. Mana dia ngomongnya pake acara gagap, pula.
"Intinya—kamu bohong dan bikin aku malu. Aku kira kamu emang punya perasaan sama aku—tapi nyatanya lagi-lagi kamu cuma main-main. Aku tuh, beneran sakit hati, Lingga." Sabina terus mengoceh, sementara laki-laki disampingnya hanya diam mendengarkan.
"Mana itu buku tahunan bentuknya fisik! Kalau file sih masih mending, bisa gampang dihapus—ini lho, dicetak sampai 300 buku!!"
Tak tahan akan perasaan malu yang begitu menyesakkan, Bina bangkit berdiri. "Aku mau pulang sendiri. Mana handphone??"
"Duduk."
"Nggak mau, ih!"
"Ini aku kasih handphone kamu, tapi duduk dulu sini, dengerin dulu penjelasan aku."
Nada suara Lingga yang mendadak terdengar begitu lembut seolah menyihir Sabina untuk menurut. Pasrah, ia kembali mendaratkan bokongnya pada kursi yang tak nyaman itu.
"Pertama, soal buku tahunan—" Lingga menghela napas, lalu mengacak rambutnya. "Bin, demi Allah, aing kesel pisan sekarang—aaarrrrrrggggg astagfirullah, kirain masalahnya apa—ternyata buku tahunan...si anyiiiiingggg."
Kening Bina berkerut tak terima. "Dibilang—!"
"Denger dulu! Itu—aku ngumpulin selebaran biodata itu awal-awal. Emang bener awalnya aku nulis nama pevita, tapi itu sebelum aku bilang suka sama kamu. Demi Allah aku udah minta tolong sama panitia buat diubah, tapi katanya nggak bisa, udah naik cetak."
Bina menatap Lingga tak percaya. "Bohong!!"
"Sing demi Sabina. Tanyain aja ke si Sintia, panitia kelas aku."
"Terus kok kamu nggak ngomong sama aku??"
Lingga terdiam, lalu menghela napas lagi. "Jujur aku kira itu nggak penting, Sabin, jadi aku nggak ngomong apa-apa, mungkin aku juga lupa mau kasih tau kamu... salah aku juga sih, aku minta maaf ya," terangnya jujur. "Kalau tau masalah ini bakalan bikin kamu nggak ngomong sama aku bertahun-tahun, demi Allah aku bakalan susulin ke percetakannya buat gantiin itu nama si Pevita jadi Sabina."
Sabina memutar bola mata. "Sekarang udah telat!!"
"Ini nih, akibat dari suka mendem masalah sendiri, ngambil kesimpulan sendiri. Coba kalau dulu kamu pilih buat omongin daripada pergi, kan, mungkin kita sekarang udah mau nikah, Sabina."
Perkataan Lingga membuat Sabina melotot. "Nikah nikah apaan?? Siapa juga yang mau nikah sama kamu!! Kepedean!!"
Secepat kilat perempuan itu berdiri dari duduknya, tanpa bisa dikontrol, debar jantungnya kembali meningkat drastis. "Udah kan?? Mana handphone aku??"
Lingga menatap uluran tangan Sabina, tapi alih-alih memberikan apa yang perempuan itu inginkan, ia meraih tangannya untuk digenggam.
"Nanti kita obrolin lagi ya Bin?"
Sekuat tenaga Sabina menepis tangan lelaki itu. Sumpah. Rasanya sebentar lagi ia bisa meledak karena overstimulasi. "Nggak ada lagi yang mesti diomongin! Jangan pegang-pegang Lingga, bukan mukhrim! Hih!!"
Melihat reaksi lucu Sabina yang jelas salah tingkah, Lingga tertawa. Ia bangkit berdiri dengan cengiran lebar di bibir. "Ya udah, berarti sekarang semuanya udah clear kan?"
"Klar klir klar klir! Nggak ada yang clear! Kecuali kamu bisa cetak ulang buku tahunan dan bagiin ke semua anak di angkatan kita, baru deh—"
"Aku ada solusi lebih canggih Bin," cetus Lingga. "Kita cetak undangan pernikahan aja, terus sebarin ke anak seangkatan, gimana?"
"Ngaco!!!"
Sementara Lingga terkekeh geli, Sabina kembali memakai helm yang sedari tadi ia peluk dan melengos menuju motor Lingga yang terparkir tak jauh.
"Sabina,"
Suara Lingga yang terdengar begitu dekat dan jelas di telinganya membuat Sabina refleks menghentikan langkah.
"Aku kangen banget tau, sama kamu."
***
CHAPTER 7 - Awal mulanya (1)
D-Day Pengumuman SNMPTN — 2019
"Duh, Lingga, aku takut, ntar aja deh dibukanya."
"Cepetan Bonbin! Nggak usah pake acara takut segala!"
Sabina merengut. "Kalau nggak keterima gimana Nyet??"
"Yaudah nggak apa-apa, belum rezeki namanya" Lingga menyahuti tak sabar. "Sini aku aja yang buka!"
"Ih! Jangan ah!"
Sabina merampas laptopnya dari Lingga, lalu kembali duduk diatas kursi meja belajarnya dengan gelisah.
Hari ini pengumuman seleksi penerimaan universitas jalur undangan. Sejak pagi, Sabina takut untuk membuka hasil pengumumannya. Sedang Lingga sendiri sedang berada diatas awan, karena ia baru saja diterima salah satu universitas ternama di Jogjakarta, jurusan Teknik Informatika.
Dalam hati, perasaan Bina campur aduk. Ia takut gagal. Mau ditaruh dimana mukanya kalau ia tak diterima, sedang Lingga saja bisa? Memang si Lingga itu curang—pemalas, tapi otaknya entah kenapa bisa encer tanpa banyak belajar!
Sabina menghela napas panjang. Handphonenya yang terletak disamping laptop bergetar, Bunda menelfon.
"Assalamualaikum Bun,"
"Waalaikumsalam, sayang, gimana hasilnya?"
Bina menggigit bibir. "Belum berani buka Bunda..."
Bundanya tertawa diseberang sana. "Nggak apa-apa, sayang, apapun hasilnya, itu yang terbaik."
"Iya Bunda... Bunda pulang kapan?"
"Ini baru masuk tol, nak. Nyampe nanti malem kayaknya."
"Oke."
"Ya udah, Bunda tutup dulu ya? Ada Kak Naren sama Lingga kan, disitu?"
"Ada, Bun. Ini si Lingga disuruh pulang malah gorengin nugget sama sosis di kulkas."
Bundanya kembali tergelak. "Nggak apa-apa lah, sekalian aja itu kentang di goreng juga."
Setelah telfon ditutup, Bina kembali menatap laptop dihadapannya dengan gusar. Sementara itu, Lingga sudah pergi entah kemana. Tetangganya itu memang tak tahu malu. Setiap main ke rumahnya, ia selalu bersikap seolah-olah ini rumah sendiri.
Mereka tidak berduaan saja di rumah ini. Ada kakaknya Sabina, Narendra yang sedang libur bertugas. Tapi sejak pagi, Kakaknya yang sedang tak enak badan itu mendengkur kencang diatas sofa ruang tamu.
Sabina bersidekap, merengut menatap layar laptop. Apa tunggu Bunda dan Ayahnya pulang dari Jakarta? Tapi, mana tahan ia menunggu selama itu!
Yah, sudahlah, kalau tak diterimapun, dia masih bisa ikut seleksi mandiri nanti. Ya kan?
Sabina meringis membayangkan harus kembali belajar dengan giat. Huhuhu. Boleh nggak sih, langsung diterima jalur undangan saja? Boleh dong, Yaa Allah? Pleaseee.
Setelah menghela napas panjang secara dramatis, jemari ramping Bina terangkat untuk menyentuh touchpad laptop—
Bismillahirrahmanirrahim...
Ia mengarahkan kursor untuk membuka hasil, sepenuhnya berpasrah akan hasil yang ia terima.
Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SNMPTN 2019!
SABINA MALAIKHA
Pendidikan Bahasa Inggris
Universitas Pendidikan Indonesia
Kelopak mata Bina perlahan melebar saat melihat warna hijau beserta tulisan yang terpampang di layar—
"LINGGA!!!!"
Teriakan Sabina yang tiba-tiba membahana membuat Lingga yang sedang bermain PS di kamar Kak Naren terkejut. Cepat-cepat ia beranjak menuju ke kamar perempuan itu, tapi baru ia melewati pintu, sosok Sabina sudah berhambur ke pelukannya.
"Aku diterima di UPI!!!"
Itu tak mengejutkan—Lingga tahu Sabina pasti diterima, nilai rapornya kan selalu bagus. Saat ini ia lebih syok karena perempuan itu memeluknya begitu erat. Wangi bunga-bungaan yang menguar dari rambut keritingnya membuat Lingga berdebar-debar.
Tapi, baru Lingga hendak balas memeluk, Sabina sudah melepaskan pelukannya begitu saja.
"Kakak!! Bina keterima SNMPTN!!"
Butuh beberapa detik bagi Lingga untuk bisa kembali bergerak setelah dipeluk sebegitu eratnya. Ia memerhatikan Sabina yang melangkah riang menuruni tangga dengan perasaan tak menentu.
Bisa nggak sih si Sabina tadi peluknya lebih lama?
Lingga membuntuti langkah Sabina, dan tersenyum saat perempuan itu mengoceh pada Kakaknya yang tampak masih belum sadar sepenuhnya dari tidur lelap.
"Selamat ya Bin," ujar Kak Narendra sambil menepuk kepala adiknya, suaranya serak karena sedang sakit tenggorokan. "Kamu hebat."
"Mana Kak? Katanya kalau Bina keterima mau kasih uang!"
"Parah Bin, orang lagi sakit dipalak." komentar Lingga sambil menggeleng tak habis pikir.
Kak Naren merogoh sakunya, dari dalam dompet, ia mengeluarkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Nih, jangan boros-boros ya."
"Makasih Kak! Bina mau jajan ya, sekalian deh Bina beliin obat radang."
"Eh iya, sekalian beliin vitamin ya Bin. Nih, uangnya."
"Oke oke."
Lingga kembali membuntuti Sabina yang sekarang kembali ke lantai atas untuk mengambil sweater dan tas dari dalam kamar. Ia bersandar di kusen pintu sambil memerhatikan Bina yang tengah mengikat satu rambut keritingnya di depan cermin.
"Jajanin aku juga dong."
"Ih, jajanlah pakai uang sendiri!"
Lingga mencibir. "Pelit."
"Mau ikut nggak?"
Meskipun memang sudah berniat untuk ikut, Lingga merasa senang karena terlebih dulu diajak pergi. "Ikut."
"Yaudah kamu yang nyetir ya."
"Mau kemana emang?"
"Ke gramed!"
"Hah?? Jauh banget jajan sampai ke gramed."
"Aku mau jajan Tahu Brintik, sekalian mau beli komik juga,"
"Yeeeuuh, komik lagi yang dibaca."
"Kan sekarang udah keterima UPI! Nggak mesti belajar lagi, bisa baca komik sama novel sepuasnya!"
Mendengar jawaban naif Sabina, Lingga terkekeh. Perasaan bahagia yang perempuan itu rasakan menular. Wajahnya yang sedari pagi prengat-prengut sekarang cerah bersinar. Senyum yang terulas lebar dibibirnya menampakkan lesung pipi yang begitu manis.
Eh. Sejak kapan sih, si Sabina jadi cantik begini?
Lingga memerhatikan teman masa kecilnya yang sedang memulas kosmetik di bibir.
"Ngapain dandan segala sih?"
"Kali aja ketemu yang ganteng! Jodoh kan bisa ketemu dimana aja."
"Deuh, ganjen."
"Gandeng ah, kamu mau pergi begitu aja?"
Sabina menatap Lingga dari ujung kepala sampai kaki, jelas menghakimi tampilan laki-laki itu yang hanya mengenakan jersey bola dan celana pendek dengan warna nabrak tak senada.
"Aku pulang bentar ganti baju, nanti naik motor aku aja." kata Lingga akhirnya, meskipun cuma ke toko buku, ia malu juga kalau pakai pakaian gembel begini.
"Oke, jangan lama-lama ya!"
Lingga bergegas turun dan berjalan menuju ke rumahnya yang terletak disisi jalan yang berbeda. Sambil melangkah, isi kepalanya berisik sekali. Tak lama lagi, ia dan Sabina akan kuliah di kota yang berbeda. Menyadari hal itu, entah kenapa Lingga jadi merasa gusar.
Kalau si Sabina itu pacaran sama orang lain gimana?
Kening Lingga berkerut. Nggak! Itu nggak boleh terjadi. Haram! Haram hukumnya. Enak saja. Sabina itu kan punyanya Lingga—. Demi Tuhan dia tak rela kalau ada laki-laki lain yang mengambilnya!
Jadi, sekarang kah waktunya ia untuk mengambil langkah?
Sudah sejak kelas 2 SMA, Lingga tak lagi menganggap Sabina seperti adik perempuan. Hal itu ia sadari ketika meminjam handphone Bina, dan memergoki perempuan itu sedang PDKT dengan seorang kakak kelas. Sumpah. Saat itu juga Lingga merasa tak rela. Hatinya dibakar rasa cemburu dan marah yang tak biasa.
Tapi untungnya, Bina menolak saat si kakak kelas sialan itu menembaknya di kemudian hari. Kalau sampai mereka betulan pacaran... entahlah. Lingga juga tak mau membayangkannya.
Sejak saat itu, pandangan Lingga pada Sabina berubah. Ia jadi sering deg-degan dan senyum-senyum sendiri saat mereka berinteraksi. Padahal, dulu biasa saja, tak pernah begitu.
"Ada lagi yang mau dibeli?"
Lingga memerhatikan Bina yang nampak begitu bahagia menenteng tahu brintik di tangan kanan dan kantong plastik berisi buku bacaan baru di tangan kiri.
"Mau es krim! Tapi makan di rumah aja, soalnya kasihan si kakak nungguin obatnya lama."
"Yaudah sana beli, sini bukunya aku yang bawa."
Dengan senang hati Sabina menyerahkan belanjaannya pada Lingga. "Makasih Lingga, suka deh kalau kamu baik begini!"
Deg. Jantung Lingga berasa mau copot mendengar kata suka. Ih. Perempuan ini. Nggak tahu apa ya Lingga tuh sedang kasmaran berat dengannya??
Sambil memerhatikan keriting di rambut Sabina yang sedang memesan eskrim, batin Lingga bergulat—
Bilang sekarang aja atau...?
"Kamu yang oreo kan?"
Lingga berjengit ketika tiba-tiba Sabina menoleh kearahnya.
"Aku—iya, yang oreo."
"Oke. Ini aku traktir soalnya kamu udah baik mau nganterin kesini. Baik banget kan aku?"
Lingga mendengus geli dan menoyor pelan kepala perempuan itu. "Bensinin full tank sekalian."
"Mulai deh ngelunjak!"
Gelak tawa Lingga memudar ketika ia menyadari kalau keakraban mereka bisa saja berubah semisal ia nekad menyatakan perasaan. Kalau si Sabina ini malah jadi menjauhinya bagaimana..? Lingga sudah hafal dengan modelan tetangganya yang cenderung menghindar saat merasa tak nyaman dengan keadaan.
Saat SMP, Sabina memang pernah mengaku menyukai Lingga di buku diary. Tapi itu kan sudah lama. Bukannya kata orang, perasaan itu bisa berubah?
Duh. Lingga jadi menyesal sudah sering mengisengi Sabina selama ini. Coba saja kalau dia berlaku lebih baik!
"Ayo pulang!" ajak Sabina setelah pesanan eskrimnya selesai dibuat.
Lingga mengekori langkah perempuan itu menuju ke parkiran, memerhatikan rambut keritingnya yang mengayun secara lucu setiap kali melangkah.
"Bin."
"Hm?"
"Ada cowok yang kamu suka?"
Sabina mendongak, mata coklatnya menatap Lingga sekilas. "Di sekolah?"
"Iya."
"Kepo aja, apa kepo banget?"
"Seriusan Bin."
"Kenapa emang Ga? Kamu ada cewek yang ditaksir?"
Lingga terdiam sesaat sebelum bergumam pelan. "Ada.."
"Hah???? Siapa???? Kok nggak pernah cerita???"
Ya kan kamu orangnya. Jawab Lingga dalam hati. Tapi, perasaan takut akan penolakan membuatnya jadi pengecut.
Ia meraih helm diatas spion, mengabaikan Sabina yang menatapnya dengan mata membelalak.
"Ih, siapa orangnya Lingga??"
"Rahasia."
"Ih!!! Kok rahasia??"
"Kepo aja, apa kepo banget Bin?"
Sabina memutar bola mata. Sambil cemberut, ia turut memasang helmnya. Ngapain coba si Lingga main rahasia-rahasiaan begitu? Bina kan jadi penasaran!
Mereka melalui perjalanan pulang dalam diam. Lingga sibuk berkutat dengan perasaannya, sementara di belakangnya, Sabina juga sama.
Hari ini, harusnya Bina bersuka cita karena diterima di kampus impiannya lewat jalur undangan. Tapi kenapa si Lingga harus merusak harinya dengan bilang kalau ia menyukai seseorang??
Ugh.
Sumpah.
Bina tak tahu kalau ternyata patah hati itu rasanya sesakit ini!
***
CHAPTER 8 - Awal mulanya (2)
Sabina suka Lingga.
Hal itu ia sadari disuatu siang, ketika ia kelaparan, dan tetangga belakang rumahnya itu tiba-tiba datang membawakan sekotak fried chicken untuknya.
"Nih, aku beliin bagian paha atas, kesukaan kamu!"
Begitu saja, Sabina yang baru beger langsung jatuh cinta.
Semenjak ibunya tiada karena penyakit kanker, Bina jadi sering sendirian dirumah. Kakanya sibuk kesana-kemari mengikuti pelatihan agar lolos di Akademi Militer, sedangkan ayahnya yang bekerja selalu pulang pukul 7 malam.
Saat itu Sabina masih kelas 7, baru bisa menanak nasi dan merebus telur. Bina takut memasak dengan minyak, pernah saat kelas 3 SD, ia hampir membakar rumah saat mencoba menggoreng nugget dan sosis. Maka dari itu, seringnya sepulang sekolah Bina membeli makanan di warung nasi. Tapi, acap kali ia lupa untuk mampir ke warung. Dan ketika sampai rumah, biasanya ia akan merasa malas untuk keluar. Jadilah Bina sering hanya minum susu di kulkas untuk mengganjal perut.
Di situasi itu, Lingga, tetangganya yang tengil, mengisi kesepian yang ia rasa. Hampir tiap hari laki-laki itu mampir kerumah, entah itu untuk mengantarkan makanan dari ibunya, atau sekedar bermain PS bersama Kak Narendra.
Semisal Lingga tahu di rumah Sabina sedang sendirian, ia suka menyeretnya untuk main bersama dengan tetangga lain, padahal kalau boleh jujur, sebagai introvert garis keras, Bina lebih betah berdiam diri di kamar.
Bina tahu diam-diam tetangganya itu iba padanya karena ia baru ditinggal sosok Ibu. Meskipun suka jahil, perhatian yang Lingga berikan membuat Bina tersentuh. Sadar-sadar, ia sudah menaruh perasaan khusus pada tetangganya itu.
Ketika ayah Sabina memutuskan untuk kembali menikah setahun sepeninggal ibunya, sebenarnya, hati kecil Bina tak rela dan menentang. Ia tak suka kehadiran orang asing dirumah. Tapi, kebiasaannya yang suka memendam perasaan membuatnya sulit untuk bersikap terbuka. Imbasnya, ia jadi lebih murung dan tertutup.
Termasuk golongan peka, Lingga menyadari ada yang berubah pada diri Sabina. Perempuan itu jadi selalu mengunci diri di kamar—tak mau lagi diajak main atau sekedar balas menyapa. Narendra, kakanya juga bingung bagaimana menyikapi perubahan sikap adiknya yang semakin tertutup.
Suatu sore, saat Sabina tengah mandi, Lingga nekat mencuri buku diarynya yang tersembunyi di laci. Ia tahu tetangganya itu punya kebiasaan menulis diary sejak SD. Tindakan itu bukan sekadar usil— Lingga sungguh penasaran dengan apa yang ada dikepala Sabina, karena jelas perempuan itu sedang tak baik-baik saja.
Tingkah Lingga jelas membawa konsekuensi besar. Sabina benar-benar marah—tidak, perempuan itu murka padanya. 6 bulan, mereka tak saling bicara, atau lebih tepatnya, Sabina mengabaikan Lingga sepenuhnya. Sampai akhirnya Lingga tak tahan dan bersimpuh di teras rumah Sabina
—dari selepas dzuhur hingga menjelang maghrib—agar sudi dimaafkan.
"Pulang sana, nggak malu dilihatin orang??"
Itu kalimat terpanjang yang keluar dari mulut Sabina setelah sekian lama.
"Udah dimaafin Bin?"
"Nggak!"
"Ya Allah Bin... masa di hari kemenangan ini kamu nggak tergerak buat maafin aku?"
"Kesalahan kamu terlalu besar, tau nggak??"
"Tau, Sabina. Makanya aku minta maaf. Beneran aku menyesal."
Tapi sebenarnya, Lingga tak begitu merasa menyesal. Berkat membaca diary Sabina, ia jadi tahu apa-apa saja yang perempuan itu pikir dan rasakan selama ini. Lingga bersimpati, sekaligus jadi mengerti apa yang harus ia lakukan agar Bina tak terlalu larut dalam perasaan sedih.
"Allah aja Maha Pemaaf, kenapa ini kamu sampai nggak mau maafin aku?"
"Aku bukan Allah!"
"Ya iya, makanya, Bin, masa kamu lebih angkuh daripada Tuhan? Jangan gitu Bin, dosa tau."
Sabina bersidekap sambil menatap galak Lingga yang duduk bersimpuh dihadapannya. Tak jauh dari mereka, para orang tua menonton adegan drama itu sambil menahan tawa.
"Jangan diulang lagi! Awas aja kalau kamu seenaknya kayak gitu lagi!!"
Kepala Lingga mengangguk-angguk. "Iya, Sabina. Jadi dimaafin ya?"
"Kali ini aja, aku maafin."
"Alhamdulillah. Eh, eh, tunggu!"
Langkah Sabina yang hendak memasuki rumah terhenti. "Apa lagi??"
Lingga nyengir lebar. "Bantuin aku berdiri dong Bin, sumpah, kaki aku kesemutan ini."
"Syukurin!!"
"Ih, Sabina! Tega!"
Dan begitulah, hubungan pertemanan itu kembali terjalin, hingga akhirnya mereka masuk ke SMA yang sama.
Berbeda dengan Lingga yang menyadari perasaannya belakangan, setelah berdamai pasca insiden buku diary itu, Sabina tahu kalau ia masih punya perasaan spesial untuk tetangga belakang rumahnya. Berkali-kali ia didekati laki-laki lain, tapi tetap saja tak ada yang membuatnya terkesan seperti perhatian yang Lingga berikan padanya.
Pernah saat kelas 11 Sabina hampir berpacaran dengan seorang kakak kelas yang sangat baik, tapi akhirnya tak jadi juga. Ia rasa tak adil jika menerima ajakan berpacaran itu, kalau dalam hatinya jelas-jelas masih bertengger sosok Lingga.
Dan saat mendengar Lingga ternyata menyukai seseorang, hati Sabina rasanya hancur berkeping-keping. Sepanjang perjalanan pulang dari toko buku, mati-matian ia menahan tangis.
Sabina tahu, Lingga menganggapnya seperti adik sendiri, tak lebih. Yah... bukannya Bina berharap, sih. Dia juga tak berniat untuk menyatakan perasaan pada tetangganya itu. Ih. Amit-amit. Sampai kapanpun, perasaan suka berkelanjutan Sabina pada Lingga adalah rahasia yang hanya ia dan Tuhan saja yang boleh tahu.
"Bin,"
Sabina menghentikan langkahnya yang hendak memasuki rumah. Ia mengernyit saat menyadari Lingga tak pulang, tapi memarkir motornya didepan pagar.
"Mau ngapain? Udah isya lho."
"Oh, iya, oke deh aku pulang."
Bina memiringkan kepalanya, terheran saat Lingga balik badan lalu kembali menaiki motornya dan melenggang pergi.
"Dasar orang aneh." gumamnya sambil menggeleng.
Ia memasuki rumah dan langsung disambut oleh kedua orang tuanya yang baru saja pulang dari Jakarta. Mereka mengucapkan selamat karena Bina berhasil tembus SNMPTN di jurusan yang memang ia inginkan.
Sejenak, Sabina lupa akan galau yang ia rasa dan larut akan euforia kelulusan SNMPTN. Sampai tiba-tiba Bundanya menyeletuk—
"Berarti, nanti Lingga kuliahnya di Jogja ya?"
Bina mengangguk, mulutnya sibuk mengunyah keripik pisang.
"Wah... sekeluarga bakal pindah ke Jogja dong ya?"
Gerakan mulut Bina terhenti, ia menoleh pada Bundanya, bingung. "Kok sekeluarga?"
"Iya, kemarin ketemu sama Mamanya Lingga, katanya Papanya dimutasi ke kantor cabang di Jogja."
Deg. Berita itu membuat Sabina tertegun. Lho, kok, si Lingga nggak bilang..?
Setelah menghabiskan keripik pisang, Sabina segera beranjak menuju ke kamarnya di lantai dua. Ia membuka pintu balkon dan menatap nanar jendela kamar Lingga yang nampak gelap. Masa si tengil itu bakal beneran pindah sih..?
Bina tak tahu, di balik jendela itu, sedari tadi Lingga tengah memerhatikan balkon kamarnya. Saat sosok perempuan itu benar-benar muncul, jantung Lingga kembali berdebar tak karuan.
Sial. Lingga merutuk dalam hati. Cewek semanis ini pasti akan banyak yang mengincar. Masa ia mau menyerah sebelum bertanding sih? Persetan dengan ditolak. Toh kalau si Sabina sekarang tidak lagi suka padanya, Lingga bisa coba untuk membuatnya kembali suka.
Ya kan?
Dengan satu gerakan cepat, Lingga membuka jendelanya lebar-lebar, membuat Sabina yang tengah melamun berjengit kaget.
"Kaget anjir!! Astagfirullah.." serunya sambil mengurut dada.
"Lagian kerjaannya ngelamun aja, kesambet baru tau rasa." sahut Lingga sambil cengengesan.
"Lingga..."
Panggilan itu begitu pelan, tapi tetap terdengar. "Apa Bonbin?"
"Kamu sekeluarga bakalan pindah ke Jogja..?"
Lingga bergeming, tatapannya tertuju pada Sabina yang terlihat... sedih?
"Kayaknya iya Bin. Si Papap dimutasi ke Jogja juga soalnya."
"Oh...rumah kamu bakal dijual dong?"
"Masih belum tahu sih." Bibir Lingga mengulas senyum lebar. "Kenapa? Pasti bakal kangen ya, sama aku?"
Lingga pikir, Sabina akan langsung menepis tuduhannya. Tapi, perempuan itu hanya menatapnya dengan memelas, sudut bibirnya melengkung kebawah, seolah menahan tangis.
"Kok, tiba-tiba sih Lingga..."
Kelopak mata Lingga melebar saat melihat Sabina mengusap sudut matanya dengan tangan.
"Heh, kok nangis??"
"K-kelilipan!!!"
Lingga melongo memerhatikan Bina yang secepat kilat balik badan dan menutup pintu balkonnya. Tak lama, suara klik kunci yang diputar terdengar.
Lah, kenapa lagi si Sabina??
Semalaman, Lingga berpikir. Hanya ada dua kemungkinan Sabina menangis. Pertama—ia benar-benar kelilipan. Tapi agaknya, hal itu mustahil mengingat tak ada angin atau apapun yang memasuki matanya.
Kedua—Sabina sedih karena Lingga akan pindah. Hal itu memantik harapan di hati Lingga. Kalau Sabina merasa kehilangan sampai menangis begitu, bisa disimpulkan Lingga masih menempati posisi penting dihati perempuan itu. Iya kan??
Mendadak, Lingga jadi percaya diri. Ia yakin, kalau perasaannya sama berbalas!
Berhari-hari setelahnya Lingga mencari momen yang tepat untuk menyatakan perasaan. Meskipun masih tak tahu akan dibawa kemana hubungan mereka, yang penting, Lingga ingin Sabina tahu kalau ia menyimpan perasaan spesial pada perempuan itu.
"Lingga, gantiin bohlam di kamarnya Sabina bisa? Aku udah harus berangkat nih."
Lingga meletakan stik PS yang sedang ia genggam diatas karpet. Ia berdiri dan meraih kresek hitam yang Kak Narendra sodorkan—
"Udah mau berangkat Kak?"
"Iya, minta tolong ya Ga. Pakai kursi aja, nggak terlalu tinggi kok."
"Oke oke."
"Bunda sama Ayah barusan pergi ngelayat Pak Sundari, nitip Sabina bentar ya."
Lingga mengekori langkah Kak Naren keluar kamar. "Si Sabin kemana emang?"
"Lagi ke warung, nggak tahu beli apa. Pergi dulu ya Ga."
"Oke, hati-hati Kak."
Lingga bersenandung kecil sambil beranjak menuju ke kamar Sabina. Ia memang sering main ke rumah Sabina, tapi tak pernah tertarik masuk ke kamar perempuan itu—kecuali saat mencuri buku diarynya, Lingga hampir tak pernah sengaja menginjakan kaki disini. Ibunya juga mewanti-wanti agar Lingga tak memasuki kamar anak gadis sembarangan.
Kamar Sabina bernuansa hijau mint, sederhana dengan sedikit sekali perabot. Tak ada apapun yang menarik disini kecuali deretan komik di rak buku. Lingga hampir menyeret kursi belajar Bina ke bawah lampu, ketika tatapannya menangkap sebuah buku berwarna hijau mint diatas meja belajar. Cover buku itu ditempeli berbagai macam stiker lucu, membuat Lingga berpikir kalau itu bukan buku tulis biasa.
Tangan Lingga terangkat untuk membuka acak benda itu. Ia membeku saat menyadari bahwa buku itu adalah buku diary barunya Sabina.
Tengkuk Lingga mendadak panas dingin, ia menengok ke kanan dan kiri, memastikan tak ada yang melihatnya. Sungguh, ia tahu perbuatannya sangat tak terpuji—mengintip barang orang begini, tapi ia betulan penasaran!
🌻🌻🌻
Halo diary,
Aku sedih banget, katanya Lingga bakalan pindah ke Jogja sama keluarganya... Rumahnya bakal di jual, berarti kita nggak bakal ketemu lagi dong ya?
Sedih banget, diary!! Aku mesti gimana?? Huaaaaaaaaa :'( cinta pertamaku!!!
Lingga, nyet, kalau kamu baca ini (tapi nggak boleh baca ya, awas aja kalau sampai baca!), aku cuma mau bilang.... aku suka kamu lho!!
Tapi kamunya malah suka sama orang lain :( tai lahhh. Apa aku cari pacar aja ya, biar lupa sama si Lingga? Menurut kamu gimana diary?? Apa ini saat yang tepat untuk move on??
🌻🌻🌻
Napas Lingga tertahan saat membaca lembar itu. Dari tanggal dan jam yang tertera disana, tulisan itu baru dibuat kemarin malam. Cepat-cepat Lingga merapikan kembali buku ke posisi semula. Ia beranjak keluar kamar Sabina dan kembali masuk ke kamar Kak Naren. Jantungnya berdebar tak karuan didalam rongga dada—
"Lingga?? Minta tolong pasangin bohlam nya ih! Jangan main PS mulu!"
Lingga berjengit saat sosok Sabina menerobos masuk kedalam kamar.
"Lagi apa sih? Bengong?" Sabina menatap heran tetangganya yang duduk bersila diatas karpet, seolah tengah bersemedi. "Nahan beol??"
Lingga menghela napas. "Mana bohlamnya?"
"Lah? Tadi kata Kakak udah dikasihin ke kamu?"
"Oh iya."
"Yee pikun dasar."
Lingga kembali melangkah menuju ke kamar Sabina. Ia sadar, diatas meja, buku diary tadi sudah tak ada. Buru-buru ia menyeret kursi kayu ke bawah lampu dan mengganti bohlamnya. Saat lampu sudah kembali menyala, ia turun dan mengembalikan posisi kursi ke tempat semula.
Tatapannya menangkap selembar kertas putih yang berisi biodata Sabina untuk buku tahunan diatas meja. Semuanya sudah terisi, kecuali kolom 'secret crush'.
"Bin, ini nggak diisi?"
Sabina yang sedari tadi sibuk memakan keripik pedas sambil menonton laptop diatas kasur menoleh.
"Apaan?"
"Ini, secret crush."
"Nggak usah diisi ajalah, orang nggak ada kok."
Lingga bergeming, lalu, sudut bibirnya terangkat. "Isi nama aku aja sih Bin."
Alis Sabina menukik tajam. "Hah?"
"Kamu tulis nama aku, nanti aku juga tulis nama kamu deh. Oke?"
"Ogaaaaah!"
Lingga bergumam pelan. "Kamu masih suka sama aku Bin?"
Mendengar pertanyaan itu, Sabina langsung melotot. "Ih, nggak ya! Najis! Nggak usah kegeeran!!"
"Kalau aku yang suka sama kamu, gimana?"
Kali ini, ekspresi perempuan itu berubah cengo. "Hah?"
"Aku suka sama kamu lho Bin, udah lama," kata Lingga cepat-cepat—mendadak ia merasa gugup, tengkuknya mulai kembali panas-dingin. "Kamu juga suka sama aku kan?"
"Hah?"
"Hah-heh-hoh hah-heh-hoh!"
"Nggak lucu bercandaan kamu Lingga!"
"Nggak bercanda!" sergah Lingga, ia menatap Sabina serius. "Beneran... sumpah! Aku suka kamu!"
Sabina menelan ludah, membasahi tenggorokannya yang mendadak kering. Hah..?????
"Sabina, Lingga, sini, ada martabak!"
Suara teriakan Bunda membuat kedua muda-mudi itu terperanjat. Cepat-cepat Lingga beranjak keluar kamar, sementara Sabina pura-pura kembali memerhatikan anime yang terputar di laptopnya dengan jantung yang seperti mau meledak.
Dan begitulah, kali pertama Sabina Lingga mengetahui perasaan masing-masing...sebelum kemudian kesalahpahaman menyerang dan menjauhkan hubungan keduanya.
.
.
.
***
Visualnyaa Lingga dan Sabina di kepalaku wkwkw
Ada yg tau ini anime apaa?
Dua duanya punya rambut keriting cuma kl Sabin emg lebih kriwil kalau Lingga lebih ke ikal gitu
Mereka kalau jadi beneran dan punya anak pasti bakal gemesin banget nggak sih??
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
