
Lalu kami makan diam-diam. Di antara aroma baju-baju baru, sisa tawa pelanggan tadi, dan lampu neon yang mulai memantulkan cahaya ke kaca jendela.
Part 11 - Mendadak Kangen

Outlet terasa lebih luas dari biasanya. Lebih sunyi. Mungkin karena Buana nggak di sini.
Tiga hari ini dia sibuk di kampus, katanya ngebut nemui dosen pembimbing yang menyediakan waktu untuk konsultasi penyelesaian skripsi sebelum tenggat baru. Aku paham. Aku dukung. Tapi ruang ini… kehilangan warnanya sedikit sejak dia nggak duduk di meja kasir sambil ngetik dan nyengir ke arahku setiap sepuluh menit sekali.
Aku melipat tumpukan hoodie yang baru datang dari vendor. Tanganku bergerak otomatis, tapi pikiranku entah di mana.
Mengapa perasaanku aneh begini?
Aku duduk, membuka kotak makan siang yang tadi pagi disiapkan bestieku Jenna. Biasanya aku makan bareng Buana di depan meja kasir sini, sambil mendengarkan playlist absurd pilihan dia yang isinya campuran lagu 2000-an dan instrumental lo-fi. Sekarang, aku bahkan nggak tahu mau dengar lagu apa.
Dan anehnya… aku kangen.
Kangen dia cerita soal dosennya yang pelit nilai. Kangen dengar dia ngomel sambil ngerjain konten TikTok kita yang views-nya stuck. Kangen melihat dia dengan tatapan penuh semangat ketika kami diskusi desain baru.
Aku bahkan kangen suara napasnya.
Aku menghela napas. Menyandarkan kepala di kursi. Mengambil ponsel, melihat chat terakhir.
Buana : Gimana Outlet, Mbak? Aman?
Me : Aman, Bu. Fokus skripsi aja dulu.
Buana : Aman lah, masih sepi juga kan? Muehehehe.
Me : Nggak usah ngeledek. Aku handle kok, hari ini Jenna turun bantuin juga
Buana : Sip
Aman? Padahal rasanya seperti… ngambang.
Aku tahu perasaan ini bukan kekaguman sesaat. Bukan hanya karena kami kerja bareng, mengurus segala hal berdua karena hanya waktu kami berdua yang available. Ada yang tumbuh. Diam-diam. Tapi kuat. Dan itu membuatku aku ragu dan takut, sejujurnya.
Takut karena luka dari masa lalu masih menganga. Aku pernah mencintai seseorang yang ternyata sedarah daging denganku. Luka itu belum sepenuhnya sembuh, bahkan kadang masih membuatku mual sendiri kalau ingat semua detailnya.
Dan sekarang… aku mulai jatuh lagi. Kali ini pada Buana. Anak baik yang hangat. Yang bisa membuatku tertawa di tengah rasa bersalahku sendiri.
Yang bahkan nggak pernah memaksa aku cerita, tapi selalu membuatku ingin bercerita. Ya, dia punya kemampuan itu, menarik seseorang untuk menumpahkan semua cerita tanpa effort mengorek.
Tapi dia adiknya Mega. Mega sahabat baikku, yang selalu ada saat hidupku ambruk. Mega yang juga menitipkan mimpi bisnis ini. Mega yang akan patah hati kalau tahu aku mungkin menyayangi adiknya lebih dari sekadar rekan.
Dan Buana… empat tahun lebih muda. Dunia kami beda. Latar belakang kami jauh berbeda. Apa dia juga merasa hal yang sama? Atau ini hanya aku yang terlalu cepat berharap?
Aku berdiri, menyalakan diffuser lavender. Membereskan meja, menyapu sisa benang dan remahan plastik.
Besok dia mungkin datang lagi. Dan aku belum tahu harus bersikap seperti apa.
Tapi hari ini, di outlet kecil yang kami bangun dari luka masing-masing, aku tahu satu hal, aku sedang jatuh. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku nggak mau kabur dari perasaan ini.
Hari ini Jenna datang lebih awal dari yang dijanjikan, kupikir dia akan tiba jam empat sore. Rambutnya dicepol asal, jaket kulitnya masih basah sedikit kena gerimis. Dia sempat berangkat ke kantor terlebih dahulu untuk mengerjakan beberapa hal dan sudah berjanji akan membantuku hari ini di Outlet.
“Gue bawa kopi, lo bawa hati yang gelisah,” katanya sambil nyodorin paper bag.
Aku tertawa kecil. “Heleehh, selalu puitis setengah nyindir.”
Dia melirikku sambil mulai membuka kunci kasir. “Nggak usah dibantah. Muka lo itu lho dari tadi udah kayak orang mikirin nasib Negara ini. Ada apa, Chan?”
Aku diam. Mengambil kopi dari tangannya. Duduk di meja yang biasa dipakai Buana.
Kuhela napas berkali - kali, membuat Jenna mengangkat sebelah alis sebab dirundung rasa penasarannya sendiri. Tidak bisa kah dia cukup lega karena aku tidak lagi meratapi Aswad dan hubungan kami yang penuh dosa? Oh tentu tidak, ini Jenna.
“Kenapa?” Tanya Jenna lagi, lebih tegas kali ini.
Aku melihat wajahnya. Si sahabatku, housemate-ku. Satu - satunya orang yang mendengarku nangis berhari - hari sejak tahu bahwa Aswad adalah kakak kandungku, kini wajahnya tengah penasaran akan sesuatu. Aku tahu dia lah penyelamatku beberapa minggu kemarin dan one call away yang selalu tersedia kapan pun aku butuh.
Sekarang aku butuh sudut pandangnya terhadap perasaan yang mulai tumbuh dalam hatiku ini, berikut segala keraguan dan ketakutan yang mengikutinya.
“Jadi gini, Jen…” Aku mulai pelan. “Kalau… ada orang—cewek, gitu ya—yang mulai nyaman sama cowok, tapi cowoknya itu lebih muda… lo pikir aneh nggak?”
Jenna nyengir. “Berapa tahun lebih muda?”
“Empat.”
“Hm. Kalau gue jawab ‘nggak aneh’, lo lega. Kalau gue jawab ‘aneh’, lo tetap suka.”
Aku memutar mata. “Gue nggak bilang itu gue.”
“Chan… lo cerita kayak gitu ke orang yang bisa bedain helaan napas capek, mumet dan galau lo. Jangan bohongin gue!”
Aku diam. Kopi masih panas di tangan, tapi ada sesuatu yang pelan-pelan mencair di dada. She knows me so well.
“Masalahnya bukan cuma umur, Jen. Ada banyak hal. Latar belakang, luka lama, hubungan sama orang-orang sekitar…”
“Mega?” tebaknya cepat. “Adiknya jangan - jangan. Hmmmpphh, gue kan sudah bilang, Buana itu ganteng, menarik dan berpotensi jadi Playboy.”
Aku mengangguk.
Jenna ikut duduk. Kali ini serius. “Lo tau, kadang kita terlalu takut ngelindungin orang lain sampe lupa ngelindungin diri sendiri. Mega temen kita, sahabat lo. Tapi bukan berarti dia bisa ngatur isi hati lo.”
“Bukan ngatur… tapi gue takut ngerusak sesuatu yang sudah berjalan baik. Seperti persahabatan kita berlima dan bisnis ini.”
Jenna menatapku, lama. “Chan, lo itu perempuan yang udah lewatin badai yang bahkan banyak orang nggak akan kuat. Lo punya hak buat bahagia juga. Kalau Buana—si bocil itu—bikin lo ngerasa utuh, kenapa nggak?”
Bocil nggak tuh?
Aku menatap lantai.
“Luka gue belum sembuh, Jen.”
“Ya udah, nggak usah langsung lari. Jalanin aja. Rasain. Kadang kita nggak butuh jawabannya sekarang.”
Aku menarik napas panjang. Kata-katanya sederhana, tapi pas.
“Anyway, kekhawatiran gue bukan Mega sih. Tapi lebih ke Buana dan segala pesonanya itu.” Lanjut Jenna lagi, aku kembali menatap wajahnya.
“Kenapa?”
“Hmm…lo sadar, kan, betapa gantengnya dia. Dengan usianya itu…pergaulannya…keluwesannya dalam berinteraksi dengan semua orang. Nggak khawatir?”
Untuk seorang Jenna yang kisah cintanya mulus seperti jalan tol, aku terkejut dia masih berpikir sosok seperti Buana bisa menyakitkan untuk dimiliki.
Kuangkat kedua bahu, memberi tanda clueless mengenai hal itu. Pengalamanku berpacaran hanya dengan Aswad dan dia lelaki yang setia meski berkali - kali kami dipisahkan jarak.
Kami kembali berkutat dengan kegiatan masing - masing. Aku sibuk mencari ide dengan berselancar di dunia maya, entah Jenna yang sejak tadi berjalan mondar - mandir di area pajangan aksesori. Sempat melayani beberapa pengunjung dan kuakui Jenna memang sudah sangat terbiasa.
“Astaga, lo nyimpen scarf baru ini di mana? Tadi ada ibu-ibu nanya, gue sampai keliling kayak orang ilang.”
Jenna berseru sambil menarik satu kotak dari bawah meja. Aku hanya meliriknya sekilas, lalu kembali merapikan display tas yang baru saja kami ubah layout-nya.
“Di bawah, tapi agak dalam. Lo sih jarang bantuin jadi lupa posisi semua,” sahutku datar.
“Gue bantuin lo hari ini, itu bonus,” katanya sambil menjatuhkan diri ke kursi. “Gue lebih suka jadi PR image kita di medsos aja. Nggak perlu bongkar kardus dan ngelipet-lipet sampai tangan berdebu begini. Sudah cukup gue menjadi babu Sukarti di kantor, jangan di sini juga dong.”
Aku tertawa pelan, lalu ikut duduk di sebelahnya. Hujan mulai turun pelan-pelan di luar, langit sore sudah berwarna abu keperakan. Suasana outlet pelan-pelan sepi.
Jenna diam sebentar. Lalu menoleh ke arahku. “Lo kepikiran Buana lagi, ya?”
Aku hampir tersedak napas sendiri. “Hah? Enggak.”
Dia mengangkat alis. “Sudah berapa hari dia absen ke Outlet? Tiga hari ya?”
Aku nggak langsung jawab. Mataku hanya menatap meja kasir yang kosong. Biasanya ada tas laptop dan kertas-kertas revisi skripsi Buana di situ. Ada gelas kopi plastik yang dia tinggalin separuh isinya. Sekarang kosong.
“Gue cuma lagi… ya, mikirin aja,” kataku pelan.
Jenna mencondongkan tubuh dan bertanya dengan mimik menggoda. “Lo mikirin perasaan dia juga atau emang lagi kangen?”
Aku menarik napas dalam. “Jujur? Mungkin dua-duanya.”
Dia tertawa kecil. Lalu, perlahan senyumnya berubah jadi serius.
“Chan, gue ngerti. Buana itu charming. Guanteengggg, pinter ngomong, punya empati, dan—ini penting—bisa bikin lo ngerasa dilihat.”
Aku menatap Jenna. Kalimatnya terlalu akurat.
“Tapi lo juga tahu dia tipe yang gampang bikin orang jatuh suka. Lo pikir lo satu-satunya yang bisa diajak ngobrol panjang soal luka batin atau masa lalu kelam?” Jenna menatapku tajam. “Gue bukannya mau nyiram air es ke perasaan lo, tapi… lo harus hati-hati. Karena kalau sampe dia ternyata main-main, yang patah bukan cuma hati lo. Tapi semua usaha kita yang sudah kita bangun bareng.”
Aku menggigit bibir. “Buana bukan tipe gitu, Jen.”
“Semoga lo benar. Tapi lo juga harus jaga diri. Lo udah terlalu banyak ngelewatin hidup dengan luka yang nggak lo minta. Jangan sampai lo buka ruang buat orang yang belum tentu tahu cara ngejaga lo.”
Kata-katanya tajam, tapi bukan karena mau menyakitiku. Justru karena dia peduli. Jenna selalu seperti itu—keras tapi jujur. Dan biasanya, dia nggak pernah salah baca orang.
“Apa lo nggak lihat hal yang beda dari dia?” tanyaku pelan.
“Gue lihat dia punya sisi tulus. Tapi gue juga lihat dia masih muda. Dan orang muda tuh… suka berubah arah. Hari ini yakin, besok bisa panik sama pilihannya sendiri.”
Aku mengangguk, pelan. Namun satu hal yang aku bisa pastikan, Buana memiliki prinsip. Seperti pandangan politiknya yang membuat dia bersebrangan dengan sang papa.
“Gue juga belum siap. Luka gue masih… hidup,” gumamku. “Tapi gue nggak bisa bohong, Jen. Kehadiran dia… bikin gue bisa napas lebih tenang.”
Jenna meletakkan tangan di punggung tanganku. “Kalau lo mau jalanin, jalanin. Tapi jangan lepas kendali. Jangan sampai lo nyerahin semua sisi rapuh lo ke orang yang belum tahu cara bawa hati orang lain.”
Aku senyum tipis. “Terus gue harus gimana?”
Jenna berdiri. “Lo tetap jadi Chandra. Yang kuat, yang pintar, yang bisa nyembuhin diri sendiri. Kalau Buana datang bukan buat nyelametin lo, tapi nemenin lo—itu baru layak diperhitungkan.”
Aku menatapnya lama, lalu mengangguk. Aku juga tidak berpikir demikian, mengira Buana adalah pahlawan berbaju zirah yang akan menyelamatkanku dari patah hati. Namun kejujuran demi kejujuran yang akhirnya kuutarakan padanya meninggalkan rasa nyaman tersendiri. Aku merasa memiliki seseorang yang mendengarkan, tidak menghakimi dan tidak berjengit jijik. Aku merasa bisa bersandar tanpa takut ia terburu - buru pergi.
Terlebih, kami memiliki kesamaan tentang patah hati dengan hidup. Tidak perlu menjelaskan banyak hal pada seseorang yang mengalami luka patah yang kurang lebih sama. Itu melegakan.
Di luar, langit masih kelabu. Tapi di dalam sini, suasana terasa lebih hangat.
Aku belum tahu apa yang akan aku lakukan. Tapi hari ini, setidaknya… aku tahu aku nggak sendirian memahami perasaan yang mulai tumbuh ini.
.
.
.
Sudah tiga hari aku sendiri di outlet ini (meski dibantu Jenna di hari ketiga sih). Tiga hari mengatur gantungan, menyalakan lampu, menyapu debu yang selalu muncul entah dari mana, dan mendengar suara pintu masuk yang tak pernah terdengar familiar tanpa satu nama: Buana.
Dan hari ini, dia datang—dengan hoodie kebesaran, langkah cepat, dan wajah yang seperti habis diperas seluruh tenaganya.
Aku tahu ekspresi itu. Aku pernah punya mata yang seperti itu, ketika hidup menuntut terlalu banyak, terlalu cepat, tanpa peduli kita siap atau tidak.
Aku tidak menyapanya dengan semangat. Tidak menyodorkan pertanyaan. Hanya satu kalimat pelan, dan kembali pada apa yang bisa kulakukan: bekerja.
Kupikir dia akan menyapa balik, atau mengeluh seperti biasanya. Tapi tidak. Dia hanya duduk, membuka laptop, dan langsung larut. Matanya sibuk, jarinya sibuk, tapi bahunya… tampak lelah.
Kupandangi punggungnya dalam diam, dari balik rak display. Aku tidak tahu harus bagaimana, jadi aku memilih cara yang kupelajari dari semua luka yang pernah kutanggung: diam tapi ada.
Aku duduk di meja seberang. Mengisi data stok, mengetik, pura-pura sibuk. Tapi sesungguhnya, aku hanya ingin menjaga ruang ini tetap berjalan agar dia bisa bernapas.
Lama kami dalam diam. Sampai akhirnya dia bicara.
Tentang dosennya. Tentang bab lima yang harus direvisi. Tentang usaha yang sia-sia.
“Dosen minta saya ulang bab lima. Dari scratch, Mbak. Mbak tahu nggak rasanya? Saya sudah empat hari begadang, terus dia cuma bilang ‘kurang dalam’?”
Aku memindahkan pandangan dari layar ke wajah Buana. Ia tidak langsung menjawab. Hanya menutup laptopnya pelan, lalu menyandarkan tubuh ke kursi.
“Aku tahu,” kataku tenang. “Nggak ada yang lebih menyakitkan daripada ngulang sesuatu yang kita udah curahkan sepenuh hati.”
Buana tertawa kecil, hambar. “Persis.”
Dan hatiku, yang semula sudah kutata baik-baik, kembali goyah melihat sorot matanya yang penuh kelelahan.
Aku ingin menggenggam tangannya. Ingin berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, ini bukan waktunya.
Jadi aku hanya bilang. “Aku nggak bisa bantu banyak. Tapi kamu bisa nulis di sini kalau mau. Aku nggak bakal ganggu. Aku akan diam nggak bersuara dan bersikap seolah nggak ada.”
Dan dia mengangguk sambil tertawa kecil. Hanya itu. Tapi aku tahu artinya lebih dari cukup.
Lalu kami kembali tenggelam dalam pekerjaan masing-masing. Tapi udara di antara kami berubah. Tidak sepadat tadi. Tidak sesesak sebelumnya.
Mungkin inilah definisi awal dari cinta yang pelan-pelan tumbuh: bukan dari ucapan manis, bukan dari pelukan yang tiba-tiba, tapi dari kehadiran yang diam-diam menenangkan.
Dari kenyataan bahwa aku bisa duduk berjam-jam di seberang meja, hanya untuk memastikan dia merasa tidak sendiri.
Bukan berusaha menjadi tempat yang tenang—tapi kehadiran yang tenang. Bukan jawaban atau solusi—tapi seseorang yang bersedia ada, tanpa tekanan.
Aku kembali memfokuskan diri pada susunan baju yang harus digantung, meski pikiranku kembali terdistraksi mengenai satu hal. Tentang Buana yang kembali, tentang perasaan yang masih kusimpan, dan tentang kesadaran bahwa kadang, mencintai seseorang berarti menjadi ruang tenang di tengah kekacauan mereka.
.
.
.
Hari itu seperti kebanyakan hari lainnya. Aku datang lebih pagi, memastikan semua tertata, semua siap. Di sisi lain ruangan, Buana duduk seperti biasa, menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong yang khas mahasiswa tingkat akhir—tatapan yang nyaris mati rasa karena terlalu sering dituntut berpikir cepat dalam waktu yang terlalu pendek.
Sudah tiga hari ini dia lebih banyak duduk, tenggelam dalam skripsi. Dan aku mengerti. Aku tak pernah menuntut bantuannya. Melihat dia hadir saja rasanya sudah cukup… entah kenapa.
Tapi siang itu, entah kenapa, dia menutup laptop lebih cepat dari biasanya. Lalu berdiri, merentangkan punggungnya pelan sebelum berjalan ke arahku.
“Saya bantuin ya, Mbak. Kamu dari tadi sendirian ngurus semuanya.”
Aku hanya sempat menatapnya sebentar sebelum mengangguk. “Nggak apa-apa sih. Tapi… makasih.”
Tak lama, beberapa pengunjung masuk—sekumpulan perempuan muda, sekitar dua atau tiga orang. Suara mereka ringan, langkah mereka gembira. Dan saat mereka melihat siapa yang menyambut mereka, aku bisa langsung melihat perubahan dalam raut wajah mereka: mata yang sedikit membesar, bibir yang terangkat dengan senyum terlalu cepat, dan tawa-tawa kecil yang… jujur saja, terdengar terlalu dibuat-buat.
Dan Buana, seperti biasa, tidak menyadarinya.
Ia menyapa dengan ramah, menjelaskan koleksi jaket terbaru kami, bahkan sesekali melempar candaan ringan yang membuat tawa para pengunjung itu semakin menjadi.
Aku berdiri agak jauh, pura-pura sibuk merapikan gantungan baju, padahal mataku mencuri pandang ke arahnya.
Dia tampak… nyaman. Luwes. Dan tampan, seperti biasa—dengan kemeja hitam digulung hingga siku dan rambut yang sedikit berantakan karena terlalu sering disentuh tangan.
Salah satu dari pengunjung itu tampak agak berani. Bertanya soal harga, lalu menyisipkan komentar, “Mas, modelnya cocok banget deh kalau Mas sendiri yang pakai…”
Dan Buana hanya tertawa kecil. “Wah, bisa aja. Tapi nanti disangka SPG-nya malah…”
Tawa pecah lagi. Dan aku, di balik rak baju, merasa ada sesuatu yang bergemuruh di dada.
Rasa itu datang tanpa undangan. Aku tahu seharusnya ini bukan sesuatu yang besar. Buana memang punya kepribadian seperti itu—terbuka, ramah, dan memikat. Tapi tetap saja, ada perasaan kecil yang menolak diabaikan. Rasa ingin melangkah ke depan dan berkata, “Itu bukan untuk kalian.”
Aku meneguk air putih dari botolku perlahan, berharap bisa menenangkan kepala yang mulai sibuk sendiri.
Dan di tengah sorak-sorai kecil itu, Buana menoleh ke arahku. Tatapan kami bertemu sepersekian detik—dan aku buru-buru mengalihkan pandangan.
Jangan bodoh, Chandra. Dia hanya partner kerja yang sedang membantu. Dia cuma baik. Dia… bukan milikmu.
Tapi entah mengapa, dada ini tetap terasa berat. Ada sesuatu ketika melihatnya begitu terbuka ke dunia, yang membuatku ingin menyimpannya dalam ruang yang hanya aku yang tahu. Ada sesuatu dari caranya bicara pada mereka, yang membuatku sadar—aku sedang jatuh.
Dan aku tak tahu harus bagaimana mengelola rasa ini.
Bukan sekarang. Mungkin belum sekarang.
Para pengunjung itu akhirnya pergi. Membawa dua totebag belanjaan dan mungkin—sayangnya—sedikit jatuh hati pada petugas outlet yang tidak mereka tahu sedang membuat jantung seseorang berdebar tak tentu arah.
Aku masih di balik meja. Masih pura-pura fokus dengan data stok, padahal layar laptop sudah blur di mataku sejak lima belas menit terakhir.
Bunyi langkah ringan mendekat.
“Gila, akhirnya merasakan ini outlet rame juga ya,” kata Buana sambil menyandarkan tubuh di meja sebelahku, menyeruput es kopi yang udah tinggal separuh. “Mereka lucu-lucu, ya. Komennya bisa bikin orang ngerasa kayak public figure.”
Aku cuma mengangguk pelan. “Hmm.”
“Mbak kenapa?” tanyanya kemudian. Nada suaranya ringan, tapi cukup tajam untuk menangkap ketidakwajaranku.
Aku menoleh sebentar. “Nggak kenapa-kenapa. Capek aja mungkin.”
Dia memperhatikanku sejenak, lalu tertawa kecil. “Capek denger cewek-cewek itu flirting ke saya, ya?”
Tawanya seperti iseng, tapi entah kenapa menamparku cukup keras.
Aku membalas dengan senyum tipis, walau pahit rasanya. “Emang kamu sadar mereka flirting?”
Mungkin dirinya memang terbiasa digoda oleh perempuan - perempuan lebih dulu.
“Yaaa… kelihatan lah. Tapi mereka lucu, sih. Nggak ganggu. Kamu malah ngilang dari barisan, saya kira Mbak ngelipet baju di atas.”
Aku menatap cangkir kopiku, lalu bergumam, “Kadang aku mikir, kamu terlalu baik buat semua orang.”
Buana menoleh, keningnya berkerut. “Maksudnya?”
“Ya… kamu selalu bisa bikin orang nyaman. Gampang dekat. Kadang aku mikir, bisa nggak sih ada satu orang aja yang bisa kamu bikin nyaman… tapi kamu nggak kasih kenyamanan itu ke orang lain juga?”
Kalimat itu keluar terlalu cepat. Aku bahkan tidak sempat menyaringnya.
Buana terdiam. Matanya menatapku, agak bingung, mungkin juga penasaran.
Tapi sebelum suasananya jadi terlalu berat, aku tersenyum. “Lupakan aja. Mungkin aku emang lagi capek beneran.”
Dia tidak bertanya lebih jauh. Hanya duduk di sebelahku, lalu mengeluarkan sisa brownies dari tas kertas kecil.
“Saya bawa ini tadi dari apartemen. Mbak mau?”
Aku mengangguk. Dia menyobek setengah dan menyerahkannya ke tanganku.
Lalu kami makan diam-diam. Di antara aroma baju-baju baru, sisa tawa pelanggan tadi, dan lampu neon yang mulai memantulkan cahaya ke kaca jendela.
Seketika aku merasa… sedikit lebih tenang.
Dia tidak peka—mungkin. Atau mungkin, dia tahu, tapi memilih untuk diam.
Dan aku? Masih belum tahu cara terbaik untuk mengartikan rasa yang tumbuh ini. Tapi untuk sekarang, duduk di sampingnya seperti ini—cukup. Cukup untuk bertahan hari ini.
∞
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
