Tidak Ada Hari Libur (Untuk Mencintai)- [Part 8 - Di Antara Tumpukan Kain dan Skripsi]

10
3
Deskripsi

Dan entah kenapa, malam ini terasa seperti titik balik kecil. Di antara tumpukan kain dan skripsi yang menyebalkan, aku menemukan tempatku—dalam obrolan yang jujur, dan dalam tatapan seseorang yang mau diam-diam mendengarkan hatiku runtuh, tanpa menghakimi.

Part 8 – Di Antara Tumpukan Kain dan Skripsi

Ruangan ini sudah seperti markas perang. Di satu sisi ada laptopku yang layarnya penuh tab jurnal, grafik SPSS, dan draf skripsi yang belum juga rampung. Di sisi lain, bertumpuk kain-kain motif etnik, barang sample, sketsa desain, dan mood board yang entah sejak kapan mulai terasa lebih menarik daripada rumus statistik.

Mbak Mega, kakakku, sedang di luar kota karena pekerjaannya, dan ketiga teman lainnya pun sedang sibuk dengan pekerjaan mereka masing - masing. Tapi bisnis kecilnya ini—yang katanya bakal jadi ‘label lokal yang nggak bisa diremehkan’—tetap harus jalan. Jadi, tersisa aku dan Chandra yang sekarang jadi ujung tombaknya di sini.

“Ini cutting-nya masih nggak simetris,” suara Chandra menyadarkanku dari lamunan. Ia meneliti pola pada kain sambil memiringkan kepala, ekspresi serius terpahat di wajahnya. Entah kenapa, melihat ekspresi itu membuatku ingin tersenyum.

Aku menatapnya sejenak. Rambutnya diikat asal, kaus putihnya penuh sisa benang dan kapur pola, tapi entah bagaimana, semua itu malah bikin dia terlihat… hidup. Seseorang yang benar-benar ada di tempat ini, sepenuhnya hadir.

Anyway seharusnya kami terima jadi pakaian dari konveksi, namun ada beberapa yang dikirim duluan sebagai sample oleh pak Tata dan juga contoh bahan serta pola – pola yang hanya dimengerti Chandra.

“Kayaknya kamu harus tidur deh, Buana. Udah jam berapa ini?” katanya lagi, kali ini menatapku dengan alis terangkat.

“Belum bisa,” jawabku sambil menunjuk ke layar laptop. “Skripsi ini nggak akan nulis sendiri. Tapi serius, bantuin bisnis ini kayak… pelarian sih. Lebih menyenangkan daripada revisian dosen.”

Chandra tertawa, ringan tapi hangat. “Pelarian boleh, asal nggak lupa tujuan.”

“Tujuan?” aku mengulang, sedikit menggoda. “Mbak ngomong kayak motivator. Biasanya ngomong kayak gitu ke yang lain juga ya?”

Dia mengangkat bahu. “Kadang. Tapi sekarang, ngomong ke kamu.”

Aneh. Biasanya aku bukan tipe yang gampang cerita. Apalagi ke orang yang baru benar-benar kukenal beberapa bulan terakhir. Tapi sama Chandra, beda. Kami bisa diskusi soal jenis bahan paling cocok buat outer, lalu tiba-tiba pindah topik ke teori eksistensialisme. Bisa becandaan receh, lalu serius lagi soal masa depan.

Dan tanpa sadar, aku mulai menunggu momen-momen seperti ini. Saat semua terasa ringan. Saat aku bisa jadi diri sendiri, tanpa perlu menyesuaikan ekspektasi siapa pun.

“Mbak Chandra,” panggilku pelan. Ia menoleh, menunggu lanjutanku. “Kalau bisnis ini berhasil, Mbak mau tetap di sini? Maksudku… terusin ini semua?”

Chandra tersenyum kecil namun dengan sedikit gaya meledek. “Kalau kamu tetap bantuin, mungkin iya.”

Aku menunduk, menyembunyikan senyum yang terlalu cepat muncul.

“Lagipula, aku optimis, Bu. Outlet kita pasti sukses.”

Aku mengamini perkataannya yang menjadi afirmasi positif.

Malam semakin larut. Tapi anehnya, untuk pertama kalinya dalam seminggu ini, aku nggak ngerasa capek sama sekali. Padahal jam tidurku kacau akhir – akhir ini.

Chandra duduk bersila di karpet, menyisihkan beberapa lembar kain yang tadi sempat berserakan. Aku ikut duduk di sebelahnya, bersandar pada sofa. Ruangan ini hening, hanya terdengar suara dengung AC yang lirih, dan musik instrumental lembut yang entah sejak kapan diputar dari speaker kecil di pojok ruangan.

“Mau minum?” tawarnya mengangkat gelas plastik, tanpa menoleh.

Aku menggeleng. “Nggak.”

Chandra melirik sebentar, lalu kembali menatap ke depan. Matanya kosong, tapi damai. Diam-diam aku mengamati garis wajahnya, sorot matanya, caranya menghela napas. Ada sesuatu yang tenang darinya, tapi sekaligus seperti menyimpan banyak hal yang belum selesai.

“Mbak pernah ngerasa…hidup ini nggak menyisakan ruang buat napas nggak?” tanyaku tiba-tiba, bahkan sebelum pikiranku selesai menyusun kalimatnya.

Chandra menoleh. Tak ada kaget di matanya. Hanya jeda, lalu anggukan kecil.

“Sering,” jawabnya pelan. “Kadang bangun tidur pun rasanya udah capek. Padahal belum ngapa-ngapain. Kayak… semua yang pernah dicoba tuh sia-sia aja.”

Aku mengangguk. Rasanya dadaku sesak, tapi juga ringan karena akhirnya ada orang yang bisa ngerti tanpa perlu dijelaskan panjang lebar.

“Aku pernah… benar-benar merasa patah,” lanjutku. “Bukan karena cewek, bukan karena cinta kayak di film. Tapi karena aku ngerasa nggak punya tempat. Di rumah, aku anak bungsu yang harus nurut dan menghadapi kenyataan bahwa pandangan politik aku dan papa berbeda, which is mempengaruhi segala aspek hidupku. Di kampus, aku mahasiswa biasa yang nggak terlalu pintar, nggak terlalu menonjol. Di bisnis ini pun, aku cuma cadangan kakakku yang kebetulan bisa coding dan bikin website.”

Chandra tidak menjawab. Ia hanya memiringkan kepalanya, menatapku. Tapi tatapan itu cukup—seolah dia bilang, aku dengerin kamu, teruskan saja.

“Aku pernah nangis sendirian di kamar mandi,” aku tertawa hambar, “gara-gara dosen pembimbing ngomelin aku depan umum. Tapi bukan itu yang bikin sakit. Yang sakit tuh… waktu aku sadar nggak ada satu pun orang yang akan sadar kalau aku hilang dari kampus seminggu pun.”

Chandra menggeser duduknya, lebih dekat. “Itu bukan salah kamu, Buana. Kadang dunia ini terlalu ribut untuk memperhatikan orang-orang yang diam nggak bersuara.”

Aku menatapnya. Ada kesedihan dalam suaranya, tapi juga ada kejujuran yang hangat.

“Kamu sendiri?” tanyaku. “Pernah ngerasa kayak gitu?”

Aku mulai menanggalkan panggilan ‘mbak’ padanya.

Chandra menghela napas. Lama. Lalu berkata, “Aku pernah merasa dicintai karena aku berguna, merasa diterima. Tapi begitu aku tahu sebuah fakta…semua rasanya kayak pura - pura.” Ia tertawa kecil, aku menangkap nada getir dalam kalimatnya. “Lucu ya, hidup. Kadang yang bikin kita patah itu justru yang paling kita jaga.”

Kami terdiam lagi. Tapi kali ini bukan karena kehabisan kata. Lebih karena… kami saling mengerti. Tanpa perlu menjelaskan terlalu banyak.

Setelah beberapa menit, aku berkata lirih, “Aku senang bisa ketemu Mbak Chandra lagi.”

Chandra menoleh, senyumnya tipis, nyaris tak terlihat.

“Aku juga. Mungkin…semesta nggak salah naruh kita di tempat yang sama malam ini.”

Dan entah kenapa, malam ini terasa seperti titik balik kecil. Di antara tumpukan kain dan skripsi yang menyebalkan, aku menemukan tempatku—dalam obrolan yang jujur, dan dalam tatapan seseorang yang mau diam-diam mendengarkan hatiku runtuh, tanpa menghakimi.

Malam makin larut, tapi tak satu pun dari kami berniat bangkit dari duduk. Seakan waktu berhenti sebentar untuk membiarkan dua orang asing ini saling mengenal, tanpa perlu tergesa-gesa.

“Aku sering mikir,” kata Chandra akhirnya, suaranya pelan, hampir seperti gumaman, “kalau hidup ini kayak permainan teka-teki. Tapi… kita mainin dengan potongan yang nggak lengkap.”

Aku menoleh, tapi dia tidak melihatku. Tatapannya kosong ke arah langit-langit. “Kadang kita tumbuh dengan pertanyaan yang nggak pernah dapat jawaban. Dan semakin kita dewasa, semakin sadar… mungkin jawabannya emang nggak pernah ada. Atau…tidak seharusnya ada.”

Suara Chandra sedikit menghilang di akhir, seperti mode fade outro dalam sebuah video.

“Ada yang kamu cari?” tanyaku hati-hati.

Chandra diam. Lama. Lalu ia berkata, “Ada. Tapi… kalau diceritain, aku takut kamu nggak akan lihat aku dengan cara yang sama lagi.”

Aku menahan napas. Bukan karena takut, tapi karena ada sesuatu di balik kata-katanya yang terasa sangat rapuh dan tampak menyakitkan.

“Aku nggak ke mana-mana,” kataku akhirnya. “Aku di sini. I’m all ear.”

Chandra menghela napas panjang. Kemudian ia menoleh, menatapku, lalu mengangguk pelan. “Aku… anak dari hubungan yang nggak seharusnya ada. Ibu kandungku… beliau dulu kerja sebagai sekretaris. Dan ayah kandungku—aku bahkan masih kesulitan nyebut dia begitu—ternyata ayah kandung yang selama ini kucari – kucari adalah suami Imelda Tan.”

Aku menelan ludah, benar dugaanku. Chandra tidak mungkin resign dari maminya Ocha jika tidak ada masalah yang sangat besar. Tak ada yang bisa kukatakan saat ini, selain menunggu ia melanjutkan.

“Ibuku meninggal saat melahirkanku, Bu. Kemudian aku diserahkan ke panti asuhan di mana aku tumbuh besar. Di bawah sponsor Imelda Tan.”

Ia tersenyum, tapi air matanya menetes juga. Perlahan. Tidak dramatis. Hanya setitik kejujuran yang akhirnya menemukan jalan keluar.

“Pantas saja aku selalu merasa hidupku mudah sebelum aku tahu alasan Imelda Tan secara khusus mensponsori pendidikanku. Mungkin dia menyesal atas kematian ibuku. Pelakor yang membuat suaminya berkhianat.”

Tanganku terasa kaku untuk menyentuh wajahnya, Chandra menghapus airmatanya sendiri. Ugh. Aku sangat ingin menghapus airmata itu.

“Makanya begitu resign dari sana aku ingin kerja keras. Aku pengen punya hidup yang bisa kutentukan sendiri tanpa bantuan Imelda Tan. Tapi di dalam sini,” ia menyentuh dadanya, “aku selalu ngerasa… cacat. Nggak lengkap. Kayak aku ini hasil kesalahan. Dan setiap aku ingat, mungkin nggak hidupku akan sama tanpa sponsor Imelda Tan selama ini?”

Aku menggeser duduk, mendekat, tanpa banyak bicara. Hanya duduk cukup dekat agar ia tahu: aku ada.

“Jenna dan yang lain tahu sedikit,” lanjut Chandra. “Tapi nggak sedetail ini.” 

Aku mengangkat wajahnya dengan lembut. “Makasih… udah cerita ke aku.”

Dia menatapku, sorot matanya penuh luka, tapi juga kelegaan. “Aku takut kamu ilfeel atau mungkin jijik.”

Aku menggeleng. “Aku justru…merasa lebih mengenal kamu. Dan aku nggak lihat kamu sebagai kesalahan, Mbak Chandra. Kamu adalah hasil dari keputusan ibumu yang memutuskan untuk tetap melahirkanmu di tengah semua kesalahan itu. Dan keputusanmu untuk tetap hidup, untuk tetap berupaya menjalani semuanya dengan baik terlepas apapun alasanmu, aku sangat hargai, meski dunia jahat dari awal padamu.”

Ia menangis lagi, kali ini dalam diam. Tapi tangis itu bukan sekadar sedih—itu seperti melepaskan beban yang sudah lama menggantung. Sejujurnya, aku lega melihatnya melepaskan beban besar itu. Heran juga beberapa hari kemarin dirinya masih bisa haha hihi di hadapan kami semua dengan konflik batin yang luar biasa…berat.

Malam semakin sunyi. Bahkan suara dengung AC sudah sangat biasa di telingaku, tidak lagi mengganggu. Tapi kami masih di sini. Duduk bersisian, dikelilingi keheningan yang jauh lebih bising dari suara manapun.

Chandra menyeka sisa air matanya, tapi aku bisa lihat matanya belum selesai menangis. Ada beban lain yang belum keluar, dan entah kenapa, aku merasa dia akan membiarkannya keluar malam ini.

“Buana…” katanya, pelan. “Ada satu hal lagi. Mungkin… ini yang paling bikin aku benci pada hidup. Pada Imelda Tan. Dan takut kamu dan orang lain semakin jijik jika mengetahuinya.”

Aku menatapnya. “Nggak ada yang bikin aku berubah melihat kamu, Mbak.”

Dia tertawa kecil, tapi kosong. “Jangan bilang gitu dulu. Karena kali ini… aku juga pengen jujur soal masa lalu yang bahkan membuatku sungguh…sungguh muak dengan semua fakta ini.”

Aku diam, memberinya ruang.

“Kamu tahu Aswad, kan?” tanyanya.

Jantungku mencelos. Aku tahu nama itu. Mana mungkin nggak tahu.

“Iya… kakaknya Ocha,” jawabku. Nadaku pelan.

Chandra menunduk. “Aku pernah pacaran sama dia.”

Jantungku makin nyeri. Tapi bukan karena cemburu. Bukan karena masa lalu. Tapi karena dari cara Chandra bicara… ini bukan tentang cinta biasa.

“Awalnya aku nggak pernah respon godaan - godaan Aswad tiap kami bertemu di rumah mereka, atau di kantor maminya. Tapi, dia manis banget, Bu. Dia terlihat tulus dan nggak menyerah mengejarku.”

Aku mengangguk perlahan. “Terus?”

“Imelda Tan—nggak pernah setuju dengan hubungan kami. Awalnya kupikir karena aku anak yatim piatu, miskin dan bukan dari level mereka.” Chandra menjeda perkataannya, ia membersit hidung diselingi tawa ironis. “Ternyata karena dia tahu kalau aku dan Aswad sedarah. Satu ayah.”

Aku terpaku. Rasanya seperti ditampar sesuatu yang tak terlihat. Napasku tertahan.

“Aku nggak tahu apa-apa, Buana. Sumpah. Aku baru tahu setelah hubungan kami udah jalan beberapa bulan dan Aswad terus mengejar restu maminya.. Dan saat itu, saat Imelda Tan mengatakan alasan sesungguhnya, rasanya seperti seluruh isi tubuhku hancur dari dalam.”

Ia menutup wajahnya dengan tangan. Suaranya mulai bergetar lagi. “Aku merasa jijik. Marah. Dan lebih dari itu… aku merasa nggak punya hak untuk mencintai siapa pun lagi.”

“Chandra…” aku ingin menyentuh tangannya, tapi aku takut salah. Takut menyentuh luka yang belum sembuh.

“Kamu tahu rasanya patah hati karena cinta yang salah, Buana? Bukan karena ditolak. Tapi karena cinta itu sendiri adalah dosa yang bahkan kamu nggak sadar kamu lakukan.”

Aku akhirnya menggenggam tangannya. “Kamu nggak salah, Mbak. Kamu nggak tahu. Kamu korban dari rahasia yang harusnya diungkap sejak lama.”

Ia menangis lagi, kali ini dalam pelukanku. Dan aku membiarkannya. Bukan karena aku tahu harus berkata apa, tapi karena aku tahu… kadang, satu-satunya hal yang bisa kita lakukan untuk orang yang terluka adalah tetap tinggal di sampingnya.

Setelah beberapa saat, aku berkata lirih, “Mbak Chandra  juga tahu, kan, aku pernah pacaran sama Ocha.”

Tubuh Chandra menegang dalam pelukanku. Sepertinya, baru kusadari sekarang, tiap menyebut salah satu anggota keluarga Ocha, ia akan bereaksi seperti sekarang.

“Adik Aswad,” tambahku. “Jadi… aku ngerti. Walau nggak separah kamu, tapi… aku ngerti gimana rasanya terlibat dalam sesuatu yang kita pikir benar, tapi ternyata… kita menyeret mereka dalam kekacauan.”

Kami saling menatap. Untuk pertama kalinya malam itu, tak ada lagi jarak. Hanya dua hati yang sama-sama remuk, tapi mencoba tetap utuh.

Setelah lama dalam diam, Chandra akhirnya menyandarkan kepalanya di bahuku. Tangisnya sudah reda, tapi aku tahu, luka-luka itu nggak akan sembuh dalam semalam.

Dan di tengah keheningan itu, pikiranku mulai kembali ke kenyataan.

Laptopku masih terbuka. Skripsi belum bergeser satu halaman pun sejak dua jam lalu. Aku tahu dosen pembimbing pasti sudah siap ‘membantai’ revisian minggu depan. Dan di luar semua yang baru saja kami bagi malam ini… ada satu hal yang tak pernah benar-benar hilang dari pikiranku.

Mama.

Buana, Adek, cepat lulus ya. Mama nggak minta kamu jadi orang hebat, cuma jadi orang yang bisa berdiri di kakinya sendiri.

Kalimat itu terngiang lagi. Sederhana. Tapi bagiku… beratnya kadang melebihi segalanya.

Mama mengurus aku sendiri setelah Papa memilih karir politiknya yang menyebalkan itu. Hanya aku harapan terakhir mama untuk bisa melepaskan diri dari papa. Aku tahu hal itu dari cara mama memotivasiku untuk menulis skripsi atau setiap kali belio mengusap rambutku setelah aku pulang telat dari kampus—selalu ada harap dalam diamnya.

Aku harus lulus. Bukan hanya untuk diriku sendiri. Tapi untuk Mama yang sudah terlalu lama menyimpan lelah tanpa suara.

“Buana?” Chandra bersuara pelan, membuyarkan lamunanku.

“Hmm?”

“Kamu kenapa tiba-tiba diam?”

Aku menggeleng, lalu menatap layar laptop. “Tiba – tiba ingat Mama.”

Chandra menegakkan tubuh, menatapku penuh perhatian. “Apa yang kamu pikirkan?”

Aku menghela napas. “Mama pengen aku cepat lulus. Katanya belio nggak mengharap yang muluk-muluk. Hanya ingin lihat aku kerja, punya gaji tetap, hidup layak. Tapi tiap aku buka laptop, yang keluar malah stres. Aku bantu bisnis mbak Mega biar bisa nafas dari semua itu. Tapi makin ke sini… aku takut. Takut aku lari dari tanggung jawab.”

Chandra menggenggam tanganku. Lembut, tapi tegas. “Kamu nggak lari. Kamu cuma nyari cara untuk tetap waras.”

Aku tersenyum tipis. “Tapi tetap aja… deadline tetap ngejar. Mama semakin tua. Kadang aku ngerasa gagal sebagai anak.”

“Kamu belum gagal, Buana. Justru kamu lagi jalanin semuanya pelan-pelan. Dan kamu peduli. Itu udah lebih dari cukup buat orangtua. Percaya deh, nggak ada ibu yang berharap anaknya sempurna kok. Mereka hanya ingin anaknya nggak hilang arah.”

Kata-katanya seperti pelukan lain yang tak berbentuk.

Dan malam ini, di antara luka masa lalu dan beban masa depan, aku menemukan satu hal yang sangat berarti—seseorang yang nggak menghakimi ketika aku bimbang. Seseorang yang dalam luka-lukanya sendiri, tetap bisa berkata: kamu nggak sendirian.

Anehnya, semua ini kudapatkan dari seorang Chandra. Yang dulu selalu diceritakan Ocha seperti mesin dan tidak kenal kompromi. Semakin mengenalnya, aku makin melihat sisi manusia dalam dirinya dan itu melegakan.

Malam hampir habis, tapi kami belum bergerak dari tempat duduk. Laptop masih menyala, kertas-kertas berserakan bersama dengan utas benang yang kami gunting dari sample yang dikirim, tapi ada yang berubah.

Beban di dada terasa sedikit lebih ringan.

Chandra menatapku, senyumnya kecil tapi tulus. “Kalau kamu mau mulai lagi dari awal… aku temenin.”

Aku mengangguk. “Kayaknya aku nggak cuma butuh temen. Aku butuh saksi… bahwa aku pernah jatuh, tapi bangkit juga.”

Dan di detik itu, aku tahu—aku mungkin belum selesai dengan skripsiku, belum sampai pada hidup ideal yang Mama harapkan. Tapi malam ini, aku selangkah lebih dekat ke sana.

Bersama seseorang yang nggak hanya tahu aku siapa, tapi juga tetap tinggal setelah tahu segalanya. Dan bonusnya, aku pun menjadi lebih mengenal dirinya.

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CARPE DIEM Part 31 - 37
2
0
Carpe Diem!Tentang dua pasang hati yang tengah memulai sebuah kisah. Dua pasang hati yang sedang menikmati sebuah hubungan baru. Bukan hanya tentang bagaimana mereka merenda hari, merajut mimpi. Ini tentang menaklukan ego dan menerima kenyataan, bahwa pernah ada kisah lain di masa lalu yang turut menjadi warna dalam cerita masing - masing.Dua pasang hati, yang telah menemukan pemiliknya namun masih meraba - raba, akankah mereka menyesali keputusan yang mereka ikat dengan sebuah tali bernama komitmen, atas dasar rasa paling rentan yang pernah ada, bernama cinta. [Kamu perlu baca Milky Way & Dilema. Tapi, cerita ini akan ringan kok. Bisa berdiri sendiri. Semoga gak bingung].
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan