TEMAN TIDUR 1&2

28
5
Deskripsi

Kashihugo Bijaksana dan Zemaya November adalah pasangan yang unik. Keduanya memiliki nama yang akan menjadi bahan perbincangan-ejekan-orang. Orang tua yang saling melengkapi; orang tua Hugo begitu ramai, dan orang tua Zema hobinya manggut-manggut saja. Semua keunikan mereka miliki.

Ketika akhirnya dipersatukan karena satu dan lain alasan, keduanya menjadi pasangan paling idiot di dunia.

Hugo si cerewet membuat Zema lebih banyak mengangguk, layaknya hubungan orang tua mereka masing-masing. Hugo yang...

PROLOG

"Seneng? Suka? Begini cara hidup kamu?"

Zemaya benar-benar marah dengan pria itu, suaminya, teman tidurnya.

"Ema-"

Zema menonjok wajah perempuan yang berada di kamar hotel bersama suaminya itu. Amarah mencapai puncak kepala Zema saat ini.

"Astaga, Ema—"

"Diam kamu! Diam di sana!" seru Zema.

Sosok Zema yang sekarang menjambak rambut si wanita bukanlah Zema yang biasanya mengikuti arahan Hugo.

"Kamu lihat, Go? Aku bisa melakukan kekerasan kalo aku mau. Aku benci banget sama kamu yang membandingkan aku. Kamu memilih cerita sama wanita lain. Aku benci banget sama sikap kamu yang cuma pake aku sebagai teman tidur! Aku nggak suka wanita ini denger semua curhatan kamu, apalagi tentang aku!"

Zema menangis dan menghempaskan kepala si wanita yang memilih menjadi pihak tersakiti.

Tatapan Zema terarah pada suaminya. Hugo menatap istrinya dengan takut.

"Karena kamu ngerasa aku terlalu pasif. Aku tunjukkan keaktifan aku sekarang." Zema mengusap hidungnya yang berair. "Asal kamu tahu, Go. Aku nyesel selalu nurut sama kamu sampe aku hamil anak kamu!"

Hugo tersentak. "Ema? Kamu hamil?"

Zema melemparkan vas bunga ke arah Hugo dan berteriak. "Sebentar lagi aku nggak akan hamil lagi. Aku akan gugurin janin ini! Kamu denger itu, Go? Kamu akan lihat seberapa aktif aku bisa menghabisi nyawa janin ini!"

Tidak! Hugo tak mau Zema melakukan itu. Namun, bagaimana caranya supaya Zema tidak melakukan inisiatif berbahaya itu?

CHAPTER 1; ZEMAYA

Zema tidak tahu apa yang sudah terjadi dalam pernikahannya yang berjalan tiga tahun ini. Coba dihitung, tiga tahun bukan waktu yang singkat, kan? Lalu, kenapa Hugo masih tidak bisa membuka diri pada Zema? Butuh waktu berapa lama lagi? Butuh kata 'iya' sebanyak apa lagi? Butuh pengorbanan apa lagi? Zema benar-benar tidak mengerti dengan pria itu. Tidak sama sekali!

"Em, Ema! Dengerin aku dulu."

Zema menatap suaminya yang mengikuti di belakangnya dengan wajah panik. Bagus! Biar takut sekalian kalo anaknya benar-benar akan aku habisi!

"Ema... dengerin aku dulu, please!"

Zema bukan tipikal orang pendendam, tapi rasa kesal yang sudah terlalu sering dipupuk membuatnya menginginkan untuk bisa melakukan sesuatu yang memuaskan bagi dirinya sendiri. Salah satunya adalah mempermalukan suaminya yang sudah mempermalukannya di depan teman curhatnya itu.

Zema melihat sekeliling, di lorong hotel itu akan menjadi tempat yang strategis bagi siapa saja yang lewat atau penghuni kamar yang bisa mendengar pertengkaran mereka.

"Kamu mau aku dengerin apa? Nggak cukup kamu sakitin aku? Nggak cukup aku selalu mengalah dan diam selama ini? Hugo ... aku yakin kamu pria yang cerdas, tapi kenapa kamu memilih wanita lain dari pada aku, istri kamu?"

Hugo menggeleng. "Aku nggak memilih wanita selain kamu, Em. Dia cuma teman, Ema. Dia hanya teman aku."

Ketika ujung mata Zema menangkap bayangan seseorang yang akan melewati lorong, dia melakukan akting menjadi istri tersakiti dan lemah untuk melakukan apa pun. Jika Zema bertingkah terlalu kuat dan mendominasi sekarang, maka kemungkinan besar dia akan ditatap ngeri, bukannya diberikan simpati.

"Hiks! Kenapa aku harus menikah dengan pria yang menjadikan semua wanita sebagai teman?? Ya, Tuhan! Aku nggak tahu harus bersikap gimana lagi."

Zema mendapati Hugo yang panik karena semakin banyak orang yang penasaran dengan perdebatan mereka. Pintu-pintu kamar hotel terbuka dan penasaran dengan kegiatan mereka.

"Ema—"

"Kamu bilang dia teman kamu, Mas? Teman macam apa yang kamu ajak curhat di kamar hotel, hah? Teman macam apa yang masuk ke rumah tangga kita!?"

"Awalnya curhat, lama-lama nyaman, terus goyang di ranjang, Mbak!" seru seseorang yang tidak mereka kenal.

Zema senang karena ada orang yang membuat suasana semakin panas disaat seperti ini. Dia memang ingin membuat nama baik Hugo hancur, juga teman wanitanya. Jika ada yang merekam kejadian ini, Zema sangat bahagia supaya orang tua mereka mengetahuinya dan Hugo tidak akan bisa berkutik jika banyak klien di kantornya yang mundur.

"Ema, jangan dengarkan ucapan itu. Aku bersumpah nggak melakukan apa pun dengan Cinta! Aku berani melakukan apa pun untuk membuat kamu percaya kalo nggak ada kegiatan semacam itu antara aku dan Cinta, Em."

Zema semakin mengeraskan tangisannya, bahkan kini menjatuhkan tubuhnya ke lantai untuk membuat efek dramatis hingga bukan hanya Hugo yang mendekat, tapi orang-orang yang tidak dikenalnya.

"Jangan sentuh istri saya!"

Hugo marah pada pria yang berniat membantu Zema untuk berdiri.

"Apa Anda nggak melihat kondisi istri Anda sendiri? Saya berniat membantu, bukan melakukan hal mesum seperti yang Anda lakukan dengan wanita di dalam kamar itu."

Zema menahan seringai di bibirnya. Hugo harus mendapatkan balasannya karena sudah memperlakukan Zema seperti wanita tidak berdaya dan lemah. Zema tidak akan melepaskan pria itu dengan mudah sebelum Hugo jatuh dan berlutut di bawah kakinya sebelum berpisah.

"Aku sedang hamil anak kamu, Mas. Tapi kamu bisa melakukan penghianatan seperti ini. Apa kamu nggak memikirkan janin yang masih sangat kecil di dalam rahimku? Apa kamu segila itu?"

Hugo terbelalak dengan ucapan Zema yang memang agak terbalik dari teriakan wanita itu sebelumnya.

"Kamu—"

"Aku nggak sanggup." Zema tidak membiarkan Hugo bicara sedikit pun.

Lengan Zema menekan pria yang tadi melawan ucapan Hugo.

"Pak, saya ... tolong antarkan saya pergi dari sini. Tolong bantu saya untuk pergi dari suami penghianat saya. Tolong jauhkan saya dari wanita jahanam di dalam kamar itu juga."

Zema mengucapkan kalimatnya dengan tangisan yang meyakinkan banyak orang bahwa dia adalah istri tersakiti. Meski sebenarnya tangisan itu adalah asli, tapi Zema tak bisa membiarkan orang lain tidak menggunjing Hugo dan teman wanitanya itu. Semua orang, setelah ini, harus menghujat Hugo dan Cinta.

"Saya bantu, Mbak."

"Lancang kamu menyentuh istri saya!"

"Heh, Mas! Malu sama kelakuan!" Salah seorang ibu-ibu membela si penolong Zema. "Udah, itu tolong dibantu si mbak yang hamil muda. Jangan sampe ada apa-apa sama kandungannya. Kasihan. Bawa pergi aja dari suami dan pelakor yang bikin sakit mata!!"

Tidak akan ada yang bisa menyalahkan Zema saat ini, sekalipun dia meminta bantuan pria lain untuk pergi. Zema akan menyiksa Hugo lebih parah dari ini dan membuat pria itu menyesali ide 'teman tidur' dari awal pernikahan mereka!

Lihat saja Hugo, kamu akan sangat menyesali ucapan kamu! 

***

"Di sini, Pak." Zemaya memberikan instruksi pada pria yang membawanya pergi dari hotel. 

"Loh? Ini bukan perumahan, Mbak. Ini, kan, terminal."

Zema tahu dirinya sudah membuat bingung banyak orang dengan sikapnya. Namun, Zema tak mau menjawab segalanya dalam satu waktu. Dia akan pulang ke kampung halaman orang tuanya berada kini, di Semarang. Zema hanya ingin menenangkan pikiran dan pulang ke rumahnya dan Hugo hanya akan membuat kepalanya semakin pusing.

"Iya, Pak. Saya memang mau pulang kampung. Saya nggak kuat kalo harus sama suami yang nggak sayang sama saya."

Semakin banyak orang yang bersimpati, semakin Zema memiliki peluang untuk menekan Hugo. Saat ini, isi kepala Zema tidak peduli dengan ajaran lurus yang mengatakan untuk menutupi aib diri sendiri dan suami. Zema sedang mempertaruhkan pernikahannya yang sudah tidak ada harganya, dan harga dirinya yang terinjak begitu dalam. Ajaran moral apa pun tidak akan mempan dengan isi kepala Zema saat ini.

"Saya turut bersimpati dengan apa yang menimpa, Mbak. Saya juga minta maaf hanya bisa mengantar sampai sini. Saya nggak bisa mengantar Mbak ke kampung halaman. Saya berdoa semoga Mbak diberikan kebahagiaan setelah ujian rumah tangga ini."

Zema mengangguk. "Terima kasih, Pak." Lalu, Zema keluar dari mobil si penolong. 

Zema menatap deretan ruko penjual tiket, dia memilih bus yang biasa digunakan untuk pulang pergi semaja muda dari Semarang ke Jakarta. Sudah lama sekali dirinya bepergian dengan bus, dan baru kali ini dia hanya membawa tas biasa yang berisikan ponsel, dompet dan kartu-kartu milik dirinya dan sang suami yang sengaja dia rampok sebelum berangkat ke hotel untuk memergoki Hugo dan si wanita kecentilan itu.

Tidak ada pakaian yang dia bawa, hanya celana dalam dan kantong plastik untuk berjaga-jaga saja. Celana dalam sangatlah penting karena belakangan kandung kemih Zema suka sekali membuatnya bolak balik ke kamar mandi. Mungkin karena keberadaan calon anaknya membuat hal itu terjadi. 

Zema menghela napasnya. "Gara-gara kamu aku jadi begini, Hugo!"

Menatap sekeliling, Zema memilih untuk menuju penjual minuman dan makanan ringan untuk perbekalan seadanya selama di bus. Dia mendapatkan jatah makan satu kali yang kemungkinan besar jadwalnya pada jam sebelas malam untuk mengisi perut. Anak di dalam perutnya tidak akan bisa menahan rasa lapar hingga jam sebelas malam, maka dari itu Zema membeli nasi dan lauk yang dipisah, serta air mineral. 

Suaminya seorang pengusaha mebel, tapi dia melakukan semua hal seperti orang terhimpit biaya. Namun, tidak ada cara lain yang lebih aman dari pada ini. Jika dia menggunakan pesawat, maka Hugo akan dengan mudahnya menyusul. Zema menggunakan bus karena waktu tempuh yang lama, dan kemungkinan Hugo akan dicecar jika sampai lebih dulu ke rumah orang tuanya. 

Semua rencana ini benar-benar Zema pikirkan dengan matang meski dalam waktu singkat. Dia bisa mendapatkan keberanian ini juga karena janin di dalam rahimnya. Meski mengatakan akan menggugurkannya di depan Hugo, itu jelas bukan ucapan kebenaran. Zema hanya ingin Hugo mati dengan kecemasannya. Zema tahu betul Hugo begitu menyayangi anak-anak, pria itu juga mengharapkan memiliki anak sendiri sejak tahun pertama mereka menikah. Semua rencana Zema ini akan membuat Hugo kelimpungan dan tetap akan disalahkan pihak mana pun dengan semua tindakan yang diambil. 

"Saat semua orang menghakimi kamu, aku akan bersikap menjadi istri yang paling tersakiti, Hugo. Saat itu juga, hanya aku yang bisa menolong kamu dan membuat kamu ketergantungan hingga mengandalkan aku. Begitu kamu nggak bisa hidup tanpa aku, perpisahan adalah jalan yang aku ambil untuk membuat hidup kamu lebih hancur."

Zema tahu dirinya mengucapkannya dengan nada yang sangat pelan, tapi orang lain akan melihatnya seperti orang sinting. Apalagi melihat matanya yang membengkak sisa tangis tadi. Tidak perlu kaget jika orang-orang akan melihatnya dengan tatapan aneh.

[Hugo] Kamu dimana? Ema, aku cari kamu di rumah, tapi kamu nggak ada.

[Hugo] Ema, aku gak mau kamu dan anak kita kenapa-kenapa.

Pria yang membuat Zema sangat kesal rupanya sudah sampai di rumah. Pria itu tampaknya tidak menyelesaikan masalah di hotel dengan wanita menyebalkan itu. Zema akan memikirkan cara untuk menyiksa wanita yang berusaha menjadi orang ketiga dalam pernikahannya itu nanti, setelah Zema memiliki waktu istirahat. Yang pasti, Zema tidak akan membiarkan Hugo jatuh ke pelukan wanita itu. Siapa tadi namanya? Cinta? Zema mendengkus. Namanya saja yang bagus, kelakuannya jauh dari kata bagus.

Hugo calling ...

Zema memutar bola matanya dengan malas. Namun, ini juga waktu yang tepat untuk bersandiwara seolah Zema sedang berusaha menggugurkan anak mereka agar Hugo semakin panik.

"Kenapa kamu telepon aku, Go?" Zema menyapa dengan nada lirih.

"Ema, kamu di mana sekarang?"

"Di mana lagi? Aku mau kamu menyesali semua sikap kamu, Go. Aku nggak mau mengandung anak kamu."

"Astaga, Ema. Jangan lakukan itu, aku mohon! Aku akan jemput kamu sekarang. Kamu kasih tahu kamu di mana?"

"Hugo ... kamu terlambat."

"Ema?? Nggak! Jangan! Ema--"

Zema langsung mematikan sambungan dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas. "Selamat datang di silent hell versikuHugo!"

CHAPTER 2; KASHIHUGO

Kepala adalah tempat paling aman bagi otak untuk bisa digunakan dengan baik. Bagian paling keras hingga ada istilah keras kepala sangking sulitnya bagian itu untuk disakiti. Namun, bagi Hugo saat ini dia merasa kepalanya tidak membuat aman isi di dalamnya. Hugi tidak bisa berpikir dengan baik, bahkan sekarang rasanya begitu sakit karena keluhan pusing akibat permasalahan yang menerpanya.

Hugo tidak pernah mengira bahwa istrinya yang pendiam dan terkesan sangat pasif itu bisa melakukan hal seperti ini. Zema jauh dari kata kejam, bahkan saat Hugo memberikan pernyataan hubungan mereka hanya sebatas teman tidur, perempuan itu tidak memprotes dan mengangguk pasrah.

"Hugo."

Pria itu mendesis dan mengusap wajah penuh kebingungan.

"Kamu mau apa, Cinta? Aku nggak punya waktu untuk mengurus kamu. Aku harus cari istriku."

"Hugo, aku mau minta maaf. Aku menyesal dan ingin menjelaskan ke istri kamu—"

"Cinta, Cinta, Cinta. Tolong berhenti menambah masalah, oke? Aku udah bilang, kan, kalo istriku nggak ada. Aku harus cari dia. Minta maafnya nanti aja."

Hugo tak mau lebih lama ditahan di sini karena istrinya yang sedang mengandung jelas lebih penting. Namun, Cinta menahannya dengan berdiri di depan rumahnya dan terus bicara mengenai penyesalan dan permintaan maaf.

"Aku ikut kamu cari Zema, ya? Aku harus menjelaskan ke dia—"

"Yang ada Ema semakin salah paham! Apa kamu nggak ngerti posisiku sekarang??" Dengan cepat Hugo menunjuk wajah Cinta dengan telunjuknya. "Lagian, apa kamu nggak malu karena udah banyak orang yang anggap kamu pelakor? Aku nggak bisa melanjutkan ini, kesalahpahaman orang lain merugikan aku."

Hugo dengan cepat bergerak untuk mencari tempat praktek aborsi yang ada di sekitar Jakarta. Pria itu agak mendorong tubuh Cinta untuk menyingkir karena wanita itu tidak kunjung menyingkir.

Saat tangannya siap menutup pintu mobil, Cinta kembali menahannya.

"Hugo," panggil wanita itu.

"Apa lagi, Cinta?! Aku buru-buru!"

"Apa kamu ... mencintai Zema?"

Hugo mendengkus. "Menurut kamu apa yang membuat aku bisa bertahan selama tiga tahun?"

"Tapi kamu bilang kalo sifat Zema yang terlalu pendiam dan penurut itu nggak menyenangkan selama kalian menikah."

"Aku nggak suka sifatnya yang pasif, bukan berarti aku nggak suka keseluruhan yang Ema punya." Hugo melepaskan tangan Cinta dari pintu mobil. "Berhenti membuat asumsi sendiri. Aku udah bilang dari awal, aku hanya menganggap kamu teman, Cinta."

Hugo tidak peduli jika Cinta merasa dicampakkan. Karena memang Hugo tidak berniat mendua, dia hanya menganggap mereka sebatas teman. Mengenai pertemuan mereka di hotel, itu murni salah paham saja. Hugo akan menjelaskan pada Zema setelah mereka bertemu.

***

Hugo tidak menemukan istrinya di klinik ilegal aborsi yang ketiga didatangi. Tidak ada nama Zema yang dikenal orang klinik tersebut. Hugo juga tidak tahu mengenai dukun aborsi jika memang ada di Jakarta, karena Jakarta memang sangat luas. Tak mungkin dalam satu malam bisa menemukan semuanya.

Dengan sisa semangat yang dirinya punya. Hugo duduk dibalik kemudi dan menunduk lesu.

Mama calling...

Hugo sedang tidak siap untuk menjawab panggilan mamanya, tapi dia tahu mengabaikan panggilan tersebut juga tidak baik.

"Halo, Ma."

"Kamu nggak beneran selingkuh, kan?!"

Pertanyaan pertama yang menyambut telinganya sungguh tak enak. Bagaimana bisa pula mamanya langsung tahu? Apa Zema langsung mengatakannya pada orang tua Hugo?

"Ema bilang apa sama Mama?"

"Astaghfirullah, Hugoooo!!! Jadi beneran? Ema bahkan belum bilang apa-apa sama mama, tapi kamu langsung bilang begini. Ya Allah!! Hugo ... mama malu! Sangat malu!"

Hugo memijit keningnya yang semakin pusing mendengar isak tangis mamanya di sambungan telepon.

"Ma ... itu salah paham."

"Salah paham apanya!!! Mama nggak bisa bayangin posisi Ema waktu mergokin kamu sama pelakor sialan itu!! Di video itu bahkan Ema nangis dan dalam kondisi hamil!!! Kenapa kamu nggak bilang kalo Ema hamil, hah!? Kamu mau bikin orang tua kamu jantungan!?"

"Video? Mama nonton video apa? Dimana?"

"Toktok! Mama kecewa kamu viral dengan cara begini. Ya Allah!" Dengan keras wanita yang melahirkan Hugo meraung. "Mama mau ketemu Ema, mama mau bilang—"

"Ema hilang, Ma."

Hugo tidak mendengar suara mamanya lagi secara tiba-tiba.

"Ma? Mama?"

Panggilan itu masih tersambung, tapi tidak ada suara mamanya. Perasaan Hugo menjadi semakin kacau. Pikirannya bercabang dan merasa ada sesuatu yang buruk terjadi pada mamanya.

Tidak bisa mencari Zema lagi, Hugo harus lebih dulu pergi ke rumah orang tuanya untuk tahu kondisi sang mama. Meski sejujurnya dia tidak bisa membiarkan Zema pergi, tapi saat ini ada kondisi mamanya yang harus dipertimbangkan juga.

Ema, tunggu aku. Aku janji jelasin semuanya. Aku tahu kamu nggak akan setega itu membunuh anak kita. 

***

Wijaya memandang putranya dengan kekecewaan yang sangat jelas ketika mereka harus berkumpul di ruang rumah sakit. Hugo membuat banyak kesalahan dengan tidak membahagiakan istrinya, mengkhianati pernikahan, dan yang paling penting menelantarkan calon cucu keluarga tersebut. Tidak ada yang bisa Wijaya lakukan saat ini, dia ingin mengungkap kemarahan, tapi sang istri terbaring di ranjang rumah sakit. Dia malu jika amarahnya nanti malah ikut viral seperti kelakuan anaknya.

"Pa, aku minta maaf. Aku nggak nyangka mama bakalan drop sampe begini."

Wijaya tidak menjawab permintaan maaf dari Hugo. Pria tua itu sibuk memastikan kondisi istrinya tidak semakin memburuk. Jika Hugo berani membuat masalah lebih jauh lagi, maka Wijaya yakin bukan hanya istrinya yang sakit, Wijaya juga bisa terkena serangan jantung.

"Pa—"

"Ada baiknya kamu terus menutup mulutmu sampai kamu menemukan istrimu yang sedang hamil!"

Wijaya membenci pengkhianatan, tidak pernah terlintas di pikiran untuk melakukan hal itu kepada sang istri. Namun, putranya malah melakukan hal demikian. Dari mana Hugo belajar? Padahal Wijaya tidak pernah mencontohkan hal buruk pada anaknya.

Hugo meremat bibirnya sendiri karena tidak bisa berhenti bicara. Hugo ingin dimaafkan, itu sebabnya dia terus bicara dan mengatakan maaf.

"Papa ...." Kiana bangun dengan lemas.

"Sayang, jangan bergerak dulu. Tenang, ya." Wijaya menenangkan sang istri.

Tentu saja tangisan Kiana mengisi ruangan itu setelah berhasil menangkap keberadaan putranya di sana.

"Kenapa kamu di sini!? Harusnya kamu cari Ema!" hardik Kiana pada Hugo.

Hugo diam saja. Dia tidak bisa mengatakan bahwa usahanya menemukan Zema di setiap klinik aborsi telah gagal. Mendapati informasi video di aplikasi dan mendengar Zema hilang saja Kiana langsung pingsan dan masuk rumah sakit. Bagaimana jika wanita itu mendengar kabar bahwa Zema berniat menggugurkan janinnya?

Hugo bahkan tidak tahu itu hanya sekadar niat atau sudah terlaksana. Dia tidak bisa menemukan Zema hingga kini, kemungkinan besar terlaksananya niatan menggugurkan janin bisa dilakukan sejak beberapa waktu lalu.

"Kenapa kamu diam saja? Jawab mama kamu, Hugo!" Wijaya ikut menodong putranya untuk bicara setelah sebelumnya menyuruh Hugo diam sebelum bisa menemukan Zema.

"Aku khawatir sama keadaan Mama. Makanya aku tahan dulu pencarian Zema."

Kiana semakin menangis, meraung hingga memukul dadanya sendiri. Wanita itu kepayahan untuk mengerti putrnya sendiri.

"Dosa apa yang aku perbuat sampai anakku tega berkhianat pada istrinya yang nggak kekurangan satu pun aspek, Ya Allah? Apa yang harus aku lakukan supaya anakku bertobat, Ya Allah?"

Wijaya menggenggam tangan istrinya yang sedang dalam mode histeris. Pria itu tidak mau menyuruh istrinya berhenti karena memang lebih baik segala emosi dikeluarkan ketimbang dipendam dan berujung menambah berat sakit fisik Kiana.

"Maafin aku, Ma. Aku memang nggak becus, tapi aku berani sumpah kalo aku nggak selingkuh. Semuanya salah paham, Ma."

Kiana mengibaskan tangan. "Alasan kamu selalu banyak! Pantas saja Zema meninggalkan rumah tanpa memikirkan apa pun lagi. Itu artinya dia capek menahan diri. Banyak hal yang nggak dia ceritakan ke keluarga demi menutupi aib kamu! Kamu memang suami gila, Hugo! Kamu menyakiti Ema yang luar biasa!"

Menghina anaknya sendiri gila adalah bentuk paling tinggi rasa frustrasi Kiana. Dia tidak menyangka bisa mendapati kelakuan Hugo yang seperti ini.

"Kamu cari Ema, Hugo. Jangan kamu biarkan dia terlantar di jalanan." Wijaya berusaha bicara tenang meski kepalanya panas bukan main.

"Aku nggak tahu Ema dimana, Pa."

"Kamu cari ke rumah mertuamu! Kenapa kamu bodoh sekali, sih, Hugo!? Anak perempuan yang tersakiti pasti akan pulang ke rumah orang tuanya!" Kiana terus mencecar Hugo dan menghina Hugo sebagai anak bodoh setelah kata gila.

"Tapi ... dia nggak bilang ke sana, Ma. Tadi aku sempet telepon dia nggak mau kasih tahu dimana."

"Jelas aja Ema nggak bilang, dia nggak mau kamu ganggu dia, anak bodoh! Apa kamu pikir orang kabur akan bilang 'aku mau kabur' dan berharap ditemukan, begitu?!"

Pria adalah makhluk yang paling tidak mengerti bahasa tanda. Pria hanya paham jika diberi paham. Hal-hal yang bersifat menggunakan kode tidak akan dilahap dengan benar.

Hugo yang masih tidak yakin menunduk dan menatap foto profil milik istrinya di aplikasi chatting. Apa benar Zema langsung pergi ke Semarang?

Hugo mencoba memikirkan dengan matang kemungkinan tersebut. Dia tidak boleh gegabah terbang jika ternyata Zema tidak pergi ke rumah orang tuanya.

"Jangan banyak mikir! Kamu bergerak sekarang juga dan cari ke sana! Cepetan!"

Kiana tak sabar melihat putranya yang lamban bukan main.

"Aku telepon orang tua —"

"Nggak akan ada yang mau jawab telepon kamu begitu lihat video perselingkuhan kamu yang dipergoki Ema, bodoh! Mereka akan kompak tutup mulut, Hugo. Apalagi orang tua Ema itu tipe yang pendiam!"

Bener juga omongan Mama.

"Jangan bengong lagi! Gerak! Buktikan kamu memperjuangkan Ema!!!"

Hugo memang bodoh. Pantas jika mamanya mengatakan demikian.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Tt
Selanjutnya TEMAN TIDUR 3&4
28
7
Kashihugo Bijaksana dan Zemaya November adalah pasangan yang unik. Keduanya memiliki nama yang akan menjadi bahan perbincangan-ejekan-orang. Orang tua yang saling melengkapi; orang tua Hugo begitu ramai, dan orang tua Zema hobinya manggut-manggut saja. Semua keunikan mereka miliki.Ketika akhirnya dipersatukan karena satu dan lain alasan, keduanya menjadi pasangan paling idiot di dunia.Hugo si cerewet membuat Zema lebih banyak mengangguk, layaknya hubungan orang tua mereka masing-masing. Hugo yang memiliki banyak inisiatif membuat Zema tunduk dengan kreativitas pria itu. Termasuk ide Hugo mengenai pernikahan mereka.Ema, kita hanya sebatas teman tidur. Aku hidup dengan caraku, begitu juga kamu.Meski penurut, Zema juga bisa membangkang. Apalagi jika 'teman tidurnya' berani untuk membawa teman tidur selain Zema!***Bab ini tersedia secara gratis. Selamat membaca :).
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan