Chrono Divide - (Part 5 - Memindahkan Rumah)

42
2
Deskripsi

Puti merayakan Idulfitri di tengah sunyinya Jakarta, jauh dari wangi tanah basah dan suara takbir masjid kampung yang biasa menemaninya di Jogja. Namun di balik dinginnya kamar hotel dan sepinya jalanan ibu kota, ia menemukan hangat yang berbeda—hangat yang datang bukan dari tempat, tapi dari kehadiran orang-orang tercinta. Dalam perbedaan itu, Puti belajar bahwa rumah ternyata bisa berpindah, selama cinta tetap menetap.

Part 5 – Memindahkan Rumah

Sudah seminggu sejak hari pertamaku resmi bergabung sebagai bagian dari tim campaign di perusahaan ini. Statusku bukan magang, dan itu seharusnya jadi kabar baik. Tapi nyatanya, justru membuatku merasa lebih tertekan. Ekspektasi lebih tinggi, tanggung jawab lebih besar, dan tidak ada ruang untuk sekadar ‘belajar pelan-pelan’.

Duduk di meja kerja yang sudah diberi label namaku, aku masih sering merasa seperti menyusup ke dunia yang bukan milikku. Ruang kerja ini terasa terlalu kinclong, terlalu dingin, terlalu ’Jakarta’. Semua orang bergerak cepat. Tidak ada yang bertanya, ‘Kamu ngerti nggak?’—karena mereka sudah menganggap aku seharusnya tahu.

Padahal, sebagian besar waktu, aku masih menebak-nebak arti istilah yang mereka lontarkan: KPI, CTR, conversion funnel, paid traffic strategy. Dan itu baru setengah dari istilah yang kudengar hari ini.

“Puti, kamu bisa bantu cek performance post klien skincare minggu lalu? Aku butuh engagement rate-nya sore ini,” suara Liana terdengar dari balik layar komputer.

Aku refleks menoleh dan mengangguk. “Siap, Li.”

Lalu buru-buru membuka dokumen report, menyalakan spreadsheet, dan mengakses dashboard akun bisnis Instagram klien. Jemariku mulai hafal ritme cepat ini. Tapi mental dan hatiku…kadang masih tertinggal jauh di belakang.

Meski begitu, aku tidak ingin mengecewakan siapa pun. Termasuk diriku sendiri. Salah. Terutama diriku sendiri.

Sebenarnya tim ini tidak jahat. Mereka bahkan cukup suportif dalam caranya yang sibuk dan pragmatis. Ribka kadang membawakan kami roti lebih saat beli sarapan. Liana sering membetulkan tulisanku dengan sabar. Dirga, meski lebih sering tenggelam di balik laptop dan headphone, selalu jawab kalau aku bertanya teknis soal campaign layout. Dan Tia, si kepala kreatif yang awalnya kukira galak, justru pernah memujiku minggu lalu karena headline buat carousel Ramadan-ku disukai klien.

Namun, tetap saja… aku kerap merasa ‘berbeda’. Rasanya seperti satu babak baru hidupku dibuka tanpa naskah.

Waktu makan siang, aku duduk sendiri di pantry, menatap layar ponsel sambil menyendok nasi bekalku yang dibuatkan kak Larissa tadi pagi. Yang lain makan di luar. Katanya mau mencoba ramen viral di seberang gedung.

Aku tidak ikut. Bukan karena tidak diajak, hanya saja terkadang kak Larissa sangat berbaik hati membuatkan bekal sekalian untuk bekal Aquila juga. Dan kadang jujur saja, aku masih banyak belum mengerti ketika mereka bicara tentang konser jazz dan pesta rooftop yang pernah mereka datangi. Aku belum tahu bagaimana caranya merasa cukup keren untuk duduk di lingkaran mereka. Walaupun mereka tetap tidak akan peduli juga sih. Aku di mata mereka masih ‘gadis desa’ yang polos.

Lagipula memang tujuanku datang ke Jakarta untuk membuat ruang baru dalam diriku tanpa sepuluh tahun kenangan di dalamnya.

Dan pelan-pelan, ruang itu mulai membentuk dirinya sendiri—di antara tumpukan brief, tab-tab Excel, serta notifikasi Slack yang tidak pernah tidur.

Suara pintu pantry terbuka. Aku reflek mendongak. Ternyata Ilham. Ia membawa gelas kopi takeaway dan sebuah kotak roti dari bakery di lobi bawah.

“Sendiri aja, Put?” tanyanya, meletakkan kopinya di meja lalu duduk di seberangku.

Aku tersenyum kecil. “Iya. Lagi malas keluar.”

Ilham mengangguk pelan, lalu membuka kotak rotinya dan mendorongnya sedikit ke arahku. “Ini ada yang kelebihan, tadi Tia minta dibeliin tapi tiba-tiba batal. Mau?”

Aku ragu sejenak, tapi akhirnya mengambil satu potong. “Makasih, ya.”

Kami makan dalam diam sejenak, hanya suara AC dan sesekali bunyi notifikasi dari ponsel kami masing-masing.

Campaign Ramadan yang kamu kerjain kemarin, keren, lho,” katanya tiba-tiba. “Layout-nya clean banget. Pas sama tone brand-nya.”

Aku menoleh. Tidak menyangka Ilham akan bilang begitu. Sejak aku terang-terangan memberinya jarak, ia sama sekali tidak menjauhiku. Meski juga tidak berusaha mendekati lagi, ia hanya bersikap biasa. Selayaknya teman kerja.

“Serius?” tanyaku agak ragu. “Aku kira akan dapat revisi banyak.”

“Revisi itu biasa. Tapi idenya udah kuat. Itu yang penting.”

Aku menatap rotiku, berusaha menahan senyum yang muncul begitu saja. Pujian kecil itu seperti seberkas sinar matahari pagi yang menyelinap di balik tirai tebal—tak terlalu menyilaukan, tapi cukup untuk menghangatkan hati yang dingin.

“Makasih, Ilham.”

Dia mengangguk, lalu berdiri sambil membawa gelas kopinya lagi. “Santai aja, Put. Semua juga pernah mulai dari bingung. Lama-lama, ngerti sendiri.”

Aku mengangguk pelan, menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu pantry.

Mungkin… memang tidak semua orang di sini paham rasanya jadi aku. Tapi bukan berarti mereka tidak bisa jadi teman. Dan mungkin, aku juga tidak harus selalu merasa tertinggal. Karena bisa jadi, aku hanya sedang memulai dengan cara yang berbeda.

.

.

.

Di antara semua sosok sibuk di kantor ini, Inggrid adalah yang paling mencuri perhatian. Bukan karena tampilannya saja—meski penampilannya memang tak bisa diabaikan dengan heels mengilap, blazer fit body, dan rambut sleek yang selalu tampak seperti keluar dari iklan shampoo. Tapi lebih karena cara bicaranya. Tegas, lugas, tapi tidak galak. Kalimat-kalimatnya seperti sudah disusun di kepala sebelum diucapkan, dan selalu terdengar penting.

Campaign klien F&B kita akan tayang minggu depan. Tim kreatif sudah oke, sekarang bagian kita pastikan semua channel paid media beres. Ko Melvin nanti bantuin approve copy terakhir ya,” katanya pagi ini dalam meeting kecil tim campaign. Aku ikut mencatat, meski tidak yakin bagian mana yang harus aku kerjakan lebih dulu.

Ko Melvin mengangguk sambil mengunyah camilan protein bar. “Puti, kamu bisa bantu aku tracking perubahan budget terakhir. File-nya di folder umum, yang nama foldernya pakai tanggal kemarin.”

Aku menjawab cepat, “Siap, Ko.”

Begitulah, sebagian besar arah kerja kami dikendalikan oleh dua orang itu. Inggrid dan Ko Melvin. Dua kutub yang sangat berbeda, tapi entah bagaimana mampu membuat semua orang bergerak dalam satu irama. Inggrid adalah pemantik ide dan pemotong keputusan. Melvin, si eksekutor tenang yang selalu mengingatkan deadline sebelum siapa pun sempat panik.

Mas Jagad? Hampir tidak pernah muncul di meeting. Ia seperti mitos di kantor ini. Namanya disebut, tapi kehadirannya samar. Aku tahu dia memang benar-benar ada, tentu saja—aku pernah berinteraksi walau ringan dengannya, atau melihatnya beberapa kali melintas di koridor, atau keluar dari ruangan kacanya dengan jaket abu-abu dan tas kerja hitam. Tapi selain itu, dia hanya ada di cerita para staf.

“Bos kita cakep banget sih, Put, asli,” bisik Liana suatu sore saat kami lembur bareng.

Aku hanya mengangguk sopan. Bagiku, Mas Jagad memang tampan, tapi lebih seperti tampan yang membuat orang bingung harus bersikap bagaimana. Datar. Dingin. Tapi ada aura magnetik yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin karena dia tidak bicara banyak. Mungkin karena dia nyaris tidak pernah tersenyum.

“Kalau kamu disenyumin, berarti kamu spesial,” sambung Ribka waktu itu. “Aku sudah dua tahun kerja di sini, belum pernah liat dia senyum kecuali pas video company profile. Itu pun kayak dipaksa.”

Aku tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Karena sejauh ini, aku belum pernah benar-benar berbicara cukup lama dengan pria itu. Hanya melihat sekilas, dari balik layar laptop, atau dari pantulan kaca ruangan.

Yang kutahu, setiap kali dia lewat, pembicaraan mengecil. Suara dikendalikan. Dan langkah kami, entah kenapa, jadi lebih rapi.

Hari ini, saat semua orang sudah mulai sibuk dengan to-do list masing-masing, aku kembali ke kursiku dengan secangkir kopi sachet. Di layar laptopku, spreadsheet budget klien terbuka lebar. Di bawahnya, ada catatan dari Ko Melvin.

“Cek kolom Q4, ada perubahan angka dari klien semalam.”

Aku menyesap kopi, bersiap untuk hari panjang. Tapi entah kenapa, sebelum mulai bekerja, mataku secara refleks menoleh ke ruangan kaca di ujung lorong.

Pintunya sedikit terbuka. Dan untuk sepersekian detik, mata kami beradu.

Mas Jagad.

Ia sedang berbicara dengan seseorang—mungkin salah satu investor atau rekan bisnis. Tapi aku tidak tahu pasti, karena setelah tatapan itu, ia mengalihkan pandangannya. Datar. Seolah aku tak terlihat.

Dan entah kenapa, itu membuat dadaku terasa aneh. Seperti ditolak tanpa pernah menawarkan apa pun.

Aku menggeleng pelan, meneguk kopi yang sudah mulai dingin, dan kembali menatap angka-angka di layar.

Ini Jakarta. Ini pekerjaan. Dan Mas Jagad adalah CEO dan aku tetap si gadis desa. Titik. Bibirku mencebik menertawakan diriku sendiri.

Di layar laptop, angka-angka terus menari. Aku mencoba fokus, membandingkan file budget terbaru dengan yang dikirim minggu lalu. Tapi bayangan tatapan kosong itu masih menggantung di benakku—seperti gema yang tidak kunjung padam.

Apa aku hanya halusinasi? Atau memang tadi benar-benar ada momen ketika mata kami saling menatap—sebelum akhirnya diabaikan begitu saja?

Aku menghela napas. Aku tidak ingin terlalu memikirkannya. Tapi tubuhku sendiri kadang punya caranya menyimpan sesuatu lebih lama dari yang kubolehkan. Dan saat ini, rasa aneh itu masih tersisa, entah di tenggorokan atau di dada. Aneh, karena aku seharusnya tahu batas. Seharusnya tidak berharap apa pun dari pria yang bahkan tidak tahu aku lahir di bagian mana dari negeri ini.

Ponselku bergetar. Notifikasi Slack masuk. Dari Ilham.

[12.04 PM] Ilham: Put, udah sempat cek baris 72? Angkanya janggal, bisa tolong lihat draft revisinya juga?

Aku cepat-cepat menjawab:

[12.05 PM] Me: Oke, aku cek sekarang ya.

Kutatap lagi spreadsheet itu. Kutelusuri baris 72 seperti yang Ilham bilang. Dan benar saja, ada angka yang ganjil. Tapi sebelum aku sempat menyesuaikan rumusnya, suara notifikasi lain terdengar—email masuk. Dari HR.

Subject: Jadwal Monthly CEO Sync 
Kepada: Seluruh Tim Campaign

Hi Team,

Bulan ini giliran tim campaign untuk sesi CEO Sync bersama Pak Jagad. Harap luangkan waktu Kamis, xx pukul 10.00 WIB. Agenda: pembaruan strategi Q2 dan diskusi terbuka.

Terima kasih.

-HR Team

Aku menatap layar cukup lama sebelum menutup email itu. CEO Sync. Berarti… akan ada pertemuan langsung. Satu ruangan. Satu jam. Bersama pria itu.

Tiba-tiba tanganku dingin. Aku tahu ini bukan pertama kalinya aku berada dalam ruangan yang sama dengannya. Tapi kali ini akan berbeda. Lebih resmi. Lebih langsung. Tidak ada ruang untuk bersembunyi di balik monitor atau pura-pura membaca slide.

Aku menarik napas dalam. Mungkin inilah saatnya berhenti jadi bayangan di pojok ruang. Mungkin… ini waktunya membuktikan bahwa aku juga ada.

Dan bahwa si ‘gadis desa’ pun bisa bicara—tanpa harus menjadi seperti mereka.

Aku mengetik cepat di Slack.

[12.11 PM] Me: Udah Ilham, baris 72 fixed. Aku tambahkan keterangan juga.

Sebelum menutup laptopku sejenak, mataku kembali melirik ke ujung lorong.

Ruangan kaca itu sudah kosong. Tapi jejak kehadirannya masih tertinggal di udara—dan entah kenapa, kini terasa seperti undangan yang tak terucap.

.
.
.

Lebaran tahun ini terasa berbeda. Bapak dan Ibu memutuskan sesuatu yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya yaitu berlebaran di Jakarta.

Biasanya, lebaran adalah tentang kembali. Tentang rumah kami di Jogja yang mendadak riuh dengan suara tawa kakak-kakakku, canda keponakan-keponakanku, aroma opor dari dapur, dan lantunan takbir yang terdengar dari masjid dekat rumah sejak malam sebelum hari raya. Tapi tahun ini, untuk pertama kalinya, rumah itu akan sepi.

Semua itu mereka lakukan karena mengerti bahwa anak bungsunya ini masih belum siap kembali ke Jogja. Aku sungguh terharu saat mendengar mas Rama berkata suatu hari saat kami sedang berbuka puasa.

“Put, Bapak Ibu akan lebaran di Jakarta tahun ini. Mas Agung juga, Mas sudah pesankan hotel tiga kamar untuk Bapak Ibu, keluarga mas Agung dan Trian.”

Aku terdiam lama, kemudian merasakan kedua mataku memanas.

Bapak dan Ibu, yang sudah sepuh dan terbiasa menjalani tradisi dengan khidmat, memilih mengalah hanya untuk satu hal. Untuk menghargai perasaanku yang masih belum sembuh benar.

“Enaknya bawa Bapak sama Ibu kemana ya, Yah?” Tanya kak Larissa, mengaburkan rasa haru yang hendak kutepis jauh-jauh.

“Kemana ya? Bogor macet, dimana-mana pasti macet sih.” Sahut mas Rama.

“Dufan? Masa bapak sama ibu diajak ke Dufan, sih?” Kak Larissa tertawa, menoleh ke arahku dan memberikan remasan lembut di bahuku. 

Aku ikut tertawa kecil saat itu, sadar bahwa kak Larissa juga merasakan perasaanku.

“Kakak mau ke Dufan, Bund.” Aquila menyela perkataan bundanya yang membuatku tersenyum senang, kak Larissa merespon dengan keibuan dan aku bersyukur mas Rama menikahi wanita sebaik dan seanggun kak Larissa.

Menyadari bapak dan ibu akan datang ke Jakarta agar kami semua dapat berkumpul bersama di hari istimewa itu, membuatku merasa dicintai dengan cara yang sangat sederhana namun dalam.

Ponselku bergetar, info jadwal buka puasa di restoran lain telah kuterima. Aku melipat mukena yang baru saja selesai kupakai dan aroma parfum yang familiar terendus oleh indera penciumanku. Mas Jagad masuk dan tengah berdiri dengan wajah basah di pintu masuk mushola gedung. Aku terkesiap dan segera menuntaskan merapikan alat sholat sebelum pergi diam-diam.

Selama bulan Ramadhan rupanya acara di dunia kerja tidak pernah sepi. Selain project yang sangat banyak, dan kami syukuri tentu saja, acara di luar kantor juga tak pernah selesai. 

Mas Rama sampai menegurku karena terlalu sering buka puasa di luar rumah. Hanya terhitung jari aku buka puasa bersama di rumah, selebihnya memenuhi undangan di kantor dengan berbagai klien. Hingga aku menyadari betapa terkenalnya mas Jagad di luar perusahaan dan gosip-gosip dirinya dikelilingi banyak wanita, sepertinya benar.

Dan aku sungguhan tampak jomplang dengan semua rekan kerjaku.

Mereka tampil seperti iklan digital agency versi real-life: blazer slim fit, celana bahan high waist, rambut dicatok atau disanggul santai, sneakers putih bersih atau sepatu hak rendah yang tampak mahal tapi tidak pernah berisik saat berjalan. Sementara aku…masih mengenakan blouse bermotif kecil dari butik lokal dan rok span yang sedikit longgar. Rambutku dikuncir seadanya. Tas kerjaku pun bukan merek apa-apa, hanya hadiah dari Kak Larissa waktu aku berangkat kerja pertama kali.

Kadang, aku bahkan merasa suara langkahku pun lebih ‘berisik’ dibanding mereka. Aku seperti suara sumbang di ruangan yang penuh simfoni rapi.

Bukan berarti mereka pernah mempermalukan atau merendahkanku. Tidak. Mereka semua profesional, sopan, bahkan kadang ramah. Tapi di antara senyuman tipis, obrolan tentang brand parfum niche, atau rekomendasi tempat nail art baru di Senopati, aku hanya bisa duduk diam, mengangguk, dan sesekali tertawa tanpa benar-benar mengerti lucunya di mana.

Ada satu sore saat aku melihat refleksiku di kaca lift—berdiri di antara Liana yang mengenakan dress hitam minimalis dan Tia dengan kemeja linen putih bersih, aku terlihat seperti anak magang dari kampus yang salah jurusan.

Dan rasa minder itu, kadang muncul tiba-tiba. Saat mereka membicarakan workout di gym langganan, saat mereka pesan makan siang lewat aplikasi dengan kode diskon membership restoran, atau saat mereka membahas rencana staycation ke Bali yang ‘cuma tiga hari doang, kok’.

Sementara aku…masih mikir berkali-kali kalau mau naik taksi online dari kantor ke rumah kalau hujan turun terlalu deras dan kak Larissa sudah pulang lebih dulu.

Tapi yang paling membuatku merasa asing adalah bukan soal baju atau gaya hidup mereka. Melainkan karena mereka tampak sangat tahu cara menjadi ‘orang dewasa di Jakarta’. Sementara aku masih belajar memahami ritme kota ini, langkah demi langkah. Kadang cepat, kadang terlalu cepat.

.
.
.

Pagi ini Jakarta masih sunyi, seperti menahan napas. Hari Lebaran. Namun kali ini aku tidak di rumah.

Lebaran di Jakarta terasa berbeda. Bukan hanya karena gedung-gedung tinggi yang tetap berdiri gagah, atau karena suara klakson yang tidak pernah benar-benar hilang, bahkan di hari raya. Tapi karena atmosfernya… lain. Heningnya bukan hening yang damai, tapi lebih seperti jeda yang dipaksakan.

Di Jogja, pagi Lebaran selalu dimulai dengan suara takbir dari masjid kampung yang saling bersahut-sahutan. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan daun ketupat yang direbus sejak malam. Jalanan kecil penuh anak-anak berlarian dengan baju baru yang masih bau plastik. Semua orang tersenyum, semua pintu terbuka, semua rumah menghidangkan teh manis panas dan nastar isi nanas.

Di sini, di Jakarta, jalanan lengang tapi bukan karena semua orang keluar bersilaturahmi—melainkan karena sebagian besar orang pulang mudik. Kota ini ditinggal sejenak oleh mereka yang memilikinya sebagai tempat bekerja, bukan tempat kembali.

Aku berdiri di jendela kamar hotel, memandangi langit Jakarta yang agak kelabu pagi ini. Tidak ada suara petasan dari anak-anak tetangga. Tidak ada kicauan ibu-ibu yang sibuk menyuruh anaknya pakai sarung. Hanya deru AC, dan suara mobil sesekali lewat.

Aku rindu Jogja. Rindu suara motor Bapak yang selalu mogok di pagi hari karena dipaksa menyala setelah semalaman hujan. Rindu halaman rumah yang selalu becek karena tetangga datang silih berganti, membawa kue dan cerita. Rindu bau dapur rumah, rindu sandal-sandal berantakan di depan pintu.

Tapi aku juga tahu…aku masih belum siap kembali ke sana.

Jakarta memang tidak punya wangi khas daun pandan dari dapur Ibu. Tapi pagi ini, Ibu sendiri yang menyeduhkan teh manis itu untukku. Dan meski kami makan opor bukan di meja makan besar rumah Jogja, tapi di atas meja kecil hotel, kami tetap duduk bersama. Tetap saling suap kerupuk, tetap tertawa pelan setelah tangis sungkem selesai.

Barangkali memang bukan tentang tempatnya. Tapi tentang siapa yang tetap tinggal bersamamu meski tempatnya berubah.

Lebaran di Jakarta mungkin tidak sehangat matahari pagi di halaman rumah Jogja. Tapi untuk kali ini, aku cukup bersyukur. Karena hangatnya tetap ada—dalam bentuk tangan Ibu yang mengusap punggungku, tawa ketiga kakak lelakiku  yang sumbang, dan suara Bapak yang membaca doa sebelum kami makan.

Suara yang meski berpindah kota, tetap terdengar seperti rumah.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chrono Divide - (Part 6 - Bertemu Kembali)
39
3
Hampir setahun sejak Puti dan Rian berpisah—waktu yang cukup untuk mulai move on, tapi tidak untuk melupakan. Di tengah rutinitas Jakarta yang padat, Puti tak pernah menyangka akan bertemu kembali dengan sosok yang pernah menjadi seluruh dunianya. Hanya beberapa meter darinya, Rian berdiri, tak menyadari bahwa kehadirannya telah mengguncang hati yang nyaris pulih. Seketika, masa lalu menyeruak: luka, cinta, dan tanya yang belum pernah benar-benar terjawab. Apa yang ia cari di sini? Dan mengapa takdir mempertemukan mereka lagi—di tempat yang paling tidak terduga?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan