
Perjalanan ini memang seharusnya tentang bisnis. Tapi dengan cara yang tak kusadari, mungkin ini juga perjalanan yang membawaku lebih dekat pada sesuatu yang lain.
Part 7 - Perjalanan
Sebuah perjalanan yang panjang membutuhkan jeda untuk istirahat dan mengisi energi. Dalam sebuah perjalanan, kita nggak bisa terus berlari tanpa sesekali menoleh ke belakang atau sekedar berhenti untuk menambah ulang tenaga dan persediaan. Jenna bilang, aku sedang berlari menjauhi masa lalu dan kenyataan, aku menyebutnya move on. Dari Aswad, dari Imelda, dari fakta bahwa aku anak kandung kepala keluarga di sana.
Aku menatap jalanan Jakarta menuju Bandung yang padat dari balik jendela mobil, menyandarkan kepala sejenak, mencoba meredakan ketegangan di bahuku. Di sebelahku, Buana masih sibuk dengan kemudinya, sesekali mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir mengikuti lagu yang mengalun dari radio. Ia tampak santai, kontras dengan pikiranku yang dipenuhi berbagai skenario tentang perjalanan ini.
Hampir di setiap lagu Buana ikut menyanyikannya tanpa ragu. Cukup menghibur. Aku tidak bisa nyanyi, orang bilang aku pekak nada. Keempat temanku selalu protes kalau aku memaksa nyanyi di karaoke, meski dengan sabar akhirnya mereka memberiku kesempatan untuk bersenang – senang.
“Suka lagu apa, Mbak?”
“Apa saja aku sih, yang penting enak didengar.”
“Coldplay konser tuh.”
“Aku pengangguraaannnnn.” Ucapku sambil melambaikan tangan di depan wajahnya. “Kamu nggak nonton?”
“Masih masa black period, Mbak. Tahan – tahan dulu deh nonton konser.”
Aku menepuk bahu kirinya, memberi semangat. Buana menghentikan mobil di depan toilet dan berkata akan segera kembali setelah terburu – buru membuka pintu dan hampir membantingnya. Tidak sampai lima belas menit Buana kembali, pintu pengemudi yang belum tertutup membuatnya bingung.
“Perasaan tadi ditutup.” Ia bergumam lirih.
“Perasaan kamu saja.” Aku mencandainya, Buana kembali memasang seatbelt dan mengendarai mobil memutari berbagai toko di rest area KM 72.
“Mau beli kopi, Mbak?”
“Boleh.”
Buana kembali berlari memasuki coffeeshop setelah menanyakan pesananku, dia bahkan memintaku untuk tetap menunggu di dalam mobil. Di luar memang sedang gerimis kecil, tapi aku punya payung sebenarnya. Aku menghela napas sambil mengangkat alis, Buana seperti anak muda seumurannya, penuh semangat berlebih.
“Thank you, Bu.”
Aku menerima segelas kopi hangat dari Buana, ia kembali mengemudikan mobil mengarah ke jalan keluar rest area untuk melanjutkan perjalanan kami menuju Bandung.
Kami tidak mengobrol, kebanyakan Buana lebih sering ikut bernyanyi dan aku sibuk memikirkan banyak hal. Konveksi yang akan kami datangi, cara menjalankan perusahaan baru ini dan melupakan Aswad.
“Tiktok lagi hits banget tuh, Mbak. Teman saya bilang, jualan di sana lebih cuan.”
“Hm? Iya benar. Jenna juga kasih ide serupa.”
Aku menutup lagi layar hape yang sedang menampilkan ide – ide fashion terkini dan menanggapi pembicaraan Buana. Perkataannya tidak berhenti di sana, Buana memberi banyak ide terkait promosi nantinya. Menawarkan diri membuat website untuk kami sehingga pelanggan bisa melakukan transaksi di website selain e-commerce, sosial media maupun offline.
“Kamu optimis nggak sih? Secara, yang jualan fashion itu sudah banyak banget.” Aku menyuarakan kekhawatiran, bibir Buana melebarkan senyum tanpa menoleh ke arahku.
“Yang jualan makanan juga banyak, Mbak. Tapi toh setiap hari ada saja orang yang baru berjualan makanan juga.”
“Iya sih. Pasti sudah ada market-nya masing – masing.”
“Kalau di era digital gini, Mbak, yang harus dikencengin ya promosi digitalnya. Saat ini orang – orang beli sesuatu bukan karena butuh, tapi karena ingin dan nggak mau ketinggalan. FOMO istilahnya.”
“Iya, bener yang kamu bilang. Kayak smartphone deh, padahal ini masih bisa dipakai dua sampai tiga tahun. Tapi gatel banget mau ganti tiap ada tipe baru launching.”
Seketika Buana menertawakan pendapatku, namun ia menyetujuinya.
“Apa yang Mbak sedang pikirkan?” tanyanya lagi tiba-tiba, melirik sekilas ke arahku sebelum kembali fokus ke jalan.
Aku menghela napas. “Aku hanya ingin memastikan semua berjalan lancar. Konveksi ini penting untuk bisnis kita, Bu.”
Ia tertawa kecil. “Kita sudah melakukan riset. Kalau pun nggak cocok, kita bisa cari yang lain. Santai saja, Mbak.”
Setelah sedikit lebih banyak mengenal Buana, aku mengakui dirinya memang seperti itu—tenang, mengalir seperti angin. Sementara aku selalu ingin segalanya terstruktur, terencana. Mungkin karena aku lebih tua darinya, aku terbiasa mengambil peran sebagai pengarah. Atau mungkin karena selama ini aku bekerja dengan Imelda Tan yang tidak menoleransi sikap lambat dan berantakan. Tapi ada saat-saat seperti ini ketika aku iri pada cara Buana menikmati segalanya tanpa beban. Diam – diam aku tersenyum menyadari bahwa Buana menularkan positive vibes dan perasaan tenang.
Setelah perjalanan yang cukup panjang, kami akhirnya tiba di Bandung. Syukurlah kami tidak terjebak macet, kami pun tiba dua puluh menit lebih awal dari waktu janjian dengan pemilik konveksi yang akan menjalin kerjasama dengan kami.
Udara di sini lebih sejuk, suasananya pun lebih tenang dibandingkan Jakarta yang serba terburu-buru. Konveksi yang kami tuju berada di pinggiran kota, sebuah bangunan sederhana namun rapi.
Aktifitas di dalam konveksi masih ramai, suara mesin jahit terdengar bersahut – sahutan, aku mengajak Buana masuk ke dalam sana untuk menyapa pemiliknya. Pak Tata menyambut kami dengan sumringah, dan sapaannya yang pertama kali adalah, “oalah sudah nggak kerja dengan bu Imelda Tan ya, Teh?”
“Iya, Pak.”
Kami berbasa – basi seputar perusahaan lamaku dan ia terkejut mendengar bahwa aku membangun usaha sendiri bersama teman – teman saat ini. Tidak sulit menjalin kerjasama, kami sudah saling mengenal cukup lama. Kinerja anak buah pak Tata pun tidak pernah aku ragukan dan ia percaya denganku meski ini adalah perusahaan baru. Proses negosiasi pun berjalan lebih lancar dari dugaanku. Sikap pak Tata sangat ramah dan terbuka dengan konsep kami. Dalam waktu kurang dari dua jam, kesepakatan pun dibuat.
Saat kami keluar dari gedung itu, aku merasa lega. Akhirnya, satu langkah besar untuk bisnis kami telah tercapai.
Buana meregangkan tangannya, lalu tersenyum padaku. “Saya lapar deh Mbak. Kita jalan-jalan dulu, ya?”
Aku melirik jam tanganku. Masih ada waktu sebelum kembali ke Jakarta. “Oke deh, mau ke mana?”
“Serahkan saja pada ahlinya,” Buana berkata santai sambil menepuk dadanya sekali, ia mengajakku kembali menaiki mobil.
Buana rupanya lebih tahu tempat makan yang nyaman di kota ini, kalau aku sebelumnya selalu datang dengan Imelda Tan dan tempat yang dikunjungi mantan bosku tidak pernah berada di bawah standar. Sehingga aku memang tidak familiar dengan tempat makan yang ramah di kantong pengangguran seperti kami berdua.
Dan begitulah, akhirnya aku membiarkan diriku mengikuti apa yang Buana pikirkan soal makan siang kami.
Kami parkir di Braga City Walk, alih – alih mengajakku ke dalam mall, Buana justru berkata untuk menyusuri jalan Braga di mana terdapat beragam pelukis memamerkan lukisannya. Di kanan dan kiri jalanan yang hanya tersedia satu arah ini, berjejer tempat makan kekinian serta beragam outlet yang berlomba menjajakan produk dagangan mereka.
Kami berjalan di sepanjang Jalan Braga, menikmati bangunan-bangunan tua yang terasa penuh nostalgia.
“Kamu sering bolak balik ke sini?” Tanyaku saat melihat Buana sangat terbiasa memesan makanan di tempat ini.
“Lumayan.” Jawab Buana. “Kalau lagi BM mau cari makanan enak – enak yang jauhan dikit dari Jakarta, ya Bandung jawabannya.”
“Mau yang warteg class atau standar kafe – kafe kekinian, Mbak?” Buana mengayunkan tangannya ke segala penjuru.
Aku menggelengkan kepala bingung menjawab pertanyaannya, “warteg class?”
“Ada rumah makan lokal di gang – gang kecil, harga standar warteg. Menu dan rasa juga sama.”
“Huumm...jauh ya penjelajahan kamu sampai ke sini – sini segala.”
Dia mengibaskan tangan di depan wajah seraya terkekeh malu, “namanya juga mahasiswa, Mbak. Kalau budget terbatas ya terpaksa cari warteg juga. Apa itu gengsi?!” Ia beretorika di akhir.
Aku menepuk bahunya, terkesima dengan perilaku Buana yang nggak rewel dan menuntut banyak hal meski aku tahu ayahnya adalah pejabat yang sedang berkuasa. Please deh, Mega saja mau jadi Pramugari meski memiliki ayah pejabat. Dia sering bercerita, ayah mereka membenci setengah mati profesi anak perempuan satu – satunya itu.
“Kafe aja boleh.” Buana pun mengangguk dan mempersilakanku berjalan lebih dulu seolah aku adalah Ratu yang sedang ia kawal, dengan gestur tubuhnya yang sedikit membungkuk. Aku tertawa melihat tingkahnya.
Aku kembali teringat ucapan Jenna tentang dugaan Buana playboy karena damn, he knows to treat a woman well.
Aku melihat sebuah restoran dengan konsep menarik, kutunjukkan restoran itu pada Buana namun dia menggelengkan kepala.
“Cari tempat makan jaman sekarang, jangan tergoda dengan konsep interior yang Instagramable, Mbak. Rasanya nggak bisa digaransi. Eh kayaknya saya tahu deh mau ajak Mbak kemana.” Seketika Buana menggandeng lenganku berjalan menyebrangi jalanan dan menyusuri ruko – ruko hingga tiba di depan sebuah rumah makan.
“Mie kocok?”
“Ayo cobain. Rasa dijamin nggak menyesal.”
Aku pasrah mengikuti langkah Buana yang memasuki restoran dengan menu jagoannya mie kocok Iga. Buana memanggil mamang yang mencatat pesanan dan menanyakan padaku, menu yang ingin kucoba.
“Kikil sama daging ya, Mang.” Pintaku, mamang tersebut mencatatnya.
Buana memesan mie kocok sumsum.
“Minumnya teh botol saja.” Jawabku.
“Teh botol dua kalau gitu, Mang. Nuhun.”
“Bisa bahasa Sunda kamu, Bu?”
“Ya gitu – gitu saja, Mbak. ‘Kumaha damang?’, ‘ceunah’, ‘nuhun’.”
Aku tertawa mendengar jawaban Buana. Selesai makan mie kocok dan kami masih memiliki waktu untuk kembali ke Jakarta sebelum jam macet, Buana pun mengajakku kembali menyusuri jalan Braga. Hingga kemudian memutuskan ngopi sebentar di sebuah coffee shop lokal.
Di sebuah kedai kopi kecil, kami duduk di dekat jendela, menyesap minuman hangat sambil membahas hal-hal ringan. Bertukar pikiran dengan Buana ternyata membuatku takjub dengan cara – cara pandangnya. Meski terlihat santai dan cuek, Buana seorang pengamat dan pemikir yang dalam. Caranya menilai atau mengomentari sesuatu tidak dangkal dan terkesan memiliki filosofinya sendiri. Membuatku memandangnya secara berbeda dalam sekejap.
Tahu - tahu dia membahas soal suatu daerah bernama Punclut yang katanya adalah spot terbaik untuk melihat pemandangan indah Bandung khususnya di malam hari. Membuatku menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali.
Sebab rencana ke Bandung ini tiada lain tiada bukan hanya untuk mendapatkan kerjasama tadi dengan pak Tata.
Namun, setelah berpikir panjang dan mengingat betapa asingnya diriku dengan sebuah kata bernama ‘liburan’ sejak dulu. Aku pikir, nggak ada salahnya sedikit menikmati hari dan Kota ini bersama orang yang tampaknya cukup menguasai tiap sudut kota Bandung. Aku pun mengiyakan ajakan Buana meski dia mencoba meyakinkanku jika kami mungkin akan sangat terpaksa pulang malam ke Jakarta, aku menganggukkan kepala.
Toh aku butuh lebih dari sekedar jalan - jalan untuk kembali menyegarkan isi pikiranku yang sudah sumpek melulu menangisi Aswad.
Senja mulai turun saat kami memutuskan untuk naik ke Punclut. Dari sana, aku bisa melihat Bandung dalam kerlap-kerlip lampu kota yang mulai menyala. Angin dingin menerpa wajahku, membuatku merapatkan tubuh karena aku justru meninggalkan jaket di kursi belakang mobil. Dan sekarang aku menyesalinya.
“Mbak kedinginan?” Buana bertanya, suaranya lebih lembut kali ini.
Aku menggeleng, tapi ia sudah melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahuku. “Lebih baik begini,” katanya tanpa melihatku, matanya masih terpaku pada pemandangan di depan yang menyuguhkan gemerlap lampu bangunan yang berada di Kota Bandung.

Aku menatap Buana memperhatikan bagaimana ia tampak begitu nyaman di sisiku. Buana mungkin lebih muda, tapi anehnya bersama dia, aku tidak perlu menjadi seseorang yang selalu kuat dan penuh rencana. Aku bisa meski hanya sekadar… ada. Kugelengkan kepala ketika benakku melihat sesuatu yang lain dari Buana lebih dari sekedar adik Mega, sahabatku.
Helaan napasku disadari olehnya, ia pun menoleh dan bertanya dengan kedua alis terangkat, aku menggelengkan kepala.
Buana memesan minuman hangat untuk kami nikmati sambil duduk di kursi berwarna warni yang tersedia. Tidak ada yang bicara, kami sibuk dengan pikiran masing - masing. Perlahan namun pasti, aku menyadari bahwa tidak ada gunanya terus mengutuk Imelda Tan. Mungkin jika aku lebih waras atau melihatnya dari sudut pandang lain, sudah pasti yang dilakukan Imelda Tan adalah perbuatan mulia. Hanya saja, jatuh cinta pada Aswad tidak pernah ada dalam rencana jangka panjangnya terhadapku.
Di tengah kalutnya pikiranku tentang Aswad dan Imelda Tan, Buana berdiri menghadap latar belakang lampu - lampu kota itu. Memunggungiku. Ia menghela napas kemudian menghembuskannya dengan kencang. Aku mengamati sikapnya dan hanya membasahi bibir melihat ia berdiam diri di sana. Kemudian Buana membalikkan badan dan tersenyum padaku sambil bertanya, “ternyata patah hati soal cinta nggak ada apa - apanya ya, Mbak, daripada patah hati sama hidup.”
Ia menggelengkan kepala dan kembali memunggungiku tanpa memberikanku kesempatan untuk merespon perkataannya yang barusan. Aku mencoba mencerna maksud dari perkataan Buana dan teringat akan nasibku sendiri.
Hidup bukan hanya mematahkan hatiku, namun juga menghancurkan harapan dan cinta yang pernah hadir untuk keluarga Imelda Tan dan benar yang dikatakan Buana. Patah hatiku terhadap Aswad belum seberapa dibandingkan patah hatiku mengetahui bahwa ibuku adalah orang ketiga dalam pernikahan Imelda Tan, wanita yang sangat kuhormati.
Aku menelan pahit yang tidak dapat kuutarakan dan hanya menghembuskan napas demi menahan airmata yang hendak merebak.
“Ayo pulang, Bu.” Ajakku, Buana pun kembali menghampiri dan meraih gelas kopinya yang entah ke berapa hari ini.
Saat kami kembali ke mobil dan bersiap kembali ke Jakarta, aku menyadari sesuatu.
Perjalanan ini mungkin memang tentang bisnis. Tapi ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam—seperti rasa yang perlahan tumbuh di antara perjalanan dan percakapan sederhana kami. Sesuatu yang sudah semestinya sengaja kuabaikan.
Perjalanan turun dari Punclut terasa lebih sunyi, tapi bukan dalam arti yang canggung. Buana mengemudi dengan satu tangan di setir, sementara tangan satunya menggenggam cangkir kopi yang ia beli di atas tadi. Musik dari radio terdengar pelan, hanya menjadi latar belakang dari hening yang nyaman di antara kami.
Aku menyandarkan kepala ke jendela, menatap lampu-lampu kota yang mulai terlihat lebih jauh di bawah sana. Di dalam mobil, aroma kopi bercampur dengan wangi kayu dari jaket yang masih ia pinjamkan padaku.
“Mbak,” panggil Buana tiba-tiba.
Aku mengalihkan pandangan ke arahnya. “Hmm?”
“Mbak Chandra bahagia?”
Pertanyaannya sederhana namun sedikit absurd seperti di atas tadi, tapi anehnya membuatku terdiam sejenak.
“Aku lega,” jawabku akhirnya. “Kesepakatan ini penting untuk bisnis kita. Rasanya seperti satu beban sudah terangkat.”
Buana tersenyum sekilas, tapi tatapannya kembali ke jalan. “Bukan itu maksud saya.”
Aku menatapnya lebih lama, mencoba menangkap maksud di balik kata-katanya. Namun, Buana hanya tetap fokus mengemudi, seakan membiarkanku memikirkan jawabannya sendiri.
Di jalan tol menuju Jakarta, hujan turun perlahan, menabuh ritme lembut di atas kaca mobil. Aku tidak tahu sejak kapan mataku mulai terasa berat, tapi kehangatan dalam mobil dan suara hujan membuat segalanya terasa begitu nyaman.
Saat aku hampir terlelap, aku merasakan sesuatu yang ringan. Sebuah sentuhan, singkat tapi nyata.
Aku membuka mata sedikit. Buana—masih dengan sebelah tangannya di setir—mengulurkan tangan yang lain untuk menyesuaikan jaketnya di bahuku, memastikan aku tetap hangat.
Aku menutup mata kembali, tapi kali ini bukan karena kantuk.
Perjalanan ini memang seharusnya tentang bisnis. Tapi dengan cara yang tak kusadari, mungkin ini juga perjalanan yang membawaku lebih dekat pada sesuatu yang lain. Atau lebih tepatnya, seseorang. Dan aku merasa masih belum sembuh betul untuk memulai sesuatu yang baru bersama orang lain. Aku terus mengingatkan diri bahwa yang bersamaku ini adalah Buana, adik dari Mega, sahabat baikku.
∞
FOMO : Fear Of Missing Out, Takut ketinggalan akan sesuatu yang sedang tren
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
