Tidak Ada Hari Libur (Untuk Mencintai) - [Part 4 - Pekerjaan Baru]

15
2
Deskripsi

Papa tidak suka jika tahu anaknya bekerja diperintah - perintah orang lain, menurutnya pekerjaan semacam itu tidak powerful.

Part 4 - Pekerjaan Baru

Buana

Aku terkejut melihat mbak Chandra berjalan masuk dan memeluk kakakku dengan erat. Mereka bercanda hingga akhirnya mbak Chandra menyadari kehadiranku dan bertanya dengan pandangan tidak mengerti pada mbak Mega.

“Elo kenal adik gue? Ini Buana. Yang sering gue panggil Bubu.”

Mbak Chandra menutup mulutnya dengan tangan kanan, terperangah kaget dan tidak menyangka. Aku juga nggak menyangka kalau Chandra yang sudah temenan lama dengan kakakku itu adalah Chandra asisten pribadi tante Imelda Tan, maminya Ocha mantan pacarku.

Aku sering diceritakan oleh kakakku tentang keempat temannya yang sudah kenal sejak SMA, tapi tidak pernah bertemu mereka semua kecuali Victor yang hampir tidak pernah absen berkunjung ke rumah kami setiap malam minggu saat semasa kuliah dulu.

“Gue kenal ini sih, pacaran sama anaknya—mantan bos gue.” Nada suara mbak Chandra mengecil di akhir kalimat dan jujur saja aku pun terkejut saat mendengarnya menyematkan kata ‘mantan bos’. 

Aku menyalami mbak Chandra dan memperkenalkan diri secara resmi di luar sebagai pacar Ocha.

“Halo Mbak, saya adiknya mbak Mega.”

Mbak Chandra mengayunkan tangan kami yang sedang bersalaman sambil bercanda.

“Ocha gimana kabarnya?”

Sambil kikuk dan menggaruk tengkuk dengan iseng, aku menjawab pertanyaan mbak Chandra dengan canggung.

“Saya dan Ocha juga sudah mantan, Mbak.”

Kedua perempuan di hadapanku menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyum lebar dengan mimik meminta maaf, aku menggerakkan bahu, mengisyaratkan bahwa aku tidak terganggu sama sekali dengan itu. Mungkin karena sudah tidak bekerja dengan maminya Ocha lagi, jadi mbak Chandra juga tidak update soal hubungan kami.

No big deal.

Yeah, ini lah rencana mbak Mega yang memintaku bekerja dengannya.

Ia dan keempat temannya memiliki rencana merintis suatu usaha. Namun, karena pekerjaan utamanya sebagai pramugari, mbak Mega memintaku turut membantu mengelola usahanya ini. Karena keempat temannya juga memiliki pekerjaan utama, jadi kemungkinan mereka akan merekrut orang untuk mengelola, termasuk aku.

Victor kuketahui berasal dari keluarga kaya raya dan memiliki dua orang kakak yang sudah menjalankan perusahaan keluarga. Darius berprofesi sebagai penasihat hukum aktif, ia anak tunggal sehingga tidak memiliki saudara yang bisa diajak bekerjasama. Jenna, dia perantau yang kalau tidak salah berasal dari Lombok. Ayahnya berkebangsaan Austria, namun dari cerita mbak Mega, Jenna besar tanpa ayah. Ia ikut pamannya yang sudah lama tinggal di Jakarta sejak SMA dan mulai hidup mandiri sejak bekerja.

Dan terakhir, Chandra. Anak yatim piatu yang besar di panti asuhan namun paling cerdas di antara keempat lainnya. Sejak SMA, Chandra lah pintu keberhasilan mereka dalam menempuh ujian. Saat lulus kuliah, Chandra direkrut oleh sponsornya sehingga tidak kesulitan mencari kerja. Sekarang, aku tahu siapa yang dimaksud sponsor itu. Pasti lah keluarganya Ocha, dan aku belum tahu saat ini Chandra sudah bekerja di tempat lain atau belum.

“Yang lain nggak bisa datang?” 

Aku berdiri di belakang mbak Mega dan mendengarkan ketiganya mulai membahas banyak hal.

“Victor nggak bisa, jam empat dia baru bisa kabur dari kantornya. Jenna, duh semoga Sukarti nggak nyusahin dia ya.” Mbak Mega menjawab, aku memperhatikan bangunan ini.

Info dari mbak Mega, tempat ini adalah bekas kantor Darius yang sekarang sudah pindah ke gedung fancy tak jauh dari sini. Tapi ia sudah melunasi sewa hingga dua tahun dan tersisa delapan bulan untuk ditempati. Tebakanku mengatakan, bangunan ini lah yang akan dijadikan kantor usaha rintisan mereka nantinya.

“Nggak ada kursi sama sekali, Ri, buat kita duduk?” Mbak Mega menggerakkan kedua kakinya berulang, tanda ia sudah pegal.

Aku mencari ke sekeliling ruangan, tapi hanya mendapati beberapa kardus. Aku periksa satu persatu isinya, ada dua kardus kosong. Aku pun merobek kardus menjadi dua bagian masing – masing dan memberikannya pada mbak Mega dan dua temannya yang lain.

“Duduk di lantai saja.” Usulku.

Mbak Chandra menyambutnya dengan senang hati dan berterima kasih akan ideku, sementara kakakku justru misuh – misuh pada sahabatnya yang kupanggil bang Darius. Aku meraih tangan mbak Mega dan menuntunnya ke tempat yang sudah kubersihkan dan memberi alas kardus untuk diduduki.

“Whoaa, ternyata selain Victor, Buana juga bisa membuat lo takluk ya, Ga.”

Aku menoleh pada mbak Chandra yang sedang mengacungkan kedua jempolnya padaku. Aku hanya tertawa kecil, tidak mengerti maksudnya.

“Di rumah, Mega manja kayak gini juga nggak sih, Bu?”

Baru lah aku paham.

“Lumayan.” Jawabku, dihadiahi cubitan kecil mbak Mega di paha kanan, spontan aku mengelus – elus bekas cubitannya yang terasa pedas meski dilapisi celana jeans.

Mbak Mega lah yang termanja di antara kami bertiga. Bayangkan, dia anak perempuan satu – satunya, sejak kecil memiliki asma meski sekarang sudah sembuh total katanya. Papa memperlakukan kakakku bagai tuan puteri, sebelum akhirnya mbak Mega memilih menjadi model baju dan mendapat job dari adik dosennya saat kuliah. Papa tidak suka pekerjaan sebagai model, pramugari, atau berbagai pekerjaan yang diperintah – perintah orang. Tidak powerful menurutnya.

Apalagi kalau tahu aku sempat bekerja sebagai waiter di klub malam, bisa – bisa terkena serangan jantung dia nanti.

Jadi, aku sudah terbiasa memanjakan mbak Mega juga. Tidak jarang aku menyupiri mbak Mega ke salon, perawatan kulit, klub malam atau sekedar menemaninya nonton saat dia tidak memiliki teman untuk pergi bersama. Semua itu karena mbak Mega tidak bisa mengendarai motor atau mobil, dia sangat bergantung pada kendaraan umum dan adiknya.

Untuk beberapa hal, dia juga kadang menurutiku karena sangat mengandalkan bantuanku. Mungkin ini yang dimaksud mbak Chandra. Tentu saja dengan Victor kakakku akan sangat menurutinya, keduanya terikat oleh sebuah hubungan aneh yang lebih dari pertemanan. Meski aku tahu, keduanya tidak pernah berpacaran. Mbak Mega beberapa kali berpacaran dengan orang lain dan Victor tetap berada di sana, menemaninya saat pacar mbak Mega sibuk. Sedangkan Victor, aku tidak tahu hubungannya dengan wanita selain kakakku.

.
.
.

“Sekarang sih mengandalkan digital marketing gampang banget.”

“Nah yang gitu – gitu, adek gue pasti ngerti nih? Ya kan, Dek?” Mbak Mega menyenggol lenganku yang sedang memanggang daging.

“Ihh, pelan – pelan, Mbak. Panas ini kalau terlempar.”

Mbak Mega meminta maaf dengan memeluk diriku, membuatku malu dan melepaskan diri karena mendapat tatapan meledek dari mbak Chandra.

“Dia mah susah dipeluk – peluk, maunya dipeluk cewek doang.”

“Lo kan cewek, Ga.”

“Maksudnya, cewek yang nggak sedarah sama dia.”

“IYALAH.” Ucapku spontan, tawa mbak Chandra yang semula terdengar mendadak berhenti.

Dan sikap bang Darius yang menenangkannya dengan mengelus lengan mbak Chandra, membuatku bertanya – tanya. 

Maksud ucapanku hanya menegaskan bahwa dipeluk saudara dan lawan jenis itu dua hal yang berbeda. Meski mbak Mega juga perempuan, tapi aku tumbuh dengannya dan menyadari bahwa dia adalah kakak kandung membuatku kurang suka berkontak fisik karena kami berdua sudah dewasa dan menyadari kontak fisik berlebihan sangat tidak nyaman. 

Lain hal dengan lawan jenis yang bukan keluarga.

Tapi mbak Mega tidak peduli, baginya aku tetap adik kecil yang manis. Yang bisa dia cium dan peluk sesuka hati di manapun. Saat SMA, aku akan memarahinya jika  mbak Mega sengaja memperlakukanku seperti anak kecil di depan teman – temanku.

“Heh, kalau Mbak cium kamu itu artinya Mbak sayang. Bukannya seneng disayang – sayang sama kakakknya.” Mbak Mega membela diri.

“Risih tahu. Kalau masih kecil mungkin suka, aku lho sudah dewasa.”

Mbak Mega mencibir, “tahu deh yang sudah dewasa.”

“Takut disangka incest ya, Bu?” Pertanyaan mbak Chandra mengejutkanku. 

Aku meletakkan alat pencapit di atas meja dan melambaikan kedua tangan pada mbak Chandra, sambil membantah pertanyaannya.

“Bukan gitu maksudnya, Mbak. Saya sih tahu, mbak Mega nggak mungkin memandang saya secara seksual.” Perkataanku dihadiahi jitakan mbak Mega, namun kuabaikan. “Cuma risih saja. Karena saya sudah gede.”

Mbak Chandra tersenyum kecil, namun tetap melanjutkan makannya diiringi obrolan kakakku yang beralih pada hal lain. Aku hanya merasa, pertanyaan mbak Chandra seperti sindiran untuk dirinya sendiri. 

“Kamu straight, Bu?” Pertanyaan bang Darius membuatku tersedak potongan daging yang sedang kukunyah.

Mbak Mega memukul punggungku sambil tertawa, menertawakan pertanyaan bang Darius tentu saja. Mbak Mega tahu sendiri betapa straight-nya diriku.

Alih – alih membiarkanku menjawab, mbak Mega justru mengambil alih memberikan jawaban pada temannya itu.

Straight banget dia sih, Ri. Jangan berharap deh sama adek gue ini ya. Muka ganteng gini, yang antri lebih dari antri sembako.”

Aku menyingkirkan tangan mbak Mega di wajahku dan tersenyum pada bang Darius.

“Iya karena ganteng, gue make sure. Siapa tahu bisa gue dekati.”

Kedua perempuan di meja ini tertawa, sementara bang Darius memberikan lirikan genit. Aku hanya menggelengkan kepala sambil tetap tersenyum sopan padanya.

“Sudah ah, Ri, nanti dia takut join sama kita gara – gara lo godain.” Ucap mbak Chandra, bang Darius meminta maaf padaku dan memintaku untuk tidak menanggapi perkataannya dengans serius.

Aku berkata, tentu saja aku tahu bahwa dia sedang bercanda. Dari penampilannya, jika dia seorang gay, bang Darius pasti yang lebih dominan. Dia akan mencari seseorang yang lebih pasif untuk dijadikan pasangan bukan sebaliknya.

Aku terlalu dominan untuk digoda olehnya.

“Jadi, gimana rencananya? Chandra, beneran sudah nggak kerja kan lo?”

“Hm. Gue akan fokus di sini, tenang saja. Ini expertise gue, ya nggak, Bu?” Mbak Chandra mendelik, menggerakkan kedua alisnya bersamaan.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Dia memang berpengalaman bekerja dengan mami Ocha yang memiliki bisnis di bidang fashion industry. Dan usaha rintisan ini nantinya akan bergerak di bidang clothing juga, tidak jauh berbeda.

“Jadi, nantinya kita beneran kerjasama dengan pabrik dari kantor Jenna?”

“Jenna sudah discuss kecil, manager produksinya menyanggupi. Asal silent dari Sukarti.”

“Itu kan pabrik bukan eksklusif punya barang si Sukarti saja, kan?”

“Memang. Tapi Jenna is Sukarti’s forever competitor. Nggak akan ikhlas dia bersaing dengan nama berbeda menggunakan pabrik yang sama.”

“Dendam apa Sukarti ke Jenna?”

“Suaminya terang – terangan naksir Jenna, Beb.” Jawaban dari mbak Chandra membuat kami bertiga ber-ooh ria. “Lagipula, kenapa sih laki – laki beristri kok pada suka banget nyeleweng.” 

“Bokap kita doang kayaknya yang nggak suka perempuan ya, Dek. Sukanya uang dan jabatan.” 

Aku tertawa kecil namun membisikkan pada mbak Mega kalau itu aib keluarga.

“Halah, mereka berdua ini bestie Mbak, Dek. Santai saja. Sudah pada tahu kelakuan papa. Jangankan aib keluarga, aib Mbak juga sudah pada tahu mereka ini. Hahaha.”

Aku meminta maaf pada kedua temannya atas perilaku kakakku yang terlalu transparan, namun keduanya hanya mengibaskan tangan dan berkata bahwa mereka berlima sudah tidak ada rahasia. Oke. Sangat berbeda dengan generasiku yang harus merahasiakan segalanya dari teman terdekat sekalipun, karena tidak ada yang bisa kita percaya selain diri kita sendiri.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Tidak Ada Hari Libur (Untuk Mencintai) - [Part 5 - Menyibukkan Diri]
16
1
Orang bilang, waktu akan menyembuhkan segalanya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan