Mabuk CEO Part 1

5
0
Deskripsi

“Rumah kamu di sini, kan?” tanya Nicho di depan sebuah rumah mewah berkonsep timur tengah. Hani mengangguk, “Mmm ... Makasi udah dianterin.”

“Sleep tight,” bisik Nicho, mengecup pipi Hani sekilas.

Hani tersenyum manis di tepi jalan. Melambai-lambai demi memastikan sedan mewah Nicho menghilang di belokan. Sedetik kemudian, ia sudah mengumpat.

“Kenapa juga aku tadi ngomong rumahku daerah sini? Harusnya yang deket kos-kosan aja. Ck!” Hani menyusuri trotoar menuju jalan utama. Kakinya tak henti menendangi...

PART 1. KATANYA WANITA KARIR

“Hidup adalah tentang menyenangkan semua orang” – Hani


*****

Bekerja di Jakarta itu berat. Selain jam kerja yang panjang, karyawan harus berhadapan dengan kemacetan Jakarta yang disebut sebagai salah satu yang terburuk di dunia. 

Pulang melewati jam kantor demi menghindari macet dan tiba di rumah larut malam. Keesokan paginya, harus bangun lebih cepat dari seekor ayam jago agar tiba di kantor tepat waktu.

Tergopoh-gopoh memakai sepatu, menyambar tas dan merapikan pakaian yang kusut setelah berdesakan di dalam bis, dilakukan hampir semua karyawan di kota metropolitan itu. Termasuk Hani.

“Permisi—permisi, maaf ....” Hani memiringkan tubuhnya melewati celah himpitan tubuh-tubuh manusia yang belum tiba di tujuan. Dengan satu lompatan, ia sudah menjejak tepi jalan raya.

Sedikit melompat-lompat menghindari trotoar yang tak rata, Hani merogoh kantong jasnya. Ponselnya bergetar sejak tadi. Pasti urusan yang sama, umpatnya dalam hati.

‘Han! Kopi ya. Semua varian kayak biasa. Dan kayak biasa juga, pake duit lo dulu, entar diganti. Thank you in advance.’

Doni yang hobi menyuruh-nyuruh junior tak pernah lupa menyampaikan titipannya pagi itu. Dulu Hani merasa luar biasa keren setelah diterima di perusahaan tempatnya bekerja sekarang. Di antara penghuni jajaran lantai satu kos-nya, Hani dianggap paling sukses. Wanita karir sejati. Padahal ....

Hani mengetikkan balasan untuk pesan Doni, ‘Siap, Mas.’ Ia langsung mempercepat langkah kakinya menuju kedai kopi mahal yang seolah sudah menjadi kewajiban untuk menampilkan urban lifestyle.

Dua orang karyawati yang menggandeng anak kecil masuk tergopoh menuju lobi. Hani meringis menoleh sekilas. Ibu-ibu itu pasti menuju tempat penitipan anak yang berada di lantai dasar.

Untuk kesekian kalinya, Hani mensyukuri bahwa ia belum menikah. Perkantoran Jakarta, ia nilai terlalu berat untuk ibu bekerja. Mereka pasti bangun jauh sebelum matahari terbit menyiapkan sarapan bagi keluarga. Atau setidaknya, persiapan untuk dirinya sendiri menuju kantor. Lantas mereka harus menitipkan anak kepada pengasuh atau orang tua mereka kalau di kantornya tak ada fasilitas penitipan. Ditambah lagi dengan menjejalkan diri ke dalam transportasi umum. Hani bergidik. 

Betapa pun kerasnya usaha para perempuan itu, pada akhirnya, mereka terpaksa harus berhenti bekerja karena tingginya biaya yang harus ditanggung, sebuah fakta yang ditemukan dalam riset-riset.

Dengan kacamata yang melorot sampai ke ujung hidungnya, Hani menenteng empat paper cup berbagai ukuran di tangan kirinya.

Lagi-lagi ia harus menyebut mantra yang sama. “Permisi—permisi, maaf ....”

Sepuluh menit lagi menjelang waktu yang ditolerir mesin finger print. Hani mendatangi tiap kubikel dan meletakkan pesanan masing-masing rekan di timnya. Beres dengan semua pesanan itu, Hani meletakkan ibu jarinya pada mesin finger print hingga bunyi bip terdengar.

“Han! Tolong ke ruangan saya!” seru Bu Curry saat melintas di depan kubikelnya.

Ya, Tuhan …. Apa berkas yang kemarin salah lagi? 

Hani langsung gelisah dan mual seperti biasa.

“Eh, lo dipanggil, tuh! Minum kopi dulu biar tenang. Sampe keringetan gitu ….” Dini satu-satunya karyawan lama yang sering mengajak Hani berbicara menghampiri kubikel.

“Gue nggak beli kopi,” jawab Hani.

“Kebiasaan lo emang. Jangan terlalu pelit untuk diri sendiri, Beb!” Dini berlalu menuju ruang fotokopi di sebelah pantry

Ya, memang sudah menjadi kebiasaan Hani. Terlalu pelit dengan diri sendiri. Mati-matian mengencangkan ikat pinggang demi menumpuk pundi rupiah di tabungan demi mencapai kebebasan finansial di usia muda seperti impian banyak orang.

Semua buku tentang kepribadian dan cara menghadapi atasan, seketika tak berguna saat berhadapan dengan Bu Curry. Wanita karir berparas tegas dan menikah dengan seorang pria asing itu adalah legal manager. Dan Hani adalah seorang legal staff. Ya. Lulus dengan nilai IPK bergelar summa cumlaude tak membuat Hani cepat diangkat menjadi legal coordinator. Bekerja selama empat tahun, Hani masih menjadi ‘pesuruh’ di timnya.

Dan sekarang, Bu Curry memanggilnya ke ruangan yang sudah bisa dipastikannya untuk urusan apa. Pekerjaan Doni si legal coordinator yang dilimpahkan padanya pasti ada kekeliruan.

Hani meneguk air putih hangat dari tumbler-nya. Setelah merapikan rambut dan letak kacamatanya, ia menyeret langkahnya menuju ruangan Bu Curry.

“Pasti kamu yang mengerjakan update regulasi nasional ini, kan?” Bu Curry setengah mencampakkan beberapa lembar kertas yang disisipi paper clip ke meja.

“Iya, Bu. Benar. Saya yang mengerjakannya karena—”

“Sudah berapa tahun kerja, sih? Masa yang begini aja kamu nggak becus. Di bawah itu memang tanda tangan Doni, tapi kalau kamu yang diminta bantu mengeceknya, harusnya bisa lebih bener. Sudah dua orang yang ngerjain, masih bisa salah!”

“Maaf, Bu,” sahut Hani dengan gugup memasukkan lembaran rambutnya ke belakang telinga. Perutnya semakin mual dan rasa-rasanya ia bisa muntah di tempat itu.

Please, jangan ngomel panjang lebar. Jangan sampe abis diomelin aku harus bersihin muntahku di ruangan ini.

“Memangnya kamu nggak pernah belajar dari senior-senior? Dalam beberapa tahun ini, apa yang kamu pelajari?” sergah Bu Curry.

Hani menunduk memandangi tanda pengenal yang menampilkan foto cantiknya tengah tersenyum. Dalam pasfoto itu ia terlihat bahagia sekali. Foto awal diterima bekerja di sebuah perusahaan besar farmasi yang bergerak di bidang manufaktur. 

Apa yang udah aku pelajari? Memerintah junior seenak jidat? Enggak pernah melibatkan junior dalam setiap project yang melibatkan kompetensi saat rekan sejawat lain diikutsertakan? Khawatir akan kemampuan junior yang lebih unggul? Menegur di depan orang ramai? Mencemooh? Kritikan terus-menerus? Menekan dan mengintimidasi? Atau yang paling parah, mengkambinghitamkan junior yang belum memiliki wewenang apapun? Gimana kerjaan si Doni tolol itu? Banyak keliru, kan? Ternyata masuk ke sebuah kantor besar karena relasi erat dengan direksi nggak bikin tambah pinter. Yang ada malah makin goblok!

Hani memaki-maki di dalam pikirannya. Mengatakan semua hal yang tak bisa ia katakan langsung pada orang lain. Di dalam pikirannya ia bebas mengatakan apapun tanpa khawatir siapa pun tersinggung.

“Hani … kamu denger?” tegur Bu Curry.

Hani mendongak dan mengerjapkan mata. Ia sedang berusaha keluar dari kubangan pikiran yang sedang berusaha menghiburnya. “Maaf, Bu. Saya akan perbaiki secepatnya. Besok pagi saya serahkan lagi ke Mas Doni untuk ditandatangani lebih dulu. Sekali lagi maaf, Bu ….” Hani sedikit menunduk, kemudian maju selangkah untuk mengambil berkas dari atas meja.

Meski selalu mual karena hardikan Bu Curry, Hani selalu puas jika mendapati pekerjaan seniornya tak diterima. Bu Curry seperti biasa. Tak menjawab sepatah pun. Perempuan itu hanya mengibaskan tangan mengusirnya dari sana.

Sebentar lagi masuk waktu makan siang. Dan Hani masih mengerjakan perbaikan soal regulasi nasional yang diminta atasannya. Ternyata Doni tak memperbarui tentang dimensi penataan regulasi nasional yang baru ditetapkan pemerintah.

“Han, gimana? Revisinya kalo bisa jangan sampe sore ya … gue mau pulang lebih awal. Besok gue nggak masuk. Udah ngambil cuti sehari doang. Jadi kalo bisa lo kerjain secepatnya,” ucap Doni menumpukan sikunya di atas kubikel.

Jangan sampai sore nenek moyangmu, Don! Aku udah ngelewatin makan siang demi mengerjakan sesuatu yang harusnya jadi urusanmu. Harusnya kertas-kertas ini aku jejalkan ke mulutmu biar kamu ngerti cara kerja yang benar!

Hani ingin mengatakan hal itu. Tapi sayangnya yang keluar dari mulutnya hanya … “Baik Mas, paling lama gue siapin sejam lagi.”

“Sip! Hani memang selalu keren,” ucap Doni kemudian pergi sambil bersiul-siul.

Kalau saja dulu Hani tahu bahwa Doni yang dinilainya paling berengsek di antara para senior berengsek di kantor itu seumuran dengannya, ia tak akan sudi memanggil laki-laki itu dengan sebutan ‘Mas’. Sayangnya semua sudah terlambat. Doni sudah telanjur besar kepala dengan senioritasnya.

Sejam kemudian, Hani yang selalu berhasil menepati janjinya sudah memegang sebuntalan kertas menuju meja Doni. Seperti biasa Doni menandatangani semua kolom bagiannya dengan wajah puas dan senyum menjengkelkan.

Pukul delapan malam Hani membereskan mejanya. Semua pekerjaannya hari itu berhasil ia selesaikan tepat waktu. Besok pagi ia tinggal menyerahkan pada Bu Curry. Dini satu-satunya manusia di kantor yang mau berbicara selain hal pekerjaan padanya, sudah pulang sejak tadi.

Ponsel yang terletak di atas meja bergetar pendek-pendek. Kantor yang lengang dan kubikel kosong membuat suara getaran ponsel itu sedikit mengejutkan Hani. Ia cepat-cepat membuka aplikasi pesan. Benar dugaannya, pesan dari Indra.

‘Lo masih di kantor? Gue baru selesai meeting di pusat. Makan dulu, yuk.’

Tak perlu berpikir dua kali, Hani langsung menyambar ponsel dan tasnya, lalu tergesa menuju lift. Sebagian lampu ruangan telah dipadamkan menuruti kampanye hemat energi demi menutupi efisiensi perusahaan. Sama sekali tak memikirkan nasib karyawan over time yang merinding tiap harus menyusuri ruangan gelap menuju lift.

“Gue di mini market biasa! Makan onigiri. Buruan!” Hani kembali memasukkan ponselnya ke saku jas. Dengan kresek putih di tangannya berisi empat onigiri dan dua botol air mineral, ia menarik kursi besi berat di salah satu pojok teras mini market.

Mini market itu menempati dua buah bangunan lantai dasar gedung perkantoran. Tempatnya di sisi luar mengarah jalan yang masih berada dalam lingkungan tiga tower gedung yang berdampingan. Bagi Hani, mini market itu aman sebagai tempat mengumpat dan melepaskan penat.

“Onigiri lagi? Gak ada bosennya. Ckckck ….” Indra baru tiba dan langsung berdecak seraya menarik kursi besi.

“Lo mau nambahin omelan ke gue lagi?” Hani langsung melahap setengah onigiri dengan satu gigitan. Pandangannya lurus ke depan. Tak menoleh pada Indra yang sudah duduk di sisi kanannya.

Indra menunduk sekilas untuk menggeser kursinya sedikit maju. “Sepatu lo ganti, udah butut banget. Kasi kado buat diri sendiri,” ujar Indra yang ternyata benar-benar menambahkan omelannya.

“Tabungan gue masih jauh dari kata cukup untuk pelesir ke Machu Picchu,” sahut Hani menyodorkan botol air mineral pada Indra. Sahabat pertama dan satu-satunya sejak ia menangis pertama kali di salah satu kursi teras mini market itu.

Indra memutar tutup botol lalu menyodorkannya kembali pada Hani. “Gimana kantor?” 

“Si Curry sehat walafiat. Masih buta ama bawahan langsungnya. Dan tim gue, tetap cuma judulnya aja yang tim. Yang kerja sebagian besar masih gue sendiri.”

“Gue udah capek nyuruh lo resign,” tukas Indra mengambil sebuah onigiri dari dalam kresek mini market dan membuka botol air mineral untuknya sendiri.

“Gue takut bakal susah cari kerja. Bisa pingsan emak gue di kampung kalo tiba-tiba gue pulang jadi pengangguran.”

“Gue juga udah capek bilang ke lo jangan resign dulu sebelum keterima di perusahaan lain Hani …. Jakarta ini luas. Gak ada tempat untuk manusia-manusia lembek. Lo khawatir nggak dapet kerja yang berurusan dengan bidang hukum? Sampe kapan mau kerja yang posisinya sesuai ama gelar lo?” Indra kembali mendaratkan omelan yang sama untuk ratusan kalinya.

Dan jawaban Hani selalu sama. “Gue nggak pede Ndra .… Gue rikuh kalo harus mulai semuanya dari awal lagi. Enggak bakal sanggup gue,” ucap Hani.

Indra menoleh iba pada perempuan di sebelahnya. Stephanie, nama yang terkesan kota namun tak menyiratkan hal itu di kelakuannya. Alih-alih dipanggil dengan sebutan ‘Stefie’ bak bintang film. Di kampungnya, ia dipanggil dengan sebutan Hani yang melekat sampai di ibukota.

DRRRTT   DRRRTT

Ponsel Hani bergetar panjang di atas meja. Hanya sederetan angka. Tak merasa punya hutang dan keharusan menghindar dari debt collector, Hani menjawab telepon itu.

“Ya …” jawabnya malas-malasan.

“Han … ini Ayu. Kamu kok keluar dari grup besar SMA sih? Inget ini tahun berapa? Reuni akbaaar …,” teriak Ayu dari seberang telepon.

“Hah? Ayu? Reuni ak—bar?” Dua kata yang menyadarkan Hani malam itu. Dagunya yang tadi bertumpu di atas meja, kini tegak. Suara Ayu yang ceria di telepon, belum apa-apa sudah membuatnya insecure. Ia keluar dari grup SMA dan menghilang dari dua sahabatnya yang sama-sama merantau ke ibukota, bukan tanpa alasan.

Hani minder. Grup SMA terasa mencekiknya. Yang dibicarakan semua orang hanya pencapaian dan pencapaian. Suami, istri, anak, harta, karir, dan kalimat-kalimat menyombongkan diri yang dibalut keluhan. Merendah untuk melambung tinggi.

“Han! Kita harus ketemu. Inget, reuninya 3 bulan lagi. Inget juga janji kita dulu. Kamu, aku, Tika. Kita harus ketemu. Bawa suami atau pacar kamu. Aku pengen liat pasangannya primadona SMA Membalong kayak apa. Info reuni aku kirim lewat chat. Aku panitianya. Semua orang pada nyariin kamu. Dasar!” pekik Ayu dengan girangnya.

Seperti apa? Primadona SMA? Primadona itu sudah lama mati. Kalau saja ia mendapat suami seorang politisi muda seperti Ayu, atau Tika yang bersuamikan dokter sukses, ia mungkin tak akan capek-capek menghilang. 

Dua wanita dari desa dengan pendidikan sarjana sepertinya tapi memiliki pencapaian luar biasa. Tak perlu kerja keras membanting tulang, tapi bisa kaya dan cantik mentereng. Dua wanita itu hanya perlu menjadi seorang istri laki-laki hebat.

Pembicaraan sudah berakhir. Hani diam menunduk memandang heels kusamnya. Heels yang sudah dijahit dan dilem empat kali.

“Kenapa?” tanya Indra.

“Reuni akbar SMA Membalong.”

“Terus?”

"Fixed gue enggak dateng. Gue enggak mau cari penyakit," lirih Hani.

"Hei, stupid ... lo harus dateng," ucap Indra.

Bersambung








 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mabuk CEO Part 2
4
0
“Rumah kamu di sini, kan?” tanya Nicho di depan sebuah rumah mewah berkonsep timur tengah. Hani mengangguk, “Mmm ... Makasi udah dianterin.”“Sleep tight,” bisik Nicho, mengecup pipi Hani sekilas.Hani tersenyum manis di tepi jalan. Melambai-lambai demi memastikan sedan mewah Nicho menghilang di belokan. Sedetik kemudian, ia sudah mengumpat.“Kenapa juga aku tadi ngomong rumahku daerah sini? Harusnya yang deket kos-kosan aja. Ck!” Hani menyusuri trotoar menuju jalan utama. Kakinya tak henti menendangi segala sesuatu seraya memaki diri sendiri.***Hanya demi membawa Nicholas, seorang CEO tenar, muda dan tampan ke acara reuni SMA-nya, Hani berjudi. Melupakan mimpinya traveling ke Machu Picchu dan menguras tabungannya demi mengubah penampilan dan hidupnya yang membosankan.Seiring dengan keberhasilan usahanya, Hani lupa dengan jarak tak kasat mata yang terentang di antara ia dan Nicholas tak hanya soal angka. Tapi juga soal siapa dirinya.*****   • Terbit pertama kali di Wattpad November 2021.Memenangkan lomba menulis Penerbit Prospec Author Got Talent sebagai Juara 1 Kategori Best Branding dan terbit cetak di Januari 2022.Dalam proses cetak ulang di bawah Dicetak Publishing.Untuk edisi cetak hubungi akun instagram penulis @juskelapa_ atau @dicetakpublishing 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan