
Sebagai medioker, nggak boleh banyak nuntut apa -apa soal tawaran kerja. Daripada nganggur seumur dunia dan mendapat murka mama, aku mengambil apa saja kesempatan yang datang di depan mata.
Prolog
Inhale, exhale, inhale, exhale....
Fiuuuhhh. Hempaskan energi negatif, lepaskan vibes buruk yang menempeli jiwa ini. Inhale, exhale, inhale, exhale.
“Baby!”
Kedua mataku sontak terbuka. Gilang, berdiri memeluk helm miliknya sambil tersenyum lebar. Senyumnya menular, aku pun bangkit berdiri dan meninggalkan matras tempat aku melakukan yoga sejak sejam lalu dan menghampiri pacarku yang mencoba mampir di jalannya menuju kantor. Gilang menyerahkan sekantung plastik berisi sarapan.
“Gilang, bawain apa?” Suara mama membuat Gilang menyapa wanita yang telah melahirkanku dua puluh tiga tahun lalu itu sebelum menjawab pertanyaan darinya.
“Bubur asin, Tante. Twiska minta dibelikan kalau abangnya jualan, eh pas banget abangnya sedang jualan hari ini.”
Mama tersenyum sopan, kemudian berpesan agar Gilang berhati – hati dalam berkendara di jalan raya sebelum kembali ke dalam rumah meninggalkan kami berdua.
“Masih dijutekkin mama?”
“Biasa lah. Kayak aku nggak usaha aja apply lamaran kemana – mana. Muak kali lihat aku di rumah setiap hari.”
“Shhh, ngomongnya. Wajar aja, kamu sudah setahun lulus tapi belum kerja.”
“Aku juga maunya kerja, Babe.”
“Nanti coba aku tanyain HRD di kantorku lagi, ya. Dimakan ini sarapannya, aku jalan ya.”
“Oke, makasi, Sayang.”
“Sama – sama. Dagh!”
Aku melambaikan tangan pada Gilang yang sudah berjalan kembali menuju motornya dan pergi dari depan pagar rumahku.
Cowok ganteng, berkacamata bulat kiyut persis mas Dikta dan baru saja pergi itu adalah pacarku. Namanya Gilang Bhaskara. Kami sudah saling mengenal sejak SD, namun baru memutuskan pacaran di SMA. Gilang berusia dua tahun lebih tua dariku. Tipe cowok greenflag yang nggak pernah kutemui hampir di sebagian besar lingkunganku sejak SMA. Gilang adalah makhluk langka di antara mereka semua dan aku beruntung telah menjadi pacarnya.
Rumahnya hanya beberapa blok dari rumahku, orangtuanya pun sudah mengenal orangtuaku juga. Bahkan bisa dibilang kami memang bertetangga meski vibes bertetangga di daerah ini tidak cukup akrab seperti di bagian Indonesia lain, mungkin. Kami tinggal di kompleks perumahan menengah ke atas, namun saat kecil dulu, kami sama – sama sering main di taman kompleks sambil dijagai mbak nanny.
Oh ya, aku bernama Twiska. Tebak kenapa? Karena aku anak kedua, sementara nama kakakku yang pertama adalah Wanda dan adikku yang anak ketiga bernama Trias. Yep, it’s One, Two, Three.
Aku sudah lulus kuliah sejak setahun lalu dan masih berjuang mencari pekerjaan hingga saat ini. Salahku sendiri menjadi orang yang medioker alias nggak pinter – pinter banget, tapi nggak bodoh juga. Nggak punya skill khusus, tapi ya bukan berarti nggak bisa apa – apa sama sekali. Saking nanggungnya, aku bahkan nggak tahu jurusan yang cocok untukku apa saat pertama kali masuk kuliah. Aku bisa duduk di bangku kuliah hanya karena papaku mampu membayar biaya pendidikannya. Akhirnya hanya karena didesak untuk kuliah, aku pun mengambil fakultas FISIP dengan jurusan Ilmu Sosiologi dan tentu saja harus menghindari matematika juga segala problematika perhitungan. Sialnya, aku nggak tertarik sama sekali dalam mempelajari masyarakat hingga detik ini.
Dan sekarang, mamaku terus mendesak agar aku bekerja. Mama menilai usahaku kurang banyak dan tekun untuk bisa memperoleh pekerjaan. Mama saja yang tidak tahu, aku bahkan menginstal berbagai aplikasi pencari kerja seperti ; Glints, KitaLulus, Jobstreet, JobsDB, Indeed dan Karir. Tetap saja, meski sudah kusebar jala ke berbagai lowongan yang tersedia, paling mentok hanya sampai psikotest dan gagal lagi untuk tersaring hingga diterima.
Kalau papa menyarankan agar aku mengambil pelatihan khusus seperti pajak agar memiliki sertifikat sebagai nilai jual dalam melamar pekerjaan. Masalahnya, apakah tidak terlambat mempelajari pajak jika selama empat tahun kemarin aku justru berfokus menganalisa berbagai individu di dalam masyarakat dan segala keberagamannya?
Kakakku bisa dibilang cukup sukses menoreh prestasi dan telah menjadi dokter meski hanya dokter umum setidaknya mama punya hal yang bisa dibanggakan jika sedang ngobrol dengan teman kantor maupun teman arisannya.
Sementara adikku, masih duduk di kelas satu SMA dan memiliki banyak waktu sebelum dituntut menjadi sesuatu oleh mama kelak.
Meski tinggal di kompleks perumahan agak elit, keluargaku bukan lah keluarga kaya raya. Hanya keluarga menengah pada umumnya, yang beruntung bisa memiliki rumah sedikit lebih besar dan mampu membiayai pendidikan anak – anaknya di tempat yang cukup bagus meski bukan terbaik.
Papa menjabat sebagai salah satu pejabat di perusahaan BUMN ternama dan mama juga bekerja di perusahaan swasta. Namun papa memiliki usaha tambak udang bersama beberapa teman dan sepertinya usaha papa cukup maju meski aku tidak tahu persis keuntungannya seperti apa.
Jadi, satu – satunya orang yang tidak memiliki kegiatan atau aktifitas rutin di rumah ini hanya aku selama setahun terakhir. Paling malam minggu, itu pun pacaran dengan Gilang. Bukan sesuatu yang produktif kecuali kami berhubungan seks dan memberikan cucu untuk mama papa yang mana aku lebih yakin mungkin namaku akan dicoret dari KK alih – alih membuat mereka bangga.
Papa dan mama juga sudah berusaha mencarikan aku pekerjaan di kantor masing – masing, namun memang sepertinya belum ada kesempatan untuk bisa bekerja di sana.
Keluargaku telah berkumpul di meja makan untuk sarapan, aku menenteng bubur ayam asin pemberian Gilang dan bersiap menyantapnya bersama mereka.
“Kamu rencana nganggur berapa lama?” Pertanyaan mama dengan nada bicaranya yang judes membuatku sedikit kesal saat hendak menyuap makanan.
“Nggak tahu, Ma. Aku masih tunggu panggilan wawancara.”
“Mama mau berhentikan mbak Sulis, kalau ada kamu di rumah, lebih baik kamu yang urus rumah daripada bayar orang.”
Bibirku semakin maju disuruh gantikan ART kami jika masih juga belum bekerja dalam waktu dekat.
“Ya aku kan masih usaha, Ma.”
“Sudah, lanjut S2 saja deh kalau belum ada panggilan juga sampai bulan depan.” Saran papa, aku semakin tertekan mendengarnya.
Kuliah empat tahun saja cukup membuatku stress, bagaimana bisa disuruh nambah???
“Halah, S1 saja belum dapat kerja. Buat apa lanjut S2? Buang – buang uang.”
Aku nggak sabar ingin menanyakan lowongan kerja pada teman – temanku. Jadi begitu membereskan sarapan, aku segera berlari masuk ke dalam kamar dan membuka grup pertemananku yang berisi empat orang ; Aku, Becca, Jania dan Bobby.
Me : HELP. ALERTA!! ALERTA!! Tolong cariin gue kerjaan sekarang juga! Apapun! SPG juga boleh. Warning nyokap makin serem. Masa gue disuruh gantiin mbak Sulis jadi ART di rumah!!!!! Please GUYS!!
•••
Part 1 – Medioker
Me.di.o.ker/medioker : menengah ; rata – rata.
Jika aku mengingat – ingat, rasanya dulu aku punya cita – cita deh. Menjadi ilmuwan, dokter, pilot dan astonout pernah menjadi daftar impianku saat kecil. Tapi tidak satu pun yang aku ingat ketika beranjak remaja. Hidup di tengah kemajuan zaman dengan derasnya tontonan flexing pencapaian singkat, membuatku berpikir untuk menjadi salah satu dari mereka. Namun aku lupa, aku hanya lah si manusia rata – rata yang tidak memiliki bakat apapun kecuali bernapas. Tidak memiliki ketekunan untuk melakukan sesuatu dengan konsisten seperti kebanyakan dari mereka.
Masa mudaku habis hanya untuk main ke berbagai tempat gaul kekinian hingga tidak memiliki waktu untuk memikirkan masa depan atau minat. Aku pun berakhir lulus kuliah dengan prestasi biasa saja dan bingung harus bekerja di mana.
Ketika melamar kerja di bagian administrasi, mereka menuntutku agar mahir menggunakan berbagai rumus di Microsoft Excel yang mana sangat tidak familiar denganku. Melamar kerja sebagai sales, harus jago berjualan sementara aku lebih ahli dalam memilah barang dan berbelanja.
Rasanya aku pun lelah mengirimkan CV ke berbagai perusahaan melalui berbagai platform. Aku bahkan coba ikut kelas upgrading skill dan memperbagus CV. Aku telah melakukan banyak hal namun belum mendapatkan panggilan kerja untuk pekerjaan rendah sekalipun yang hanya bergaji separuh UMR.
Sialnya, mama selalu berpikir aku kurang usaha dan hobinya tiap malam sekarang adalah mengingatkanku untuk terus berusaha melamar kerja.
Tidak ada yang kutunggu – tunggu selama setahun terakhir selain panggilan interview dan informasi lowongan pekerjaan. Setelah mengirim pesan tadi pagi di grup pertemanan, belum juga ada satu chat yang menunjukkan mereka punya informasi soal lowongan kerja.
Ketiga teman baikku sudah bekerja di perusahaan yang berbeda. Bobby di perusahaan Asuransi, entah sebagai apa, aku pernah diberitahu tapi tidak ingat persisnya. Becca bekerja di perusahaan manufakturing, sebagai apa juga aku lupa dan Jania bekerja sebagai guru SD di sekolah Internasional sambil mengambil S2. Dia nggak capek apa ya belajar terus seumur hidupnya?
Kami teman SMA dan masih berteman hingga hari ini. Aku dan Becca satu kampus namun berbeda jurusan. Sementara Bobby dan Jania satu kamus juga berbeda jurusan. Hanya pesan Gilang yang belum kubuka mampir di ponselku. Aku kasihan juga dengan Gilang, selalu terkena imbas uring – uringan dariku yang masih pengangguran. Padahal dia juga sudah berupaya mencarikan informasi pekerjaan untukku dan selalu menyemangatiku untuk tidak menyerah.
Jania is calling...
Sebelum menjawab panggilan telepon, aku sungguhan berharap kali ini adalah kabar baik yang akan kudengar. Aku harap Jania akan membawakanku sebuah informasi pekerjaan yang bisa ku-apply.
“Halo Jan!”
“Lagi di mana lo?”
“Kantor.” Aku menjawab sinis, kan dia tahu aku pengangguran. “Rumah lah.”
“Oh. Lagi sibuk?”
“Lagi training sama mbak Sulis sebelum gantiin dia.” Aku makin sinis, Jania tertawa.
“Judes banget elaahh. Gue pulang jam satu nih, makan di mana yuk?!”
“Lo mah ya, kalau mama gue tahu yang ada makin cepat gue disuruh gantikan mbak Sulis nanti. Sudah tahu pengangguran, malah nongkrong nggak jelas. Gue keluar pacaran sama Gilang saja bisa didongengin seharian, tahu nggak?!”
Lagi – lagi Jania tertawa.
“Elo tuh harus sering keluar, Twiska. Nongkrong di tempat bagus, ketemu banyak orang. Siapa tahu bisa nawari lo pekerjaan.”
“Gini nih hidup kebanyakan nonton Bridgerton! Modal awal buat nongkrong aja gue masih minta bokap atau Gilang, ada gila – gilanya lo nyuruh gue menghamburkan begitu saja tanpa kepastian yang jelas.”
“Dah lah, minta dinikahi Gilang aja cepetan. Biar nggak dirusuhin mama buat kerja.”
“Makin gilaaa idenya! Yang ada, diocehin lagi. ‘Ngurus diri sendiri aja belum bisa, sok – sokan mau ngurus anak orang dan berkeluarga’. Sudah ketebak deh!”
“Bills on me. Ayo keluar! Gue kirim lokasinya ya, gue tunggu nggak pakai lama.”
Jania mematikan sambungan telepon begitu saja dan saat kulihat jam dinding di kamar, sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang dan aku belum mandi. Aku pun bergegas menuju kamar mandi sambil terus menggerutu kesal karena Jania ‘memaksa’ nongkrong di luar. Tapi, setelah menimbang – nimbang, sepertinya aku memang butuh menghirup udara segar perkafean Jakarta deh. Mungkin setidaknya aku akan mendapatkan ide untuk melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan uang agar mama berhenti memaksaku melamar berbagai pekerjaan.
Percayalah, bahkan jika seseorang menerimaku sebagai cleaning service, rasanya aku akan terima meski mungkin tidak akan bertahan lama.
Alamat yang diberikan Jania tidak sulit, aku sering datang makan di sana dengan Gilang atau keluargaku. Sesampainya di sana, Jania sudah duduk manis bersama satu orang wanita cantik yang tidak kukenal. Aku menyapa Jania, ia pun memperkenalkanku pada wanita yang bernama Tara itu.
“Ini kakak sepupu gue. Ini Twiska, Mbak.”
“Hai.” Mbak Tara menyapaku dengan ramah.
Aku menyebutkan nama dan ikut duduk bersama mereka. Mbak Tara adalah wanita yang sangat cantik dan terlihat berkelas. Aku tidak heran, Jania memang berasal dari keluarga berada. Beberapa orang om dan tantenya pengusaha ternama, ada juga yang menduduki kursi pemerintahan sebagai pejabat.
“Dulu satu kampus bareng Nia, Twiska?”
“Nggak, Mbak. Kita satu SMA aja.”
“Dia mah kuliah di kampus bagus, Mbak.”
“Kampus lo mentereng ya!” Aku nggak mau kalah menudingnya.
Kampus dia lebih bergengsi dari kampusku dulu. Mbak Tara menertawakan tingkah kami berdua dan menimpali dengan istilah, “dasar Gen Z!”
“Memang Mbak Tara apa? Boomer?”
Mbak Tara mengelak seraya tertawa tertahan. “Ya biar tua – tua gini, belum se-senior boomer lah. Milenial masih bisa dibilang.”
“Mbak sudah umur tiga puluh?” Aku membelalakkan mata tak percaya padanya.
Mbak Tara mengangguk mengkonfirmasi pertanyaanku.
“Ah kayak masih dua puluh lima lho!”
Mbak Tara tergelak mendengar perkataanku, ia pun berkata akan membayar makanan kami dan gantian aku yang tertawa bersama Jania.
“Harus sering – sering puji Mbak Tara kalau begitu, lumayan kan makan siang gratis.”
“Waahhh, opportunis juga kamu Twis!” Aku nyengir kuda.
Kami memesan makanan. Aku terkesima dengan kecantikan mbak Tara yang sangat eksotis. Ia memiliki kulit sedikit tanned, hidung yang mancung dengan shape yang runcing di ujungnya, kedua mata coklat karamel yang seolah mencair ketika ia tertawa dan tubuhnya, ugh, sangat body goals. Kecantikan Indonesia yang sungguh paripurna. Lelaki beruntung mana yang berhasil mendapatkan hatinya, ya?
“Anyway, Nia bilang kamu belum kerja, Twis?” Kedua telingaku terbuka lebar mendengar pertanyaan mbak Tara, aku pun duduk dengan tegap sambil mengangguk mantap.
Aku melihat sebuah harapan.
“Ada lowongan, tapi—Mbak nggak yakin kamu mau sih. Soalnya, posisi ini sebenarnya gampang tapi bosnya yang sedikit...” Mbak Tara mendekatkan wajahnya ke tengah, membuat aku dan Jania mengikuti tingkahnya. “...gila.” Ia berbisik di kata terakhir.
Kedua alisku berkerut, aku membatin, ‘mbak Tara niat nawarin nggak sih kok malah nakut – nakutin gini?’.
“Bagian apa, Mbak?”
“Gajinya oke kok, kerja buat konglo.”
“Hmm—posisinya apa, Mbak?”
“Bosnya agak galak, rewel, tapi baik kok.”
Aku menghela napas, saat bilang ‘tapi baik kok’ nya itu nggak meyakinkan banget. Beberapa konglo yang aku tahu kan memang resek dan tengil.
“Jadi apa memang, Mbak?”
“Asisten pribadi.”
Aku menghela napas gusar, mbak Tara langsung mengulurkan tangan untuk mengelus lengan atasku.
“Kayak asisten artis gitu, ya, Mbak?”
“No, ini asisten pribadi untuk ke business man, bukan artis. Pasti berbeda sih, ada office hour—lewat dari office hour tetap dihitung lembur.”
“Buat siapa, Mbak?” Kali ini Jania yang bertanya.
“Buat Sam. Kamu tahu sendiri, kan, dalam dua bulan sudah lima orang Aspri dia pecat seenak jidat. Eh..eh..maksudnya itu karena dia high demand banget, nggak suka yang lelet – lelet gitu.” Mbak Tara tampak menyesal telah membuka ‘kecacatan’ dalam bidang pekerjaan yang hendak ia tawarkan padaku ini.
“Ih gila banget!” Komentar Jania.
“Tapi ada juga yang muntaber sih.”
“Muntaber?” Aku bertanya sambil mengerutkan kening.
“Mundur tanpa berita. Alias kabur, Say.”
Aku dan Jania kompak ber-ooh ria.
Nyaliku menciut mendengar cerita mbak Tara. Kalau dalam dua bulan saja sudah banyak berganti asisten hingga ada yang kabur, se-kejam apa coba ini bosnya?
“Mau coba nggak, Twis?”
“Takut.”
“Hahahaha. Nggak sekejam itu, emang demanding banget. Tapi easy to handle kok kalau tahu caranya.”
“Kalau Mbak Tara yang handle aku yakin sih jinak.” Terang Jania menimpali ucapan mbak Tara, kakak sepupunya itu malah terkekeh malu.
Aku yakin mbak Tara punya hubungan spesial dengan orang itu sampai – sampai Jania memberi kesan mbak Tara akan sangat mudah menangani sosok yang terdengar menyeramkan bagiku.
“Pacarnya Mbak Tara, ya?” Tebakku, mbak Tara menyanggah, kedua tangannya bergerak ke kanan dan kiri.
“Bukan.”
“Mantan lebih tepatnya. Eh cinta monyet deh!” Ujar Jania, aku membulatkan bibir.
“Nggak—cuma memang temenan dari kecil sama dia. Jadi sudah akrab banget.”
“Tapi, Mbak kerja di perusahaan itu juga?”
“Uhm—kerja nggak ya? Lebih kayak partner sih, tapi tetap dia bosnya.”
Selama mengunyah makanan aku mempertimbangkan tawaran mbak Tara. Kalau aku tolak, belum tentu aku dapat pekerjaan lain yang lebih baik dari ini. Kalau aku terima, kok bayanganku bakalan seram ya. Lagipula, aku sudah pusing dengan omelan mama dan nggak sanggup kalau harus diceramahi lagi.
“Aku nggak ada pengalaman kerja sama sekali, Mbak.” Ujarku jujur pada mbak Tara.
“Nggak masalah. Yang penting kamu ikuti instruksi dengan baik, jangan coba – coba melawan kalau dia lagi marah. Dengerin aja pokoknya. Dan, jangan kasihan sama dia walau dia terlihat kasihan.”
Aku semakin nggak mengerti maksud mbak Tara pada kalimat terakhirnya.
“Nanti juga kamu akan tahu yang aku maksud. Ya perlakukan dia kayak orang normal saja deh pokoknya. Omongannya pasti judes, nggak ramah, tapi dia nggak pernah bermaksud jahat kok.”
Aku menghela napas lagi, kok gambarannya ini orang menyebalkan banget ya. “Tipe orang yang sakit hati sama Dunia, ya, Mbak?”
Pertanyaanku berbuah tawa kecil mbak Tara.
“Mungkin ya, dia bitter banget soalnya. Padahal anak tunggal dari pengusaha kaya raya, pewaris, good looking. Entah lah, ada saja yang bikin dia nggak puas.” Mbak Tara menerawang, namun senyum kecilnya tersungging manis. “Tapi kalau sudah kenal, kamu akan tahu betapa manis dan menggemaskannya dia.”
Aku mencibir tak percaya, mbak Tara berusaha meyakinkanku dan ia kembali mempertanyakaan kesediaanku bekerja pada teman dekatnya itu.
“Huh! Aku coba deh, Mbak. Kalau nggak betah, boleh resign kan ya?”
“Yah, belum apa – apa masa sudah pikirin resign sih?”
Aku tertawa ketakutan. “Ngeri bayangin calon bosnya.”
“Hahaha, nggak usah takut. Nanti aku kasih tahu cara handle-nya hihihi.”
“Percaya saja sama mbak Tara.” Jania menyenggol lenganku, aku pun menganggukkan kepala mantap.
Kayak medioker sepertiku bisa pilih – pilih kerjaaan saja. Hm, aku pun memutuskan untuk memberikan CV virtualku pada mbak Tara untuk diteruskan ke tim HR perusahaan tempatku akan bekerja nanti.
“Siapin hardcopy-nya juga ya, terkadang buat arsip kantor.”
“Ada kok, Mbak, hardcopy-nya di rumah. Jania nggak bilang mau nawarin pekerjaan, jadi aku memang nggak bawa.”
“Soalnya gue susah jelasinnya, elo kan kebanyakan nanya kalau gue tawarin di telepon gitu.”
“Iya sih.”
“Nah, makanya gue ketemuin sama mbak Tara biar yang jelasin langsung mbak Tara saja.”
Pulang dari makan siang, aku langsung mengabari Gilang. Pacarku yang manis dan ganteng itu sedang meeting, tapi sempat membalas pesanku dengan memberi ucapan selamat. Aku nggak sabar bertemu dengannya nanti malam dan menceritakan semua. Aku butuh dukungan dan afirmasi positif darinya.
Aku menyiapkan berkas lamaran yang akan diminta tim HR perusahaan itu nanti. Aku baru mendengar perusahaan besar milik calon bosku (kalau diterima), namanya PT Gunung Kokoh Abadi. Mantap banget nggak tuh namanya. Perusahaan manufaktur itu telah berdiri lebih dari tiga puluh tahun lamanya. Pantes dibilang konglo dan kaya dari lahir, mungkin perusahaan ini didirikan oleh kakeknya dan diturunkan ke ayahnya hingga ke sosok ini.
Semoga semesta berbaik hati padaku dan membuat si bos yang tampaknya mengerikan ini agak manusiawi dalam bersikap kepadaku nanti.
©
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
