
Secara khusus, telah lama aku merenungi arti rumah bagiku. Tidak. Secara khusus, aku mulai kehilangan tempat yang biasanya kusebut rumah. Dahulu.
Part 2 - Titik Awal
Buana.
Apa arti rumah bagimu?
Tempat pulang? Tempat kau melabuhkan segala lelah setelah berkutat seharian di luar? Atau hanya bangunan berisi orang – orang yang kau panggil keluarga, tanpa memiliki makna khusus apapun karena bagimu, mungkin rumah seharusnya tidak perlu berbentuk bangunan. Mungkin sebuah pelukan hangat dari seseorang yang mencintaimu dengan tulus. Atau, bahu ibu untukmu bersandar setelah seharian penuh belajar menjadi manusia dan mempelajari manusia.
Secara khusus, telah lama aku merenungi arti rumah bagiku. Tidak. Secara khusus, aku mulai kehilangan tempat yang biasanya kusebut rumah. Dahulu.
Pagi ini terdengar hening. Tidak ada teriakan – teriakan papa pada mama maupun pekerja. Aku turun menuju meja makan. Tas ransel sudah kugenggam, ah laptop. Hari ini ada meeting dengan organisasi kampus. Lucky pasti ngomel – ngomel kalau aku beralasan lupa bawa laptop lagi.
Habis gimana, laptopku sudah sekarat. Saat ingin mengganti, mama memintaku bersabar hingga mbak Mega gajian. Padahal biasanya mama tidak pernah menunda keinginanku untuk membeli barang. Tapi sekarang, uang jajanku pun mulai dikurangi.
Papa sedang menghadapi penyelidikan seputar suap, beberapa rekan kerjanya tertangkap tangan melakukan tindak pidana korupsi katanya. Jadi, mungkin papa sedang menyelamatkan diri dengan mencoba menyembunyikan harta. Sampai lupa kalau anak istrinya masih perlu nafkah.
Entah mengapa, aku yakin semua hanya soal waktu. Aku merasa papa tidak jauh berbeda dengan teman – temannya. Aku hanya merasa bahwa masa – masa kejayaan papa akan runtuh dalam waktu dekat. Dan itu berarti, gelombang kejatuhan ekonomi tidak lama lagi akan menghantam kehidupan kami.
Seenggaknya aku memiliki kakak yang bekerja sebagai Pramugari. Gajinya cukup bisa membantu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan tak jarang membantu kami juga.
Aku lihat mama sedang menyiapkan sarapan di meja makan, dibantu mbak ART yang memasak di dapur. Mama mengangkat wajah ketika melihatku, tersenyum dan bertanya kegiatanku hari ini dan akan pulang jam berapa.
Raut wajah mama yang tidak lagi muda, terlihat sangat lelah pagi ini. Padahal, orang lain pada umumnya akan berwajah cerah karena masih pagi, masih belum banyak masalah yang menyapa di pagi hari. Mungkin, karena gugatan cerainya ditolak lagi oleh pengadilan dan papa yang masih enggan melepaskan mama.
Aku memeluk punggung mama dan mengecup pipinya, memberi ucapan selamat pagi dan menjawab pertanyaannya dengan lengkap.
“Tidur Mama nggak nyenyak ya?”
Aku menyentuh wajah mama, beliau hanya tertawa dan menyuruhku duduk untuk mulai sarapan.
“Gimana mau tidur nyenyak, papa nggak pulang semalam.”
“Pantas sepi.” Aku menjawab dan memberikan senyuman segaris, mama tersenyum maklum.
Sejak mendapatkan jabatan di pemerintahan, papa selalu berdalih sibuk dan capek sehingga memaksa kami untuk maklum jika dirinya membentak – bentak dan mengomeli mama di manapun. Di dalam rumah atau luar, sedang sendiri atau sedang bersama orang lain. Sejak saat itu pula, hubungan kami merenggang.
Apa pentingnya jabatan kalau perlakuan papa kepada mama semakin kasar dan tak masuk akal? Nggak heran mama selalu meminta cerai.
Padahal mama lah yang mendampinginya sejak posisi papa masih sulit dan rendah. Mama tidak pernah lelah berjuang bersamanya hingga papa mencapai impiannya. Tapi yang didapatkan mama adalah perlakuan bak sampah. Saat mbak Mega memilih bekerja sebagai Pramugari, papa mengatakan padanya bahwa itu pekerjaan pelayan. Hanya saja tempatnya berada di pesawat. Sungguh merendahkan, padahal mbak Mega membiayai kuliahnya sendiri selama ini sambil bekerja sebagai model panggilan. Menjadi pramugari adalah pilihannya karena hobinya adalah terbang dan jalan – jalan.
Bagi papa, anak yang paling membanggakan hanya mas Angkasa. Kakak tertuaku, yang kini menikahi anak tunggal pendiri partai oposisi papa dan berakhir sebagai oposisi papanya sendiri. Tapi, papa tidak pernah bosan membanggakan mas Angkasa yang berhasil menduplikasi dirinya terjun ke dalam dunia Politik. Papa berharap mas Angkasa dapat membantu perjalanannya di sana. Dan masih berharap, aku mengikuti langkah keduanya.
Kebencianku pada papa membuatku bergabung sebagai aktifis di kampus. Harapan papa padaku agar juga ikut terjun ke dalam dunia politik, membuatku hanya ingin semakin menunjukkan penolakan akan harapannya. Hingga berakhir dicabutnya uang kuliahku sejak setahun lalu. Lantas mbak Mega dan mama lah yang membantuku membayar kuliah maupun membeli berbagai kebutuhan. Mama tentu saja dari uang belanja yang diberikan papa, dan mbak Mega dari gajinya.
Tapi, sejak penyelidikan soal kasus korupsi teman – teman papa, mungkin papa juga mengurangi jatah bulanan mama. Alhasil, kami harus mempererat ikat pinggang dan berhemat sementara waktu. Aku hanya perlu bersiap – siap.
Mobilku telah berganti dengan motor sport keluaran lama yang sudah cukup senior di dalam rumah kami. Mesinnya terawat dengan baik, karena sesekali aku masih hobi menggunakannya untuk berkeliling. Motor warisan mas Angkasa yang sekarang sudah resmi menjadi milikku sejak ia telah mampu membeli mobil untuk dirinya sendiri.
Sudah dua minggu mobilku ditarik papa, tentu saja hal ini adalah akibat dari pembangkanganku yang terus menyerang partai politiknya di segala di sosial media, meski atas nama komunitas dan gerakan mahasiswa.
“Bawa baju? Laptopmu sama sekali nggak nyala ya?”
“Nggak apa – apa, Mah, aku bawa hardisk kok. Filenya lengkap di sini semua untungnya. Sementara aku nginep di apartement Martin dulu ya, Mah.”
“Kamu ikut bayar kan biaya apartement itu? Sewa-nya, biaya maintenance-nya?”
Aku tertawa dan meraih punggung tangan mama untuk kukecup.
“Nggak, Mah. Martin dapat fasilitas itu kok.”
“Oalah, dari orangtuanya?”
Aku hanya tersenyum, tidak menjawab. Khawatir mama jantungan jika aku jawab dari tante-nya. Iya tante girang yang memacari Martin, roomate-ku itu.
.
.
.
“Bu, lo bisa bantu buat disain untuk website kan?”
“Bisa dong. Siapa mau buat website? Elo?”
“Kakak gue, dia tadinya blogger sekarang mau ngembangin tulisannya pakai website.”
“DP dulu mau nggak dia? Laptop gue sekarat. Gue mau ganti.”
“Oke, gue telepon dia dulu. Nanti gue kabarin lagi.”
“Oke.”
Aku selesai mengenakan rompi dan bersiap bekerja setelah Renata pergi berlalu untuk menelpon kakaknya. Baru saja keluar dari ruangan ganti, tante Erni yang tak lain adalah bosku menghampiri.
“Buana, Martin di mana? Belum datang dia.” Nada bicaranya sedikit merengek.
“Belum ketemu sih, Tante, tapi dia janji pulang ke apartemen kok.”
“Hmm, Rita nanyain terus. Tante pusing deh, eh katanya Martin juga mau ajak Reno. Sudah janji lho sama Tante. Kamu kenal Reno, kan?”
Aku menggeleng seraya tertawa. “Saya nggak kenal semua teman Martin, Tante.”
“Humm... Kamu kenapa sih nggak mau Tante kenalkan ke Marisa? Dia baik banget lho, Sayang. Royal. Dulu ya, Theo tuh kenyang banget selama pacaran dengan Marisa. Sampai bisa beli mobil, tuh villa yang di Bali juga masih sering dipakai sama dia walaupun sekarang sudah putus. Marisa naksir berat sama kamu, cemburu banget waktu kamu anterin Imelda pulang.”
Aku terbatuk mendengar nama ibu dari mantan pacarku disebut.
“Ehm, Tante, sudah mulai ramai kayaknya. Saya standby dulu ya.”
“Ih kamu tuh, jangan lama – lama gantungin Marisa. Kasih kepastian ya, dia bestie banget sama Tante.”
Aku melayangkan senyum sopan dan mengangguk sebelum berlalu dari hadapan bosku.
Beberapa hari lalu aku memang sempat melihat tante Imelda duduk dan minum – minum di sini, aku menawarkan diri untuk mengantarkannya pulang karena ini lah kesempatanku untuk mengakhiri hubungan dengan Oca. Gadis itu terlalu baik untuk diriku yang sudah setengah hancur. Dia tidak layak mendapatkan segala kesulitan karena diriku. Jadi, aku pura – pura mendekati maminya dan sesuai dugaanku, tante Imelda menceritakan semuanya pada Oca.
Jika aku ikut melemparkan diri menjadi kekasih gelap para tante yang mencari anak muda untuk menjadi pelepas penat mereka, tidak ada bedanya aku dengan Chrissy. Aku tidak akan membuat mama kecewa dengan menjadi simpanan tante – tante kaya itu. Aku akan berjuang dengan kemampuanku sendiri untuk bisa memberikan kehidupan yang sama bahkan lebih untuk mamaku. Ck, andai pekerjaan sampinganku banjir orderan. Aku tidak perlu menuangkan minum dan begadang hingga jam empat pagi, aku sedang menyusun skripsi dan waktu yang kumiliki siang hari sangat sedikit jadinya karena membayar tidur malam yang terlewat.
“Minum, Bu?” Gerard mengangkat gelas kristal, menawarkan minuman racikannya.
“Not today.” Sahutku, berdiri dengan menyandarkan siku di atas bar berbahan granit yang dingin.
Melihat ke sekeliling ruangan yang mulai ramai. Beberapa teman yang kukenal, menyapa sambil mengangkat gelas atau melambaikan tangan mereka padaku. Aku mengangguk dan mempersilakan mereka melanjutkan kesenangan atau sekedar bersenda gurau dengan kawan – kawannya.
Sebuah panggilan masuk ke ponselku, kulihat di layar nama mbak Mega tertera di sana. Aku pun menuju toilet setelah berpesan pada Gerard untuk menjawab telepon.
“Halooooo.”
“Halo, Dek, kamu lagi rapat kah?”
“Lagi kerja, Mbak.”
“Kerja? Kamu kerja sekarang? Yang bikin design itu?”
“Bukan, aku kerja di—kafe.”
“Oohh. Paruh waktu? Starbucks gitu?”
“Coffeshop bukan Cuma Starbucks, Mbak.”
“Iya maksud Mbak, sejenis itu kan?”
“Iya. Mbak lagi di mana? Kok bisa telepon?”
“Mbak sedang day off. Schedule Mbak besok pagi.”
“Off? Di rumah atau?”
Sambil tertawa mbak Mega menjawab, “di Malaysia, Dek.”
“Oh.”
“Mbak mau minta bantuan kamu nih.”
“Apa, Mbak?”
“Kerja bareng Mbak.”
“Jadi flight attendant?”
Mbak Mega terbahak, dia sangat terhibur mendengar nada bicaraku yang terkejut.
“Bukan. Tenang saja. Walaupun Mbak yakin kamu bakalan lolos dengan mudah sih kalau mau jadi flight attendant.”
“Terus apa dong?”
“Pokoknya kamu resign dulu dari tempat kerja sekarang, uhmm hari Kamis Mbak pulang. Kita ngobrol ya.”
“Oke. Aku tinggal bareng teman, Mbak.”
“Mbak tahu dari mama, nanti Mbak yang ke tempatmu.”
“Oke.”
“Sabar ya, Dek. Sebentar lagi juga papa nggak akan punya kuasa apa – apa. Mama bisa gugat cerai lagi.”
“Hmm...”
Mbak Mega menghiburku dan aku mengatakan bahwa aku harus kembali bekerja.
Entah pekerjaan apa yang mbak Mega maksud, tapi aku percaya padanya. Tidak mungkin juga kan kakakku menyesatkan adiknya sendiri?
Aku harus mulai mengajukan pengunduran diri sepertinya pada tante Erni. Dan jujur saja, aku ingin tidur malamku normal lagi.
∞
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
