Red String Theory [Part 5 - Dimentori Olehmu]

35
3
Deskripsi

Entah memang dia sangat sabar atau memang belum pernah dapat momen saja ia marah – marah. Apakah menyeramkan seperti papa, atau justru menggemaskan ya?

Aku kok penasaran jadinya.

Part 5 – Dimentori Olehmu

Kukira mas Bram akan langsung terjun mengajariku sejak hari pertamaku di kantor. Tapi dia lebih sibuk mengurus kantor pusat karena ketiadaan mas Sam. Tapi itu bagus, aku tidak tegang saat mas Karim yang memberitahu segala hal dan tidak khawatir saat masih ada beberapa hal yang belum aku mengerti hingga harus mengajukan pertanyaan berulang kali.

Mas Karim adalah pria asal Malang berwajah Arab yang berbicara dengan sangat lembut dan sopan. Berapa kali pun aku bertanya hal yang masih membingungkan, ia tidak pernah sekali pun terlihat kesal atau menjawab dengan jengkel. Sangat sabar, saking sabarnya aku sampai merasa tidak enak dan memaksa mentraktirnya makan. Pagi ini aku bahkan membelikannya segelas kopi, ia berterima kasih sambil tertawa dan memamerkan sederet giginya yang putih dan rapi itu.

Namun hari ini dia menyiapkan work stationnya di dalam ruanganku seperti kemarin – kemarin. 

“Hari ini Mas Karim mau running meeting ya?” Tanyaku, karena belum melihatnya bersiap menjadi mentorku seperti biasa.

“Hari ini mentor Mbak Jania pak Bram ya. Beliau sudah beri kabar akan in charge di sini sementara sambil ngajarin Mbak.”

Aku melongo pasrah, namun masih memiliki waktu untuk memeriksa riasan sebelum mas Bram datang. Mas Karim pamit pergi ke mejanya, aku hanya mengangguk tanpa memalingkan wajah dari cermin kecil yang kupakai untuk memeriksa wajahku. Kupoles sedikit lipstik saat merasa warnanya kurang segar dilihat, saat merasa penampilanku sempurna, kuletakkan kembali peralatan rias dalam laci dan siap menunggu mas Bram datang untuk mengajariku.

Sambil menunggu, aku sedang membuat logo untuk jasa konsultan designku di sosial media. Sambil mencari saran tentang bagaimana memasarkannya. Apakah aku butuh jasa social media specialist? Aku bisa mencari jasanya di Upwork.

Suara ketukan di pintu membuatku mengalihkan fokus dari layar laptop ke ambang pintu ruanganku yang tidak ditutup. Mas Bram berdiri di sana, mengenakan kemeja navy yang pas dengan bentuk tubuhnya dan celana bahan hitam. Penampilannya sangat office look dan senyum di wajahnya terlihat yummy. Arghh—bisa nggak sih langsung cium saja, Mas?

“Hai, Bu Direktur.” Ia menyapa dengan candaan, sangat khas mas Bram.

Aku tersipu malu – malu di bawah tatapan matanya. Mas Bram berjalan masuk, menarik kursi lain untuk duduk di seberang meja yang memisahkan kami.

“Sudah diajarin apa saja oleh Karim?”

Hmm to the point banget, nggak ada basa – basi semalam tidurku gimana?

Aku memberitahukannya apa saja yang sudah kuketahui, bagaimana perusahaan ini berjalan, apa saja tanggung jawabku dan aku menyukainya di bagian harus meninjau draft hingga gambar kasar yang disodorkan tim teknik namun itu lebih detail dari bidang yang telah kupelajari. Mungkin aku bisa belajar dari sini, itu positifnya. 

“Sudah kenalan dengan semua staf?”

“Sudaahhhh.” Jawabku dengan riang sambil mengangkat kedua tanganku ke atas tanpa beban, tanpa menyadari hal itu membuat mas Bram terkekeh pelan.

Aku menurunkan kedua lengan dengan gerakan pelan, mas Bram semakin melebarkan senyum di wajahnya dan berkata bahwa dia menyukai antusiasmeku. 

Kemudian dalam satu hari penuh kami bekerja bersama, mas Bram mengajariku berbagai hal. Teori maupun hal teknis yang tak kuduga ia kuasai dengan sangat baik meski beberapa kali dirinya merendah dengan berkata bahwa ia hanya memahami segelintir dari apa yang nantinya akan kupegang.

Kami makan siang bersama, mas Bram juga mengajak mas Karim dan kami pergi menuju restoran tidak jauh dari gedung kantor. Rupanya mas Bram berkata ingin men-download ilmu dari mas Karim agar tidak salah mengajariku. Dia juga memuji – muji mas Karim dengan berkata bahwa sosok ini sangat diandalkan oleh mbak Tara sejak dulu dan banyak membantu kakak sepupuku itu.

Benakku bertanya – tanya, ‘mengapa bukan mas Karim saja yang menggantikan mbak Tara?’

Saat kami  kembali dari makan siang, mas Bram menjawab pertanyaan itu untukku meski semua itu hanya berada dalam kepalaku saja.

“Meski Karim mengerti banyak hal dan hampir bisa menangani semua, ada satu hal yang membuat dia nggak bisa menduduki kursi itu. Kecakapan dalam memimpin.” 

Aku membulatkan bibir.

“Banyak orang pintar di perusahaan yang memang profesional dengan bidangnya. Tapi untuk jadi pemimpin, kecakapan itu saja nggak cukup. Dan yang terpenting, persetujuan seluruh pemegang saham.” Mas Bram menghela napas, seolah dirinya cukup lelah dengan perpolitikan perusahaan. “Latar belakang sangat dipertimbangkan.” 

Ia menggerakkan kedua alisnya, aku tersenyum kecil.

Dari caranya bicara, entah apa yang mas Bram pikirkan. Namun, saat mengatakan latar belakang, benakku teringat tentang mas Bram dan bagaimana dia hingga berada di posisi sekarang. 

Menjadi tangan kanan dan satu – satunya orang kepercayaan mas Sam yang notabene pemilik perusahaan sebesar ini, ia pasti berpikir tentang mas Karim yang ‘tidak seberuntung’ dirinya. Mungkin jika mas Karim adalah orang ring 1 mas Sam, bukan hal mustahil dirinya lah yang akan dipercaya menggantikan mbak Tara dengan kemampuan seperti yang telah ia ajarkan dan beberkan pada mas Bram sepanjang makan siang tadi yang hanya berdurasi kurang lebih dua jam.

“Aku jadi merasa—nggak enak dengan mas Karim.”

“Eh—Mas nggak ada maksud untuk bikin kamu kecil hati, Jani.”

“Iya aku tahu, Mas. Tapi, memang mas Karim lebih layak duduk di sini menurutku.” Aku tersenyum, mas Bram menggelengkan kepala tidak setuju dengan perkataanku.

“Tapi itu bukan berarti kamu jadi nggak lebih pantas dari Karim, lho. Setiap orang layak mendapatkan kesempatan, kamu juga berhak dan bisa belajar.”

“Iya, Mas. Ajari aku sampai pintar kayak Mas Bram yaaaaa.” Pintaku tulus, mas Bram menganggukkan kepala dan kembali menjadi mentor untukku meski di sela – sela ajarannya ia menerima puluhan telepon dan memintaku menunggu.

Aku paling suka ketika mas Bram ditelepon ibunya, suaranya sangat lembut hingga hampir tak terdengar. Seolah nada bicaranya sengaja direndahkan agar tidak melampaui suara ibunda tercinta di seberang sana. Seumur – umur aku mengenal lelaki ini, belum pernah aku melihatnya marah atau penuh emosi. 

Entah memang dia sangat sabar atau memang belum pernah dapat momen saja ia marah – marah. Apakah menyeramkan seperti papa, atau justru menggemaskan ya?

Aku kok penasaran jadinya.

Jam lima sore, mas Bram kembali mendapatkan telepon. Namun kali ini ia hanya melirik layar ponsel kemudian membalikkannya hingga layar itu menghadap permukaan meja. Aku mengetuk – ngetukkan pulpen ke dagu dan hampir saja bibirku tertusuk pantat pulpen saat tanganku terpleset. Dengan sigap mas Bram mengambil pulpen dengan bulu – bulu itu dariku dan meletakkannya di atas meja tanpa menghentikan mentoringnya. 

“Telepon tuh.” Aku melirik ponselnya yang kembali bergetar tanpa sebuah panggilan menyapa nomornya.

Mas Bram menghela napas, melihat layar kemudian menekan tombol yang membuat deringnya berhenti sebelum kembali meletakkan ponsel itu di atas meja.

“Siapa memang, Mas? Marketing Asuransi ya?” Tanyaku kepo.

Ia terlihat enggan sekali menjawab panggilan itu.

Mas Bram melirikku, ia menyuruhku fokus dengan layar yang menampilkan profil sebuah perusahaan yang tengah memilih perusahaan ini untuk menangani proyeknya. Mas Bram berkata saat ini aku belum menghadiri pertemuan yang melibatkan posisiku, tapi ketika aku sudah lebih siap, aku akan menghadiri pertemuan itu dan untuk permulaan mas Bram dan mas Karim akan menemaniku.

Hal baik dari menerima tawaran mbak Tara soal posisi adalah, aku akan menghabiskan banyak waktu dengan mas Bram nantinya.

.
.
.

Kami video call bertiga. Aku, Twiska dan Bobby. Sebenarnya aku masih terjebak macet di jalan dan karena belum memiliki kesempatan untuk menemui Newlyweds yang baru kembali honeymoon itu, aku pun menawarkan untuk temu kangen via video call.

Sebenarnya aku tahu alasan Twiska ngajak bertemu dengan ngotot apa. Tentu saja dia kepo dengan bergabungnya diriku di perusahaan yang dimiliki suaminya. Urgh, dia adalah nyonya besar alias istri pemilik perusahaan tempat aku bekerja.

Secara tidak langsung, aku adalah stafnya.  Siap salah, dong, aku sekarang.

Anyway, ada yang dapat kerjaan baru nih.” Oceh Twiska, membuat Bobby heboh dan menagih traktiran gaji pertama padaku.

“Iya kerjaan, jadi anak buah suami lo.” Ujarku, meleletkan lidah.

“Bodo amat, tapi kan Direktur. Minimal Amuz nggak sih, Twis?”

Si kompor meleduk Bobby seenak jidat memilih restoran yang ia mau, nggak nanggung – nanggung pula pilihannya.

“Il Mare dong, Bestiiieeeeee...”

“Eh lo lamaran di sana ya! Ngelunjak! Kecuali gaji gue setara sama laki lo, boleh – boleh aja.”

“Jangan sok miskin lo, Janiheeeee. Gue kutuk miskin beneran mau lo?!” Ancam Bobby, aku berdecih mendengar ancaman basinya.

“Gue bawa oleh – oleh lho. Kalian nggak ada yang kangen sama gue?”

Aku dan Bobby kompak menjawab, “nggak!”

“Ish! Yaudah, oleh – olehnya gue buang aja!”

“Gue menolak coklat ya, minimal kalau jadi istrinya pak Sam, oleh – oleh lo bawain kita berlian. Dompet Hermes kek, eh Balenciaga juga boleh, ya Jan?” Aku terkikik mendengar ocehan Bobby, nggak ngotak laki – laki itu memang terkadang.

“Heh, lo lupa, Bob?! Di antara kita bertiga, tabungan siapa yang paling banyak uangnya?”

Aku dan Bobby kompak menjawab. “Elo lah!”

“Sial!” Twiska memaki. “Ya Janiaaa lah! Ada gila – gilanya lo berdua.”

“Elo kan sudah resmi menjadi Nyonya Samudra Pasha, Wahai Sahabat Sejatiku.” 

“Ya terooossss?”

“Mungkin kah sang Raja mulai membagikan tahtanya padamu, Duhai Sahabatku?” 

Aku terbahak mendengar serta melihat gestur Bobby yang kelewat amit – amit, dengan menirukan film kerajaan Indosiar dan bahkan menyuruhku berhenti tertawa sambil berkata. “Diam kau, Kisanak!”

Plus, menyingkirkan rambut gaib yang dia kibas – kibas sesuka hati ke kanan dan kiri. 

“Kesambet apaan sih lo, Bob?!” Twiska berdecak.

Anyway, weekend gue nggak ada plan kemana – mana sih. Kalau mau ketemu, gasss!”

“Yakin Bu Dir nggak sibuk saat weekend? Makan bareng klien mungkin?” 

“Gue colok mata lo yeeee!” Aku mengarakan kedua jari yang siap mencocok mata Bobby ke kamera, kedua temanku itu tertawa bahagia.

Kami mengobrol, kebanyakan mereka sih yang bercerita sambil menemaniku pulang ke rumah setelah seharian bekerja. Masih dengan mas Bram yang berbaik hati membimbingku menjalani peran ini, dan berharap ia membimbingku juga membina rumah tangga kelak. Hahaha.

Aku beruntung karena mas Bram tidak membahas pertanyaan konyolku tempo hari mengenai seksualitasnya. Ia menganggap pertanyaan itu tidak ada dan bersikap biasa. Aku harus acungi jempol dengan profesionalismenya selama menjadi mentorku. Ia tidak lagi bersikap seolah aku anak balita yang butuh diperlakukan seperti bayi, ia memberiku kesempatan mencoba banyak hal yang telah diajarkan dan bahkan memasukkanku ke dalam meeting penting dan bertanya pendapatku mengenai hal yang sedang dibahas seolah perkataanku sama pentingnya.

Semua perlakuannya itu membuatku semakin sulit untuk mengabaikan rasa suka yang sejak dulu memang sudah ada. Kini, ia hanya menyirami bibit – bibit yang telah lama kusimpan itu. Membuatnya semakin subur dan membesar. Aku penasaran, kapan waktunya ia memanen seluruh perasaan yang ia tumbuhkan sendiri di hatiku.

“Heh Jan! Lo jangan bengong gitu dong. Lo kan lagi nyetir.” Suara Bobby mengagetkanku, buyar sudah lamunanku mengenai mas Bram.

“Ini gue lagi konsentrasi sama jalanan ah, Bobski!”

“Ya gue ngeri kalau lo kenapa – kenapa.” 

Twiska ikut khawatir, aku meyakinkan mereka kalau aku tidak sedang bengong. Ya sempat melamun tapi masih fokus dengan posisiku yang sedang berkendara.

“Anyway, gimana rasanya dimentorin pak Bram?”

Pertanyaan Twiska seketika membuat kedua mataku melebar, tak bisa kupungkiri, aku senang dengan fakta dimentori oleh mas Bram dan ada seseorang yang menanyakannya. Karena aku akan dengan senang hati menceritakan semuanya.

“Ya gitu—sabar banget ya, Twis. Gue nggak heran sih, dari dulu mas Bram emang yang paling dewasa dan sabar di antara semua  temannya. Dan dia benar –benar cerdas banget, Twis. Kayak bisa menguasai banyak hal gitu lho. Apalagi nih ya, sepanjang jadi mentor, dia juga ditelepon banyak orang sana – sini dan tetap bisa melakukan apa saja yang mereka pinta. Pantas saja mas Sam segitu percayanya ke mas Bram, dia memang hebat dan bisa diandalkan banget, ya?”

Aku menyadari lirikan mata Twiska pada Bobby sepanjang ceritaku tentang mas Bram.

“Sekarang dibimbing jadi ibu Direktur. Next time, dibimbing jadi ibunya anak – anak dia. Uncchhhh—“ seru Bobby, aku tidak bisa mengelak degupan senang dengan pemikiran itu.

Namun sial, fokusku teralihkan dan klakson panjang pengendara di belakangku membuatku terperanjat kaget. Kedua temanku spontan meneriakiku dari sana agar lebih hati – hati. Kuputuskan panggilan video call mereka dan kembali fokus pada perjalananku.

“Pfftttt—hampir saja!” Aku menggelengkan kepala.

©

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Red String Theory [Part 6 - Hadiah]
26
3
Bram mengingat - ingat, mungkin dirinya pernah berjanji akan memberikan hadiah untuk gadis itu?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan