
Holaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,
Haiiiii, aku kembali dengan cerita baru. Yuk langsung dijadiin favorit ajaahh.. Jadwal update, insya Allah tiap minggu tapi nggak tahu hari apa hihihihi menyesuaikan jadwal mengcungpret hamba ya pemirsaaahhh…
Doakan sehat wal afiat agar terus berkarya menyenangkan Anda - Anda semuaaaaa.
Enjoyyy!
Prolog
What doesn’t kill you, make you stronger. Danish selalu menyukai kalimat itu. Baginya, ia adalah pedang Gryffindor, yang hanya mengambil kekuatan dari apa yang ia sentuh. Dan segala sesuatu yang menyakiti tanpa membunuhnya, hanya membuat Danish menjadi lebih kuat dari dirinya yang kemarin. Setidaknya, itu berlaku jika berhadapan dengan lawan jenis yang tak jarang menganggapnya gampangan hanya karena dia bekerja sebagai sekretaris yang kerap mendapat stereotype wajah rupawan dengan otak nol besar.
Beberapa orang dianugerahi kisah cinta yang romantis, tapi memiliki keluarga yang berantakan dan pertemanan yang kompetitif. Ada juga sebagian orang yang memiliki kisah cinta romantis, memiliki pasangan yang baik dan penyayang juga keluarga yang harmonis, tapi tetap, tidak memiliki teman. Dan Danish, yea, bagi Danishtia Adinda Chumaidi dirinya hanya dianugerahi keluarga yang harmonis namun tidak dengan kisah cinta maupun pertemanan. Danish hanya berteman dekat dengan satu orang yang kini telah menikahi bosnya.
Danish tidak berbakat berteman apalagi mendekati orang lain terlebih lawan jenis. Dan sekarang, kembali ia merasakan kesialan demi kesialan hubungan cintanya yang selalu berantakan. Barry, pria yang sudah dipacarinya selama setahun itu terus membuatnya merasa seperti berada di pinggir jurang. Emosi demi emosi tak pernah terelakkan setiap kali mereka bertemu. Sikap Barry yang kelewat protektif, cemburuan, posesif dan bahkan gampang marah itu membuat Danish lelah.
Ia berharap Barry adalah pria terakhirnya yang akan ia bersamai menuju jenjang pernikahan namun baru setahun berjalan kisah cinta mereka, Danish sudah kewalahan. Kecemburuan Barry yang tidak masuk akal itu bahkan merembet ke pekerjaan, nggak jarang Barry meneror bosnya Danish untuk sekedar memastikan keberadaan kekasihnya.
Padahal Danish tidak pernah selingkuh, bahkan tidak berbakat sama sekali untuk itu. Danish bahkan memegang prinsip bahwa dirinya tidak akan pernah tidur dengan lelaki selain pasangannya. Mulanya semua baik – baik saja sebelum Barry tahu tentang Arthur dan Danish yang pernah merajut kisah bersama kemudian putus namun masih bekerja bersama di bawah payung Turangga Herba.
Konyol memang, Danish selalu berpikir Barry terlalu paranoid tentang dirinya yang justru sangat tegas dengan lawan jenis yang tidak ada hubungan apapun dengannya. Sikap Barry yang demikian membuat Danish jengah dan ingin mengakhiri hubungan mereka, tapi sisi manipulatif Barry kerap kali membuatnya merasa bersalah.
Bagi Danish, Artur hanya lah mantan. Sekali mantan, tetap mantan. Tidak ada jalan kembali bersama karena kisah mereka sudah selesai. Get over about that, it’s done. Nggak ada yang perlu diulang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari lelaki itu. Seharusnya yang dikhawatirkan Barry bukan lah Arthur, melainkan sesosok masa lalu yang masih mengintai malam – malam Danish tanpa Barry di sisinya. Masa lalu yang tersimpan rapi di sudut hati kecil wanita cantik blasteran Jawa – Manado – Skotlandia itu.
Tidak pernah ada yang tahu kisah kecil rahasia Danish, bahkan Tities sekalipun, sahabat terdekatnya. Kisah yang Danish simpan sendiri dan terlalu malu untuk diceritakan pada siapapun, karena dirinya di masa lalu hanya gadis muda yang polos, penuh rasa penasaran dan sedang jatuh cinta.
Saat ini Danish sedang duduk nyaman di Airport business lounge LAX, bersama ibunya yang baru saja ia jemput dari liburan selama sebulan di Los Angeles. Berhubung Evan –sang kakak—yang seharusnya menjemput ibu mereka, mendadak meminta Danish menggantikan tugasnya dalam menjemput Anne Whelsh di LA karena istrinya harus menjalani operasi. Danish pikir, dia bisa rehat sejenak dari rengekan Barry yang lebih santai ketika tahu Danish akan menjemput mamanya sendirian ke LA.
“Gimana hubungan kamu dengan Barry...” Tatapan lelah Danish menyorot kedua mata Anne yang mulai keriput di kedua sudutnya, sang ibu spontan menutup mulut sambil berkata, ‘’oops... I forgot.”
“Three times, Ma. It’s fourth.”
“I’m sorry, Darlin’. Well, can you get me some coffee, please.” Danish menghela napas dan mengangguk pelan menyanggupi permintaan ibunda.
Anne memang tidak pernah mendesak Danish untuk menikah cepat – cepat meski usia putrinya itu telah memasuki angka cantik, tiga puluh tiga tahun. Namun, ia merasa Barry sudah memiliki kriteria seperti menantu idaman, tentu saja Anne tidak pernah tahu apa yang dilakukan Barry pada putri bungsunya itu.
Danish memesan segelas cold Latte untuk Anne dan cold Chai untuk dirinya sendiri.
Dalam sekilas, Danish benar – benar ragu, hanya untuk sekilas ia merasa ekor matanya menangkap sesosok profil yang ia kenal. Sesosok yang telah lama terpisah darinya karena kesibukan masing – masing, namun, masih rapi tersimpan dalam benaknya hingga detik ini.
Aneh, seharusnya Danish melupakan sosok itu karena sudah sepuluh tahun lebih berlalu. Namun, entah mengapa ia menoleh secepat kilat dan memandangi punggung seorang pria yang mengenakan t-shirt hitam yang mencetak jelas otot punggungnya ketika ia merasa mengenali sosok yang berjalan melaluinya itu beberapa saat lalu. Lelaki itu menaikkan ransel coklat dengan tangan kanan dan menggendongnya di belakang. Danish mengingat – ingat bagian tubuh sisi kanan lelaki itu seingat yang dia bisa, sedikit make sense jika terjadi perubahan besar sebab usia mereka berdua sudah dewasa dan lelaki itu pasti telah bertumbuh dari seorang remaja kurus menjadi pria dengan tubuh sedikit kekar seperti yang ia lihat barusan.
Namun, lelaki itu terus berjalan menuju boarding room regular sementara dirinya berbelok kembali menuju bisnis lounge di mana Anne telah menunggu dirinya dan segelas kopi dingin yang ia bawa di tangan kiri. Kebetulan pertama, yang sangat tidak diduga. Di antara semua hari, semua tempat yang bisa Danish singgahi di Indonesia dan semua momentum, mengapa mereka baru bertemu lagi di ribuan kilometer jaraknya dari Negeri tercinta. Meski sedikit ragu, Danish merasa bahwa sosok itu adalah orang yang ia kenal. Sejak dulu hingga kini.
“What’s wrong?”
Danish menggeleng atas pertanyaan Anne, ia mengulurkan gelas kopi milik Anne dan kembali duduk di samping mamanya seraya kembali mengingat detil sesosok yang mengganggu pikirannya sekarang.
Apa yang dia lakukan di LA? Kerja? Liburan? Dia sama siapa tadi?
Dia masih ingat aku nggak ya? Hm, dia pasti sudah menikah.
Pertanyaan tumpang tindih berturut – turut itu menggaung dalam benaknya, hingga panggilan penumpang untuk memasuki pesawat Cathay Pacific dengan detil seperti yang tertera di tiketnya terdengar. Danish pun beranjak mengikuti langkah sang mama yang berjalan menuju pintu memasuki pesawat. Kemudian sambil melangkah, ia menggelengkan kepala.
The past is behind, Dan. You should move forward, do not looking back. Never.
©
Part 1 – Beat The Bond
Aku masih memilih dari sekian botol parfum yang berjejer di atas lemari souvenir. Ada Zara Vanilla yang isinya tinggal setengah, Gucci Blossom si pink yang lembut, Black Musk dari TBS, Channel, Clinique Happy, HMNS—and many more. Jariku mengetuk dagu berulang, galau memutuskan memakai aroma apa hari ini.
Kemudian mataku terpaku pada botol hitam S.O.T.B dari Saff & Co, parfum merk lokal yang berhasil membuatku jatuh cinta dan nekat menanyakan aroma hingga brandnya pada mbak - mbak yang kutemui di lift yang saat itu wanginya membuatku berdecak kagum. Kuraih botol hitam itu dan menyemprotkannya ke seluruh bajuku dari jarak lima senti sebelum berputar untuk merasakan aromanya mengambang di udara sekitar dan seolah memelukku hangat. Brand lokal memang the best.
Ponselku berdering, nama bosku tertera di sana, Mr. K. Segera aku menjawab panggilannya.
“Hello, good morning, Sir.”
“Danish, good morning, Darling.” Bukan suara Bariton Mr. K yang membalas sapaanku di sana, melainkan suara sahabatku Tities.
“Hey, Tiss... Wassap? Is everything okay?”
Suara Tities sih terdengar ceria, kemudian aku mendengar ia tengah menegur anak pertama mereka.
“Kakak, no, no, no! Sorry, Dan, Kalula nih ada aja ulah dia ngusilin adiknya. Hmm, gue mau bilang ini Dan, Kukuh nggak ngantor hari ini. Dia ketularan flu dari Kalula. Katanya mau ada meeting C-level ya? Minta running tanpa dia, Dan. Kalau urgent banget lo bisa telepon.”
Aku menjepit ponsel di bahu dan telinga kiri, sambil mencari sepatu yang akan kukenakan hari ini, masih berbicara dengan Tities di telepon.
“Well noted, Tis. Ada lagi?”
Kuraih tas Prada pemberian mama di ulangtahunku setahun lalu, mengambil tas laptop dan bersiap pergi.
“Hmm...lo serius masih mau bertahan dengan ‘psikopat’ itu?”
Aku berdiri tegak, menghela napas mendengar pertanyaan sahabatku di pagi hari.
“Serius deh, gue masih jadi topik makan malam kalian di rumah ya?” Alih – alih menjawab pertanyaanku, Tities justru tertawa usil.
“Dia nggak tega lihat lo kelimpungan gara – gara Barry. Gue bahkan pernah angkat telepon dari dia waktu Kukuh mandi, benar – benar...crazy.” Tities berbisik saat menyebutkan kata terakhir, mungkin masih ada Kalula di sekitarnya.
Aku meraih kunci mobil dan mematut diri sekali lagi di standing mirror sebelum keluar kamar dan bersiap berangkat menuju kantor.
“Nggak tahu, Tis. Gue serba salah, sshhh—masih pagi ah. Gue nggak mau merusak mood.” Membicarakan Barry selalu sukses membuatku jengah, lelah dan menguras energi.
Tities menyalahkanku yang sudah mulai jarang mengajaknya nongkrong atau sekedar mampir ke rumah mereka untuk sekedar cerita – cerita, sehingga ia kerap bertanya pada suaminya kabar tentang diriku. Aku hanya mengerti bahwa sejak memiliki dua anak, Kalula dan Kaisar, kesibukan Tities meningkat sebagai ibu rumah tangga dan pengusaha. Suaminya saja sering komplain agar ia mengurangi kesibukan mengurus usahanya yang sudah memiliki manajemen sendiri saat ini.
“Eh, Dan, ada reuni nih. Lo beneran nggak mau datang kali ini?”
Tombol lift telah kutekan, tak lama pintu lift terbuka di hadapanku. Namun pertanyaan Tities membuat langkahku berhenti hingga salah satu penumpang lift bertanya apakah aku hendak masuk atau tidak, aku mengangguk dan meminta maaf hingga akhirnya merespon pertanyaan Tities yang masih tersambung di telepon denganku.
“Nggak, Tis. Elo?”
“Mau sih, tapi lihat nanti deh. Kalau Kaisar bisa ditinggal, kasian kalau mau dibawa – bawa takut nggak nyaman.”
“Salam aja buat yang lain, kalau lo datang.”
“Hmm..Salam terusssss, datang dong sekali – kali.” Ucapnya, aku hanya mendengkus sambil lalu.
“Gue sudah mau jalan, Tis. Semoga Mr. K lekas sehat ya.”
“Oke, thanks, Dan.”
Tities selalu bertanya alasanku enggan menghadiri reuni SMA yang dibuat setiap tahun itu, bahkan kadang dua kali dalam setahun yang biasanya reuni tambahan diadakan dalam rangka buka puasa bersama di bulan Ramadhan. Tapi pertanyaan itu tidak pernah kujawab, aku selalu mengelak sebisaku dan Tities tidak pernah bertanya lagi, hanya mengajak dan membiarkanku menolaknya seperti biasa.
Sepertinya dia menduga aku menghindari seseorang tapi dia nggak pernah bertanya lebih jauh.
Aku mampir di kedai cepat saji untuk membeli sarapan secara drive thru, sambil bernyanyi lirih lagu Taylor Swift yang berputar dari saluran radio yang tidak pernah kuganti – ganti itu. Giliranku memesan, aku memilih egg and cheese muffin, breakfast wrap dan segelas kopi.
Mobil yang kukendarai maju untuk membayar, tanpa sengaja mataku melihat ke arah di sisi kanan dan pantulan di kaca spion seketika membuatku membeku sejenak. Pengendara yang berada tidak seberapa jauh dari mobilku saat ini adalah pria yang sama yang kulihat di Airport LAX beberapa hari lalu. Aku hampir saja memutar leher demi melihat lebih jelas namun panggilan dari petugas kasir menyadarkanku untuk melakukan scan pada mesin EDC yang telah ia sodorkan.
Kebetulan kedua.
Lagi, kami bertemu dalam sebuah ketidaksengajaan. Entah apakah dia masih mengingatku atau tidak. Apakah senyumnya masih semanis dulu, atau berubah menjadi lebih bijak dan kebapakkan. Ada bagian dari diriku ingin memastikan hal – hal di atas, namun bagian paling minder dalam hatiku melarangnya. Bersebrangan dengan keinginanku untuk menyapa, hatiku kecilku yang masih merasa malu (padanya) itu justru ingin segera beranjak dari sini, meski aku yakin dia tidak akan pernah menyadari keberadaanku. Sejak dulu hingga kini, aku hanya manusia lain yang bersisian dengannya dan tidak pernah berhasil mencuri perhatiannya barang secuil. Kecuali, untuk hari itu. Aku menggelengkan kepala, guna mengusir ingatan yang hanya membuatku semakin terjerembab dalam jurang bernama rasa malu tak berujung.
Selesai melakukan transaksi, aku kembali melajukan kendaraan sambil memperhatikan pengendara yang kukenal di belakang sana. Semoga kami kembali bertemu di segala ketidaksengajaan lainnya.
Namun aku melihat penumpang yang duduk di sebelah lelaki itu, wanita muda yang mungkin saja adalah istrinya. Kuhela napas dan kembali mengucapkan mantra, “leave your past behind, Dan.”
I don't wanna look at anything else now that I saw you
(I can never look away)
I don't wanna think of anything else now that I thought of you
(Things will never be the same)
I've been sleeping so long in a twenty-year dark night
(Now I'm wide awake)
And now I see daylight (daylight), I only see daylight (daylight)
I only see daylight, daylight, daylight, daylight
I only see daylight, daylight, daylight, daylight
Taylor Swift – Daylight.
Sejak diterima bekerja di Turangga Herba, aku memutuskan untuk keluar dari rumah tante Marina—adik papa—yang telah merawatku sejak SMA dan mencari tempat tinggal yang berjarak tidak lebih 1 km dari kantorku. Karena mama dan papa lebih suka tinggal di kampung halaman papa yang berudara lebih dingin seperti Purbalingga, mereka hanya memiliki rumah di sana. Sementara pekerjaan membuat kedua orangtuaku berkeliling Dunia sesuai Negara tempat papaku ditempatkan. Sehingga sejak lulus kelas 9, aku dan Evan mulai menetap di Jakarta dan tinggal bersama tanteku hingga kami cukup mandiri untuk tinggal sendiri. Karena di Purbalingga sudah tidak ada eyang yang biasanya menjaga kami setiap kami pulang dalam rangka liburan di kala mengikuti pekerjaan papa yang selalu berada di luar Negeri.
Praktis aku hanya perlu waktu kurang dari lima belas menit untuk tiba di kantor dan membuat hidupku seperti berada dalam gelembung bernama rutinitas kantor – rumah – kantor –nge date – rumah Evan – kantor – kelas Yoga - kasur. Sesekali aku ikut hangout bersama beberapa teman kantor jika sedang tidak kencan dengan Barry yang pekerjaannya memang membuat ia sering out of town. Namun aku tidak pernah betah berlama – lama di luar apalagi jika mereka sudah mulai bergosip atau saling menggoda meski aku tahu beberapa di antara mereka telah berumah tangga. Seolah perselingkuhan menjadi hal yang umum untuk dipertontonkan dan aku merasa tidak nyaman.
Dan setiap hangout di mana ada Arthur di dalamnya, Barry akan meradang. Aku malas bertengkar hingga akhirnya memilih mengalah dan pulang agar dia lebih tenang. Kami jarang bertemu karena pekerjaannya tapi setiap bertemu hanya ada pertengkaran – pertengkaran yang membuatku muak.
Aku selalu menghabiskan sarapan di dalam mobil jika Barry sedang tidak menginap, kalau ada dia, biasanya sarapan sudah tersedia di minibar setiap aku selesai mandi.
Setelah memberi kabar pada Barry bahwa aku baru saja tiba di kantor dan ia akan membalasnya nanti ketika sudah bisa memegang hape, yang mana aku sangat memaklumi hal itu. Aku turun sambil membuang sampah bungkus makanan yang baru saja kuhabiskan. Sambil berjalan menuju lobi, dalam pikiranku mulai menyusun to do list yang harus kulakukan hari ini, minus kehadiran Mr. K yang seharusnya menghadiri rapat C-level yang akan dimulai jam sepuluh nanti.
Kadang aku enggan menghadiri rapat para pejabat itu tanpa kehadiran sosok Mr. K. Menjadi satu – satunya wanita dalam ruangan berisi bapak – bapak yang kadang bercandaannya tidak terfiltrasi itu membuatku tidak nyaman. Jika ada bosku, mereka lebih sungkan untuk bercanda seksis apalagi yang nyerempet 21+. Meski secara penampilan mereka tampak seperti orang berpendidikan dan bermartabat, jika diberi kekuasaan, karakter asli mereka akan terlihat jelas. Bahkan ada beberapa orang yang terang – terangan mengajakku kencan meski aku mengenal istri – istri mereka. Gila memang.
Jika Barry tahu, bisa disikat habis semua lelaki yang berusaha menggodaku. Kadang aku merasa tenang dengan sikap overprotektif dia, membuat tidak ada lelaki genit yang mencoba mendekatiku karena tahu temperamen kekasihku seperti itu. Senggol, bacok. Arthur yang tadinya masih mencoba peruntungan dengan menyindir tentang ‘jatah mantan’ pun sudah tidak berani menyinggung hal itu sejak dikonfrontasi oleh Barry yang sedang datang untuk menjemputku bersamaan dengan godaan Arthur yang terang – terangan.
“Good morning, Dan.”
“Pagi Mbak Danish.”
“Halo, Bu.”
Sepanjang jalan aku mengangguk dan membalas sapa tiap orang yang berpapasan denganku di perjalanan menuju ruangan. Begitu membuka pintu, aku melihat Erlangga yang juga baru datang, ia menoleh dan menyapaku ramah.
“Mr. K lagi sakit, kita meeting tanpa beliau.” Ucapku, Erlangga mengangguk mengerti.
Syukurlah Mr. K akhirnya memperkerjakan seorang asisten untuk membantu keperluannya yang bersifat privat. Karena jujur saja, aku sudah kewalahan dengan segala schedule pekerjaan hingga ke urusan pribadinya yang dulu kutangani sendiri. Sekarang, aku berbagi tugas dengan Erlangga dan Tiwi—asistenku yang dipekerjakan Mr. K untuk membantu beberapa pekerjaanku yang remeh.
Erlangga fresh graduate, untungnya cepat tanggap sehingga tidak terlalu effort mengarahkannya. Berbeda dengan Tiwi yang meski berpengalaman setahun di bidang administrasi, masih lebih lembat dibanding Angga, sehingga terkadang aku gemas sendiri dan menyuruhnya mencatat tiap poin penting yang harus dilakukan.
Kulihat di mejanya Tiwi, barang – barang miliknya sudah berada di sana, tapi sosoknya nggak ada di ruangan ini. Aku bertanya pada Erlangga sambil menunjuk meja Tiwi.
“Biasa, Mbak, sarapan sama ayang di tangga EXIT.”
Aku tertawa mendengar jawaban Erlangga. Tiwi berpacaran dengan salah satu anak GA, kebetulan dia masuk kesini juga karena bantuan pacarnya itu yang memohon padaku untuk menempatkan kekasihnya bekerja di sini sebagai asistenku. Sudah tepat memang, untuk urusan profesional jangan pernah menggunakan kata ‘kasihan’ atau ‘membantu’ karena sangat tidak menolong sama sekali ketika sudah terjadi.
“Kamu sudah sarapan belum, Ngga?”
“Sudah dong, Mbak. Nggak bareng ayang tapi.”
“Haha, julit kamu!” Angga terbahak menanggapi tudinganku.
Erlangga juga punya pacar, tapi tidak bekerja di sini. Gadis cantik yang ia kenal melalui Bumble sekitar beberapa bulan lalu itu sudah resmi berpacaran dengannya. Kadang saat jam makan siang, mereka bervideo call dan Angga sudah memperkenalkanku pada kekasihnya yang bernama Aira.
Seharian ini waktuku tersita dengan pekerjaan dan sedikit cekcok dengan Barry. Hal remeh mengenai pernikahan kakaknya yang akan diadakan tak lama lagi. Bahan untuk bajuku sudah sampai siang tadi dari mamanya, namun aku merasa bahan itu akan sangat kurang untuk membuat sebuah baju mengingat ukuran tubuhku yang tidak masuk dalam rata – rata tinggi wanita Indonesia. Sehingga aku mengusulkan untuk mencari bahan lain yang mirip atau skenario terburuknya, aku akan membeli baju jadi dengan warna senada.
Hal sepele itu direspon berlebihan oleh Barry yang menganggap aku tidak menghargai pemberian keluarganya. Aku sudah sampaikan ukuran tubuhku, bukan kah harusnya mereka menduga aku akan memerlukan bahan lebih. Jadi, kurespon saja ocehan pacarku itu dengan kalimat sarkas penutup.
“Ya, nanti aku buat bikini saja dari bahan itu.” Dan berakhir dengan emosinya yang memuncak sambil berkata dengan penuh ancaman untuk menunggunya kembali ke Jakarta.
Aku menutup telepon sambil meleletkan lidah, mengundang tawa Erlangga dan Tiwi.
“Tiada hari tanpa ribut ya, Mbak.” Ujar Tiwi, aku meletakkan punggung tangan di dahi dan membelai pelan di sana, sambil menunjukkan ekspresi kelelahan. “Tiwi sih nggak sanggup kayak gitu terus.”
“Sedikit memacu adrenalin, honestly. Tapi lama – lama, ngeri kena serangan jantung aku.” Kedua orang yang bekerja di ruangan yang sama denganku kembali tertawa.
Karena hubunganku yang terlalu menegangkan dengan Barry juga, aku akhirnya mengambil kelas Yoga. Ini adalah saran dari salah satu staf staf T&D, Wenny, yang mengajakku Yoga karena menurut penelitian Yoga memang baik untuk kesehatan fisik dan mental.
Dan malam ini, ada jadwal kelas yang harus kuikuti. Aku sudah janjian dengan Wenny untuk pergi ke studio Yoga bersama, dia barusan mengirim pesan sedang siap – siap untuk turun dan menunggu di depan minimarket. Aku memastikan pekerjaan Erlangga dan Tiwi done, juga tidak ada list yang terlewat kecuali dokumen yang membutuhkan tanda tangan Mr. K, aku membawanya untuk mengunjungi beliau besok pagi di rumahnya. Tentu setelah meminta izin padanya untuk berbagai pengajuan yang sudah beberapa hari terlewat olehnya itu di meja.
Kalula dan Kaisar selalu excited tiap aku berkunjung. Kaisar bahkan sudah menyatakan cinta padaku, oohh—andai saja kamu berusia setidak – tidaknya tiga puluh tahun, Sayangku Kaisar. Aku tidak akan menolak dinikahi oleh anak seorang founder dan CEO PT. Turangga Herba, Tbk. Iya, sejak melantai di Bursa, Turangga Herba sudah go public. Tapi tentu saja, pemegang saham terbesar mayoritas masih bosku yang baru saja berusia empat puluh tiga tahun itu.
Baru saja keluar dari lift dan mencari – cari sosok Wenny yang katanya sudah menantiku di sana, panggilan masuk mendistraksiku lagi. Aku merogoh ponsel dalam tas dan melihat nama Barry tertera di sana.
“Kenapa lagi, Yang?”
“Besok aku pulang, kita cari bahan tambahan sama – sama. Titik.”
“Masih ada waktu—“
“Nggak. Jangan mepet – mepet, lebih baik sudah dapat baju yang seragam lebih cepat daripada kamu pakai baju dengan warna yang beda.”
Aku menghela napas, kulihat Wenny melambaikan tangan ke arahku, aku mengangguk meresponnya sambil terus berjalan menuju tempat Wenny berada.
“Kenapa reaksi kamu gitu? Kayak nggak suka dengar aku pulang lebih awal.”
Di sini aku memutar mata. “Nggak gitu, aku baru banget turun ini. Ada kelas Yoga sama Wenny.” Aku berujar, dengan nada suara sarat kelelahan.
Yoga memang membantuku setidaknya menahan emosi untuk tidak bertingkah seperti remaja puber yang baru mendapatkan menstruasi di hari pertama. Tapi berbicara dengan Barry selalu semelelahkan ini.
“Memang kamu nggak senang kan kalau aku pulang. Kamu lebih senang aku jauh, biar bisa puas nongkrong bareng teman – teman kamu itu.”
“Please deh, Yang, aku capek banget hari ini. Dan masih ada kelas olahraga yang harus aku ikuti. Jadi, kalau kamu bermaksud untuk menguras energiku dengan telepon ini, kamu simpan dulu aja untuk malam nanti.”
“Pulang kalau capek, kamu malah nyari penyakit ikut kelas – kelas Yoga, nambah – nambahin aktifitas aja. Badan kamu sudah bagus, nggak perlu olahraga.”
“Thanks bilang badanku bagus. Tapi, aku beneran sudah mau berangkat nih. Sudah ya?”
“Oke. Besok kosongin jadwal jam 5, I’ll pick you up.”
“Hmm.”
“Aku nggak dengar jawaban kamu.”
“Iya, Sayang.”
“Oke. See you, Honey.”
“Dagh.”
Begitu tiba di hadapan Wenny, aku melebarkan senyum dan merangkul bahunya seraya mengajak dia ke tempat aku memarkirkan mobil. Dalam kepalaku sudah menduga kalau kepulangan Barry akan bertuntut pertengkaran lain yang harus kuhadapi, he’s gonna beat the bond. Or did
©
Part 2 – Give It a Go
Sebuah tangan menangkup dadaku yang tidak mengenakan bra di balik kamisol berwarna milo yang sedang kugunakan. Tangan itu bergerak memberi remasan pelan, membuat tenggorokanku melenguh tanpa sadar. Kekehan kecil yang serak terdengar dari belakang kepalaku. Tanpa menoleh aku sudah tahu siapa pemilik tangan usil yang mencoba merangsangku pagi ini.
“Good morning, Sweetheart.” Ucapnya, sebelum memberi jilatan lembut di daun telingaku.
Aku bergidik, merasakan geli akibat perbuatannya. Kemudian aku berbalik dan mendapati Barry berbaring di sana dengan wajah ngantuk, kemejanya sudah tergantung di stand hanger yang terbuat dari kayu di sudut ruangan kamar tidur ini. Di tubuhnya hanya melekat kaos oblong putih dan celana bahan abu – abu yang bagian tengahnya tampak mengembang, membuatku menutup wajah dengan jari – jari secepat kilat begitu menyadarinya.
“Nggak kangen aku ya?” Ia mengendusi wajahku sebelum akhirnya berhasil menjauhkan jari – jari yang menutupi wajahku untuk mengecup ringan di atas bibir yang masih terkatup milikku.
“Tiba jam berapa?” Suaraku masih parau terdengar.
“Setengah enam. Kamu snooring.”
“Liar! Gimana bisa puluhan kali we sleep together dan baru kali ini kamu bilang aku ngorok.” Aku memukul pelan dadanya, ia terkekeh.
Melihat wajahnya yang lelah dan sedikit terhibur dengan mengejekku, aku menduga dia sudah tidak lagi marah soal bahan yang kemarin menjadi topik pertengkaran kami.
“Bisa saja, kemarin – kemarin aku terhipnotis dengan aroma—hm apa ini, Sandalwood? Hmm aroma parfum kamu lah pokoknya.”
“Katanya mau jemput pulang kantor.” Tanganku memainkan bagian depan kausnya, menekan – nekan lembut perutnya yang keras.
“Aku bisa ganti penerbangan tadi malam. Sekalian mau kasih surprise dan mau minta maaf sama kamu karena kemarin sudah marah – marah.” Ia menyingkirkan helaian rambut yang masih berantakan di kedua sisi wajahku.
Tities menjulukinya psikopat karena sikap Barry yang sangat mudah berubah. Namun selalu berulang terjadi. Walaupun Psikopat tidak menggambarkan hal yang terjadi pada Barry, dia lebih seperti bad anger management saja. Dan kadang, memang mudah memaafkannya jika dia bersikap lembut seperti saat ini.
Barry tanpa temperamennya yang buruk memang manis plus menggoda untuk dibiarkan begitu saja, jadi aku menarik kaus putihnya melewati kepala, ia menyeringai senang.
Kalau saja pekerjaan dan komitmenku sebagai karyawan tidak segera membuat otakku kembali aktif tersadar dari segala aktifitas melenakan ini, rasanya aku hanya ingin berbaring bersama Barry seharian. Mengendusi aroma tubuhnya yang masih terasa seperti sebotol Ambar Janma. Kadang – kadang ia beraroma Sauvage dan lebih sering AXE Coklat, membuatku menahan diri sekuat tenaga agar tidak menjilati lehernya seperti kucing kelaparan.
Aku melepaskan pelukannya lebih dulu, ia menggeram lirih, memprotes tindakanku.
“I have to work.”
“Ambil cuti dong sehari, dua minggu nih baru ketemu lagi.”
Aku berhasil duduk sambil menutupi tubuh bagian depanku dengan selimut, Barry melayangkan tatapan tidak setuju terhadap apa yang kulakukan.
“Schedule-ku padat banget hari ini, Yang.”
“Janji kamu untuk beli bahan baru?”
“After work kan?”
“Jam 5, oke. Aku bisa jemput kamu, aku antar sekalian ya?”
“Aku bakalan mobile, Sayang.”
Barry mengalungi leherku dan memberi ciuman panjang sebelum melepaskannya. “Aku stay sampai siang di sini, boleh? Aku butuh tidur banget.”
“Oke.”
Alih – alih melanjutkan tidur, Barry justru bangkit dari kasur dan memakai pakaiannya. Saat aku bertanya, ia menjawab sambil mengerlingkan sebelah mata. “Buatkan sarapan untuk kamu.”
Dan begitu lah kami. Bertengkar, baikan, seks, bertengkar, baikan, bertengkar lagi. Melelahkan. Tapi paling nggak, aku mendapatkan kepuasan pagi ini, sedikit menghibur mengingat hari ini jadwalku akan sangat padat.
Aku tidak mengemudikan mobil menuju kantor saat ini, melainkan rumah bosku, Kukuh Turna Turangga. Berletak di kompleks perumahan elit yang ia bangun bersama teman – teman kayanya dan kompak bertetangga. Alasan sederhana, hanya agar mereka dapat tetap bermain tenis atau badminton tanpa berjauhan. Dan juga mengharapkan anak – anak mereka dapat berteman seperti ibu ayahnya, sungguh konsep persaudaraan ala manusia berdarah sultan yang tidak dapat kumengerti.
Kaisar menyambutku begitu pintu terbuka, merentangkan kedua tangan kecilnya seraya mengucapkan namaku, “Onti Dadan—“
Ajaran sang ibu, nyonyiah Turna Turangga yang tak lain adalah sahabatku juga.
“Haiii Kaiiii—how are you, Boy?” Aku berjongkok, mensesejarkan diri dengan tinggi badan Kaisar yang hanya selututku.
Kukosongkan kedua tangan yang penuh dengan laptop dan berkas dengan meletakkan semua itu di lantai dan memberikan pelukan hangat pada Baby Boy calon pewaris Turangga Herba ini yang sangat bersemangat melemparkan diri ke dalam pelukanku. Si kecil imut dan menggemaskan ini adalah penggemarku nomor satu, bagaimana bisa aku menolak pelukannya yang hangat.
“Semangat banget, Kai, sudah sarapan belum?”
“Mam—Kai adiii mam.”
Aku dapat melihat sudut bibirnya yang masih menyisakan sedikit remah – remah sarapan paginya dan kulayangkan ciuman di kedua pipi tembamnya bergantian. Tities melangkah mendekati kami sambil memanggil si bungsu Kai yang ternyata langsung kabur begitu mendengar namaku disebut ART mereka.
“Semangat banget mau nemuin tante Dandannya.” Ujar Tities, aku mendongakkan kepala menyapanya. “Ayo ajak tantenya ke dalam, Dek.”
“Ayoooo, Ontiii.”
Bersusah payah aku meraup laptop dan berkas dengan tangan kiri, karena tangan kananku ditarik Kai dengan tidak sabar untuk masuk ke dalam rumah mereka.
“Kaluuulllll.” Aku melambaikan tangan yang penuh dengan bawaan pada anak sulung bosku, Kalula.
Ia melipat kedua tangan di dada sambil menunjukkan ekspresi tidak suka.
“Kakak Lula, Ontiii.. Bukan Kalull.” Ucapnya protes, Tities melebarkan kedua matanya padaku, membuat kedua sudut bibirku berkedut geli.
“Iya Kakak Lula, kalau disingkat jadi Kalul.”
“Huuh…Kakak aja deh, Onti.”
Gaya bossy-nya tidak menurun dari Mr. K, tapi karena memang dia sudah terlahir bossy. Aku mendekati Kalula dan memberikan pelukan singkat setelah berhasil meletakkan barang bawaanku di atas meja ruang tamu, masih dengan Kai yang menggandeng tanganku mesra.
“Hai, Dan. Pagi banget datangnya. Sudah sarapan?” Mr K bergabung dengan istri dan dua anaknya di ruang tamu masih mengenakan sarung kotak - kotak merah hitam dan polo shirt keluaran Hush Puppies.
Bukannya aku yang datang terlalu pagi, ini sudah jam delapan. Hanya saja bosku yang terlalu santai, beliau memang terbiasa datang ke kantor jam sembilan ke atas dan tidak ada yang berani menegur, secara, dirinya lah yang punya kantor.
Aku menganggukkan kepala membalas sapaan serta menjawab pertanyaannya, “sudah, Pak.”
Mr. K menatap wajah istrinya seraya mengerling usil. “Kalau Danish sarapan di rumah, berarti Barry nginep, Ma.”
Aku memejamkan mata, menahan diri untuk tidak mengumpat dalam hati pada sosok pria yang sangat kuhormati ini, sementara istrinya terkekeh genit sambil menepuk bahuku. Dan ngomong - ngomong, pasangan suami istri ini sudah tidak canggung saling memanggil mama papa di hadapanku sejak Kalula lahir.
“Bapak baru mau sarapan ya? Saya tunggu di sini saja kalau gitu, Pak. Mau pacaran sama Kai dulu.” Mr.K memberikan cibiran seraya melayangkan tatapan iseng pada putranya.
“Kai, mau mam sama tante Danish?”
Dengan semangat ‘45 Kai menganggguk pada pertanyaan papanya, spontan Tities menertawakan jobdesc dadakan yang diberikan suaminya padaku. Aku meraup Kai dalam gendongan dan mengajaknya duduk di atas sofa.
Mr. K sudah beranjak menuju ruang makan diikuti si sulung Kalula.
“Belum kelar makan itu dia, Dan.”
“Yaudah sini, gue suapin aja.” Aku meminta mangkuk kecil milik Kai pada Tities, namun Tities justru mengambil Kai yang sudah duduk manis di pangkuanku.
“Kai mam sama Mama dulu ya, Onti Dandan-nya kan mau kerja.”
“Hmm.” Kai mengangguk mantap, kemudian ia melambaikan tangan kecilnya padaku. “Papay, Onti–Kaii mam yuu.”
“Oke deh, Ganteng. Nanti kita main yaaaaa.” Kai kembali mengangguk antusias pada ajakanku, Tities pun beranjak menuju ruang makan dan memintaku menunggu suaminya selesai sarapan. Tak lama kemudian segelas teh hangat tersidang untukku, aku mengucapkan terima kasih pada mbak Susi, asisten rumah tangga di sini.
Sambil menunggu Mr. K, aku membuka email dan mulai bekerja sambil memilah job yang harus kulemparkan pada Tiwi maupun Erlangga.
Melihat keromantisan pasangan ini, membuatku teringat kisah cinta kedua orangtuaku sendiri. Sering aku mendengar cibiran tentang kehangatan pernikahan yang biasa hanya berlangsung tiga hingga lima tahun dan setelahnya sepasang suami istri tetap bersama hanya karena komitmen dan terikat pernikahan. Namun, hal itu tidak terjadi pada Tities dan bosku, juga mama dan papaku.
Saat kecil, aku ter-influence oleh kisah romantis kedua orangtuaku. Mama sering bercerita tentang bagaimana mereka bertemu. Kisah yang manis dan membuat iri semua orang yang mendengarnya.
Mama dan papa adalah cinta pertama masing - masing dan keduanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Itu terjadi ketika keduanya sama - sama berkuliah di salah satu perguruan tinggi. Papa adalah kakak tingkat mama, mereka bertemu di acara ospek. Papa yang posisinya saat itu adalah senior mama, sengaja mengerjai gadis pujaannya agar bisa dekat. Gayung bersambut, mama juga sudah tertarik pada papa sejak pandangan pertama.
Kemudian saat mama lulus, papa menikahinya dan mengajak mama ke luar Negeri saat sedang melanjutkan studi. Dan hubungan mereka hingga detik ini selalu romantis, saat aku bertanya pada kedua orangtuaku soal rahasia kelanggengan hubungannya itu, mama menjawab “never asking why.” Sedangkan papa, berkata “never say ‘no’.”
Hubungan yang dewasa dengan mentalitas sehat membuat hubungan itu make sense awet memanjang hanya dengan satu prinsip kecil yang mungkin tidak bisa diterapkan pada semua orang. Bagaimana jadinya jika mama menikahi seorang penjudi dan peselingkuh, ‘why’ akan selalu penting ditanyakan di tiap - tiap kejanggalan yang terjadi. Dan bagaimana jika papa menikahi perempuan manja yang tidak bisa memilah antara keinginan pribadi dengan tanggung jawab, tidak bisa menempatkan diri pada hak dan kewajiban, mengatakan ‘no’ adalah penyelamat keduanya dari kehancuran sebab keegoisan pribadi.
Aku tertampar pada realita bahwa sosok seperti papaku terhitung langka untuk kutemukan dan aku bukan lah mama. Sehingga mustahil bagiku untuk tidak mempertanyakan ketika pasanganku melakukan hal - hal yang kuanggap tidak tepat.
Jatuh cinta dan menikah dengan laki - laki yang kucintai adalah impian gadis kecil bernama Danishtia Adinda saat umur sembilan tahun, yang ternyata kubawa hingga ke bangku SMA dan terjebak dalam perasaan manis–menyakitkan–penuh malu namun tidak pernah kusesali bernama puppy love. Dan cinta pertamaku itu adalah bayang - bayang yang tidak pernah pergi ketika aku merasa sendiri, lelah dengan kesendirian, bertengkar dengan Barry dan bahkan saat aku mulai muak menghadapi Dunia ini.
Cerita mama tentang kisah cintanya menjadi dongeng yang ingin kuwujudkan dengan keras kepala hingga aku terperangkap dalam perasaan semu yang hanya kumiliki sendiri. Suatu cerita yang menjadi akhir dari dongeng masa kanak - kanak yang harus kututup dengan hati penuh rasa malu. Bukan hanya karena cinta tak berbalas, melainkan buah dari kekeraskepalaanku itu lah yang mengacaukan segalanya. Dulu, saat aku masih seorang gadis naif yang berpikir semua anak laki - laki menyukai gadis berkulit putih, wajah kebule - bulean serta rambut lurus hitam milikku. Aku pernah berpikir bahwa hanya dengan menjadi cantik dan istimewa aku dapat menjerat siapa saja, ternyata aku salah. Sementara malam itu tidak pernah kembali dan mengembalikan apa yang telah ia ambil dariku. Dari masa remajaku dan dari airmata yang tumpah karena perasaan kecil hati dan tertolak yang melandaku luar biasa, malam itu.
“Sebenarnya elo kan sudah naik level jadi Sekretaris Corporate, Dan, bukan Sekretaris Pribadi gue lagi. Kayak gini - gini mending Erlangga yang lo suruh mobile.” Aku terkejut atas kedatangan Mr. K yang membuyarkan lamunan sesaatku.
Ia menertawakan reaksi terkejutku, namun meminta maaf.
“Angga sedang saya minta kerjakan hal lain, Pak. Baca ulang soal kontrak – kontrak subdist dan beberapa mekanisme marketing. Deadline Jumat soalnya.”
Aku mendongak, kemudian Mr. K menyuruhku pindah ke ruang kerjanya dan berkata kami akan bekerja dari sana. Aku mengikuti langkah bosku menuju ruang kerja, menyapa Kai yang sedang bermain di playroom bersama Kalula dan menyapa Tities juga yang sedang menemani anak mereka di sana sambil nge-scroll ponsel.
Tak lupa, mbak Susi membawakan tehku ke ruang kerja juga bersama beberapa penganan.
Aku duduk di kursi yang disediakan Mr. K karena sejak pandemi kami lebih sering bekerja di rumahnya atau di rumah masing - masing jika tidak terlalu urgent.
Kuberikan setumpuk berkas yang kubawa untuk ditandatangani, ia menghela napas hanya dengan melihat tumpukan itu di atas meja kerja.
“Oiya, Dan, lo tahu Maju Jaya bengkel langganan kita sudah menyatakan diri pailit?”
“Belum.”
Aku menatap Mr. K yang masih terdistraksi layar laptop, menunggu ia melanjutkan penjelasan atas perkataannya sesaat tadi.
“Humm…jadi, kita sudah mengakhiri kerjasama dengan mereka.”
Baik. Aku masih menunggu ia menuntaskan perkataannya.
“Nah, gue sudah dapat gantinya sih, tapi–lo bisa nggak kesana dan make a deal?”
“Hm?” Aku menaikkan kedua alis, mungkin bosku lupa, mengurus hal demikian bukan salah satu jobdesc-ku melainkan divisi GA dan kami memiliki staf yang kompeten di sana.
Mr. K tertawa melihat reaksiku yang mungkin terlihat bingung.
“Aris sedang paternity leave, two weeks. Dan staf-nya…yah mending elo deh yang kesana. Jadi kalau ada nego, bisa direct info ke gue.” Saat Mr. K menyebutkan nama Manager GA, aku teringat tentang informasi di portal perusahaan, dia memang baru saja menyambut kelahiran anak pertamanya.
“Saya banget nih, Pak? Maksud saya, ada bagian operasional juga yang bisa dikirim.”
Mr. K berdecak tidak sabar. “Nggak deh, mending elo. Biar enak juga negosiasinya. Jadi, bengkel ini juga punya carwash dan gue berniat propose kontrak soal promosi untuk karyawan kita. Perawatan kebersihan bukan tanggung jawab kantor, melainkan PIC pemegang inventaris ya, tapi kalau kita dapat diskon kan bisa mengarahkan staf pakai jasa mereka. Nego for goods lah. Keuntungan bersama.”
Aku mendengar dengan baik yang disampaikan Mr. K, kemudian menyanggupi permintaannya. Dia terlihat puas dan kembali melanjutkan pembicaraan.
“Tahu nggak, nama brand-nya apa?”
Aku menggeleng seraya mengangkat kedua bahu dan menatap wajah geli Mr. K yang menahan tawa sebelum memberitahu jawaban yang sedang ia simpan sendiri.
“Nama bengkelnya ‘BENERIN’, nama carwash-nya ‘CUCIIN’. What a joke!”
Spontan tawaku pecah mendengar perkataan Mr. K, “serius, Pak? Melawak banget owner-nya.”
Mr. K menggelengkan kepala. “Kayak simple banget gitu cari nama, nggak mau ribet.”
“Atau malas cari nama yang lebih proper.” Sambil berkata demikian, aku menggelengkan kepala tidak percaya.
“Nanti gue kasih alamatnya, kalau bisa sih hari ini aja lo kesana, harusnya minggu ini ada beberapa armada yang service. Tapi baru dapat kabar bengkel langganan kita pailit gara - gara staf keuangannya terlilit judi tuh. Parah banget sampai bawa kabur uang perusahaan.”
Aku cukup terkejut mendengar berita ini, karena mobilku juga difasilitasi untuk melakukan perawatan di bengkel yang ditunjuk perusahaan. Memang bukan bengkel resmi dari brand tapi bengkel tersebut memang kompeten dan telah bekerjasama dengan perusahaan kalau aku nggak salah sejak tujuh tahun yang lalu. Dan staf keuangan yang dimaksud Mr. K barusan juga salah satu orang yang cukup aku kenal dengan baik, Beno namanya.
“Okey, tapi soal Net World, gimana?”
“Erlangga aja yang minta kesana. Lo buat agreement sama pemilik bengkel, gue kenal dari Gemilang. Bilang saja lo staf gue, nanti dia paham.”
“Oke.”
©
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
