Chrono Divide - [Prolog & Part 1 - Jakarta, Aku Datang ]

20
10
Deskripsi

Sepuluh tahun menjalin cinta, Puti yakin masa depannya sudah tertulis bersama Rian. Ia telah menunggu, menemani, dan percaya. Hingga pada suatu malam, semuanya runtuh: Rian memutuskannya dengan alasan tak lagi melihat Puti di masa depannya—dan tak lama kemudian bertunangan dengan Sophia, perempuan dari keluarga konglomerat.

Tak hanya patah hati, Puti juga harus menanggung malu. Semua orang tahu mereka pasangan yang “tinggal menunggu waktu.” Tapi ternyata, waktu justru mengkhianatinya.

Dalam luka yang...

Prolog

Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar untuk mencintai seseorang. Apalagi jika cinta itu ditanam sejak usia belasan, disiram dengan harapan, dirawat dalam kepercayaan, dan disiapkan untuk masa depan yang katanya tinggal menunggu waktu. Bagi Puti, Rian bukan hanya sekedar pacar. Ia adalah sahabat, tempat bersandar, dan satu-satunya pria yang ia lihat dalam setiap rencana hidupnya. Ia percaya, dengan sabar dan kesetiaan, segalanya akan berujung pada satu momen yang indah: lamaran, restu, dan pernikahan.

Namun, waktu ternyata tidak selalu adil kepada mereka yang setia.

Tahun kesepuluh hubungannya dengan Rian tidak diwarnai kejutan manis atau percakapan tentang hari bahagia. Justru sebaliknya. Rian semakin jauh, semakin sering sibuk, dan semakin sering meminta Puti memaklumi jika dirinya mulai alpa menyapa tiap pagi. Puti, seperti biasa, mencoba mengerti. Ia menepis rasa curiga, membungkam naluri yang berteriak, dan percaya bahwa Rian hanya sedang berjuang demi masa depan mereka. Terlebih sejak Rian mendapatkan promosi jabatan sebagai kepala cabang di Bank tempatnya bekerja.

Sampai suatu hari, Rian datang dengan mata yang enggan menatap, suara yang datar, dan kalimat yang menghapus segalanya dalam sekejap.

“Aku nggak bisa lihat kamu di masa depan aku, Put.”

Seketika dunia Puti runtuh. Bukan hanya karena kalimat itu, tapi karena ia tahu: tidak ada usaha dari Rian untuk bertahan. Tidak ada penjelasan, tidak ada permintaan maaf, tidak ada perlawanan. Yang ada hanyalah keheningan yang menyakitkan.

Beberapa hari kemudian, Puti mengetahui kenyataan yang lebih pahit—Rian telah bertunangan dengan perempuan lain. Sophia. Itu bukan lah hubungan baru, namun hubungan yang ternyata sudah ada sejak setahun terakhir. Tanpa ia tahu. Tanpa ia curiga.

Puti tidak histeris. Ia tidak menangis berhari-hari seperti yang orang bayangkan. Ia hanya diam. Sunyi dalam luka yang tak bisa dijelaskan. Lalu pada suatu malam, ia mendatangi ayah dan ibunya dan berkata dengan tenang:

“Pak, Bu, Puti ingin pergi ke Jakarta. Mencari kerja di sana dan menjalani hidup baru di Ibukota.”

Dan begitulah, dengan satu koper, satu hati yang koyak, dan satu keberanian yang baru ia kenal, Puti meninggalkan Jogja. Bukan untuk melupakan, namun untuk membangun kembali dirinya—tanpa Rian dalam setiap lembaran baru yang hendak ia ukir.

Part 1 – Jakarta, Aku Datang!

Kereta berhenti dengan suara desahan logam yang panjang. Hatiku ikut berhenti. Stasiun Pasar Senen, akhirnya. Kupeluk ranselku lebih erat, berharap bisa menggenggam ulang semua yang hilang—tapi tidak bisa. Sialnya, tetap saja kupikir aku akan menangis, tapi entah kenapa air mataku habis di Stasiun Tugu tadi pagi. Atau mungkin sejak malam terakhir kami bertemu hingga akhirnya kupahami perubahan sikapnya selama beberapa bulan belakangan.

Sepuluh tahun bukan waktu yang sebentar. Kami tumbuh dari seragam putih abu-abu ke toga wisuda, dari becandaan di angkringan ke rencana cicilan rumah. Aku menemaninya melamar pekerjaan ke berbagai instansi; tes CPNS, BUMN, hingga akhirnya ia berkarir di perbankan dan  meraih promosi di tahun ketiganya. Semua itu kemudian hancur begitu saja, tanpa peringatan yang bisa membuatku mengira atau setidaknya bersiap.

Aku turun, menghela napas dalam-dalam, menatap langit Jakarta yang pucat dan berat. Udara panas, penuh debu dan suara klakson, berbeda sekali dari Jogja yang meski menyakitkan tetap terasa seperti pelukan ibu. Tapi aku harus pergi. Jogja terlalu penuh kenangan yang mengejek setiap kali aku lewat Malioboro, Taman Sari, bahkan halte TransJogja tempat kami dulu berlama-lama menunggu bus sambil bertukar cerita.

"Put! Puti!"

Suara yang familiar memanggil-manggil namaku. Aku mencari sosoknya dan melihat kakak keduaku, mas Rama, berdiri di pintu keluar seraya melambaikan tangan kanan ke atas. Kemeja lengan pendek, kacamata kotak, dan senyum setengah ragu, seperti tak yakin harus menyambutku dengan pelukan atau candaan.

Aku hanya tersenyum lelah dan berjalan ke arahnya. Aku menyalami tangan mas Rama, mencium punggung tangannya dan mendapatkan pelukan hangat yang menenangkan. Mas Rama adalah yang terkeras di antara kedua kakak laki-lakiku yang lain, namun dirinya lah yang selalu terdepan membelaku atau keluarga kami jika ada yang menyakiti.

Ia membantuku memasukkan koper ke bagasi, lalu diam sebentar.

"Wis, mulai hidup baru, buang sampah pada tempatnya." Ia berkomentar, singkat dan tajam.

Bibirku mencebik hendak tertawa, namun menyadari bahwa aku akan tinggal bersamanya selama di Jakarta cukup membuat ngeri. Dirinya tegas dan tidak kenal kompromi, meski aku tahu dia sangat menyayangiku.

Terlahir sebagai anak bungsu dan perempuan satu-satunya membuatku kerap mendapatkan princess treatment dari seluruh anggota keluarga. Apalagi kakak tertuaku—mas Agung, dia selalu memanjakan dan menuruti segala keinginanku. Dan meski menjadi yang terusil, kakak nomor tiga—mas Trian, dirinya juga selalu menemaniku kemanapun jika kekasihku kala itu sedang sibuk dan tidak bisa mengantarkanku. Kami bahkan kerap dikira sebagai pasangan dan mas Trian pasti akan berlagak pura-pura muntah tiap mendengar hal itu dari oranglain. Namun mas Rama selalu menjadi favorit sekaligus sosok yang paling aku takuti. Bahkan dibandingkan dengan bapak, aku lebih takut pada mas Rama.

Dirinya paling pendiam, paling keras kepala, paling pintar, paling tegas tak terbantahkan dan paling tampan di antara kakak-kakakku yang lain. Hanya mas Rama yang berhasil tembus kuliah di UI hingga akhirnya memilih berkarir di Jakarta juga dan menikahi gadis yang berasal dari Jakarta pula. Saat memutuskan untuk pindah dari tanah kelahiranku, kota tempatku tumbuh besar hingga dewasa untuk menuju kota Metropolitan ini, syarat dari bapak hanya satu. Tinggal dengan mas Rama, tidak boleh kost atau tinggal sendiri.

Kami masuk ke dalam mobil. Jakarta mulai meluncur di jendela, pelan-pelan, lalu cepat. Semua serba asing. Tapi mungkin di sinilah aku bisa memulai lagi. Mungkin luka ini perlu kota yang tidak menyimpan kenangan apa-apa.

“Sudah coba melamar di mana?” Tanya mas Rama, aku menggelengkan kepala. Kudengar helaan napasnya. “Kamu mau istirahat dulu?”

Ndak tahu.”

Aku menatap bayangan wajahku di kaca jendela. Rambut acak-acakan, mata bengkak, tapi ada sesuatu yang tumbuh dari puing-puing ini. Bukan harapan, belum. Yakni sebuah niat untuk bertahan meski hatiku rasanyaa telah tidak terbentuk lagi.

Jakarta, ini aku. Meski aku datang dengan luka, setidaknya izinkan aku menyembuhkan diriku bersama deru kendaraan yang ramai serta sibuknya dunia sekitarmu, ya. 

Mobil mas Rama berhenti di depan rumah dua lantai berwarna putih gading, dengan model minimalis yang menjadi kebanyakan rumah khas di Jakarta. Pagar abu-abunya setengah terbuka, mas Rama menekan klakson dan tidak lama pagar itu terbuka lebar. Mbak Atik, asisten rumah tangga mereka, menyapa di sana.

Beberapa kali aku dan bapak ibu pernah menginap di sini, saat menengok kelahiran keponakan-keponakanku. Atau ketika kami ada acara, mas Rama selalu melarang kami menginap di hotel dan menawarkan rumahnya untuk diinapi.

Meski minimalis, rumah ini memiliki empat kamar tidur. Satu kamar utama yang tentu menjadi kamar si pemilik rumah, kamar anak-anak yang dulu sih belum ditempati karena mereka berdua lebih suka tidur dengan ayah-bundanya. Dan kamar tamu, sementara mbak Atik adalah asisten rumah tangga yang pulang pergi setiap hari.

Mas Rama membantu menurunkan koperku dan memberikannya pada mbak Atik untuk dibawa masuk. Aku menyalami mbak Atik yang sudah kukenal cukup akrab dan tak lama kak Larissa menyambutku di pintu dengan si Birru dalam gendongannya.

Welcome to Jakarta, Auntieeee—“ ujar kak Larissa, mengajari Birru untuk mengucapkannya juga.

Aku pun mencium pungung tangan kak Larissa dengan takzim sebelum memeluknya dan memberikan ciuman di pipi Birru yang terlihat seperti habis menangis.

Kak Larissa adalah wanita Jakarta keturunan Tionghoa, wajahnya cantik dan sikapnya sangat anggun. Dirinya juga berasal dari keluarga kaya raya yang sempat membuat bapak ragu meminangnya untuk mas Rama. Sementara keluarga kami, hanya pemilik rumah makan khas Jogja yang tidak begitu besar. Hal ini juga menjadi salah satu dugaan bapak akan alasan Rian meninggalkanku dan memilih perempuan itu. Meski demikian, keluarga kami sangat harmonis.

Bapak dan ibu adalah orangtua terbaik yang tidak akan aku tukar dengan apapun. 

“Aquila di mana, Kak?” Tanyaku menanyakan si sulung sambil berjalan masuk ke dalam rumah mas Rama.

“Bobok. Ini Birru bangun-bangun nangis nyari ayahnya.” Mas Rama pun mengambil Birru dari gendongan istrinya, aku mengacak-acak rambut bocah tampan itu.

“Mau langsung istirahat, Dek? Makan siang sudah matang sih, mau makan dulu?” Tanya kak Larissa dengan lembut.

Aku menghela napas. Rasanya sejak berangkat menuju Jakarta semalam, aku masih membawa-bawa beban berat yang entah bagaimana aku harus melepaskannya. Namun melihat bagaimana sikap kakak dan kakak iparku yang tidak bertanya soal hubunganku dan Rian, membuatku bisa bernapas lebih lega. Sudah cukup aku dikasihani oleh bapak, ibu serta mas Trian di rumah. Aku memang menyedihkan, tapi aku nggak mau terlihat terpuruk. Terlebih di mata keluargaku.

“Boleh, Kak. Aku kelaparan. Tadi hanya ganjel perut dengan roti.” Jawabku, mencoba bersikap antusias sebab aku yakin kak Larissa ingin menyuguhkan yang terbaik untukku meski tahu aku akan merepotkannya mungkin selama beberapa bulan ke depan.

Untuk sejenak, aku bisa menyimpan lukaku sebentar untuk menjadi bagian dari keluarga dan bersenda gurau bersama. Apalagi mas Rama memiliki dua anak lucu yang menggemaskan, kami berbincang di meja makan. Kebanyakan menanyakan kabar bapak ibu serta mas Trian, kemudian membahas mas Agung yang baru pindah ke rumah baru yang ia bangun di jalan raya Magelang. Mas Rama belum sempat melihatnya karena belum ada waktu untuk pulang kampung. Terlebih kak Larissa bekerja di salah satu stasiun tv swasta dan sulit mendapat cuti panjang.

“Eh iya, Dek, kamu mau coba melamar di stasiun tv? Major kuliahmu apa ya?”

“Komunikasi, Kak.”

“Cocok.”

Mas Rama tidak berkomentar, aku melirik kakakku sambil bermain mata dengan kak Larissa. 

“Boleh coba nanti, sementara di rumah dulu saja.” Akhirnya mas Rama bersuara.

Namaku Puti. Anak bungsu dari empat bersaudara, satu-satunya perempuan di keluarga besar yang punya reputasi kuat di Jogja sebagai pemilik restoran tradisional legendaris. Dari kecil aku tidak hanya tumbuh di tengah wangi rempah dan hiruk pikuk dapur, tapi juga di tengah limpahan kasih sayang dari tiga kakak laki-lakiku yang seperti perisai hidup. Dua diantaranya sudah menikah, punya kehidupan masing-masing, tapi bagaimanapun, mereka selalu memanggilku ‘Nduk’—meski aku sudah berumur dua puluh tujuh.

Aku pernah percaya bahwa cinta bisa tumbuh dari proses. Bahwa jika aku cukup sabar, cukup setia, dan cukup percaya, maka semuanya akan berakhir indah. Begitulah aku mendampingi Rian selama sepuluh tahun. Menemani dia dari masa-masa belum punya pekerjaan tetap, sampai akhirnya perlahan kariernya naik. Aku menjadi rumahnya, katanya. Tempat dia pulang dan merasa cukup.

Lalu suatu malam, dia memutuskan segalanya. Dengan suara tenang yang mematikan, Rian bilang, “Aku nggak melihat kamu di masa depanku.”

Begitu saja.

Tanpa marah, tanpa drama. Seperti sedang membaca hasil laporan bulanan yang tidak sesuai target.

Aku nyaris tidak bisa bernapas malam itu. Kupikir aku cukup—ternyata aku hanya jembatan. Yang dia seberangi untuk sampai ke sisi lain. Satu minggu kemudian aku tahu, dia sudah bertunangan dengan Sophia. Anak dari pemilik jaringan hotel dan cottage di lima kota besar. Cantik, anggun, kaya, dan...bukan aku.

Yang paling menyakitkan bukan karena dia memilih Sophia. Tapi karena selama satu tahun terakhir, dia sudah berselingkuh. Di saat aku masih sibuk merancang masa depan, dia sudah merancang akhir.

Aku merasa habis. Semua yang selama ini aku bangun runtuh, bukan oleh badai, tapi oleh pengkhianatan. 

Bukan hanya luka pengkhianatan yang harus aku tanggung—tapi juga rasa malu yang menamparku berulang-ulang seperti ombak yang tak pernah lelah memukul karang.

Sepuluh tahun. Bukan waktu yang sebentar. Sepuluh tahun kami berjalan berdampingan, mengenal keluarga satu sama lain, menghadiri pernikahan teman-teman bersama, merayakan ulang tahun, Idul Fitri, bahkan buka puasa bareng yang itu-itu saja setiap tahun. Kami adalah pasangan yang dikenal, disebut, bahkan sering dijadikan contoh oleh orang-orang terdekat. “Lihat Puti dan Rian, awet banget,” kata mereka. 

“Tinggal nunggu undangan, ya?” 

Aku tersenyum waktu itu. Malu-malu, tapi bahagia. Karena kupikir, memang hanya tinggal soal waktu.

Dan sekarang? Waktu itu membunuhku. Pelan, tanpa peringatan.

Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan pada semua orang bahwa yang selama ini kupercaya sepenuh hati, ternyata sudah mengkhianati diam-diam selama setahun terakhir? Bagaimana menjawab pertanyaan ringan seperti, “Rian mana, Put? Nggak bareng?” tanpa merasa seperti dipermalukan di tengah keramaian?

Yang lebih menyakitkan, aku tahu kabar pertunangannya bukan dari mulut Rian. Tapi dari pesan WhatsApp seorang teman, disertai foto Rian, berdiri gagah, menggenggam tangan Sophia. Mereka tampak sempurna. Aku hanya bisa menatap layar ponselku lama sekali, seperti tubuhku mati rasa, tak mampu menerima bahwa itu nyata.

Aku merasa seperti bahan tertawaan. Seperti cerita tragis yang terlalu murahan bahkan untuk sinetron. Aku bukan hanya kehilangan seseorang yang kucintai—aku kehilangan harga diriku, di depan banyak orang.

Ada malam-malam saat aku menangis bukan karena Rian, tapi karena bayangan orang-orang yang akan bertanya. Yang akan berbisik. Yang akan merasa kasihan. Aku membayangkan wajah Ibu yang diam-diam kecewa, Ayah yang mungkin menyalahkan dirinya sendiri karena terlalu percaya pada Rian. Kakak-kakakku yang pasti ingin menghajarnya kalau saja mereka tahu lebih cepat.

Aku bukan perempuan yang suka menjadi korban. Tapi di titik ini, aku tak bisa menyangkal: aku hancur.

Dan rasa malu itu... entah kapan akan hilang. Mungkin tidak akan pernah sepenuhnya hilang. Tapi aku berdoa semoga suatu hari, aku bisa menatap cermin dan tidak lagi merasa seperti perempuan yang dibuang. Hari itu belum datang. Tapi aku memilih melangkah menuju ke sana.

Lalu aku meminta izin pada Ibu dan Bapak: aku ingin pergi ke Jakarta. Bukan untuk melupakan, tapi untuk menemukan kembali diriku sendiri. Yang tidak ada hubungannya dengan Rian. Yang tidak didefinisikan oleh luka.

Mereka mengizinkan—dengan satu syarat. Aku harus tinggal di rumah kakak keduaku, Dwi Rama Kamandanu. Yang sangat protektif, tipe kakak yang dulu rela bolos kuliah hanya karena aku nggak pulang tepat waktu sepulang les.

Mas Rama tinggal di Cipete bersama istrinya, kak Larissa, dan dua anak mereka, Aquila dan Birru. Rumah mereka seperti miniatur dunia baru: penuh tawa anak-anak, aroma masakan kak Larissa yang hangat, dan jadwal rumah tangga yang rapi seperti militer. Dan aku akan jadi bagian dari ini—entah untuk berapa lama.

Aku belum tahu akan jadi siapa di kota ini. Tapi untuk pertama kalinya, aku memilih pergi bukan karena ingin lari. Tapi karena aku ingin pulih.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chrono Divide - (Part 2 - Sebuah Langkah Kecil)
14
2
Malam itu, Puti punya sesuatu untuk diceritakan. Bukan hal besar—tapi cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih tenang. Kadang, langkah kecil pun terasa istimewa ketika ada yang mendengarkan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan