
Oh hidup, baru saja sebentar aku merasakan bahagia, kini semua terlempar jauh ke dalam jurang yang dalam bernama nelangsa.
Part 3 - Langkah Baru
Mataku masih terjaga, aku juga nggak tahu kapan terakhir kali aku jatuh tertidur. Mungkin tiga hari lalu, atau justru baru kemarin? Sahabat sekaligus roommate-ku, Jenna, mengecek sesekali untuk memastikan aku masih hidup, mungkin. Hanya keempat sahabatku yang benar – benar kumiliki kini. Tidak ada lagi Aswad, tidak ada lagi Imelda Tan dalam hidupku.
Lucu ya, dalam sekejap hidupku berbalik seratus delapan puluh derajat. Rasa hormatku pada Imelda Tan yang kemarin kuanggap sebagai bos terbaik kini berubah menjadi kebencian mendalam yang tak ada habisnya. Perasaan cintaku pada Aswad berubah menjadi perasaan jijik membayangkan bahwa kami saudara sedarah dan telah saling jatuh cinta. Mungkin sekarang Aswad juga merasakan hal yang sama sepertiku. Sejak peristiwa di rumahnya, tidak ada kabar dari Aswad menyapa ponselku hingga saat ini.
Badanku rasanya sudah kaku karena tidak beraktifitas sejak hari itu. Kuhela napas dan menyingkirkan selimut dari kedua kaki. Aku ingin melanjutkan hidup, sepahit apapun rasanya. Kematian ibuku tidak boleh sia – sia, dia lah yang memperjuangkan kehidupanku dan Imelda Tan mengolok – oloknya dengan menjadikanku budaknya selama ini.
Jam di kamar menunjukkan pukul tujuh pagi, aroma telur goreng dan kopi menyambut indera penciumanku dari arah pantry ketika baru saja membuka pintu. Senyum Jenna terbit ketika melihatku berjalan menuju ke arahnya. Senyum lega karena tanpa bujukannya aku bangkit dari kasur.
“Good morning, Chand.”
Jenna tidak bertanya, dua minggu sudah dia bersabar mendengarku menangis tiap malam. Ia pasti menduga tentang kandasnya hubunganku dan Aswad juga mengenai pekerjaanku. Sangat jelas jika dalam dua minggu aku tidak beranjak ke luar rumah. Dan baru hari ini sejak berakhirnya hubunganku dengan Aswad, aku pun keluar kamar.
Dua gelas kopi hitam panas tersedia di atas mini bar, aku berterima kasih pada Jenna karena berbaik hati membuat sarapan dan menjadi teman baik yang selalu ada untukku. Roomate yang tidak banyak mengeluh akan segala tingkah tidak masuk akalku.
“Patah hati nggak apa – apa, tapi lo harus terus hidup.” Ucapan menyentil dari Jenna membuat senyumku terbit, ia mengangkat gelas kopinya seolah melakukan cheers denganku.
Sudah banyak waktu kulalui untuk merenung. Cukup sudah waktu bersedih, saatnya berbenah diri dan tetap melanjutkan hidup. Apalagi ketika menyadari kini aku tidak lagi memiliki kerjaan. Aku tetap harus bertahan hidup, bukan? Dan menunjukkan pada Imelda Tan betapa dia telah salah menggunakan kekuasaannya atas diriku. Aku bukan anaknya dan tidak akan pernah menjadi anaknya. Seharusnya dia tidak perlu menaruh perhatian padaku, toh pada akhirnya aku hanyalah seorang anak yang lahir tanpa orangtua yang jelas. Sudah seharusnya dia mengabaikanku, bukan sebaliknya.
Setiap membayangkan bahwa aku tumbuh besar karena campur tangannya, membuatku ingin berlari dan menenggelamkan diri dalam lautan paling dalam. Melebur bersama pusaran air yang menghanyutkanku dalam kegelapan.
Bagaimana bisa aku melihatnya seperti biasa ketika semua fakta telah tampak di permukaan. Mungkin ibu yang melahirkanku salah karena berselingkuh dengan suaminya, tapi siapa dia merasa berhak mengatur hidupku dan merencanakan di mana aku harus bekerja.
Apa mungkin, ia berencana memperbudak diriku seumur hidup? Mungkin selama ini dia menertawakan kebodohanku yang tidak tahu apa – apa dan mengejek mendiang mamaku dengan menjadikanku sebagai budaknya.
“Chand.” Sentuhan tangan Jenna pada jemariku yang menggenggam gelas kopi dengan erat, membuat saraf motorikku kembali mengendur rileks.
Tapi, luapan emosi seolah belum mencapai batasnya, aku kembali menangis terisak hanya mengingat nama Imelda Tan dan anak laki – lakinya yang kemarin masih sangat kucintai. Jenna meraihku ke dalam pelukan, seraya membelai lembut punggungku secara berulang untuk menenangkan. Jenna tidak mengatakan apa – apa, hanya membiarkanku menangis di bahunya sampai lega.
“Tembok kalian terlalu tinggi ya?” Bisik Jenna begitu tangisku reda.
Aku menggeleng.
Ini bukan tembok, bukan pula jarak.
“Ini jurang, Jenn. Gue dan Aswad berdiri di pinggir jurang yang gelap. Kita nggak tahu apa – apa dan tiba – tiba fakta yang datang membuat kami berdua harus memilih. Lompat ke dalam jurang yang dalam dan mematikan atau—pergi menyelamatkan hati masing – masing.”
Jenna terdiam, ia menghapus sisa airmata yang masih memenuhi kedua pipiku.
“Aswad dijodohkan?”
Aku menggeleng.
“Elo hamil?”
Pertanyaan Jenna kali ini terdengar lucu hingga membuatku tertawa, badanku bergetar karena tawa. Aku tertawa dan memegangi perut, tertawa terus hingga membuat Jenna bingung dengan tingkahku. Aku terus tertawa, tertawa dan tertawa hingga dengan suara bergetar aku mengatakan padanya.
“Kita bersaudara. Lucu kan? Aswad kakak kandung gue, lucu kan, Jen? Selama ini gue nggak tahu siapa ayah kandung gue, bahkan gue sudah merelakannya kalau memang nggak akan pernah tahu sampai gue mati nanti. Dan tiba – tiba gue tahu siapa ayah kandung gue, kabar itu adalah akhir dari hubungan gue dan Aswad. Lucu banget kan hidup gue, Jen?” Aku masih tertawa hingga mengeluarkan airmata dan pelukan Jenna menghentikan segala gerakanku.
Perlahan, aku mulai menetralkan degup jantung dan deru napas yang semula berkejaran. Hingga aku mulai bernapas dengan rileks dan menyadari kedua tanganku bergetar kalau saja Jenna tidak segera menggenggamnya. Ia memelukku erat, erat sekali hingga aku bahkan bisa merasakan detak jantungnya juga.
“I’m so sorry to hear this, you deserve world, Chand. Lo berhak bahagia.”
“Tt—tapi, Jen, kebahagiaan gue adalah Aswad.”
“Oh my God, Chandra.” Jenna ikut terisak di bahuku, aku pun meletakkan kepala di bahunya dan merangkul punggung Jenna dengan kedua tangan.
Terbalik, kini Jenna yang menangisi kisahku. Kisah terburuk bagi siapapun. Terkelam, bahkan untuk seseorang yang pernah memandang masa lalunya segelap malam sepertiku.
.
.
.
“Jadi, lo tetap tinggal di sini?”
“Nggak mau dijual saja? Gue bisa bantu jualnya kok.”
Sejak Jenna mewakiliku bercerita pada ketiga sahabat kami yang lain, dua orang sahabat baikku menyarankan untuk pindah rumah. Apartemen ini memang pemberian dari Imelda Tan, namun kepemilikkannya sudah berpindah menjadi menjadi namaku.
Kedua orang itu adalah Darius dan Victor, ada satu lagi sahabat kami yang paling jarang hadir karena pekerjaannya yang mengharuskan dia bepergian. Namun ucapan Victor akan selalu mewakili perkataan Mega, jadi kuanggap desakan tiga orang soal ide pindah rumah yang sedang berlangsung sekarang.
“Yakin lo nggak akan teringat terus soal Aswad selama masih tinggal di sini?” Victor kembali menegaskan pertanyaannya.
Aku menggeleng pelan. Dalam genggamanku, aku memegang gelas berisi coklat hangat yang dibuatkan Darius beberapa saat tadi. Pengacara itu selalu paling manis dan penuh perhatian pada kami semua.
“Gue mau teringat terus, tapi bukan Aswad, melainkan maminya. Gue ingin terus mengingat Imelda Tan, dengan ingat dia, gue nggak akan menyerah menghadapi masalah apapun di depan mata. Gue ingin lebih hebat dari Imelda Tan, lebih kaya dan...” aku menggigit bibir demi menahan genangan airmata yang hendak tumpah lagi.
Darius mendekat dalam sekejap dan merangkul seraya menenangkanku dengan usapan lembutnya.
“Dia salah. Dia salah kalau mengira gue akan berterima kasih karena ternyata selama ini dia sponsor di panti asuhan dan sponsor biaya kuliah gue. Dia salah, karena gue tetap membenci dia meski tahu banyak hal yang sudah dia berikan ke gue...mungkin—mungkin juga dia sengaja membuat ibu gue meninggal. Mungkin—“ aku menatap Darius, dia memberikan tatapan prihatin padaku tanpa berkata apapun.
Namun, tatapan itu tanda ketidaksetujuannya atas ucapanku. Darius adalah orang yang sangat menjunjung tinggi hukum dan kejujuran, dugaan sekecil apapun yang baginya belum tentu benar tidak dapat diterima oleh akal sehatnya. Akalku yang sedang tidak sehat saat ini, sehingga ingin terus mengumpulkan hal yang membuatku semakin membenci Imelda Tan.
“Oke fine, terserah lo saja. Terus, pekerjaan lo, bagaimana?” Victor si paling rasional, pengambil keputusan dan pelawak di antara kami semua, kembali bersuara. “Lo harus tetap menghidupi diri lo sendiri kan, Chand? Karena kita belum mulai jadi perbantuan dinas sosial.”
“Sial!” Ucap Jenna, ia memberikan pukulan ringan di punggung Victor yang kini terbahak.
Aku pun menertawakan leluconnya.
“Angkat gue jadi anak dong, Ri.”
Aku membulatkan mata pada Darius, spontan ia memberikan seringai jahat dan berkata, “asal lo izinin gue dekati Aswad.”
Aku berdecih. Meski sudah putus (kami sungguhan putus kan?), aku masih tidak rela jika Aswad disulap menjadi penyuka sesama jenis seperti Darius. Walau aku menyayangi Darius, aku masih berharap dia menikah dengan perempuan--seperti aku, Jenna atau Mega-- dan berumah tangga seperti harapan kedua orangtuanya.
Dulu, Aswad pernah sangat cemburu pada Darius dan ketika dia mengetahui bahwa Darius lebih tertarik padanya, ia tidak pernah lagi cemburu.
Hm, sedang apa dia sekarang? Apakah patah hatinya separah yang kurasakan? Apakah dia menangis? Atau justru minum – minum hingga mabuk dan lupa segalanya. Apakah dia justru membenciku karena kami sedarah dan aku anak selingkuhan papinya?
Apakah pak Gusti sudah mengetahui tentang hal ini. Tahu bahwa aku anak kandungnya juga.
Berbagai pertanyaan memenuhi benakku, namun kutepis lekas – lekas. Kebencianku pada Imelda akan kujadikan bahan bakar bagiku untuk mengalahkannya.
“Ide kita soal usaha bersama tetap jadi dong? Patah hati nggak bikin lo mendadak punya pohon uang kan, Chand?”
Lagi – lagi tawaku pecah karena pertanyaan Victor, perkataannya memang tidak pernah gagal menjadi ice breaking hampir di segala situasi.
“Lanjut kok, gue malah mau menawarkan diri bekerja full di sana. Gue sekarang kan pengangguran, Vic.”
Darius tersenyum, ia mengeratkan rangkulannya padaku.
“Ada hikmahnya juga soal patah hati lo ini.” Ucap Victor, dia semakin bersemangat jika membicarakan mengenai rencana usaha yang akan kami buat berlima.
Sekarang, waktunya bangkit dan meninggalkan segala luka di belakang. Aku berjanji akan memberikan upaya terbaikku untuk mengelola usaha kami ini. Kini aku bisa lebih fokus pada satu pekerjaan, setelah sebelumnya sempat galau ketika mengira pekerjaanku aman dan berumur panjang dengan Imelda Tan.
.
.
.
Selalu ada yang pertama kali dalam segala hal.
Bagiku kali ini adalah membuat rencana kerja untuk diriku sendiri, bukan orang lain. Jika selama empat tahun kemarin aku sibuk mengurus jadwal dan rencana orang lain. Namun saat ini, semuanya hanya tentang diriku dan calon perusahaan yang akan kami rintis.
Kami tidak perlu mencari tempat sebagai kantor awal karena Darius dengan baik hatinya memberikan bekas kantor lamanya yang sekarang kosong namun masih ada masa sewa hingga delapan bulan ke depan. Bangunan berupa ruko tiga lantai yang berada di kawasan cukup strategis yaitu area perkantoran dan pusat perbelanjaan di bilangan Jakarta Selatan.
Hari ini, jadwal survei ke lokasi yang akan kami jadikan kantor. Di sana aku sudah janjian akan bertemu dengan Darius dan Mega yang sedang off. Setelah semalam kami video call dan meski aku masih menangis, semuanya sudah lebih baik.
Aku tidak lagi menangisi berakhirnya hubungan cintaku dengan Aswad yang harus terpisah dengan fakta menyakitkan. Aku tidak lagi menangisi keberadaan orangtua kandungku, karena ayahku jelas ada dan sehat. Terjangkau dan dia mengenalku, meski bukan sebagai anak kandungnya. Ibuku, biar lah segala kesalahannya di masa lalu menjadi cerita pahit yang tidak perlu aku ungkit. Aku yakin, beliau menyadari kesalahannya. Toh pada akhirnya ibuku harus meninggal sendirian setelah melahirkan anak buah perselingkuhannya. Aku percaya, ibuku mencintai pak Gusti dengan tulus sehingga tidak mampu mengatakan padanya bahwa aku ada. Bahwa aku telah tumbuh dalam rahimnya yang hangat, hingga aku terlahir dalam keadaan sendirian. Tanpa keluarga yang mengakui dan berakhir di panti asuhan.
Semua sudah terjadi, sudah berlalu.
Aku hanya menangis karena menyadari, di balik semua fakta gelap dan menyakitkan itu, aku memiliki empat orang yang memelukku dengan kasih. Menerimaku menjadi bagian dalam hidup mereka dan sungguhan menepati janji dengan selalu berada di sisiku apapun yang terjadi.
Mereka tidak menghakimi, tidak memprovokasi apalagi turut membenci keluarga ayah kandungku. Namun juga tidak mengatakan dukungan apapun untuk mereka, semua ucapan baik ditujukan untukku dan berhasil. Dengan lebih ringan hatiku melepaskan segalanya, sekarang.
Aku melangkah turun dari mobil, menengok pada bangunan kosong yang sudah terbuka pintunya dan mendapati Darius tengah bertelepon di sana. Kusapa ia dengan lambaian tangan, Darius mengangguk perlahan mempersilakanku datang.
“Chandraaaaa.”
Mega menghamburkan diri dalam pelukanku dan kami saling berangkulan erat melepas kangen meski semalam baru saja mengobrol hingga tiga jam.
“How you doin’?”
“Perfect. Gue kehabisan masker dan gue harap lo nggak lupa titipan gue.”
Mega mengurai pelukannya dan memasang mimik serius.
“Of course, NO! You are my precious client.”
Baru saja aku melepaskan diri dari Mega, kulihat di balik punggungnya berdiri seorang laki – laki yang lebih muda dan sudah kukenal sebelumnya. Spontan, aku mengayunkan tangan ke depan dan bertanya padanya.
“Lho, Buana?”
∞
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
