Kidnapped

506
28
Deskripsi

Beberapa hari berselang pasca Mail CS pertama kali melihat Sabrina di apartemen Zane, Sabrina diculik!


“Lho Mas …?” Sabrina agak terheran-heran ketika Gusti malah membelokkan kendaraan yang mereka tumpangi ke Hang Lengkir, padahal kantor mereka tinggal satu kilometer lagi dari Bundaran Senayan. “Mabok?”

“Sst.” Gusti tidak terlalu menghiraukan cewek di sebelahnya itu, tetap fokus menjalankan mobil pelan-pelan di tengah kemacetan. Maklum, mereka lagi bawa Bentayga Zane, meleng dikit, lecet kena benturan dengan kendaraan lain, hmmm, gaji melayang, malah bisa-bisa nombok—biarpun gaji Mas Gusti lebih dari empat kali UMP DKI Jakarta sekalipun.

Meski kesal karena sudah kelaparan tapi malah dilama-lamain perjalanannya oleh Pak Bos tercinta, Sabrina diam dulu sampai jalanan rada longgar dikit, barulah bersuara lagi. “Perut gue udah kukuruyuk dari tadi, nih. Yuk ah, cepet pulangin gue sebelum terpaksa masuk IGD.”

“Berisik, deh.” Gusti mendengus pelan masih tanpa menoleh. Jujur, kadang menurut Sabrina, mas-mas di sebelahnya ini lucu banget. Di satu sisi, cowok itu begitu semangat dan merasa keren setiap kali boleh keluar kantor memakai mobil Zane, tapi di sisi lain juga nervous berlebihan tiap kepentok lampu merah atau terjebak di titik-titik macet, sampai-sampai yang tadinya nyetir santai—slash songong—pake satu tangan, mendadak berubah posisi jadi duduk tegap dan begitu fokus. “Mending mampir makan dulu, daripada langsung balik kantor, kan?”

“Mending balik kantor, abis itu ngemper makan bakso depan ruko sama pacar gue, kenyang jiwa-raga.”

“Jijik.” Akhirnya Gusti noleh juga. Lalu ketawa saat Sabrina juga ketawa.

Sialan sekali rasanya hidup di antara pasangan bucin Zane-Sabrina ini. Hari-hari Gusti yang mayoritas sudah suram, jadi makin suram.

“Emang mau makan di mana?” Kelar ketawa, Sabrina menoleh sekeliling, memperhatikan beberapa ruko yang ada di kanan kiri jalan, mengingat-ingat tempat mana yang pernah dia datangi dan worth it untuk dikunjungi ulang. “Eh, di depan belok dikit ada nasi goreng lumayan enak. Jam segini udah ada biasanya.”

“Gue nggak mau makan kaki lima.”

“Et dah, tanggal tua, Maseee.”

“Dompet gue nggak mengenal tanggal tua.”

“Nggak mengenal tanggal tua tapi mau beli mobil dari berbulan-bulan lalu nggak jadi-jadi.”

Astaghfirullah hal adzim, Sabrina anaknya bapak Chairul Tanjung, kayak semahal-mahalnya wagyu bakal dapet mobil aja?? Lagian gue yang traktir, Neng, gueee. Gak bakal elo gue suruh bayar makan sendiri selama perginya sama gue!”

Sabrina meringis, gemas bangeeet. Andai aja Ibu Harimurti Prawirodiprodjo mau punya anak cewek satu lagi, Sabrina mau deh melamar jadi adiknya Mas Agus ini. Udah gemesin, gemar menraktir pula. “Emang mau makan di mana?”

“Di jalan Bumi. Gue pernah ke sono sama Akmal, kopinya enak.”

Sabrina setuju saja. “Makan doang ya, kasian kalo kelamaan, nanti Bang Zane nungguin.”

Cuma dua menit berselang, tau-tau mereka sudah tiba di Jalan Bumi. Agak tersendat dikit di pertigaan, tapi syukurlah, saat parkir di depan First Crack, dilihat-lihat mobil Zane aman-aman aja. Nggak ada yang baret, apalagi penyok.

“Iis bilang, Bang Hotman masih betah di kantor, jadi selow. Kita nggak perlu buru-buru ngunyahnya.” Mas Gusti memberi tahu sambil membaca pesan dari Mbak Iis saat kemudian mereka turun dari mobil, memasuki pintu yang sudah dibukakan dari dalam untuk mereka.

Tempat itu lumayan ramai sore ini, tapi masih ada beberapa meja kosong. Dan enaknya, nggak bising. Interiornya bagus, dominan semen exposed dan kayu—ala-ala industrial gitu. Terus yang paling penting, AC-nya mantep.

Seperti sudah paham betul lokasi yang pewe, Mas Gusti langsung mengajak naik ke lantai dua.

“Untuk berapa orang, Mas?” Salah seorang waiter yang standby nggak jauh dari pangkal tangga menanyai mereka berdua.

“Udah dapet meja, Mas, udah ada yang dateng duluan.” Mas Gusti menjawab, membuat alis Sabrina mengerut.

Tapi Sabrina memutuskan tidak bertanya ketika Mas Gusti celingukan, dan kemudian berjalan ke arah seberang ruangan, melewati sebuah pohon yang menjulang dari lantai dasar hingga ke skylight yang berada di tengah-tengah ruangan.

Dan sedetik kemudian Sabrina membatu di tempat.

“Halo, Sayang.”

Bang Ehsan menyapa, sambil melambaikan tangan, disertai senyum secerah bulan purnama.

“Sini duduk sama Om,” lanjut cowok ganjen itu, membuat Sabrina kemudian sadar. Pengen kabur aja, tapi ingat perutnya melilit, akhirnya cewek itu terpaksa mengikuti langkah Mas Gusti ke meja nomor dua dari jendela yang sudah terisi tiga orang di sana: Bang Ehsan, Bang Ismail, dan Bimo—yang kemudian membantu menarik kursi untuk Sabrina duduk di sebelahnya.

“Gue … diculik?” Sabrina memandang seisi meja dengan penuh kecurigaan. Terakhir, dia melempar tatapan menuduh ke Mas Gusti.

“Hahaha, aya-aya wae si Eneng.” Bang Ehsan ketawa menyebalkan, membuat Sabrina auto ingat lagi kalau Bang Ehsan ini salah satu yang paling banyak membuatnya malu saat ketahuan menginap di tempat Zane tempo hari.

“Pesen dulu, Sab.” Bimo mengulurkan ponselnya ke Sabrina, menunjukkan sebuah PDF menu di tempat itu, sementara cowok-cowok lain kompak membiarkan Gusti mandiri memindai sendiri barcode yang tertempel di meja dengan handphone-nya.

“Kalian udah pesen?” Sabrina bertanya, melihat atas meja yang masih kosong. “Atau baru banget nyampe juga?”

“Udah pesen, barusan.” Bimo yang menjawab.

“Yang recommended apa?”

“Semuanya approved, sih. Mail udah beberapa kali ke sini.”

Sabrina mengangkat mukanya sebentar untuk menatap Ismail, kemudian manggut-manggut. “Ya, sih … kalau gue punya bisnis coffee shop, paling-paling kerjaan gue juga inspeksi mulu ke bisnis pesaing.”

Mail cuma pringas-pringis.

Agak terlalu mengkhayal kalau dia menganggap tempat yang sudah lama berdiri gini jadi saingan. Tapi ya apa salahnya berharap? Btw, meski pengen julid, tapi kopi-kopian di sini emang oke semua, sih. Selain rasa, penyajiannya pun oke. Terus SOP pelayanannya mantap, sopan-sopan.

Setelah beberapa saat scrolling layar handphone Bimo, akhirnya Sabrina memutuskan memesan sirloin steak dan minuman non kafein. Meringis sedikit ke Gusti yang duduk di depannya sebelum mengembalikan handphone Bimo ke pemiliknya.

“Nggak mau rugi banget ye lo.” Gusti berdecak, tapi tetap sabar menyebutkan pesanan Sabrina ketika tidak lama kemudian dia memanggil waiter.

“Kalian ngopi di sini nggak kejauhan, kah?” Sabrina nanya ke semua orang. “Kayaknya banyak kafe kopi enak di Senopati-Sudirman. Atau emang cuma tempat ini yang dianggep saingan sama Bang Mail?”

Bang Ehsan mesem. “Rame, males. Kita nyari yang rada sepi biar Sabrina nggak keselek makannya.”

Prett, untung Sabrina udah kebal digodain gitu doang.

“Di sini rada tenang dikit, sambil kerja bisa makan enak, berasa kayak lagi di coworking space.” Bang Mail menambahkan, dengan muka sok bijak, membuat Sabrina malah ingin mendengus.

“Elo ngerjain kerjaan coffee shop di coffee shop orang, sungguh berakhlak mulia, emang.”

Btw, konsep kita sore ini bukan buat nge-bully gue, sih.” Bang Ismail menyahut tenang, tepat saat pesanan minuman tiga orang yang pesan duluan datang. Di susul pesanan minuman Sabrina dan Mas Gusti tidak sampai semenit kemudian.

Sabrina sendiri cuma pesan Matcha Latte, yang menurutnya rasanya so so. Manisnya pas, esnya pas, nggak kebanyakan, ukuran gelasnya juga pas. Bukan yang fantastis banget, kalau pengen minuman yang sama, Sabrina bakal auto pengen balik ke sini. Yaaa … harganya imbang dengan ambience kafenya yang oke, dan pelayanan yang bagus, lah. Masih recommended untuk dine in. Kalau untuk takeout, Sabrina masih punya banyak opsi lain yang porsinya gede, harga lebih murah.

“Di sini rada lama makanannya, mohon bersabar.” Lagi-lagi Bang Ismail berlagak kayak tuan rumah. “Tapi minumannya gimana?” Cowok itu menanyai teman-temannya yang kebetulan memesan minuman berbeda-beda. “Ck, nggak ada si Onta, kurang afdol, nih. Kalian kan lidahnya mati rasa semua.”

“Pulang yok, pulang.” Bimo mengibaskan tangan, memberi isyarat Ehsan-Gusti-Sabrina untuk cabut. Tapi tentu saja cuma bercanda.

Bagusnya lagi, ternyata makanan mereka datang lebih cepat dibanding yang diperkirakan, padahal pesannya menu beda-beda.

Dan benar kata Bang Mail, makanannya—setidaknya yang dipesan Sabrina—approved sih. Enggak keasinan—soalnya steak dengan harga sama di beberapa tempat yang pernah Sabrina coba, rata-rata keasinan untuk standarnya. Cuma kalau untuk kantong Sabrina, ya jelas rada pricey. Buat sekadar ngopi-ngopi sambil ngerjain lemburan kantor, oke aja karena memang senyaman itu. Tapi kalau untuk makan-makan, hmm … Sabrina di kaki lima aja—yes, antre sate kambing depan RSPP aja.

“Lo sama Zane beneran udah setahunan, Sab? Kok diem-diem bae?”

Ternyata itu tujuan Mas Agus menculiknya. Sabrina cuma bisa mesem saat ditanya Bang Ehsan. “Hm-mm.”

“Kapan?”

“Eung—”

“Jauh sebelum elo masuk Relevent berarti, ya?” Bang Ismail menyela.

Mampus kau, Sab.

Sabrina cepat mengingat-ingat. Semoga memang benar kalau setahun lalu dia lagi jomblo. Kan nggak lucu kalau ada dua cowok ngaku-ngaku berpacaran dengannya di saat yang sama.

“Hm-mm.”

“Padahal kita-kita khawatir, elo ngilang ke manaaa … perasaan nggak ada yang jahatin elo. Eh, taunya dikekepin Zane.”

Sabrina sumpah, abis pulang dari sini akan dia rujak mulutnya Zane. Seenak aja bohong bawa-bawa namanya. Kalo kayak gini kan kesannya Sabrina gampangan banget beralih dari satu cowok ke cowok lain—ya biarpun kenyataannya emang gitu.

“Harus gue tanggepin kah ini?” Sabrina nanya.

“Enggak.” Bang Mail menggeleng. “Your life, your choice. Kita cuma ngerasa dikhianati aja, udah tau kita semua kangen, tapi Zane diem-diem bae nggak mau ngajakin elo ngumpul.” Tapi kemudian cowok itu menambahkan, “Cuma kalau boleh jujur, ya kita kepo juga, pengen denger versi lo, soalnya Zane kebanyakan sensornya.”

“Lo jadian sama dia nggak diancem kan, Sab?” Bang Ehsan masih kelihatan agak-agak nggak ikhlas.

“Dikit.” Sabrina mau ketawa, tapi bodo amat. “Dia takut diceng-cengin, makanya gue diem aja. Maap, ya.”

“Cih. Elo juga, Gus, diem aja, kita kan jadi kayak orang bego, nggak tau apa-apa. Mana si Onta pasang muka tembok pula, pas Bimo nanyain ada yang pernah ketemu Sabrina apa enggak. Ckckck.”

Capek dibawa-bawa, Bimo mengisyaratkan mereka semua supaya fokus makan dulu, keburu dingin.

“Bim?” Setelah isi piringnya tandas—bener-bener tanpa sisa karena ternyata french fries-nya enak dan saladnya acceptable—Sabrina menoleh ke Bimo. Bang Ehsan-Gusti-Mail auto mengikuti pandangannya.

“Hm?” Bimo menggumam pelan.

“I’m sorry.” Sabrina berbisik pelan, tapi kayaknya juga percuma, karena seisi meja lagi pada siaga kupingnya.

“For what?”

“Kata Bang Zane, kamu sempet mau ngajak balikan. Maaf juga, pas di Sheraton, aku ngasih kesan kalau lagi available, padahal enggak.” Enggak salah, Sabrina nambahin dikit dalam hati, ingat kalau waktu itu Zane lagi nyebelin-nyebelinnya.

“Oh … hahaha.” Muka Bimo merah padam. “Lupain aja. Tau elo nggak ngilang aja gue udah seneng.”

“Ih, baik banget sih.” Sabrina cemberut.

“Lah iya, udah tau mantan lo ini paling baik semuka bumi, bisa-bisanya lo beralih hati ke Onta Arab?” Bang Ehsan nyaut. “Kayaknya lo emang dipelet sih, Sab. Lupa dulu tiap hari lo ribut ama dia?”

“Justru ribut-ributnya itu yang lama-lama bikin sayang.” Gusti sedikit membela Zane, membuat Ismail dan Ehsan kompak mencibir.

“Najis. Gue kalau jadi cewek, dikasih sebongkah berlian juga ogah sama si Zaenudin. Mulutnya itu loooh, banyak cabenya.”

“Elo kalau jadi cewek, mau nggak sama diri sendiri?” Mas Gusti skakmat.

“Gue?” Mail ketawa. “Ya ogah, lah. Gue mau sama Bimo aja. Cakep, sopan, rajin cari nafkah, gak aneh-aneh.”

“Tapi siapa juga yang mau sama lo?” Bimo pun menolak, tapi Mail kayaknya udah pengalaman ditolak, jadi sama sekali nggak tersinggung.

“Eh, tapi serius deh, yang bikin lo mau ama Zane apa? Biar si Bimo introspeksi diri, biar nggak ketikung lagi.”

“Bisa nggak usah bawa-bawa gue? Udah ikhlas lahir batin masih dikompor-komporin aja.”

“Apa yaaa …?” Sabrina meringis, bertepatan dengan layar ponsel Gusti menyala, tapi langsung dimatikan oleh pemiliknya.

“Zane?” Mail si mata elang tau banget membaca gelagat temannya.

“Hooh. HP lo mati, Sab?”

“Enggak.” Sabrina hendak membuka tas, tapi ditahan oleh Gusti.

“Biarin aja. Kita makan dulu sampe kenyang, baru balik kantor.”

Seisi meja mengangguk berjamaah. Sabrina pun nggak bisa nolak, sampai-sampai ketika dia tiba di Relevent dua jam kemudian, Zane udah pasang tampang dangdut banget.

“YA TUHAAAN, PACARAN AMA MANTAN TEMEN SENDIRI GINI AMAT YAAAK~”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Free
Selanjutnya Urutan membaca special chapter
147
47
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan