
Karena cerita Complicated Daddy sementara ini nggak aku publish di Wattpad, aku akan tetap melanjutkannya di sini. Bagian ini adalah bab awal-awal (prolog, bab 1, 2, dan 3) yang bisa dibaca gratis dan bagi yang sudah baca nggak perlu baca lagi. Tapi kalo pengen baca lagi juga nggak masalah. Mungkin urutannya akan sedikit mengacak, tapi nggak akan bikin pusing karena ada di label ‘COMPLICATED DADDY’ bersamaan dengan bab-bab lainnya.
PROLOG
"Malam ini saya mau mabuk, Lily."
Lillia Posey tidak mengerti dengan keinginan pelanggan yang dikenalnya di Bar&Stone itu. "Tapi kita sekarang nggak sedang di bar, Mas Oza. Nggak ada minuman untuk mabuk."
Demozza Galendra menatap Lily dengan tak percaya. Gadis di depannya ini tidak pernah menolak perintahnya, tapi selalu menggunakan bahasa lain untuk tidak menyetujui sesuatu.
Demoz tahu mereka sedang berada di rumah pria itu. Rumah yang semula tak Demoz izinkan perempuan manapun untuk menginjaknya, tapi sekarang dia membawa Lily ke sana. Demi semua rencana berhasil. Cuma demi itu.
"Saya memang nggak bilang mabuk dengan minuman, Lily."
Mata bulat Lily mengerjap membuat wajah bulatnya yang semakin terlihat dengan rambut yang diikat ke atas. Demoz tak tahu apa yang terjadi dengan dirinya, tapi ini menyenangkan untuk dilakukan. Memanfaatkan keluguan Lily, pria itu menyukainya.
"Terus, Mas Oza mau mabuk pake apa? Nggak ada hal lain yang bisa membuat seseorang mabuk selain alkohol."
Demoz tersenyum mengetahui bahwa otak Lily tidak sepenuhnya kosong. Gadis ini memang spesial dengan caranya yang mau belajar banyak hal.
"Kamu mau tahu hal apa selain alkohol yang bisa membuat mabuk?" tanya Demoz seraya mendekatkan diri pada Lily yang mencoba berpikir.
Gadis itu tidak menampik kedekatan yang mereka punya selama beberapa minggu ini mampu menggulirkan ketertarikan kuat satu sama lain. Itu sebabnya Lily tidak mundur atau menghindar ketika Demoz sekarang mengikis jarak diantara mereka. Tak apa, mereka tidak berada di bar. Lily tidak melanggar aturan Bar&Stone, dimana pelayan tak boleh 'melayani' pengunjung lebih dari semestinya. Mereka berada di kediaman Demoz, tak akan menjadi masalah.
"Kamu sudah menemukan jawabannya, Lily?"
Lily menggeleng tak fokus. Dia sibuk mengamati wajah Demoz, khususnya bibir pria itu.
"Kalau begitu," gantung Demoz karena sekarang dia akan bicara tepat di depan bibir gadis itu. "saya beritahu jawabannya sekarang, Lily."
"Apa?" balas Lily sangat pelan.
"Hal memabukkan selain alkohol adalah bercinta."
Lily tertegun dan tak bisa berkata-kata.
"Apa kamu sudah pernah mabuk dalam bercinta?" tanya Demoz yang hanya diniatkan untuk memancing reaksi gadis itu saja.
Lily menggeleng pelan lagi. Pandangannya mulai berbayang dan sukses menggelap ketika Demoz bergerak menyatukan bibir mereka. Lily akan mabuk dalam percintaannya dengan pria itu. Ah ... cinta. Sepertinya Lily mulai gila karenanya.
PART 1
Aroma tubuh Lily semerbak persis seperti namanya, aroma bunga. Demoz tak tahu apa yang gadis itu pakai di tubuhnya hingga membuat pikiran Demoz melayang di langit ketujuh. Ini momen pertama yang gadis itu punya bersama seorang pria, jadi Demoz melarang akal di kepalanya untuk bertindak gegabah dalam bercinta. He loves fuck hard! Namun, kemampuan Lily tidak akan mampu mengimbangi Demoz. Yang ada justru Lily bisa trauma dengan gaya bercinta yang Demoz suka. Lagi pula ini momen pertama Lily, mana mungkin Demoz mendorong tubuhnya dengan kekuatan penuh? Gadis yang masih naif suka disentuh dengan lembut, seperti fantasi para perempuan yang digambarkan dalam film. Demoz akan ikuti cara tersebut.
"Ini pertama kali kamu dekat dengan laki-laki?" tanya Demoz dengan jilatan di telinga Lily hingga membuat gadis itu terkesiap.
Lily tidak tahu bahwa telinganya yang dijilat bisa membawa getaran di perut bawah gadis itu. Getaran yang tidak pernah Lily kira mampu melengserkan logikanya hingga ke jurang paling dalam dan sekarang dia benar-benar tidak berakal. Hidupnya yang terlalu datar tidak pernah membawa Lily untuk bisa mendapatkan kesempatan semacam ini. Demozza adalah lika liku yang datang, membawa gelombang naik dan turun persis seperti gerakan konstan yang akan pria itu lakukan di atas tubuh Lily.
Gadis itu menelan ludahnya yang terasa bagaikan kelereng. Semakin dipaksa tertelan, semakin kelihatan betapa gugupnya Lily. "Saya nggak pernah dekat dengan laki-laki sejauh ini, Mas."
Demozza tersenyum bangga. Entah karena mendengar pengakuan Lily atau karena menemukan gadis yang jauh dari kriterianya. Kepolosan Lily membuat Demozza ingin sekali memberantas habis karakter tersebut. Demozza ingin melihat bagaimana Lily bergerak dengan tubuhnya sendiri dan memohon dipuaskan oleh Demozza.
"Kalau begitu ... akan melindungi kamu."
Lily menatap mata Demozza dengan pertanyaan yang diwakilkan oleh bibir gadis itu. "Melindungi dari apa?"
Demozza mengatur posisi mereka hingga kini dia berdiri menjulang dan Lily tetap di posisi duduknya. Gadis itu menyandarkan punggung dan memaksa lehernya mendongak untuk memuaskan mata agar tidak terlewatkan sedikitpun pergerakan yang dilakukan Demozza.
Lily sedang menikmati fantasinya yang menjadi nyata. Seorang pria bertubuh terlatih sedang menarik ujung kaus yang dipakai di depan mata Lily. Setengah telanjang adalah bagian yang lebih dari cukup bagi Lily. Namun, Demoz memberikannya lebih. Pria itu menurunkan zipper celana secara perlahan hingga Lily yakin bisa mengeja bunyinya di telinga.
Gerakan Demoz tidak ada yang gagal untuk menarik perhatian Lily. Ketika reseleting celana pria itu sudah benar-benar terdesak di ujung, Lily semakin banyak memproduksi liur di mulut hingga berulang kali menelannya kasar. Aku haus! Lily tahu dirinya sendiri sedang kehausan, tapi bukannya mencari air minum, dia justru semakin membawa pandangan ke arah kejantanan Demoz.
Aku haus. Plis, aku haus banget!
"Kamu sangat haus? Biar aku ambilkan air."
Eh? Bukankah tadi Lily menyerukan kalimat itu di dalam pikirannya sendiri?
Terlambat untuk menanyakan hal itu pada Demoz, karena pria itu sudah berjalan dengan kaki yang lepas dari celana jins miliknya. Udah lepas? Sungguh Lily terdistraksi pada gerakan bokong pria itu. Tak seperti di film yang lebih banyak menyorot bokong pemeran utama wanita, Lily jelas sangat menyukai framing bokong seorang pria yang sedang mengambilkannya segelas air.
Saat pria itu berbalik dengan seringai dan sesuatu yang menonjol dibalik celana dalam berlogo Calvin Klein, Lily baru tahu bahwa Demoz adalah pria modis yang bisa termakan iklan juga. Buktinya untuk pakaian dalam saja pria itu mengambil produk yang semakin besar namanya sejak menggunakan salah satu personel girl grup Korea Selatan sebagai brand ambassador-nya.
Untuk sesaat Lily memang menjunjung sisi pemalunya untuk menolak menatap kegagahan pria itu yang kini kembali menjulang di depan wajahnya. Mau ngapain, sih, posisinya begini?
"Kamu haus, kan, Lily?" tanya Demoz lagi.
Lily mengangguk dengan gugup. "I-iya, Mas."
"Berdiri."
Perintah pria itu tidaklah garang seperti yang biasanya manajer Bar&Stone lakukan. Namun, Lily langsung mematuhi Demoz tanpa berpikir apa-apa.
Lily menatap Demoz ragu, sedangkan pria itu tidak sama sekali.
"Mas, minumnya—"
"Berdiri, diam di situ. Saya yang akan kasih kamu minum."
Lily tidak tahu konotasi dari diberi minum oleh pria yanh hampir telanjang itu. Gadis itu memilih diam dan melihat gerakan Demoz yang meneguk air yang dibawanya tadi. Harusnya itu untuk Lily, kan?
Demoz memberikan satu gerakan cepat yang membuat Lily tak sempat mengelak—memang Lily tak ingin mengelak. Ciuman yang Demoz berikan adalah cara dimana pria itu memberikan air minum untuk Lily yang malah semakin membuat gadis itu haus.
Beginilah cara Demoz memberikan minum untuk Lily. Menumpahkan air minum dari bibir pria itu ke bibir Lily yang tidak berakhir mengobati dahaga gadis itu sama sekali. Yang ada justru Lily bisa merasakan aroma pria itu dan merasakan cairan dari mulut pria itu. Harusnya Lily merasa jijik, tapi kenyataannya tidak sama sekali.
"Lakukan apa yang aku ajarkan. Paham?" bisik Demoz memulai segalanya.
Pria itu menjamah Lily untuk pertama kali dengan cara paling halus, dia tidak membuat Lily terkejut sama sekali meski ini adalah pengalaman pertamanya. Ketika Lily merasa tubuhnya diangkat dan dibawa ke kamar pria itu, Lily merasakan desakan yang luar biasa. Kejantanan Demoz membelah tubuh Lily dan mengacaukan isi kepala gadis itu.
"Ingat ini, Lily. Ingat bahwa aku satu-satunya untukmu."
Ahh.
"Hng, Lily."
Demoz memejamkan matanya hingga bisa merasakan aroma Lily persis seperti mereka melakukannya pertama kali.
"Lily ..."
Demoz semakin menggila memijat sesuatu di bawah sana.
"Lily!"
Deru napas Demoz menggebu, kepalanya disandarkan ke dinding kamar mandi. Matanya masih terpejam merasakan sensasi dari hand job yang dirinya lakukan sendiri seraya membayangkan seks pertamanya dengan Lily.
Dia merindukan gadis itu. Selama berbulan-bulan mencari hingga bertahun-tahun, hanya ini ujungnya. Demoz yang memanjakan kejantanannya dengan tangan sendiri karena dia tak bisa melampiaskan gairahnya pada Lily.
"Di mana kamu Lily?"
***
Demozza dibuat bingung dengan rumah sang nenek yang dipenuhi dengan mainan anak-anak. Sejak kapan neneknya menikah lagi? Atau apakah neneknya diam-diam mengadopsi bayi di rumah itu? Aroma yang muncul dari rumah neneknya mendadak berubah menjadi aroma bayi dan Demozza terkejut dengan perubahan tersebut. Sesaat memasuki rumah neneknya, dia tidak mengenal Demoonel yang hobi menggunakan pengharum ruangan aroma melati lagi. Aromanya berganti dengan varian ... minyak telon? Entahlah, Demoz tidak yakin dengan aroma bayi apa pun.
"Kenapa Oma mau aku datang?" tanya Demoz dengan nada malas yang begitu kentara.
"Nggak ada yang spesial, oma cuma mau kamu segera menikah."
Dia baru menyelesaikan satu ritual di kamar mandi rumahnya dan mandi ketika sang nenek menghubunginya untuk datang ke tempat wanita tua itu sekarang tinggal. Rumah besar yang didominasi oleh halaman luas, setelah banyaknya alasan dari Demoonel tak mau tinggal di tanah airnya sendiri. Sekarang, entah hal apa yang bisa menggedor prinsip Demoonel untuk tinggal dan menghabiskan masa tua di Indonesia.
"Ada hal gila apa yang membuat Oma bisa berpikir aku akan mau menuruti keinginan Oma kali ini?"
Demoonel menaikkan bahunya seolah tak peduli dengan apa yang dikatakan berikutnya. "Oma akan mati. Cepat atau lambat aku akan mati, Ozza. Apa kamu tidak ingin seluruh yang aku punya menjadi milikmu? Atau aku bisa saja menghapus namamu—"
Gubraak!
Pembicaraan mereka terhenti karena suara gaduh dari luar pintu ruangan Demoonel.
"Eh, eh! Biarkan saja, Ozza." Demoonel menghentikan langkah cucunya yang berniat melihat.
"Kenapa? Apa yang Oma sembunyikan?"
"Tidak ada. Tidak ada." Demoonel kelihatan begitu gugup. "Kita lanjutkan pembicaraan kita saja."
Demozza tidak menuruti ucapan neneknya dan tetap berjalan untuk melihat siapa pelaku kegaduhan tadi.
Membuka pintu lebih lebar dengan kasar, Demoz tidak menemukan pelaku besar yang memecahkan guci besar dan mahal milik neneknya di depan pintu. Demoz hanya menemukan seorang anak kecil yang cara berdirinya masih agak oleng dan memamerkan gigi tak lengkapnya.
"Pap pa, pap pa."
Anak siapa ini?
PART 2
Demoonel menatap cucunya dengan bingung. Namun, dia lebih memilih memastikan bocah gembul yang sedang berusaha berjalan ke arah mereka itu untuk berhenti.
"Dimi, no!" Moonel berteriak kepada bocah kecil itu hingga membuat yang dilarang mencebikkan bibir dan mulai menangis.
Demozza tidak suka dengan kegaduhan. Terlebih lagi kegaduhan itu berasal dari anak kecil yang tidak bisa mengerti situasi. Padahal, orang dewasa akan patuh bila diingatkan oleh Moonel karena lantai di depan anak itu dipenuhi dengan pecahan guci mahal Moonel. Bukan berarti Demoz lebih mementingkan mengenai seberapa mahalnya guci neneknya saja, tapi anak itu sudah membuat banyak kekacauan di sini.
"Cup, cup, cup, Sayang. Jangan menangis, don't cry, My Baby Bala Bala." Moonel melangkahi lantai penuh pecahan beling dengan hati-hati dan langsung meraih anak itu dalam gendongan.
Demoz tidak pernah menyangka bahwa neneknya masih sanggup menggendong balita yang ukuran tubuhnya sudah bisa diperkirakan dari penampilannya itu. Gembul. Demoz yakin pinggang neneknya akan rontok bila dipaksa lebih lama lagi menggendong anak kecil itu.
Moonel sibuk menenangkan si kecil hingga Demoz datang dan mengambil alih gendongan neneknya. "Biar aku yang gendong, Oma bisa sakit pinggang kalo lebih lama gendong anak ini."
Moonel menahan napasnya untuk sejenak dengan inisiatif yang dilakukan oleh cucunya. Tidak mengira bahwa Demoz akan mau segera menggendong Dimi dengan sukarela dan tanpa perlu paksaan. Setahu Moonel, cucunya itu tidak akan mudah mengurus seorang anak jika bukan miliknya sendiri. Demoz adalah tipe pria yang bukan penyayang anak, tapi Moonel tahu Demoz bisa menyayangi anaknya sendiri dengan baik.
"Kenapa Oma mandangin aku begitu?" tanya Demoz dengan tak suka. Pria itu tak suka diberikan pandangan yang menjelaskan bahwa neneknya memang tidak bisa mempercayai segalanya.
"Kamu bisa memegang anak kecil?"
"Memegang? Memangnya Oma pikir anak ini apa? Aku nggak megang dia, ya. Aku gantiin Oma gendong anak ini karena kelihatannya bisa bikin Oma sakit pinggang dengan bobotnya yang begini."
Moonel menaikkan bahunya tanda tidak begitu peduli denngan apa yang cucunya ucapkan dan memilih untuk bersiap pergi mencari pengasuh Dimi yang melewatkan tugas hingga membuat anak itu bisa mengacaukan guci kesayangan Demoonel. Bukan masalah harganya saja, ini masalah keselamatan Dimi yang harus dijaga. Apalagi ibu dari anak itu harus bekerja tanpa bisa mengawasi Dimi sepenuhnya.
"Atri! Atri!" teriak Moonel yangmulai kesal karena pengasuh Dimi tidak bisa dijumpai. Harusnya dalam situasi seperti ini Atri sudah mencari keberadaan Dimi di setiap sudut.
"Kemana anak itu! Disuruh ngasuh yang bener malah mengacau begini!"
Disaat Moonel sibuk untuk mencari pengasuh Dimi, ada momen dimana Demoz tak nyaman karena ditatap oleh anak kecil dalam gendongannya tanpa lepas sedikitpun.
"Ada apa anak kecil? Kenapa kamu melihat saya terus?"
Demoz memang tidak pernah bisa bersikap baik dengan orang yang baru dikenalnya, terutama anak kecil. Itu karena dia merasa bisa menyakiti anak kecil dalam rentang usia manapun. Dia tak mau berdekatan dengan anak kecil karena ada ketakutan yang dirinya sendiri simpan hingga lupa apa yang menjadi permasalahan dalam dirinya. Demoz tidak membenci anak kecil, dia hanya takut pada makhluk dengan jenis tersebut.
"A ppapapa ... a pap ppa."
Demoz merasa anak kecil di dalam gendongannya ini mulai melantur. "Oma--"
"Sebentar. Kamu pegang Dimi dulu, ya. Oma mau carikan pengasuhnya yang tidak tahu pekerjaan itu. Tunggu di sini!"
Demoz yakin dirinya tidak akan bisa bertahan lama dengan monster kecil digendongannya kini. Jadi, apa yang harus dirinya lakukan sekarang?
***
"Bu, dek Dimi hilang!"
Lily tidak bisa mempertahankan konsentrasinya setelah kabar itu sampai di telinganya. Bagaimana mungkin anaknya bisa hilang? Atri dipekerjakan oleh Demoonel agar menjaga Dimi disaat Lily bekerja, dan sekarang kabar apa yang didapatnya? Putranya hilang? Bagaimana bisa?!
Kepala Lily penuh dengan curiga dan kabar buruk. Sebagai seorang ibu yang mengandung dan melahirkan Dimi dengan penuh perjuangan, mana bisa Lily tetap memilih pekerjaan dibanding putra kesayangannya itu?
Empat puluh menit bergulat dengan drama di dalam kepalanya sendiri, Lily memarkirkan mobilnya dengan asal di pekarangan rumahnya yang kebetulan memang agak dekat dengan kediaman Moonel. Jika tahu celah diantara halaman dan pohon serta tanaman luas milik Demoonel, maka akan menemukan pintu yang bisa membawa ke rumah nenek yang memiliki sifat sedikit nyentrik itu. Namun, Lily tidak pernah mengizinkan Atri membawa Dimi ke rumah Demoonel jika tanpa pengawasan Lily sendiri.
"Anak saya sudah ketemu??! Kamu tadi kehilangan dimana, Atri! Kenapa kamu bisa begitu ceroboh!?"
Atri menggaruk pelipisnya. "Tadi saya ke kamar mandi sebentar, Bu. Dek Dimi saya taruh di tempat tidurnya, saya pikir dek Dimi nggak bakal kemana-mana. Tapi tahu-tahu dek Dimi udah nggak ada di rumah, Bu."
Lily menahan diri untuk menghardik Atri. Dia lebih memilih untuk fokus pada putranya yang masih belum ditemukan.
"Kamu udah kabari oma kalo Dimi hilang?" tanya Lily yang sudah mengeluarkan ponsel dan bersiap untuk menghubungi Moonel agar membantu mencari Dimi.
"Belum, Bu. Saya takut diomeli oma."
"Ya ampun, Atri!!" Lily dibuat gemas oleh kelakuan pangsuh putranya itu.
Lily memilih menghubungi Moonel melalui nomor rumah karena wanita tua itu jarang sekali menyentuh smartphone miliknya. Tidak ada yang mengangkat panggilan tersebut hingga Lily dikejutkan dengan kehadiran Moonel yang tiba-tiba.
"Kamu telepon siapa, Lilia?"
"Oma!" Lily langsung berdiri dan menangis dipelukan wanita tua yang sudah mengurusnya dan Dimi dengan sangat baik. "Oma ... Dimi hilang, Oma!"
"Siapa yang bilang Dimi hilang? Dia ada di rumah oma dan menghancurkan guci besar di depan pintu ruangan oma."
Lily tidak tahu bahwa emosi manusia bisa sangat cepat berubah. Lily bahkan tidak menyadari bahwa tangisannya berhenti setelah mendapatkan penjelasan dari Moonel.
"Dimi di rumah Oma? Kok, bisa?"
Demoonel mengarahkan tongkatnya pada Atri. "Justru oma mau tanya kenapa Dimi bisa dibiarkan ke rumah oma tanpa pengawasan!? Untung saja dia nggak terluka, coba kalo dia kenapa-napa? Anak itu, kan, jalannya belum lancar. Gimana kalo dia jatuh? Gimana kalo dia pegang duri bunga oma di halaman? Kamu ngapain saja kerjanya Atri!?"
Moonel selalu mengamuk jika Atri bekerja tidak sesuai apa yang Moonel harapkan. Sudah bukan hal baru ketika Moonel marah-marah pada Atri seperti ini.
"Aku mau lihat Dima, Oma. Aku mau bawa dia--"
"Jangan! Kali ini kamu jangan ke rumah oma."
Lily menatap Demoonel aneh. "Kenapa, Oma?"
"Ada ayahnya Dimi di sana. Hari ini dia berkunjung dan oma nggak tahu Dimi bisa memiliki insting sekuat itu dengan ayahnya sampai bisa kabur dari Atri dan memecahkan guci oma untuk membuat ayahnya keluar dan melihatnya."
Mas Oza? Lily tidak baik-baik saja mendengar nama itu. Dia sekarat jika mendengar nama Demoz. lebih dari dua tahun dia menghilang karena Moonel menyembunyikannya, meski begitu Lily tetap takut jika Demoz menemukannya.
"Apa yang dia lakukan kepada Dimi, Oma? Dia akan menyiksa Dimi--"
"Nggak, nggak. Tenang saja. Dia nggak tahu Dimi anaknya. Dia sedang menggendong Dimi karena takut pinggang oma sakit kalau menggendong Dimi yang besar." Moonel mengusap bahu Lily. "Kamu kenapa malah pulang? Kantor membutuhkanmu, kenapa pulang?"
"Atri ... Atri bilang Dimi hilang tadi. Aku panik, Oma."
Moonel menghela napas dan menatap Atri dengan tajam. "Lebih baik kamu kembali ke kantor. Oma takut Ozza malah menyadari kamu tinggal di sini kalo kamu di rumah. Lewat jalan memutar saja, jangan lewat depan rumah oma. Mungkin Ozza akan menyadari plat mobil yang dulu sering oma gunakan. Kamu harus mulai berhati-hati karena kita tinggal di negara yang sama dengan Ozza, Lilia."
Ya, Lily harus mulai sangat berhati-hati.
PART 3
Demozza menatap bayi dalam gendongannya dengan bingung. Kernyitan di keningnyanya menandakan bahwa Demozza tidak benar-benar bisa nyaman menggendong anak itu. Bagi Demozza, si gembul dalam gendongannya ini adalah bayi yang tidak bisa membantunya sama sekali. Neneknya sekarang malah pergi entah kemana dengan waktu yang tidak sedikit, Demozza enggan berlama-lama dengan anak ini, tapi tidak bisa melakukan apa-apa karena tidak ada yang bisa membantunya menjaga makhluk kecil ini.
"Kenapa kamu lihat saya begitu?" tanya Demozza pada Dimi yang menatapnya hampir tidak berkedip. "Hei, makhluk kecil, berhenti menatap saya."
Sayangnya anak kecil seperti Dimi tidak akan pernah mengerti dengan ucapan Demozza yang terkesan kasar itu.
"Pappppp aaaaa."
Demozza semakin mengernyitkan kening. "Saya bukan papa, saya Demozza."
Pria itu tidak sadar bahwa dirinya sekarang terlihat begitu konyol karena bicara demikian dengan balita. Bahkan Dimi hanya sibuk berkata 'pa pa pa' setiap kali Demozza mempertanyakan dan meminta anak itu berhenti menatapnya.
"Mana ibumu? Kenapa anak sekecil kamu bisa menyasar ke rumah Oma? Kamu kenal Oma? Kamu sangat berani sampai menghancurkan guci kesayangannya yang mahal itu, makhluk kecil. Bahkan aku yang cucunya saja tidak akan hidup tenang jika berani menyenggolnya sedikit saja."
"Pap aa pa."
Demozza menghela napasnya dan menyadari sudah mengajak bicara orang yang salah.
"Kamu memang hanya tahu kata papa, ya?"
"Pa pa pppaaaa."
Demoz meyakini bahwa memang bahasa anak gembul itu adalah papa saja. Karena Dimi hanya mengganti intonasi saja tanpa mengganti kata-kata apa pun.
"Dasar anak aneh. Kamu masuk ke rumah ini dan sekarang menjebak saya di sini sampai Oma datang."
"Siapa yang kamu bilang aneh, Ozza?" tanya Demoonel yang datang dengan wajah tak suka.
"Anak ini," ucap Demoz dengan mengangkat tubuh Dimi sebagai penjelasan.
"Anak ini, anak ini. Dia punya nama, Ozza. Jangan panggil dia hanya dengan sebutan anak ini."
Demoz tampak tidak peduli dan mengamati kedatangan perempuan yang diyakini sebagai pengasuh si anak gembul itu. Karena menggunakan pakaian pengasuh yang biasa Demoz lihat.
"Kamu pengasuhnya?" tanya Demoz dengan keras. "Kamu mengasuh anak ini dan membiarkannya masuk rumah orang lain? Pekerja macam apa kamu? Harusnya majikanmu berhenti mempekerjakan kamu. Bagaimana jika nyawa anak ini terancam karena kamu yang lalai? Kamu membahayakan anak kecil yang penuh rasa penasaran ini."
Demoonel tahu tatapan Atri padanya menunjukkan kebingungan untuk menjawab Demozza. Jadi, Moonel putuskan untuk menghentikan omelan Demoz pada Atri.
"Berikan Dimi pada pengasuhnya, Ozza."
Demoz menatap Dimi dengan tatapan membaca sebelum memberikannya pada Atri. Sayangnya, anak itu langsung menangis.
"Dimi ... sama Mbak Atri, ya."
"Paaaa au paaaa!"
Dimi benar-benar merengek dan membuat gerakan meminta digendong oleh Demoz. Moonel sampai bingung harus bersikap bagaimana karena cicitnya itu ingin bersama ayahnya.
Demoz menatap neneknya dengan bingung. "Apa anak ini nggak punya ayah, Oma?" tanya Demoz yang menyadari bahwa Dimi menginginkan sosok laki-laki untuk menggendongnya.
Moonel menaikkan kedua alisnya dan sibuk memutar otak untuk menemukan jawaban tepat dan tidak menimbulkan curiga dari Demoz.
"Ya, ayahnya memang nggak ada untuk Dimi sejak lama. Mungkin dia seneng kamu gendong, Ozza."
Demozza tidak langsung meraih Dimi ke gendongannya lagi karena sibuk mengamati Dimi yang merajuk pada pengasuhnya.
"Aku akan menemaninya," ucap Demozza yang mengejutkan Moonel karena bersedia bersama Dimi.
"Ozza ... kamu yakin?" tanya Moonel.
"Yakin. Asal aku meminta izin lebih dulu kepada orang tua anak ini, Oma."
Oh, tidak! Moonel salah mengira akan keinginan Demozza ini.
"Buat apa minta izin ke orang tuanya? Ini ada pengasuhnya. Biar nanti pengasuhnya yang sampaikan."
Atri mengangguk dan tersenyum untuk membantu Moonel.
"Nggak. Aku bukan orang yang suka bermain dengan anak orang tanpa izin. Aku nggak mau orang tuanya salah paham, apalagi anak ini nggak memiliki sosok ayah. Ibunya pasti akan mudah tersinggung kalo anaknya bersama pria asing."
Demoonel mengutuk pikiran Demoz yang terlalu memperkirakan sejauh itu.
"Kalo gitu biar Oma yang ke sana meminta izin. Oma kenal dengan ibunya Dimi karena kami bertetangga cukup lama."
"Nggak bisa, Oma. Aku akan bawa anak ini ke ibunya, minta izin." Demoz menatap Atri dan meminta Dimi untuk masuk dalam rengkuhan Demoz lagi. "Kamu ikut saya. Beritahu saya dimana tempat tinggal anak ini dan ibunya. Kamu juga nanti yang panggilkan ibunya."
Atri kebingungan dengan sikap Demoz. Atri tidak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi ayah Dimi yang tidak disukai oleh majikannya.
"Saya nggak berani bawa orang asing, Pak."
Demoz mengernyit. "Maksudnya? Saya justru mau memperkenalkan diri supaya nggak dinilai orang asing yang ajak anak ini main."
"Em ... ba-bapak lebih baik ajak main dek Dimi aja. Saya yang bakalan bilang ke majikan saya kalo dek Dimi ada di sini sama cucunya oma Moonel."
Demoz tidak tahu kenapa dua orang perempuan itu melarangnya habis-habisan. Dia bukan anak-anak yang bisa dikelabui begitu saja, dan melihat Dimi ... rasanya ada yang berbeda dengan anak itu. Jika bukan cucu Demoonel, maka Demozza tidak akan memiliki kadar keras kepala yang seperti ini. Dia melangkah dengan cepat membawa serta Dimi dalam gendongan dan menuju arah nenek serta pengasuh makhluk kecil itu muncul.
"Makhluk kecil, dimana rumah kamu?" tanya Demoz seolah Dimi adalah lawan bicara yang lebih bisa diandalkan.
"Noh noh."
Demoz menyeringai tipis, dia tahu Dimi adalah makhluk kecil yang jujur. Meski belum tahu siapa anak dalam gendongannya kini, Demoz justru semakin tertantang untuk menemui ibu dari anak ini yang kata neneknya tidak memiliki ayah.
"Ozza!" seru Moonel mengejar cucunya yang langkahnya tidak bisa diimbangi nenek-nenek itu. "Jangan sembarangan ke rumah orang, Ozza!"
Demoz menatap neneknya yang kentara sekali menyembunyikan sesuatu.
"Semakin Oma melarang tanpa alasan yang jelas, semakin aku merasa bahwa ada yang Oma sembunyikan." Demoz mengangkat tubuh Dimi ke depan wajah neneknya. "Anak ini, nggak mungkin seenak jidat masuk ke rumah tanpa terbiasa."
Demoonel menepuk keningnya. "Ya, jelas Dimi terbiasa. Mamanya dan Oma tinggal di lingkungan yang sama. Bahkan sebelum Dimi lahir, Oma membantu mamanya untuk bisa tenang—"
"Siapa ibu dari anak ini yang Oma pedulikan itu? Siapa namanya?" todong Demoz tanpa ampun.
"Amaaa maaamaaa."
Demoz menatap Dimi yang mengisap telunjuknya hingga basah.
"Ama mamama."
Atri mendekat dan meminta Dimi dari Demoz. "Maaf, Pak. Ini sudah waktunya dek Dimi minum susu."
"Saya ikut!"
"Apa???" Atri dan Moonel berseru bersamaan.
"Kamu mau ikut apa, Ozza? Mau ikut nyusu?"
Demozza tahu neneknya memang suka sekali membuat pemikiran konyol. Tidak disangka pemikiran konyol itu dilakukan oleh wanita itu saat ini.
"Oma ... jangan konyol disaat begini. Aku mau memastikan sesuatu." Demoz menatap Atri. "Jalan di depan saya, cepat!"
Demoz tidak akan melepaskan mangsanya lagi kali ini. Jika perkiraannya benar, maka Demoz harus segera mengikat mangsanya.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
