
Seperti biasa mama menanyakan progres skripsiku, apakah aku makan dan tidur dengan baik. Aku menjawab semua pertanyaannya dengan jawaban yang membuat mama lega. Aku akan menyembunyikan kesakitanku sendiri, hanya agar bebannya tidak bertambah dengan memikirkanku juga.
Part 10 – Bukan Pelarian
Aku belajar satu hal dari outlet ini: sabar itu bukan cuma soal nunggu hasil. Tapi soal bertahan ketika usaha belum kelihatan membuahkan apa-apa.
Hari-hari pertama, kami lebih sering menyapu lantai dan karpet daripada melayani pelanggan. Tapi anehnya, aku nggak pernah merasa sepi. Mungkin karena Chandra selalu ada. Mungkin karena aku mulai merasa ini bukan lagi sekadar “usaha kakak gue” yang kebetulan aku bantuin.
Ini mulai jadi bagian dari hidupku juga.
Pagi ini kami buka seperti biasa. Jenna bantu dari kantornya, ia sudah mengirim draft konten lewat Google Drive. Viktor dan Darius masih bolak-balik antara kerjaan kantor dan outlet, tapi tetap aktif di grup. Mbak Mega sesekali datang, tapi percaya penuh kami bisa pegang kendali.
Dan aku? Di sela-sela nyusun rak display dan update stok, aku masih buka laptop—nyempilin waktu buat mengerjakan revisi Bab 3 skripsi.
“Nulis lagi?” tanya Chandra sambil menyodorkan kopi.
Aku mengangguk, mata masih ke layar. “Kalau bisa beres sebelum minggu ini kelar, Mama bisa senyum tenang dikit.”
Dia duduk di seberangku, menggulung lengan bajunya. “Aku selalu kagum dengan orang yang bisa hidup di dua dunia sekaligus.”
Aku menoleh, tersenyum kecil. “Nggak ada pilihan, Mbak. Outlet ini penting. Tapi menyelesaikan skripsi juga semacam janji yang saya belum bisa tepati. Untuk mama khususnya.”
Chandra diam sejenak, lalu berkata, “Kadang yang paling menyakitkan tuh bukan omongan orang. Tapi ekspektasi yang kita ciptain sendiri karena pengen bikin orang yang kita sayang bahagia.”
Aku menatapnya. Lalu mengangguk. “Iya. Kadang saya merasa bersalah karena sibuk di sini, padahal Mama pengennya saya cepet lulus. Tapi saya juga ngerasa bersalah kalau ninggalin outlet ini, padahal kalian semua percaya saya bisa bantu jalanin.”
Chandra tersenyum. “Kamu nggak harus pilih salah satu. Kamu hanya perlu percaya, kalau kamu bisa jalanin keduanya… pelan-pelan.”
Aku menarik napas dalam. Kata-kata itu masuk ke tempat yang paling sering aku abaikan: bagian dari diriku yang terlalu takut gagal, sampai lupa bersyukur karena masih bisa mencoba.
Di layar laptop, revisian mulai tersusun rapi. Di rak depan, stok baru dari penjahit lokal mulai ditata. Masih banyak yang harus dikerjakan. Tapi nggak apa-apa.
Karena kali ini, aku nggak sendiri. Dan untuk pertama kalinya, aku nggak merasa sedang lari dari hidup, dari bayang – bayang papa. Aku mulai menjahit hidupku sendiri—dengan kata, dengan kain, dan dengan keberanian.
.
.
.
Hari itu outlet nggak terlalu ramai. Di luar mendung, dan aku sudah merasa pusing sejak pagi karena begadang ngerjain revisi. Tapi seperti biasa, Chandra datang lebih dulu. Dia menyalakan lampu etalase, ngatur playlist, dan membuatkan kopi tanpa banyak tanya.
Aku sedang merapikan urutan dokumen di laptop saat suara bel berdenting dan pintu kaca terbuka. Aku mendongak, dan langsung berdiri begitu melihat sosok perempuan yang kukenal berjalan masuk.
“Mama?”
Mama berdiri di ambang pintu, mengenakan blouse biru muda dan celana kain yang selalu rapi, seperti biasa. Tapi wajahnya lebih tirus dari terakhir kali kami bertemu.
“Lagi sepi, ya?” tanyanya pelan, matanya menyapu ruangan.
“Baru buka tadi. Sini, Ma… duduk dulu.” Aku menarik kursi untuknya.
Chandra langsung paham situasi. Dia pura-pura sibuk di pojok belakang, memberi ruang untuk kami.
Mama duduk, menatap sekeliling. “Ini tempatnya… bagus, Buana. Kamu bikin semua ini sambil ngerjain skripsi?”
Aku tersenyum kecil. “Iya. Bareng temen-temen mbak Mega juga.”
Dia mengangguk pelan. “Mama bangga.”
Aku hampir lupa rasanya denger kalimat itu. Tapi sebelum sempat menikmati, belio langsung melanjutkan dengan suara pelan, tapi berat.
“Papa kamu… menolak pengajuan cerai Mama lagi.”
Aku terdiam. Rasanya tenggorokanku seperti tersumbat.
“Alasannya masih sama?” tanyaku akhirnya.
Mama menatapku dengan senyum yang pahit. “Katanya kalau Mama ceraikan dia sekarang, karier politiknya akan terganggu. Citra keluarga harmonis itu penting. Sekarang dia lagi dipertimbangkan buat posisi strategis di partai. Belum lagi dugaan kasus korupsi.”
Aku menunduk, meremas ujung lengan kausku. “Jadi Mama harus terus pura-pura baik-baik aja?”
“Seperti biasa,” jawabnya singkat.
Aku ingin marah. Tapi lebih dari itu, aku ingin memeluknya.
“Ma… kita nggak perlu berpura-pura jadi keluarga bahagia buat orang-orang yang bahkan nggak peduli sama kita. Mama udah cukup lama ngalah.”
Mama menghela napas, menatap mataku. “Tapi Papa kamu bukan orang yang mudah dikalahkan. Dan dia selalu menganggap pilihan hidup kamu… seperti bentuk perlawanan.”
Aku tertawa hambar. “Ya, karena menurut dia bisnis kayak gini nggak ada power-nya, pekerjaan – pekerjaan yang aku lakukan dianggap hina. Karena aku nggak kuliah hukum atau nyaleg kayak yang dia harapkan, nggak seperti mas Angkasa.”
Mama diam. Tapi dari wajahnya, aku tahu… dia lelah. Sama seperti aku. Kami berdua berdiri di tengah hidup yang tidak kami pilih, tapi juga terlalu lama kami pertahankan.
“Aku akan selesaikan skripsiku, Ma,” ucapku lirih. “Bukan buat Papa. Tapi buat Mama, buat mbak Mega. Buat aku sendiri. Dan setelah itu… apapun keputusan Mama, aku ada di pihak Mama.”
Matanya berkaca-kaca. Tapi seperti biasa, Mama menahan tangisnya. Wanita kuat yang terlalu sering diam agar tidak mengganggu stabilitas orang lain.
Untuk menghilangkan mendung di wajah wanita yang paling kucintai ini, aku memanggil Chandra dan memperkenalkannya. Mama sering mendengar nama Chandra dari mbakku tapi baru kali ini bertemu langsung. Keduanya langsung akrab berbincang meski akhirnya Chandra menyingkir agar aku dan mama memiliki waktu berdua.
Seperti biasa mama menanyakan progres skripsiku, apakah aku makan dan tidur dengan baik. Aku menjawab semua pertanyaannya dengan jawaban yang membuat mama lega. Aku akan menyembunyikan kesakitanku sendiri, hanya agar bebannya tidak bertambah dengan memikirkanku juga.
Sebelum belio pergi, mama menatap outlet kami sekali lagi.
“Nama tempat ini cocok ya. Tidak Ada Hari Libur. Untuk kamu, untuk Mama, untuk semua perempuan yang nggak pernah diberi jeda buat milih dirinya sendiri.”
Aku mengiyakan dan mama pun berpamitan pada Chandra yang muncul lagi hingga mama benar - benar pergi.
Aku menatap punggungnya sampai pintu tertutup.
Dan saat itu aku sadar… aku nggak hanya sedang menulis skripsi atau membangun bisnis. Aku sedang belajar menjadi manusia dewasa. Yang bisa memilih jalannya sendiri, tanpa kehilangan hati nurani.
Aku masih duduk di kursi, memandangi pintu yang baru saja tertutup. Suara langkah Mama masih tersisa di lantai dalam ingatanku. Bukan langkah marah, bukan langkah kecewa. Tapi langkah seseorang yang terlalu lama memikul beban sendirian.
“Mama kamu tadi sendiri aja? Sekarang mau kemana lagi?”
Aku mengangguk, masih menatap kosong. “Iya. Mau ke toko bahan katanya.”
Chandra duduk di seberang, menyorongkan biskuit yang entah dari mana dia ambil. “Mau?”
Aku mengambil satu, menggigit kecil. Rasanya hambar, tapi kehadirannya hangat.
“Kamu pernah nggak sih, Mbak… merasa kayak hidup tuh kayak benang yang ditarik dari dua arah? Satu sisi diminta jadi anak yang patuh, sisi lain diminta jadi orang dewasa yang mandiri. Padahal belum sempat jadi diri sendiri.”
Chandra mengangkat alis. “Itu barusan kalimat skripsi atau pengakuan pribadi?”
Aku tertawa kecil. “Kombinasi keduanya.”
Dia bersandar, menatap langit-langit seolah ada jawaban tertulis di sana. “Aku pikir… kita semua sedang mencari cara buat bertahan dari ekspektasi orang yang kita sayang. Kadang kita nurut, kadang kita melawan. Tapi paling susah tuh… waktu kita sadar, orang itu sendiri pun sebenernya nggak tahu apa yang terbaik.”
Aku mengangguk pelan. “Mama udah terlalu banyak kompromi. Sekarang beliau hanya ingin tenang. Tapi Papa… masih ingin menang.”
Chandra menatapku lama. Lalu, dengan suara yang nyaris seperti bisikan, dia berkata,
“Kamu tau, Buana… hidup yang kita pilih buat diri kita sendiri, meskipun berantakan, tetap lebih jujur daripada hidup yang dijalani demi narasi orang lain.”
Aku terdiam. Kata-katanya nyantol di dada, pelan tapi dalam. Lalu kami terdiam bersama, ditemani suara AC dan lalu lintas di luar kaca. Tapi diam itu nggak canggung. Diam itu seperti ruang aman yang nggak butuh pembenaran.
“Ayo, bantuin aku pilah kain baru,” katanya tiba-tiba, bangkit dari kursinya.
Aku mengikuti dari belakang, masih membawa sisa-sisa percakapan tadi dalam kepala.
Hari ini nggak sempurna. Tapi cukup. Dan untuk sementara, cukup itu lebih dari segalanya.
.
.
.
Hujan belum turun, tapi langit sudah kelabu. Aku dan Chandra baru saja selesai melipat beberapa stok lama dan menyusunnya kembali di rak diskon. Aku duduk di kursi dekat kasir, sambil iseng scroll komentar di video TikTok yang tadi siang diunggah Jenna. Views-nya naik cepat.
Bel berdenting. Aku reflek menoleh.
Dan di sana, berdiri seseorang yang tidak aku sangka akan datang.
“Ocha?” aku berdiri, agak kaget. “Eh… halo.”
Dia tersenyum lebar, masih dengan ekspresi khas yang kukenal: tulus, lembut, sedikit malu-malu meski ada seringai usil yang khas.
“Hai, Bang Buana. Hai, Mbak Chandra. Maaf ya, tiba-tiba banget. Aku lihat TikTok kalian… terus langsung pengin mampir karena penasaran.”
“Ya ampun, Ocha,” kata Chandra pelan sesaat setelah berhasil mengontrol wajah syoknya, tapi wajahnya kemudian melembut. “Masuk, dong. Sendirian?”
“Enggak kok. Aku bareng Ony, dia lagi di mobil bentar,” jawabnya sambil melangkah masuk. “Bagus banget tempatnya… cozy sih ini.”
Ia berjalan mendekati beberapa display, melihat - lihat, senyum tulusnya terbuka lebar.
Aku membalas tersenyum. “Makasih. Baru jalan seminggu. Masih meraba-raba.”
Ocha menatap sekeliling, lalu duduk di kursi dekat kami. Dia tidak seperti tamu, lebih seperti teman lama yang kembali setelah perjalanan panjang.
“Aku sudah tahu semuanya, Mbak,” ucapnya pelan dan tiba - tiba, menatap Chandra. “Dari Mami.”
Chandra tak langsung jawab. Tapi dia duduk, pelan, seperti ingin menunjukkan bahwa dia siap dengar apapun yang ingin Ocha katakan.
“Tapi aku cuma ingin bilang… aku nggak marah. Aku sedih, iya. Karena ternyata banyak hal yang kami—aku, kak Vio dan bang Aswad, keluarga kami—nggak tahu selama ini. Tapi aku nggak pernah nganggep Mbak Chandra salah. Jelas lah, aku masih realistis soal ini.”
Chandra menunduk, lalu menatap Ocha dengan mata berkaca. “Makasih, Cha… Mbak bahkan nggak tahu harus ngomong apa.”
“Mbak selalu baik sama aku. Aku lihat itu dari dulu. Aku tahu abang sayang banget ke Mbak Chandra. Dan… ya, aku juga pernah sayang banget sama bang Buana.” Dia menoleh ke arahku dengan senyum jujur yang bikin dadaku sesak.
“Aku juga pernah sayang sama kamu,” jawabku pelan.
Aku menghela napas kemudian, Ocha adalah salah satu hal baik yang terpaksa aku lepaskan agar dirinya tidak tertarik ke dalam kekacauan - kekacauan di hidupku.
Ocha mengangguk. “Aku tahu. Tapi hidup kadang bikin kita harus jalan ke arah yang lain. Dan…jujur nggak menyangka Bang Bu dan Mbak Chandra kerja bareng. Aku senang lihat kalian sekarang.”
Ony masuk tak lama setelah itu sambil menyapa kami berdua, dan Ocha pamit tak lama kemudian. Tapi sebelum keluar, dia sempat menoleh ke arah kami lagi.
“Seneng lihat kalian jalanin ini bareng. Semoga terus lancar ya bisnisnya dan semoga suatu hari nanti, kalian bisa sukses.”
Aku dan Chandra mengamini doa Ocha, kemudian sama-sama melambai kecil, dan saat pintu tertutup, aku merasa… lega. Aneh, tapi menenangkan.
Aku menoleh ke arah Chandra. Dia menatap lurus ke luar, seperti sedang mengeja ulang kata-kata Ocha dalam hatinya.
“Dia anak baik ya,” gumamku.
Chandra mengangguk pelan, senyum leganya terbit meski sedikit. “Banget. Kadang yang kita takutkan tuh… ternyata enggak semenakutkan itu ternyata.”
Kami kembali ke meja kerja. Dan meski hari masih mendung, ada hangat yang tertinggal di ruang kecil kami—dari percakapan yang jujur, dari maaf yang tidak perlu diminta, dari pertemuan yang memberi ruang untuk melangkah lebih ringan untuk kami berdua.
Setelah pintu tertutup dan suara langkah Ocha serta Ony hilang di luar, ruangan kembali tenang. Tapi bukan sepi yang canggung—lebih seperti kelegaan setelah hujan yang nggak jadi turun.
Chandra masih berdiri di dekat rak scarf, jemarinya menyentuh salah satu kain tapi tak benar-benar berniat merapikannya.
“Aku kira… bakal berat ketemu dia,” katanya tanpa menoleh.
“Gimana rasanya?” tanyaku pelan.
Dia akhirnya menoleh. “Aku nggak tahu. Lega, mungkin. Tapi juga… aneh. Selama ini aku pikir semua orang dari hidupku yang lama cuma akan jadi luka. Tapi Ocha tadi kayak…,” dia menghela napas, “isyarat kalau aku boleh melanjutkan hidupku.”
Aku mengangguk. “Kadang yang membantu kita bukan yang ngerti semua, tapi yang cukup mau mendengar.”
Chandra tersenyum kecil. “Kayak kamu maksudnya, ya?”
Aku tertawa pelan. “Aku juga lagi nyari orang yang bisa dengar, sebenernya.”
Dia mendekat, bersandar di meja kasir. “Skripsi kamu gimana?”
“Lagi revisi bab empat sekarang. Otak sudah kayak benang kusut.” Aku menatap layar laptop yang sudah menyala dari tadi tapi nggak disentuh.
“Kusut bisa diberesin. Pelan-pelan.”
“Apa Mbak juga mau bantu ngerjain skripsiku?” godaku, separuh serius.
“Aku bantu doa aja deh. Kalo aku yang bantu nulis, kamu nggak lulus-lulus,” jawabnya sambil nyengir.
Kami tertawa. Dan tawa itu bukan euforia—tapi tawa orang-orang yang kelelahan, tapi masih mau lanjut jalan. Padahal aku dengar dari mbak Mega bahwa Chandra termasuk siswa berprestasi sejak sekolah.
Aku melirik wajah Chandra. Dan untuk pertama kalinya, aku sadar… betapa dia bisa membuat ruang sekecil ini terasa cukup. Padahal hidup kami berantakan. Padahal luka kami belum sepenuhnya sembuh. Tapi mungkin, justru itu yang bikin kami bisa saling menemani dan memahami.
“Kamu pernah mikir enggak, Mbak,” kataku pelan, “kalau luka yang enggak ditutup justru bisa jadi jalan buat orang lain masuk?”
Chandra menatapku, lama. Lalu dia berkata, nyaris seperti bisikan,
“Mungkin karena luka itu… tempat kita jujur. Dan jujur itu… bikin kita kelihatan.”
Kami diam. Tapi diam yang hangat. Dan di tengah outlet kecil yang belum genap sebulan berdiri, kami tahu: bukan hanya bisnis yang kami bangun—tapi juga keberanian untuk hidup lebih jujur, satu hari pada satu waktu.
.
.
.
Hari ini hujan turun pelan-pelan dari pagi. Jenis hujan yang bikin semua orang melambat, tapi juga memberi ruang untuk bernapas.
Aku datang lebih awal dari biasanya, buka rolling door sendirian, dan mulai membereskan ruangan tanpa sadar senyum-senyum sendiri. Rasanya aneh… tapi tenang.
Sekitar pukul sebelas, Chandra datang dengan kantong kertas berisi kopi dan roti.
“Sudah sarapan belum?” tanyanya sambil menaruh semuanya di meja.
“Belum. Tapi kamu juga belum pernah segigih ini ngasih aku makan, sih, Mbak.”
Dia nyengir. “Aku tahu kamu bakal lupa sarapan kalau ngerjain skripsi subuh-subuh.”
Aku nggak jawab, cuma duduk dan menerima kopi hangat itu. Dalam hati, aku senyum lagi. Senang mendengarnya sedikit memperhatikanku di tengah kejombloan ini.
“Kamu tau nggak,” katanya kemudian, “akhir-akhir ini aku jadi sering nungguin jam buka outlet. Padahal dulu, dunia fashion tuh kayak… tempat pelarian. Waktu masih kerja dengan Imelda Tan, hanya sebatas kewajiban.”
“Sekarang jadi rumah?”
Chandra mengangguk pelan. “Mungkin belum sepenuhnya rumah. Tapi kalau ada kamu di sini, rasanya bukan cuma tempat kerja.”
Aku menatapnya. Dan ada sesuatu di cara dia mengatakan itu barusan, cara dia menatap… yang membuat dadaku hangat dan sedikit gentar sekaligus. Aku hanya tidak yakin, bukan karena objek dari si perasaan ini, tetapi mengenai kondisiku yang masih berlari sprint. Waktuku terbatas, aku kejar – kejaran dengan waktu, biaya dan harapan mama. Melelahkan dan membuat sesak.
“Saya juga gitu,” jawabku akhirnya. “Awalnya ini cuma tempat buat kabur dari skripsi, dari masalah rumah, dari semua omong kosong soal jadi orang dewasa yang berhasil. Tapi kamu bikin semuanya terasa… lebih ringan.”
Chandra nggak langsung jawab. Dia menunduk, menggenggam cangkir kopinya, lalu pelan-pelan berkata:
“Buana… kamu pernah nggak, ngerasa suka sama seseorang bukan karena dia sempurna… tapi karena kamu bisa melepas semua beban di depan dia?”
Aku terdiam.
Detak jam dinding terdengar pelan-pelan. Di luar, hujan masih turun. Tapi di dalam sini, ada sesuatu yang pelan-pelan berubah.
Aku balas menatapnya. “Pernah. Sekarang.”
Chandra tersenyum. Dan untuk pertama kalinya, aku sadar… mungkin kita nggak selalu bisa milih siapa yang tinggal di hidup kita. Tapi kita bisa milih siapa yang kita beri ruang untuk tinggal lebih lama.
Dan hari ini, di antara tumpukan kain, papan promosi diskon, dan segelas kopi, aku tahu—aku nggak lagi sendiri memahami perasaan yang tumbuh pesat ini.
.
.
.
Jam sudah lewat delapan saat aku dan Chandra sampai di toko bahan langganan di belakang Pasar Baru. Kami memang harus ambil beberapa kain pre-order yang sempat tertunda pengirimannya. Toko ini nggak terlalu besar, tapi buka sampai malam—dan pemiliknya, Pak Wira, selalu ramah.
“Kamu yakin masih kuat jalan? Badanmu kayaknya udah mode istirahat dari sore tadi,” tanya Chandra sambil ngeledek, masuk lebih dulu.
“Saya tuh kuat kalau bareng sama Mbak,” jawabku enteng. Refleks. Baru sadar setelahnya.
Chandra melirikku sekilas, senyumnya nggak lebar tapi jelas.
Kami sibuk pilih-pilih bahan selama lima belas menit, lalu mulai bayar dan ngangkat-ngangkat gulungan kain ke bagasi mobil. Begitu keluar toko, hujan turun. Mendadak. Buru-buru.
“Ya ampun, tas gue ketinggalan di dalam!” seruku spontan, lalu langsung balik arah.
Tapi jalanan licin, dan sepatuku kebesaran dikit. Langkahku terpeleset setengah detik—cukup buat jantung deg-degan. Sebelum benar-benar jatuh, tangan Chandra sudah narik pergelangan tanganku secepat ia bisa.
“Buana!” suaranya nyaris panik.
Aku mendarat dengan selamat—setengah duduk di bawah tenda toko, napas ngos-ngosan. Dia jongkok di sampingku, matanya nyari-nyari luka.
“Kamu kenapa sih buru-buru banget?”
“Reflek. Maaf.” Aku mencoba ketawa, tapi gagal. Napasku belum stabil.
Chandra diam sejenak. Lalu dia duduk di sebelahku, masih setengah ngos-ngosan juga. Hujan makin deras.
“Aku kira kamu bakal jatuh beneran tadi,” katanya pelan. “Dan aku nggak suka rasa takut itu.”
Aku noleh ke arahnya. Lama. Tapi nggak bilang apa-apa.
Dia balas menoleh, dan di antara hujan dan lampu jalan yang redup, aku tahu… ini bukan cuma soal kain pre-order. Bukan juga soal outlet yang makin sibuk.
Ini soal rasa tenang yang datang dari seseorang yang tahu cara bikin kita berhenti lari. Chandra nggak bilang “aku suka kamu”. Nggak juga minta aku jangan kemana-mana. Tapi dia bilang, “aku nggak suka rasa takut itu.”
Dan itu cukup.
Kami diam beberapa saat lagi, sampai hujan mulai reda. Aku bersandar ke dinding, dan dia duduk lebih dekat, bahunya menyentuh bahuku—ringan, tapi penuh makna.
Di malam itu, di luar toko bahan yang sepi, kami kembali diam. Tapi aku tahu, sejak hari itu, diam kami sudah bukan diam yang asing. Meski tidak gamblang dan terang - terangan, aku menangkap semua maksud dan perilaku Chandra terhadapku.
Namun, aku juga melihat keraguan itu. Keraguan yang sama yang juga menjalar dalam hatiku.

∞
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
