PENJAGA KOS - Merantau

4
2
Deskripsi

Davina masih berdiri memandang gedung perkantoran dari tepi trotoar. Cukup lama ia berdiri di sana, hampir setengah jam. Lalu ia berjalan hendak mencari minuman. Dilihatnya tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada gerobak minuman di dekat warteg. Tergopoh-gopoh ia membawa koper besarnya. Belum lagi tas punggung yang berisi penuh. Dan tas jinjing yang handlenya ia pakaikan di bahu kanannya. Nampak letih.

PROLOGUE 

Seorang gadis muda, enerjik dan cantik serta tinggi semampai tengah berdiri di depan sebuah gedung perkantoran yang tinggi menjulang. Gedung perkantoran dengan dominasi kaca berwarna biru dan dengan bangunannya yang bergaya memutar beberapa derajat. Seperti kue kepang yang dipelintir memutar dan ditaburi gula. Gedung perkantoran ini terletak di pusat bisnis Jakarta, di Jalan Thamrin.

Gadis yang bernama Davina Arianti, berusia 23 tahun itu berasal dari Semarang Jawa Tengah. Davina membawa sebuah koper besar berisikan pakaiannya, tas punggung dan satu tas kerja. Barang-barang lainnya yang akan dibutuhkan untuk menunjang kehidupan barunya sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta akan dicarinya di kota ini saja. 

Davina merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Ketika kontrak kerjanya di salah satu perusahaan di Semarang berakhir, Davina mencoba peruntungannya dengan mengirimkan surat lamaran pekerjaannya ke berbagai perusahaan di bebebarapa kota. Hanya sedikit perusahaan yang membalas lamaran yang ia kirim melalui email. Dan dari sedikitnya itu, yang setuju dengan gaji yang dimintanya hanyalah perusahaan yang beroperasi di Jakarta. 

Setelah sedikit berargumen dengan kedua orang tuanya. Akhirnya Davina mendapatkan izin untuk bekerja di Jakarta. Dengan seribu nasehat yang disematkan padanya. Bahkan ada beberapa yang di tulis ke dalam selembar kertas. Davina hanya geleng-geleng kepala. Entah berapa banyak daftar nasehat jika ia bekerja di luar negeri. Gadis bungsu itu pernah iseng mengajukan hal itu, tapi di tolak mentah-mentah oleh kedua orang tuanya dengan ocehan yang tidak berhenti selama 1 X 24 jam. Sama halnya aturan RT yang wajib lapor dalam waktu yang sama ketika tamu berkunjung ke rumah. 

“Ayah, aku kan cuma kerja di Jakarta. Banyak banget pesannya”, protes gadis itu sambil memasukkan pakaiannya ke dalam koper. Tak lupa Davina juga memasukkan peralatan make up-nya ke dalam tas kerja yang berukuran sedang itu.

“Vina, wajar kalau ayahmu khawatir. Kamu kan anak perempuan satu-satunya. Anak bungsu lagi”, ucap bu Sukma. Sementara ayahnya ngeloyor pergi keluar dari kamar. Sepertinya sedang menahan kesedihan akan ditinggal anak perempuan satu-satunya merantau ke Jakarta.

“Iya bu, tapi ngga begini juga. Lihat aja pesannya. Kaya daftar belanjaan ibu”

Sandy tertawa di depan pintu kamar Davina sambil memegang secangkir mug kopi hitam. “Namanya juga orang tua Vin. Maklumin aja”, ucapnya cengengesan. Muncul pula dari belakang Sandy, menggoda Davina. “Ayah kan takut kamu itu digondol laki-laki Jakarta”, goda Irwan. 

“Laki-laki siapa sih mas. Emangnya aku perempuan gampangan”, ucapnya sedikit ketus pada kakak keduanya itu. 

“Ya kali aja Vin. Ada yang naksir kamu gitu, trus di ajak nikah deh”, godanya lagi. Davina spontan melempar kaus kaki yang akan dimasukkannya ke dalam koper. Irwan berhasil menghindar. Ia memeletkan lidahnya meledek adiknya itu. Davina semakin cemberut tak tahan digoda kakaknya. 

“Hush, sudah sudah sana. Kalian bisanya menggoda saja”, ucap bu Sukma. “Tau tuh!”, ceplos Vina lalu duduk di pinggir tempat tidur. Sandy dan Irwan berpaling dari depan kamar adiknya setelah bu Sukma menutup pintunya.

“Kamu jaga diri baik-baik ya di Jakarta. Cari pergaulan yang baik”, ucap ibunya sambil mengelus kepala Davina. Ibu mana yang tidak sayang pada anak perempuannya. Pun begitu dengan bu Sukma. Davina anak bungsu sekaligus anak perempuan satu-satunya. Bu Sukma hanya bisa mendoakan keselamatan selalu berada bersama Davina. 

“Nggeh bu e”

“Semoga gusti Allah selalu melindungi kamu dari marabahaya”

“Aamiin. Matur nuwun nggeh bu. Davina janji utnuk memberi kabar terus sama ibu. Sama bapak. Atau sama mas Sandy dan mas Irwan”

Bu Sukma tersenyum lega. Wanita paruh baya itu bersyukur memiliki putri seperti Davina. Walaupun anak bungsu, tapi Davina dikenal tangguh dan mandiri.

 

***

 

BAB 1

Davina masih berdiri memandang gedung perkantoran dari tepi trotoar. Cukup lama ia berdiri di sana, hampir setengah jam. Lalu ia berjalan hendak mencari minuman. Dilihatnya tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada gerobak minuman di dekat rumah makan sederhana, warteg. Tergopoh-gopoh ia membawa koper besarnya. Belum lagi tas punggung yang berisi penuh. Dan tas jinjing yang handlenya ia pakaikan di bahu kanannya. Nampak letih sekali.

“Pak air mineralnya tiga ya”. Pintanya pada tukang minuman gerobak itu. “Baik mba”. Panas ini membuatnya sangat dahaga. Banyak cairan tubuhnya yang hilang. Keringetnya juga lengket. Tisu yang dibelinya di salah satu terminal bus di Semarang hanya tinggal  selembar. 

“Jakarta panas sekali. Udaranya bikin gerah begini”

“Kenapa mba?”, tanya tukang minuman itu. “Eh tidak apa apa pak”, jawab Davina malu-malu karena tertangkap basah bicara sendiri. Sebotol air mineral telah kosong berpindah ke tubuhnya. Mengganti cairan yang hilang karena bergelut membawa barang-barangnya yang berat. Davina sangat tangguh untuk seusianya.

Setelah puas menenggak sebotol air mineral Davina menoleh ke belakang. Salah seorang penjual warteg itu memanggil-manggilnya. Mengajaknya mampir. Menikmati hidangan rumah makan sederhana yang banyak peminatnya di Jakarta.

“Iya bu”, jawab Davina singkat.

Seraya mendorong kopernya, Davina masuk ke dalam warteg tersebut. Kebetulan sedang kosong. Tidak ada seorang pun yang duduk makan di dalam atau sekedar meminum kopi. Tapi ada seorang ibu yang sedang membeli sebungkus nasi lengkap dengan lauknya. 

Wajah ibu itu terlihat dingin. Matanya sayu. Tapi tatapannya sangat tajam memperhatikan Davina. Ketika gadis itu sedang mengambil kopernya di luar, ibu berwajah dingin itu membisikkan sesuatu ke telinga pemilik warteg tersebut. Dan pemilik warteg yang berusia lebih dari setengah abad itu mengangguk mengerti. Lalu wanita berwajah dingin itu pamit pulang.

Davina duduk di pojokan warteg itu. Ia memesan seporsi dengan es teh tawarnya. Sambil menyantap makanannya ia menelepon keluarganya di Semarang kalau ia sudah sampai di Jakarta dengan selamat. Tinggal mencari kos-kosan saja. 

Selesai makan, Davina membayar. Dan memastikan barang-barang yang dibawanya tidak ada yang tertinggal.

“Mba lagi cari kos-kosan ya?”, tanya salah seorang penjual di warteg itu.

“Benar bu. Saya mau cari kos-kosan. Ibu tahu tidak di dekat sini ada kos-kosan?”

“Oh sebelah situ aja mba. Tidak jauh dari sini. Nanti masuk ke jalan kecil yang kedua. Nah lurus saja. Nanti ada plang namanya. Kos-kosan Anna Anni”

“Baik. Terima kasih ya bu. Saya tidak perlu repot-repot mencarinya, ternyata sudah dikasih tahu sama ibu.”

“Sama-sama ya mba. Mudah-mudahan betah ya di sana”

“Iya bu. Terima kasih ya sekali lagi”

Davina pamit pada penjual warteg itu. Namun penjual lainnya, menatap Davina dengan senyuman sinis. Sedikit mengerikan. Senyuman mengandung arti yang jahat. Seperti seseorang yang sedang mendapatkan umpan besar yang masuk perangkap.

Ia terus berjalan. Menyusuri jalan yang hanya bisa dilewati satu mobil. Berjalan tergopoh-gopoh. Satu tangan mendorong kopernya yang besar. Tangan lainnya menjepit tas yang juga besar di ketiaknya. Tas backpack di punggungnya membuat tubuh Davina terlihat tegap namun terlihat sekali ia sedang membawa beban yang berat. 

Sekarang dia sudah berdiri di depan gerbang hitam yang tingginya menyentuh plafon. Kos-kosan ini sangat tertutup. Tidak ada celah untuk melihat bahkan mengintip. Diperhatikan baik-baik bagian depan kos-kosan ini. Di sebelah kanan di tengah-tengah terdapat tulisan ‘bel di sini’. Davina mengikuti petunjuk kecil itu. Cukup kesulitan menemukan tombol bel yang dimaksud. Setelah celinguk sana celinguk sini, akhirnya ditemukannya tombol bel tersebut. Letaknya sangat tersembunyi.

Ditekannya tiga kali tombol tersebut. Bunyi berdentang terdengar tiga kali. Kemudian hening kembali. Menungu beberapa saat tiada jua yang membukakan pintu gerbang, Davina kembali mengarahkan jarinya ke bel yang tersembunyi. Di tekannya lagi tiga kali tombol bel tersebut. Terdengar kembali suara berdentang sebanyak tiga kali. 

Setelah lama menunggu, membuat kakinya pegal dan kesemutan. Terdengar bunyi berdecit gerbang yang dibuka doleh seseorang karena besi-besinya yang sudah karatan saling bergesekan. Keluar seorang pria berwajah dingin dan sedikit menyeramkan seperti lama tidak terbasuh air yang kira-kira sudah berusia 68 tahun. 

“Ya mba. Ada apa?”, tanya pria itu datar.

“Maaf pak. Saya dikasih info kalau di sini ada kamar kos yang kosong”, jawab Davina sambil menatap wajah tua bapak itu.

“Ya benar”, ucapnya semakin datar.

“Saya boleh lihat pak?”, tanya Davina penuh harap.

Bapak tua itu mengangguk. Lalu menyuruh Davina masuk dengan tangan kirinya. Pintu gerbang ditutupnya perlahan. Suara berdecit terdengar lebih kencang begitu gadis itu sudah berada di dalam karena kos-kosan terlihat kosong tanpa penghuni. Sekilas Davina melihat kamar-kamar itu gelap gulita, seperti tak berpenghuni. Davina sempat ragu melangkah lebih dalam. Tetapi bapak kos memberikan kode pada gadis itu untuk mengikutinya. 

Davina terus mengikuti bapak kos menuju lantai dua. Walaupun sudah keberatan menenteng koper dan dua tasnya menaiki tangga, bapak kos itu tidak membantunya sama sekali. Bahkan sekedar basa basi pun tidak.

“Ini kamar kosongnya tinggal satu saja”. Bapak kos berbicara dengan suara terengah-engah karena menaiki tangga yang cukup tinggi. Kamar kosong yang hanya menyisakan satu saja di pojokan kos lantai dua itu sama terlihatnya dengan keadaan kamar yang lain. Gelap gulita. 

“Pak tinggal ini saja?”

“Tadi kan sudah saya bilang”, jawabnya ketus.

“Eeh, maksud saya penghuni yang lain kemana pak?”

“Ada yang kerja, kuliah”

“Semuanya pak?”

“Kamu ini mau kos di sini apa mau tanya-tanya penghuni sini?”. Bapak kos itu mulai tidak suka dengan kekepoan Davina. “Kalau tidak mau ambil kamar ini, ya sudah keluar saja dari sini”. Davina heran. Kenapa bapak ini begitu kesal pada pertanyaannya. Padahal dirinya hanya basa basi saja agar suasananya mencair. Tidak kaku seperti ini.

Ragu Davina menjawab. Ia juga ragu mengambil kosan ini atau tidak. Tapi mengingat kesulitannya ketika membawa koper dan dua tasnya serta malasnya mencari-cari kos-kosan yang lain karena kondisinya yang tidak memungkinkan. 

“Baik pak ini saya ambil”, jawab Davina memantapkan dirinya. Kalau ia idak betah, tinggal mencari kos-kosan yang lain. Saat ini dirinya sudah keletihan dengan perjalanan darat selama 9 jam. “Tolong dibersihkan dulu ya pak”. Pintanya. Bapak kos itu jalan ke bawah mengambil peralatan kebersihan. Dan beberapa saat kemudian ia kembali. Sapu, pengki, lap, dan cairan pembersih diletakkan begitu saja di depan pintu. Lalu ia menyerahkan kuncinya. 

“Bersihkan sendiri. Saya hanya penjaga kos bukan petugas kebersihan”. Davina bengong. Dia terkejut dengan sifat menyebalkan bapak kos itu. Kalau saja ia tak buru-buru ingin istirahat, mungkin sudah ditinggalkannya kos-kosan ini. “Urusan pembayaran. Berhubungan sama istri saya”. Lalu pria itu meninggalkan Davina begitu saja. Sekali lagi tanpa basa basi. 

Dibukanya pintu kamar kos yang ia sewa. Agak kesulitan. Sepertinya lubang di handel pintu ini tidak pernah dimasuki anak kunci. Seret diputarnya. Dicobanya lagi. Masih sulit dibuka. Davina berjalan ke arah tangga. Tapi sekali lagi ia bergidik melihat suasana di lantai bawah gelap sekali. Padahal matahari masih bersinar terang. Namun karena tidak adanya ventilasi membuat kos-kosan ini gelap dan pengap.

Ia berteriak memanggil-manggil bapak kos. Namun tidak ada jawaban. Davina kembali memutuskan mencoba membuka pintu. Nampak ia tak tenang karena merasa ada yang memperhatikan. Davina menoleh ke belakang. Tidak ada apa-apa. Hanya keadaan gelap seperti di bawah. 

Mungkin hanya perasaanku saja.

Davina kembali memutar anak kunci di dalam lubang handel pintu. Kali ini ia pelan-pelan melakukannya. “Bismillah”, ucapnya sebelum memulai lagi. Dengan sedikit tenaga tersisa ia berhasil membuka pintu kamar kos itu. “Alhamdulillah”, ucapnya penuh syukur. Dimasukinya kamar itu. Davina menyalakan flash di ponselnya. Seketika kamar itu terang benderang. Ditariknya koper besar dan dua tas ke dalam bergantian. Davina melihat sekeliling kamarnya. Ada sebuah lemari. Kasur tebal yang di dirikan menyamping. Meja tanpa kursi. 

Kemudian ditekannya saklar di belakang pintu. Lampu di kamar ini masih menyala dengan terangnya. Tetapi banyak sekali sarang laba di lampu dan di sudut-sudut ruangan. Sepertinya kamar ini sudah berbulan-bulan tidak digunakan. Atau bahkan tahunan. Dicoleknya meja di dekat pintu. Tebal sekali debunya. 

“Oke. Aku akan mulai membersihkan dari meja ini. Selanjutnya sudut-sudut dinding dan menyapu lalu mengepelnya”. Davina berbicara sendiri. Menghiburnya dirinya untuk mengusir rasa sepi di kosan ini. Di buka ponselnya. Ia membuka aplikasi musik lalu memutar lagu. Musik-musik bergenreng beat terputar kencang. Sengaja diputar pada volume maksimal untuk membakar semangatnya. Tubuhnya yang sudah letih perlu dipompa agar kembali bergairah. Membersihkan ruangan penuh debu ini butuh mood yang baik.

*

Musik di ponsel di matikan. Dua jam ponsel itu memutar musik tanpa jeda. Baterainya pun menurun drastis, meminta di isi daya kembali. Davina mengambil casan dari dalam tas kerjanya. Ia segera menyambungkan kabel ke konektor ponsel dan mencolokan kepala casan ke stop kontak. 

Davina melihat jam di tangannya. Sudah pukul 16.00 waktu di belahan bumi Indonesia bagian barat. Ia lihat lorong di depan kamarnya semakin gelap dari depan pintu kamarnya. Davina menutup pintu lalu beranjak ke lorong di lantai dua ini. Sedikit cahaya remang dari lampu lima watt yang sengaja dibiarkannya menyala memudahkannya menemukan saklar lampu. Lampu lima watt itu tertup debu tebal sehingga cahaya yang terpancar tidak maksimal. Kemudian dinyalakannya semua yang ada di lantai atas. Kini keadaan kos-kosan ini terang, tidak sesumpek ketika gelap tadi. Ia juga berinisiatif menyalakan lampu lorong di lantai bawah. Di tepisnya rasa takut, Davina berjalan menuruni tangga. Kemudian dinyalakannya satu persatu saklar di dinding. Dan keadaan di lorong lantai bawah ini sudah terang seperti di lantai atas. Gadis itu tersenyum lega.

Tetapi ketika ia membalikkan badannya. Ia melihat sekelebat bayangan hitam masuk ke kamar kos paling pojok. Seketika Davina mengambil langkah seribunya sambil berteriak. Ia berlari menuju pintu gerbang. Mencoba mendorongnya. Namun pintu gerbang itu di gembok. Davina menoleh ke belakang dan mengamati lorong di mana kamar kos itu terletak di ujung. Terhalang dinding kamar kos yang lainnya. Jadi kamar di ujung itu tidak terlihat dari tempatnya berdiri di balik gerbang. 

 Davina masih menggoyangkan pintu gerbang berkali-kali. Berharap ada yang membantu membukanya.

“Pak. Bu. Tolong. Siapa saja yang mendengarnya. Tolong saya. Bukain pintu gerbang ini”, Davina terus berteriak-teriak memanggil siapa pun yang lewat. Tapi sepertinya tidak ada yang peduli. Putus asa. Dia terduduk. Bersandar di pintu gerbang. 

Tiba-tiba bunyi suara bergerendel terdengar dari luar. Suara gembok gerbang dibuka. Di dorong pintu gerbang itu ke dalam. Davina mendadak berdiri dan melihat keluar ketika pintunya terbuka. Dua orang wanita berwajah dingin memperhatikannya. Dua orang wanita dengan pakaian yang sama. Model pakaian yang sama. Warna pakaian yang sama. Dan wajah yang sama.

Siapa mereka. siapa dua orang wanita ini. Gumam Davina seraya mengatur napasnya yang masih terengah-engah.

 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya PENJAGA KOS - Pertama
2
0
“Silahkan duduk”, ujar wanita itu. Davina menuruti perintahnya. “Tahu dari mana kos-kosan ini?”, tanyanya. “D-dari penjual warteg bu” Davina menjawabnya dengan sedikit ketakutan. “Baik saya akan memberikan peraturan dalam kos ini. silahkan dibaca. Peraturan ini tidak boleh dilanggar”, ucap wanita dengan senyuman aneh itu seraya memberikan selembar kertas berupa peraturan-peraturan di kos ini.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan