The Boy Backdoor - Prolog + Chapter 1 & 2

0
0
Deskripsi

Prolog

Chapter 1 - Tetangga Belakang Rumah

Chapter 2 - Kembalinya seorang mimpi buruk


BLURB 

Sabina dan Lingga sudah bertetangga sejak mereka bayi. Tapi, satu kesalahpahaman membuat Sabina memblokir semua akses komunikasi mereka. Tak lama kemudian, Lingga sekeluarga pindah ke kota berbeda. Alhasil, keduanya tak saling bicara lagi setelah lulus SMA.

6 tahun berlalu dan Lingga sekeluarga kembali menempati rumah masa kecilnya. Tak lagi berjarak, Lingga bertekad untuk mengkonfrontasi tetangga belakang rumahnya...


PROLOG

 

BANDUNG, 2019
Aula SMA 77
Its Graduation Day!
 

"Renata Anggia..... Rizky Pratama Yudha... Sabina Malaikha..."

Dengan gerakan yang kurang leluasa karena memakai setelan kebaya, Sabina berdiri dan melangkah pelan menuju ke panggung. Ia menyalami kepala sekolah, lalu tersenyum menghadap kamera.

Dari layar proyektor besar, wajah cantiknya yang dipoles makeup natural nampak berbinar. Kebaya kuti baru berpotongan simple bernuansa hijau mint itu seolah membuat aura feminimnya memancar. Rambut keritingnya yang biasa diikat satu kini ditata dalam sebuah sanggul sederhana. Kata teman-temannya, Sabina hari ini cantik sekali.

Merasa gugup karena diperhatikan begitu banyak pasang mata, Sabina segera turun dari panggung setelah prosesi foto selesai. Tanpa mengedarkan pandangannya, ia meraih tas kain yang berisi souvenir berupa buku tahunan dan entah apa— Sabina belum lihat isinya— lalu segera kembali beranjak ke kursinya, yang terletak di deretan kedua dari depan.

Ia mendesah lega saat akhirnya pantatnya kembali mendarat di atas kursi.

"Bin, beneran cantik banget deh," komentar Hanny, sahabatnya. "Kebayanya jahit sendiri ya?"

"Iya, dijahit sama Bundaku nih."

"Pantes, pas banget dibadan,"

Sabina mengambil buku tahunan dari dalam tote bag. hatinya mulai berdebar tak karuan saat membuka plastik yang membungkus buku tebal berwarna hitam itu.

Tujuannya hanya satu, kelas 12 IPA 7.

Jantungnya berdebar kencang seiring dengan lembar buku tahunan yang ia buka. Ia sengaja melewati halaman-halaman berisi foto-foto kenangan angkatannya selama 3 tahun bersekolah di SMA 77—itu bisa ia lihat nanti, sekarang yang penting, laman berisi biodata siswa!

Pipinya memanas karena perasaan malu saat ia membaca tulisan yang tertera disamping pas foto wajahnya—

Nama Lengkap (Panggilan) : Sabina Malaikha (Sabin, Bina)
No hp : 085299xxxxx
Alamat : Cluster Daffodil Blok H-6
E-mail : [email protected]
Cita - cita : Guru
Secret Crush : Lingga
Pesan kesan : Seru banget sekolah di 77!

Lingga

Astagaaa, kok bisa sih dia begitu berani menulis nama seorang cowok disitu?? Mendadak, hatinya diliputi perasaan malu dan sesal.

T-tapi... si Lingga juga tulis namaku kan??

Cepat-cepat Bina beralih dari lembar biodata kelasnya—kelas 12 IPA 1, ke kelas Lingga di 12 IPA 7.

Bersamaan dengan debar jantung yang terasa mengerikan, matanya jelalatan mencari sosok cowok yang sudah mengobrak-abrik pertahanan hatinya selama beberapa tahun kebelakang—

Nama Lengkap (Panggilan) : Lingga Mahardika (si ganteng kalem)
No hp : 081279xxxxx
Alamat : Cluster Daffodil Blok H-16
E-mail : [email protected]
Cita - cita : Milyader
Secret Crush : Pevita Pearce
Pesan kesan : bintang 5 pokoknya mah

Pevita Pearce

Sejenak, yang bisa Sabina lakukan hanya mematung sambil menatap buku di pangkuannya. Percakapannya dengan Lingga di sore itu terngiang dikepala—

"Kamu tulis nama aku, nanti aku juga tulis nama kamu deh. Oke?"

"Aku suka sama kamu lho Bin, udah lama,"

Sabina menggigit lidahnya agar tak mengeluarkan sumpah serapah. Duh! salah dia sendiri yang tolol memercayai perkataan cowok sialan itu!! Arrrrgggg!! Bisa-bisanya dia percaya Lingga si tukang ngibul!

Dasar bloon!

Sabina mengedarkan pandangannya ke sekeliling—syukurlah, teman-temannya masih sibuk memerhatikan jalannya acara wisuda, belum ada yang tertarik untuk membuka buku tahunan.

Mendadak, tenggorokan Bina terasa begitu kering. Mau ditaruh dimana mukanya saat semua orang tahu ia kepedean menulis nama Lingga di kolom 'Secret Crush' itu?!?

Hanya ada satu solusi yang dapat Bina pikirkan saat ini: KABUR.

Ia segera menutup buku tahunan sialan itu dan memasukannya kembali ke tote bag. Clutch berwarna broken white yang hanya berisi benda penting miliknya juga sekalian ia masukan kedalam totebag itu—

"Han, Han, aku mau ke toilet dulu ya?" bisik Bina pada Hanny.

"Mau ditemenin??"

"Nggak usah, Han,"

"Eh, ngapain bawa tasnya? Tinggalin aja disini."

"Nggak apa-apa,"

Berusaha sebisa mungkin tak menarik perhatian, Bina bangkit berdiri dan berjalan menyusuri lorong diantara deretan kursi dengan postur agak menunduk untuk sampai ke pintu keluar gedung.

"Sst, kemana Bin?"

Bina sungguh menyesal karena tatapannya refleks terangkat saat mendengar suara itu. Delikan setajam silet ia tujukan pada Lingga, yang duduk di kursi paling belakang bersama dengan gengnya, sebelum kemudian kembali melengos dengan langkah dihentak-hentakkan menuju ke luar.

Ugh. Kali ini, dia betulan marah dan sakit hati!!!

Tanpa sadar, mata Bina berkaca-kaca. Ia segera mengerjap-ngerjap agar tak ada air mata yang sampai mengalir darisana. Rugi banget nangisin cowok semacam itu! Hih!!

Sesampainya di area toilet putri yang sepi, Bina segera merogoh clutch nya untuk mengambil handphone, menelfon sang Bunda.

"Assalamualaikum—gimana nak, acaranya??" suara ceria Bunda Fitria terdengar diseberang.

Bina berdeham untuk melonggarkan tenggorokannya yang sedari tadi seperti tercekik. "Waalaikumsalam, lancar kok Bun. Ngg, Bunda dimana?"

"Bunda lagi manasin mobil nih, bentar lagi mau otw Jakarta."

"Ikut boleh, Bun?"

"Eh? Boleh aja nak, tapi Bunda harus berangkat sekarang... kamu bukannya habis ini mau pergi sama temen-temen, buat acara perpisahan sama Lingga?"

"Nggak jadi Bun." sahut Bina cepat. "Bun, boleh minta tolong... jemput aku sekarang di sekolah?"

Hening di seberang selama beberapa saat. "...Bina, ada masalah kah?"

Ditanya begitu, mata Sabina kembali terasa panas. Ia sebenarnya tak suka merepotkan begini, tapi kali ini, terpaksa! "Jemput Bina ya Bun, nanti Bina tunggu di halte depan sekolah."

"Ok sayang, Bunda otw sekarang kesana ya, apa Bunda sekalian bawain baju-baju kamu buat ikut stay di Jakarta?"

Saran itu sontak membuat kepala Sabina mengangguk-angguk setuju. Sadar Bundanya tak bisa melihat, Bina segera menambahkan. "Boleh banget, Bun, makasih ya.."

"No problem gadisku, hang in there, sekitar 20 menit lagi, Bunda sampai—"

"15 menit, bisa Bun?"

"Meluncur!"

"Makasih Bunda... hati-hati dijalan!"

Setelah sambungan telfon terputus, Bina segera beranjak menuju keluar sekolah. Sengaja ia mengambil rute yang tak melewati gedung Aula. Perasaannya was-wasnya berganti lega saat ia berhasil keluar gerbang tanpa diketahui siapapun—

Sejenak, Bina berpaling, menatap gedung sekolahnya yang menjulang tinggi.

Hah...

Tak ia sangka, hari wisuda yang telah ia tunggu-tunggu, akan berakhir nahas seperti ini!

Tepat 17 menit menunggu di halte bis, mobil yaris kuning Bunda Fitria datang. Dengan gerakan yang nampak jelas terburu-buru, Bina masuk kedalam mobil.

"Duh, cantiknya gadis Bunda, seatbelt sayang."

Bina memasang seatbelt sementara mobil mulai melaju. Setelahnya, ia meraih handphone, hendak mengabarkan Hanny, yang mungkin sekarang sudah khawatir karena Bina tak kunjung kembali.

Mata bulat perempuan itu kian melebar saat melihat ada notifikasi pesan masuk tak hanya dari Hanny, tapi juga Lingga—
 

Lingga M(onyet)
Bonbin
Oi
Ke toilet?
Bin,
Kok nggak balik-balik?
Mencret pasti ya
Dibilang kemaren jangan jajan seblak

Wajah Bina mengeras. Dasar cowok ngeselin tukang bohong! rutuknya dalam hati.

Napas Bina tertahan saat tiba-tiba muncul status online dibawah nama Lingga, yang kemudian berubah jadi 'typing...'

Secepat kilat Bina tap-tap layar handphonenya untuk memblokir kontak laki-laki itu. Setelahnya, ia membuka aplikasi sosial media lain yang ia punya dan turut memblokir semua akun milik Lingga.

Biar saja. Soalnya kali ini, cowok itu sudah keterlaluan!

 

***

 

CHAPTER 1 - Tetangga belakang rumah

 

BANDUNG
6 tahun kemudian—
 

Udara shubuh yang sejuk menerpa tengkuk Lingga saat ia turun dari mobil. Meskipun matanya terasa berat setelah semalaman menyetir, hatinya diliputi perasaan hangat ketika menatap rumah bernuansa cream dihadapannya—rumah masa kecilnya yang tak megah, tapi menyimpan sejuta kenangan manis.

"Aa, habis shubuh istirahat dulu aja, beres-beresnya besok."

Mamanya, yang kemarin terlebih dulu sampai ke rumah ini, membantu mengeluarkan barang bawaan Lingga dari dalam bagasi mobil.

"Papap mana Ma?"

"Tuh ngorok di sofa, kecapekan abis kerja bakti beresin rumah seharian."

"Lho, emang nggak panggil orang buat bantu-bantu?"

"Panggil. Dua orang malah yang bantuin—Bi Nunung sama suaminya. Tapi namanya rumah udah setahun nggak ada yang nempatin, kotornya minta ampun, udah kayak rumah hantu tau nggak."

Lingga meringis, "Untung Aa baru dateng, jadi nggak kebagian beberes."

Tangan wanita paruh baya itu refleks terangkat untuk mencubit pinggang anak bujangnya. "Dasar, bagian kamu tuh nyikatin garasi!"

Lingga cengengesan iseng. Ia menggeret koper besar berisi pakaiannya untuk memasuki rumah. Suara dengkur Papap yang khas dan membahana langsung menyambutnya. Cengiran lebar terulas di bibir Lingga kala melihat pria bertubuh gempal itu tergolek di sofa dengan mulut terbuka lebar, nampak jelas kelelahan.

Lingga segera menaiki tangga menuju kamarnya yang terletak di lantai dua. Wangi karbol bercampur pengharum ruangan menyapa hidungnya—iseng, jemarinya mencolek pegangan tangga, sudah bersih tanpa debu. Pasti Mamanya seharian cerewet menyuruh orang-orang untuk mengelap semua sudut rumah. Untung saja, dia tak buru-buru pulang kemarin.

Kamar Linggapun sudah dalam kondisi rapi. Sudut bibirnya terangkat melihat kasur yang terbalut sprei belel bergambar Naruto, ia ingat itu sprei kesukaannya. Pandangannya mengelilingi ruangan, laci plastik yang dipenuhi stiker itu masih disana, berikut dengan meja belajar jati yang dipenuhi coretan isengnya, ah... sungguh, ia kangen sekali dengan kamar ini.

Poster-poster di dinding sudah dicabut, menyisakan jejak perekat yang mungkin sulit untuk dikikis oleh tangan. Nanti kalau senggang, Lingga berencana untuk mengecat ulang ruangan ini.

Ia menaruh koper di samping ranjang, lalu melepas hoodie yang sedari tadi ia kenakan, menyisakan kaos pendek berwarna putih yang membalut tubuhnya yang kini berotot karena kebiasaan berolah raga secara teratur, juga training hitam berbahan fleece yang nyaman.

Tatapan Lingga terarah pada jendela kamarnya yang berukuran 120*150cm. Dari sana, nampak warna gelap langit malam mulai memudar, digantikan gradasi lembut dari biru ke jingga, merah muda, hingga semburat keunguan yang menari di cakrawala.

Langkah panjang lelaki itu terarah menuju ke jendela, sudut bibirnya terangkat saat melihat pemandangan balkon yang begitu familiar—balkon yang berjarak 2 meter dari jendela kamarnya itu merupakan balkon kamar tetangga belakangnya.

Ngomong-ngomong tentang tetangga belakang rumah itu, gimana kabarnya sekarang...?

Lingga dan keluarganya pindah ke Yogyakarta tepat setelah ia lulus SMA. Lingga berhasil masuk ke salah satu universitas negeri ternama di kota itu, dan tak lama setelahnya, Ayahnya di mutasi juga ke kota yang sama.

Sudah 6 tahun Lingga sekeluarga meninggalkan Kota Bandung. Rumah mereka awalnya dikontrakkan, tapi, sudah setahun kebelakang dibiarkan kosong. Orang tua Lingga memang ingin kembali pindah ke kota ini setelah pensiun, tapi karena berbagai macam hal, rencana itu baru bisa terealisasi di tahun ini.

Lingga sendiri menyukai ide kembali tinggal di Bandung. Pekerjaannya sebagai data scientist sebuah perusahaan game internasional juga mendukungnya untuk tinggal berpindah-pindah. Ia memang merasa nyaman tinggal di Jogja, tapi Bandung selalu punya tempat tersendiri di hatinya.

Tangan Lingga terulur untuk membuka jendela, ingin membiarkan udara segar pagi untuk masuk. Tapi gerakannya terhenti saat melihat pintu balkon di seberang terbuka lebar.

Napasnya tertahan saat sedetik kemudian, muncul seorang perempuan yang sudah lama sekali tak ia temui. Dia Sabina. Tetangga sekaligus teman masa kecilnya, yang entah kenapa tega memblokir semua akses komunikasi mereka.

Perempuan itu terlihat... berbeda.

Seingat Lingga, rambut keriting Sabin—begitu ia biasa memanggilnya, tak sepanjang itu. Wajahnya masih sekecil dulu—dengan mata bulat, hidung mungil, dan bibir yang selalu Lingga ejek mirip bebek— tebal dengan bentuk yang menggemaskan, yang akan semakin lucu ketika perempuan itu cemberut karena menahan kesal.

Lingga menelan ludah saat Sabin mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sambil membusungkan dada, jantungnya berdebar dua kali lebih kencang saat melihat jiplakan puncak dada perempuan itu pada dress santai tak berlengan yang ia kenakan.

Oh, sial.

Tak sampai disana, sesaat setelah melakukan gerakan peregangan itu, Sabin mengucek matanya dan bersandar santai pada balkon sambil menatap ke arah langit, menampakkan belahan dadanya yang sekal.

Pemandangan ini tak baik untuk Lingga, ia tahu karena sesuatu di dirinya mulai bereaksi. Setengah dirinya berseru untuk bersikap seperti gentleman dengan berpaling dari jendela, karena ia tahu Sabin pasti tak tahu dia sudah kembali menempati kamar ini—kalau tahu, Lingga berani bertaruh perempuan itu tak akan keluar balkon kamarnya mengenakan baju seterbuka itu.

Tapi setengah dirinya lagi merasa enggan untuk beranjak dan melewatkan pemandangan ini, dan dengan senang hati ia menuruti sisi dirinya yang itu. Entahlah. Mungkin dia memang brengsek.

Tiba-tiba, Sabina berdiri tegap dan memerhatikan kaca jendelanya. Sejenak, Lingga merasa ia tertangkap basah sedang memerhatikannya. Tapi kemudian, ia ingat kalau kaca jendelanya sudah dilapisi kaca film reflektif—kemungkinan besar, Sabin sekarang sedang memerhatikan dirinya sendiri.

Yang dilakukan Sabin kemudian membuat Lingga tambah melotot. Perempuan itu mengangkat kedua tangannya dan meremas-remas payudaranya sendiri. Keningnya berkerut, seolah sedang merasa gelisah. Lalu, gerakannya terhenti di satu titik—dan ia pun menghela napas panjang sambil memejam.

Lingga tak tahu apa yang terjadi. Ia terlalu terpukau dengan pemandangan itu. Bahkan sampai Sabin mengambil handuk dari jemuran kecil dan kembali masuk ke kamar— membiarkan pintu kamarnya terbuka— Lingga masih terdiam di tempatnya.

Sialan, Sabina, masih pagi nih!!

Suara ketukan pintu membuat Lingga terkejut, secepat kilat ia mengambil hoodie yang tadi ia sampirkan di kursi kayu untuk menutupi apa yang terjadi dibawah sana—

Kepala Ibunya menyembul dengan senyum lebar merekah.

"Udah sholat belum A?"

"Belum! Ini mau mandi dulu, biar seger."

"Oh ya sok atuh, kamar mandinya juga udah dibersihin." sahut Mama. "Kalau mau sarapan ada nasgor ya di bawah."

Lingga mengangguk dan cepat-cepat beranjak menuju ke kamar mandi yang terletak di sudut kamar.

Sungguh, tubuhnya butuh diguyur air dingin sekarang!

***
 

Setelah mandi dengan air sedingin es, kantuk yang sempat Lingga rasa ketika menyetir seolah menguap begitu saja. Jadilah ia turun dan sarapan bersama Mama dan Papapnya yang baru saja bangun tidur.

"Nanti kita mau adain pengajian, A." kata Mama. "Sekaligus ngasih tau tetangga kita balik lagi tinggal disini."

Lingga menelan suapan nasi gorengnya yang terakhir sebelum menyahut. "Kapan tuh?"

"Lusa, insyaAllah."

"Oke oke."

Suara pembawa berita dari TV yang dibiarkan menyala sejenak mengalihkan perhatian mereka—ada mayat wanita ditemukan di sebuah indekos, diduga ia gantung diri karena putus asa hamil dan ditinggalkan oleh sang pacar.

"Naudzubillah A, jangan sampai kamu gitu ke perempuan. Jaga harkat martabat keluarga. Omat!" nasihat Papap sambil geleng-geleng.

Lingga meringis. "Nggak bakal atuh, Pap."

"Lamun kebelet kawin, ngomong! Nanti Papap cariin, banyak kenalan Papap punya anak gadis geulis, sholehah,"

"Ih apaan, orang Aa masih umur 24 tahun, masa udah disuruh kawin."

"Kawin, kawin, lain kawin tapi nikah!" koreksi Mama. "24 mah udah bisa atuh A, kemarin aja Aa Hanif sama Teh Fera lulus kuliah langsung nikah."

Kedua alis tebal Lingga terangkat. "Hanif sama Fera anak Karang Taruna?"

"Iyah!! Jodohnya meuni deket yah,"

Lingga terdiam, pikirannya tiba-tiba tertuju pada satu sosok. "Kalau anaknya Pak Saifullah? Udah pada nikah?"

"A Narendra mah udah atuh, udah punya anak juga. Istrinya perawat katanya."

"Hmm.. adiknya?"

"Sabina? Sabina mah belum, eh, dia kan sekarang ngajar di SDIT Permata Hati A."

Mendengar nama sekolahnya disebut, kedua mata Lingga melebar. "Oh ya?"

"Iyah!" sahut Mama bersemangat. "Kemarin sempet tinggal di Jakarta, kerja, tapi katanya nggak betah, pas diterima jadi guru di SDIT langsung deh pulang."

"Mamah tau dari mana sih?" tanya Papap heran.

"Mama kan suka telfonan sama Bu RT, sekalian nanya kondisi rumah, sekalian diceritain soal tetangga-tetangga disini."

"Pantesan.."

Lingga tak menyahut lagi. Kepalanya dipenuhi bayangan tentang kejadian di balkon tadi pagi. Seketika, tubuhnya kembali bereaksi. Ia menggeram dan cepat-cepat bangkit berdiri.

"Aa mau jogging keliling komplek dulu ya." pamitnya.

"Jogging? Nggak capek emang??"

"Nggak kok." jawabnya bohong.

Sebenarnya, tubuh Lingga memang terasa lelah. Tapi, ia butuh pengalihan agar tak berpikir untuk melakukan suatu hal yang sudah lama sekali tak ia lakukan—dan tak berniat lagi ia lakukan.

Ck. Gara-gara si Sabina sih!

 

***
 

CHAPTER 2 - Kembalinya seorang mimpi buruk

 

Ada benjolan di payudara sebelah kirinya.

Sabina menatap murung pantulan tubuhnya di kaca jendela rumah belakang yang tak berpenghuni. Awalnya, benjolan itu berukuran kecil, tapi selama setahun terakhir, Bina sadar benjolannya bertambah besar.

Ia menggigit bibir, tangisnya hampir menyeruak ketika teringat almarhumah ibunya yang meninggal karena penyakit kanker payudara.

Apa ia akan bernasib sama...?

Kepalanya menggeleng untuk menepis segala kekhawatiran yang menyerang. Ia segera meraih handuk di jemuran, bersiap untuk menghadapi hari.

Nanti, ia akan bicarakan hal ini pada orang tuanya. Sekarang, ia harus cepat pergi ke sekolah agar tak terlambat mengikuti briefing pagi.
 

***

"5 minutes left!!"

Sabina tersenyum lebar melihat anak-anak kelasnya, yang sering ia sebut the krucils, begitu bersemangat menyelesaikan potongan puzzle yang lumayan rumit.

Ia melirik ke jam tangan g-shock berwarna mint-baby pink yang melingkari pergelangan tangannya.

"3 minutes left!!"

Situasi langsung bertambah riuh. Kali ini, ia menantang ke-23 anak itu untuk bekerja sama menyelesaikan puzzle dalam waktu 15 menit. Kalau berhasil, ia akan berikan hadiah berupa kesempatan mereka untuk menonton film seru di proyektor selama 30 menit.

Sebenarnya, agenda pelajarannya hari ini memang menonton film, tapi ia sengaja mengajukan tantangan dulu agar lebih seru.

"Done!!! Miss B!!!"

Miss B itu panggilan Sabina disekolah. Sementara guru-guru lain dipanggil Ustadzah, Sabina punya hak khusus untuk dipanggil 'Miss' karena ia seorang guru bahasa Inggris.

"Let me see, wahhh emang keren dan kompak banget anak-anak kelas 4 Umar Bin Khattab!!" pujinya saat melihat puzzle berukuran setengah meter itu telah tersusun menampakkan gambar pemandangan laut lepas.

"Sekarang rewardnya, boleh menonton film, but please be quite, jangan berisik— itu aturannya. Paham?"

"Siap Miss!"

"Now please get back to your seat, while i am preparing the movie."

Setengah jam kemudian, Sabina menayangkan film pendek berbahasa inggris yang cukup menarik atensi the krucils. Sepanjang film, para bocah kelebihan energi itu tak hentinya mengoceh dan mengomentari semua adegan. Beberapa kali, Hanifa, sang ketua kelas mendesis agar teman-temannya diam.

Sabina terduduk di kursi guru, mati-matian menahan matanya agar tak memejam. Semalaman, ia tak tidur karena begadang menonton drama turki yang tiba-tiba mampir di fyp tiktoknya. Uh. Sial. Rasanya ia ingin sekali segera rebahan di kasur sekarang juga.

Bel pulang sekolah yang nyaring berbunyi menjadi penyelamatnya. Owyeaaaah waktunya pulang!!

"Alright, time's up!"

"Miss B, bentar lagi tamat itu, tanggung, lanjutin yaa?"

Bina melirik kearah laptopnya, tersisa 5 menit lagi sampai film pendek itu berakhir.

"Oke deh, karena ini hari jum'at, boleh."

Sahutan bahagia para bocah langsung terdengar. Bina juga tak kalah merasa gembira, kantuknya menguap entah kemana, menyadari kalau besok sudah akhir pekan.

Ia sudah berencana untuk mendekam di kamarnya seharian, menamatkan serial netflix seru yang baru sempat ia tonton 4 episode. Baru membayangkannya saja, hati Bina begitu bersemangat.

Menjadi guru SD itu menyenangkan, tapi sungguh melelahkan. Jam kerjanya sebentar, tapi tiap harinya terasa seperti marathon bagi Sabina. Suaranya sering habis, karena terus-menerus bicara dengan volume tinggi agar terdengar diantara ocehan anak-anak.

Tapi tak apa. Ini jauh lebih baik ketimbang dulu ketika ia bekerja sebagai recruiter di salah satu perusahaan portal job ternama di Jakarta. Memori tentang masa kelamnya menjadi kacung atasan membuat tengkuk Bina meremang. Sial. Pasti stress saat itulah yang membuat benjolan di payudaranya semakin membesar.

Setelah menyelesaikan film, melakukan quick sharing session yang ditutup dengan berdoa bersama, Bina baru membubarkan kelas. Ia segera merapikan barangnya yang tercecer diatas meja, lalu beranjak menuju ke ruang guru.

Cepat-cepat, Bina menyelesaikan jurnal harian mengajarnya di hari itu. Untung saja hari ini tak ada rapat atau kegiatan tambahan untuknya, jadi, ia bisa langsung pulang ke rumah.

Setelah berpamitan pada beberapa guru yang masih berkutat di kubikel, Bina segera mengganti sendal bulu-bulu hijaunya dengan sepatu. Sekolah ini berada tepat diseberang gerbang cluster perumahannya, jadi Bina selalu pulang pergi dengan berjalan kaki.

"Pulang, Miss B?

Bina menoleh mendengar suara familiar itu. Senyumnya mengembang saat bertatapan dengan Ustadzah Ghania, seorang guru matematika yang selalu bersikap hangat padanya sejak kali pertama ia menjadi guru di sekolah ini.

Semenjak pernah mendapat rekan kerja macam bajingan, Bina jadi sangat menghargai perlakuan baik orang sekitarnya.

"Iya nih, Ustadzah belum mau pulang?"

"Belum, nunggu suami selesai isi eskul dulu."

Kepala Bina mengangguk-angguk. Suaminya Ustadzah Ghania, Ustadz Adam, juga merupakan guru di SDIT ini. Menurut Bina, mereka adalah deskripsi dari couple goals. Keduanya sama-sama good looking dan berakhlak baik—interaksi mereka berdua juga selalu terlihat manis dan menggemaskan, malu-malu tapi mau, macam abg sedang dimabuk asmara, kalau kata Bina.

"Hati-hati jalan pulangnya Miss."

"Iya, ustadzah juga hati-hati ya," balas Bina, masih dengan senyum lebar terulas di bibir. "Aku pulang dulu, Assalamualaikum !"

"Waalaikumsalam."

Dengan langkah yang diayun riang bak anak TK baru dibelikan mainan, Bina menyusuri jalan menuju ke gerbang cluster perumahan. Cuaca sore ini terasa lembab, seolah sebentar lagi akan hujan. Ia tak sabar melepas gamis dan jilbab lebar yang ia kenakan, dan menggantinya dengan daster andalan.

Semenjak jadi guru di SDIT, tampilan Bina terpaksa syar'i. Ia memang sudah memutuskan untuk mengenakan hijab semenjak lulus kuliah, tapi cara ia menutup aurat masih jauh dari kata sempurna. Malah sampai sekarang, kalau keluar ia masih pakai pashmina kaos tanpa peniti + topi.

Tapi tak apa, ia sekalian belajar dan membiasakan diri. Toh, memang ini cara yang paling benar menutup aurat, kan?

Bukan apa-apa. Tekanan dan tuntutan di tempat kerjanya sekarang jauuuuuuh lebih ringan dibanding di tempat kerja dulu. Bina menghela napas mengingat saat-saat ia selalu gemetar ketika memegang handphone atau membuka laptop. Bahkan, ia sampai punya tendensi untuk self-harm saking merasa frustasinya.

Ya. Memang separah itu dulu!

Bina menggeleng. Berusaha menghilangkan memori kelam itu dari pikirannya. Tarik napas.... buang.... tenang! Semua itu sudah berakhir Sabinnnn!

"Ehhhhh Sabina!"

Bina celingak-celinguk saat mendengar namanya dipanggil oleh suara yang tak familiar. Ia berhenti melangkah saat sepeda motor matic berhenti disampingnya. Jantungnya seperti berhenti berdetak ketika tatapannya menangkap sosok seorang laki-laki yang sudah lama tak ia jumpa—

"Baru pulang ngajar yaaa??"

Mulut Bina masih menganga, sementara matanya yang melebar sempurna tak berkedip—

"Mah, Aa emang sekarang ganteng pisan ya?"

"Hah?"

"Ini si Sabina sampai terpesona."

Gelak tawa yang pecah membuat kesadaran Bina kembali. Ia segera mengalihkan pandangan pada wanita paruh baya yang duduk dibagian belakang motor. Tanpa ragu Bina menjulurkan tangan dan salim dengan sopan.

"M-Mama Lingga sehat??"

"Alhamdulillah Bina, kamu gimana? Meuni geulis pisan neng ih, masyaAllah!"

Senyum kaku terulas di bibir Bina. Tangannya meremas-remas gamis dengan gugup.

"Sabina sehat... alhamdulillah."

"Sekarang ngajar di SDIT ya neng??"

"Iya... jadi guru bahasa inggris."

"Alhamdulillah, cocok banget ih Bina jadi guru mah! Eh, besok harus datang ya, ke pengajian di rumah!"

Bina sedikit menelengkan kepalanya, pengajian...?

"Ini—kita kan pindah lagi kesini, Bin!" jelas Mama Lingga dengan sumringah. "Papapnya Lingga kan udah pensiun,"

Kepala Bina mengangguk-angguk. "G-gitu..."

"Akur-akur yah, nanti sama Lingga!"

"Lingga juga... pindah kesini?" tanya Sabina dengan nada yang sarat akan penolakan.

"Iya lah, kenapa? Nggak suka?"

Suara sewot laki-laki itu membuat Bina mundur selangkah. Tatapan mereka bertemu selama beberapa detik sebelum Bina kembali mengalihkan pandangan pada Mama Lingga.

"Ini mau kemana?" tanya Bina berbasa-basi.

"Mau ke toko plastik dulu, persiapan buat besok." jawab Mama Lingga, disusul dengan suara gemuruh petir. "Eh, hayu A, keburu hujan! Nanti ngobrol lagi ya neng!"

Bina tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Matanya sama sekali tak terarah pada Lingga, meskipun ia tahu sedari tadi laki-laki itu memerhatikannya.

Saat motor sudah melaju pergi, Bina setengah berlari menuju ke rumahnya. Napasnya tersengal saat ia berhasil mencapai kamar. Tubuhnya merosot—terduduk dilantai dengan begitu dramatisnya.

Arrrrrgggg!!!

Sialaaaaan. Ngapain sih si Lingga balik lagi kesini?!?!?


 

***

 

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Boy Backdoor - Chapter 3,4,5
0
0
Chapter 3 - Halo, ketemu lagi kitaChapter 4 - Sabina-nya LinggaChapter 5 - Lingga si tengil
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan