
Karya ini adalah karya terjemahan cerpen After Twenty Years yang ditulis O'Henry tahun 1905. Cerpen ini berkisah tentang dua sahabat yang bertemu kembali setelah 20 tahun berpisah
Setelah Dua Puluh Tahun
O’Henry (1905)
Seorang polisi sedang berpatroli menyusuri jalan dengan sikap mengesankan. Sikap mengesankan itu menjadi kebiasaan, bukan untuk pertunjukan karena jumlah penontonnya pun hanya sedikit. Saat itu baru pukul sembilan malam, tetapi embusan angin serta rintik hujan membuat jalanan hampir sepi.
Dia memeriksa pintu-pintu sambil berjalan dan memutar-mutar tongkatnya dengan gerakan rumit yang indah. Sesekali dia lemparkan tatapan waspada ke arah jalan raya yang lengang. Tubuh tegap dan sikap percaya diri membuatnya menjadi citra sempurna penjaga ketentraman. Lokasi sekelilingnya harus dia jaga sampai dini hari. Kadangkala, terlihat lampu-lampu yang masih menyala di sebuah toko cerutu atau di restoran kecil yang buka sampai tengah malam. Tetapi, sebagian besar tempat-tempat usaha di situ sudah tutup sejak tadi.
Begitu tiba di blok tertentu, polisi itu memperlambat langkahnya. Di ambang pintu sebuah toko perkakas yang gelap, ada seorang lelaki sedang bersandar dengan sebuah cerutu yang belum menyala di mulutnya. Begitu polisi itu menghampiri, lelaki itu langsung bicara.
“Semuanya baik-baik saja, Pak Polisi,” katanya menyakinkan. “Saya cuma sedang menunggu seorang teman. Janji pertemuan ini dibuat dua puluh tahun lalu. Kedengaran agak lucu buat Anda, kan? Baiklah, saya jelaskan supaya Anda yakin kalau semuanya baik-baik saja. Waktu itu ada sebuah restoran di tempat toko ini berdiri, Restoran Big Joe Brady.”
“Restoran itu ada di sini sampai lima tahun lalu,” kata polisi itu. “Setelah itu dirubuhkan.”
Lelaki yang bersandar di pintu itu menyalakan macis dan menyulut cerutunya. Cahaya macis itu menyinari wajah persegi yang pucat dengan sorot mata tajam, dan codet putih di dekat alis kanannya. Sebuah berlian besar menjepit dasinya, tidak lumrah.
“Malam ini dua puluh tahun lalu,“ kata lelaki itu, “Saya makan malam di sini di Big Joe Brady’s dengan sahabat saya, Jimmy Wells, lelaki paling baik di dunia. Saya dan dia sudah seperti kakak-adik, sama-sama dibesarkan di sini di New York. Saya berusia delapan belas tahun waktu itu dan Jimmy berusia dua puluh tahun. Keesokan harinya saya berangkat ke daerah barat untuk mencoba peruntungan. Jimmy tidak bisa ditarik ke luar dari New York. New York seperti satu-satunya tempat di dunia baginya. Jadi, malam itu kami sepakat, apa pun yang akan terjadi, seberapa pun jarak yang harus kami tempuh, kami akan bertemu lagi dua puluh tahun kemudian, pada tanggal dan waktu yang sama. Kami membayangkan, apa pun jadinya nanti, dua puluh tahun kemudian, kami pasti telah menjalani takdir kami masing-masing dan sudah punya kekayaan.”
“Terdengar menarik,” kata polisi itu. “Walaupun menurut saya, rentang waktu cukup lama juga untuk bertemu lagi. Belum pernah dengar kabar dari teman Anda semenjak Anda pergi?”
“Yah, kami saling berkirim surat beberapa kali,” jawab lelaki itu. “Tetapi, kami kehilangan jejak setelah satu-dua tahun. Begini, wilayah barat memberi tawaran yang cukup besar dan saya sibuk kesana-kemari. Tetapi, saya yakin kalau Jimmy masih hidup, dia akan menemui saya di sini karena dia adalah lelaki paling tulus dan paling bisa dipercaya di dunia ini. Dia tak mungkin lupa. Saya menempuh perjalanan seribu mil untuk berdiri di pintu ini malam ini, dan perjalanan ini sepadan kalau rekan lama saya itu muncul.”
Lelaki yang sedang menunggu itu mengeluarkan sebuah arloji indah, tutupnya dihiasi berlian-berlian kecil.
Dia memberi tahu, “Tiga menit lagi pukul sepuluh. Kami berpisah tepat pukul sepuluh di pintu restoran ini.”
“Anda cukup sukses di barat, ya?” Tanya polisi itu.
“Sudah tentu! Semoga Jimmy sudah mencapai setengah kesuksesan saya. Dia agak lambat tapi tekun. Walaupun begitu, dia teman yang baik. Saya harus bersaing dengan orang-orang yang berpikiran tajam supaya bisa mengumpulkan harta. Dia lelaki yang terbiasa dengan rutinitas New York. Perlu ke daerah barat untuk merasakan situasi penuh persaingan.”
Polisi itu memutar-mutar tongkatnya dan berjalan satu dua langkah.
“Saya akan lanjut berkeliling. Semoga teman Anda datang dalam keadaan baik. Apakah Anda akan berhenti menunggunya tepat pukul sepuluh?”
“Tidak!” Jawab lelaki itu. “Saya akan tunggu setidaknya setengah jam lagi. Kalau Jimmy masih hidup di bumi ini, dia akan datang. Sampai jumpa, Pak Polisi.”
“Selamat malam, Pak,” jawab polisi yang kembali berpatroli, memeriksa pintu-pintu sambil berjalan.
Kini, gerimis turun, dan angin terus-menerus berembus kencang. Beberapa pejalan kaki mengenakan mantel dengan kerah yang ditegakkan dan memasukkan tangan di dalam saku, melintas di perempatan itu dengan tergesa-gesa, muram dan tak bersuara. Sementara, lelaki yang telah datang dari jarak sejauh seribu mil untuk memenuhi janji konyol dan tak pasti dengan teman masa mudanya itu, menunggu di pintu toko perkakas sambil mengisap cerutunya.
Setelah dua puluh menit menunggu, seorang lelaki jangkung mengenakan mantel panjang dengan kerah ditegakkan sampai ke telinga, menyeberang tergesa-gesa. Lelaki jangkung itu langsung menghampiri lelaki yang sedang menunggu tadi.
“Kaukah itu, Bob?” tanyanya ragu-ragu.
“Itu kau, Jimmy Wells?” Teriak lelaki yang bersandar di pintu.
“Ya ampun!” teriak lelaki yang baru datang. Kedua tangannya meraih tangan Bob. “Ini pasti Bob. Aku yakin kalau kau masih hidup, aku akan bertemu kau di sini. Wah, wah, wah, dua puluh tahun itu waktu yang cukup lama. Restoran tua itu sudah tidak ada, Bob. Padahal, aku berharap restoran itu masih ada, jadi kita bisa makan malam lagi di sini. Bagaimana perlakuan daerah barat padamu, Pak Tua?”
“Baik sekali. Daerah barat memberi semua yang kuinginkan. Kau banyak berubah, Jimmy. Tak kusangka kau tambah tinggi dua atau tiga inci.”
“Oh, aku tambah tinggi sedikit setelah berusia dua puluh tahun.”
“Sukses di New York, Jimmy?”
“Lumayanlah. Aku menduduki jabatan di salah satu departemen di kota ini. Ayo, Bob, kita keliling-keliling ke tempat yang kutahu sambil mengobrol panjang lebar mengenang masa lalu.”
Kedua lelaki itu mulai berjalan berangkulan. Lelaki dari daerah barat yang egonya semakin membesar karena kesuksesannya, mulai menceritakan awal mula perjalanan karirnya. Lelaki satunya membenamkan diri dalam mantelnya sambil mendengarkan dengan penuh perhatian.
Di sudut jalan, ada sebuah toko obat yang terang benderang oleh lampu listrik. Begitu tiba di bawah sorotan lampu, mereka langsung saling menatap heran.
Laki-laki dari barat itu sontak menghentikan langkahnya dan melepaskan tangannya.
“Kau bukan Jimmy Wells,” bentaknya. “Dua puluh tahun memang waktu yang cukup lama tetapi tidak cukup lama untuk bisa mengubah hidung mancung jadi pesek.”
“Waktu kadang-kadang mengubah orang baik menjadi jahat,” kata lelaki jangkung itu. “Kau sudah ditangkap selama sepuluh menit, Bob ‘Licin’. Polisi Chicago memperkirakan kau mampir ke daerah kami dan mengirimi kami telegram. Dia ingin berbicara denganmu. Kau akan ikut kami dengan tenang, kan? Bersikaplah bijak. Sekarang, sebelum kita ke kantor polisi, aku diminta menyerahkan pesan ini. Kau bisa baca di sini di dekat jendela, ini pesan dari polisi patroli, Polisi Wells.”
Lelaki dari wilayah Barat itu membuka kertas terlipat yang diserahkan kepadanya. Tangannya mantap saat dia mulai membaca, tetapi gemetar ketika selesai. Catatan itu cukup pendek: “Bob, aku datang ke tempat janjian tepat waktu. saat kau menyalakan macis untuk menyulut cerutu, aku lihat wajah buronan Chicago. Biar bagaimanapun, aku tidak bisa menangkapmu, jadi aku pergi dan menemui seorang detektif yang bisa melakukan tugas itu. JIMMY.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
