
((GANTI COVER GENKS, DIBUATIN COVER SAMA MELDIII…TERBAEEQQ MEMANG BESTIEKUUU))
Setelah nyaris setahun mencoba berdamai dengan luka, Puti pikir ia telah cukup kuat untuk menjalani hidup barunya di Jakarta. Ia telah menata ulang napasnya, membungkus rapi kenangan tentang cinta sepuluh tahun yang berakhir tanpa penjelasan.
Tapi kenyataan selalu punya cara kejam untuk menguji kesembuhan.
Satu pertemuan tak terduga di lobby kantor, lalu tatap mata yang tak diinginkan di balik pintu ruangan CEO—Rian kembali...
Part 7 – Buku Yang Kututup
Sudah hampir setahun aku berusaha berdamai—dengan luka, dengan kehilangan, dengan diriku sendiri. Aku datang ke Jakarta dengan satu niat, menyembuhkan diri. Meninggalkan semua yang tertinggal di Jogja, termasuk cinta sepuluh tahun yang akhirnya mematahkan aku hingga serpihannya masih terasa tiap kali aku bernapas.
Rian adalah masa lalu.
Aku ulang-ulang kalimat itu seperti mantra, terutama saat malam terasa terlalu sunyi dan mataku tak kunjung bisa terpejam. Dia bukan hanya lelaki yang dulu kupanggil sayang—dia adalah pengkhianat. Lelaki yang menukar kesetiaan dengan kenyamanan lain, dengan nama besar dan kemewahan semu yang tak pernah bisa kuberikan.
Kupikir, setelah berbulan-bulan menjalani hidup baru, tenggelam dalam ritme kantor yang padat, mengenal orang-orang baru, tertawa meski sesekali masih terasa hampa—aku telah berhasil membungkus rapat-rapat luka itu. Menguburnya dalam kotak kecil yang tidak akan kubuka lagi.
Ternyata, satu sosok saja cukup untuk membuat dunia yang kuanggap sudah stabil kembali gemetar.
Baru beberapa menit lalu aku melihatnya. Dia. Berdiri di lobby—ponsel di tangan, wajah yang begitu kukenal itu masih sama. Terlalu familiar hingga jantungku seolah melompat ke tenggorokan. Tidak banyak berubah. Seperti sepotong masa lalu yang menabrak waktu sekarang tanpa izin.
Tanganku gemetar. Napasku pendek. Kakiku serasa tak menjejak lantai. Aku bahkan lupa caranya berjalan tanpa merasa akan tumbang. Sial.
Kenapa dia ada di sini?
Kenapa hari ini?
Kenapa di gedung ini—tempat aku mencoba tumbuh, memperbaiki puing-puing, menyusun ulang hidupku yang sempat porak-poranda?
Aku bersandar di dinding dekat ruang pantry, remasan jemariku semakin kuat. Perihnya menyadarkan. Aku sungguh berpikir aku telah lebih kuat dari ini. Ternyata tidak. Ternyata rasa itu belum mati. Ia hanya tertidur. Dan kini terbangun oleh tatapan—yang bahkan tak sempat menatapku balik.
Apakah dia melihatku?
Tidak. Aku harap tidak.
Tapi lebih dari itu, yang membuatku lebih sakit adalah kenyataan bahwa aku masih bisa merasa seperti ini.
Ternyata, meskipun sudah berpindah kota, sudah mencicipi dunia baru, rasa sakit itu ikut terbawa dalam koperku ke Jakarta. Jogja memang jauh. Tapi kenangan itu—dan lukanya—ikut tinggal bersamaku.
Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, aku benar-benar ingin pulang. Tapi aku tahu, pulang tidak akan menyelesaikan apapun.
Karena luka ini bukan tentang tempat. Ini tentang keberanian untuk berdiri, lagi dan lagi, sampai rasa sakit itu kehilangan kekuatannya.
Maka aku berdiri lagi. Menegakkan kepala. Menenangkan napas. Aku tidak lari ke Jakarta untuk kembali ditaklukkan oleh hantu masa lalu. Aku datang untuk menjadi versi terbaik dari diriku.
Dan jika Rian kembali muncul dalam hidupku, bahkan hanya sekilas, maka hatiku harus lebih kuat dari rasa yang dulu membuatku runtuh.
Aku harus lebih kuat. Untuk diriku. Untuk hidupku yang baru.
Suara Liana memanggil namaku dari balik pintu ruang meeting menyentakku kembali ke dunia nyata. Aku menarik napas panjang dan melangkah masuk, membiarkan pertanyaan-pertanyaan yang sempat berdesakan di kepala mengendap sementara. Aku memilih melanjutkan hidup, seolah tak melihat apa pun di bawah tadi.
Dan aku berdoa dalam diam—semoga aku tak akan pernah harus melihatnya lagi.
Sore harinya, suasana kantor sedikit mencair. Ko Melvin memesan kopi untuk kami semua, seperti biasanya. Ia memang sosok yang hangat dan tak pelit berbagi. Kadang perhatian kecil darinya cukup membuat hari terasa ringan. Saat aku masih magang dulu, dia bahkan pernah membelikanku lunch box dengan warna kuning pastel. Katanya, supaya aku lebih semangat datang ke kantor.
Aku tersenyum mengingatnya.
Di tengah hari yang terasa berat ini, secangkir kopi dan perhatian kecil seperti itu rasanya seperti pelukan.
Dan mungkin, inilah yang disebut bertahan—dengan cara sederhana, satu langkah kecil, satu hari pada satu waktu.
Hari berganti, dan aku mulai merasa lebih ringan. Mungkin bukan karena lukanya sudah sembuh, tapi karena waktuku terlalu penuh untuk merasakannya. Pekerjaan datang silih berganti seperti ombak yang tidak pernah reda. Dan sisanya—kusimpan untuk dua krucil di rumah, Aquila dan Birru, yang dengan ajaibnya selalu bisa menarik senyum dari bibirku bahkan ketika hatiku sedang remuk. Mereka tidak tahu apa-apa tentang masa lalu, tapi entah bagaimana, pelukan mereka terasa seperti dunia yang aman. Dunia yang tidak menghakimi.
Jam menunjukkan pukul tiga sore saat aku keluar dari ruang meeting. Kepala masih penuh oleh angka, ide, revisi, dan tenggat waktu. Tapi langkahku langsung melambat ketika menoleh ke arah koridor utama. Ada getaran aneh di perutku, seperti firasat yang datang terlambat.
Kakiku mendadak terasa berat.
Dari jarak sepuluh meter, aku bisa melihat jelas—pintu ruangan Mas Jagad terbuka setengah. Cahaya matahari dari jendela menyinari sebagian ruangan, cukup untuk memperlihatkan satu sosok yang sedang berdiri di dalam. Suara tawa kecil terdengar samar, dan dalam hitungan detik, aku tahu pasti itu Rian.
Dunia mendadak berhenti. Lagi.
Kupikir kemarin hanyalah kebetulan. Sebuah pertemuan singkat di lobby yang tak akan terulang. Tapi semesta sepertinya punya selera humor yang kejam. Hari ini, dia tidak hanya hadir di gedung yang sama. Dia ada di dalam ruangan CEO-ku. Dengan Mas Jagad.
Mas Jagad—sosok yang aku hormati, yang selama ini memberiku ruang untuk tumbuh dan membuktikan diri. Sosok yang aku kira menjadi bagian dari hidup baruku, yang aman dari bayang-bayang masa lalu.
Dan sekarang, Rian ada di sana. Dengan nyaman. Dengan tenang. Dengan senyum yang pernah kuhafal di luar kepala. Seolah kehadirannya di sini bukan masalah.
Seolah aku tak pernah ada.
Tanganku mengepal tanpa sadar. Ada hawa panas yang naik dari leher ke wajahku. Pandanganku mulai kabur, bukan karena air mata, tapi karena rasa sesak yang tiba-tiba memenuhi dada. Aku ingin berbalik arah, menghilang ke pantry, pura-pura menerima telepon—apa pun, asal tidak harus melewati pintu itu.
Tapi tubuhku, entah kenapa, justru terus melangkah.
Langkah-langkah kecil yang berat seperti menapak di atas pecahan kaca. Aku tak tahu keberanian macam apa yang membuatku tetap berjalan ke depan, meski jantungku memukul keras dari dalam.
Aku membuka ponsel, pura-pura membaca pesan yang tidak ada, hanya agar aku bisa menunduk sedikit.
Jangan menoleh, Put. Jangan tengok ke dalam. Tapi aku tetap melirik. Sepersekian detik. Dan saat itulah mata kami bertemu.
Rian mematung. Begitu pula aku.
Tidak ada senyum basa-basi. Tidak ada sapaan canggung. Hanya keheningan yang terlalu bising di dalam kepala.
Dan dalam keheningan itu, aku merasa seperti kembali menjadi perempuan yang ditinggalkan. Perempuan yang tidak cukup berharga untuk dipilih, tapi cukup pantas untuk dihancurkan.
Aku mempercepat langkah. Menahan napas sampai ujung lorong, lalu berbelok dan bersandar ke dinding, lagi-lagi. Sama seperti kemarin. Sama seperti saat aku pertama kali melihatnya.
Bedanya, kali ini aku tahu satu hal pasti: aku tidak akan bisa menghindarinya lebih lama lagi. Karena kini, Rian bukan lagi bagian dari masa lalu yang bisa kuabaikan. Dia muncul di dalam dunia yang kuanggap tempat sembuhku. Tempatku merasa aman.
Dan justru itulah yang paling menakutkan.
Pikiranku berputar cepat, mencoba menyusun logika yang tidak pernah aku siapkan.
Kenapa dia bisa ada di sini?
Apa urusannya dengan Mas Jagad?
Kenapa mereka terlihat begitu akrab?
Bukankah Rian sudah settle di Jogja? Bukankah pekerjaannya di sana cukup mapan, cukup besar, cukup membanggakan?
Atau… apakah ini juga sudah dia rencanakan jauh-jauh hari?
Aku tidak tahu. Dan ketidaktahuan ini menyesakkan. Membuatku merasa kecil. Tak berdaya. Seolah semesta sedang menyusun panggung dan memaksaku tampil dalam drama yang belum pernah aku minta untuk diulang.
Tapi satu hal yang mulai jelas, aku tidak bisa hanya berdiri di pinggir dan berharap semuanya segera pergi.
Aku harus siap. Harus lebih kuat. Karena kini, bayang-bayang itu bukan lagi bayangan. Ia telah masuk ke dalam terang. Ke dalam hidupku yang sekarang.
Dan aku belum tahu, apakah aku siap melihatnya lebih sering dari yang seharusnya.
Namun hingga beberapa saat aku bersembunyi, tidak terdengar suara-suara seseorang mencariku. Aku merasa aman dan saat aku mengintip ruangan mas Jagad lagi, pintu itu sudah tertutup rapat dan aku yakin ruangannya kosong sekarang. Kuhela napas lega.
.
.
.
Kak Larissa mengirim pesan singkat, memberitahuku bahwa ia sudah pulang lebih dulu untuk menjemput Aquila dan Birru di daycare. Aku menarik napas panjang, lalu merapikan barang-barang di meja. Sudah biasa, pikirku. Jika hari terlalu padat atau macet terlalu parah, aku memang sering pulang sendiri, naik Transjakarta atau ojek online. Kadang, kalau sedang beruntung, Mas Rama akan menjemput, atau aku bisa nebeng pulang bersama Dirga, Ilham, atau Kak Inggrid. Tapi hari ini, sepertinya mereka semua pulang lebih awal dariku.
Begitu keluar dari lift dan menjejakkan kaki di lobby, aku langsung melihat rintik hujan mulai turun. Gerimis yang malas, tapi cukup untuk membuat jalanan licin dan langit tambah muram. Bagus. Tampaknya aku harus memesan taksi online sore ini.
Langkahku berjalan pelan menuju pintu utama gedung. Suasana kantor mulai sepi, hanya tersisa beberapa karyawan yang masih menunggu hujan reda atau menyelesaikan pekerjaan. Aku membuka aplikasi di ponsel, mulai mencari taksi yang tersedia.
Lalu suara itu datang. Suara yang terlalu akrab, terlalu dekat dengan ingatanku—dan masih terlalu mampu mengacaukan detak jantungku.
“Hey, Put. Apa kabar?”
Aku berhenti. Langkahku membeku. Lambat-lambat, kuangkat wajah, dan di sana—di hadapanku, Rian berdiri. Dengan senyum tipis yang dulu kukenal terlalu baik.
Senyum yang dulu bisa membuat hatiku tenang hanya dengan melihatnya dari jauh. Senyum yang kini terasa seperti tamparan di tengah hujan.
Ia menyapaku begitu santai. Seolah tidak pernah ada luka. Seolah tidak pernah ada air mata. Seolah sepuluh tahun kebersamaan bisa ditiadakan begitu saja dan dilupakan semudah menghapus pesan di layar ponsel.
Dadaku sesak. Tapi aku tetap diam. Sebab aku tahu, satu kalimat saja bisa membuat air mataku runtuh di tempat. Dan itu… adalah hal terakhir yang ingin aku beri padanya.
Tidak sekarang. Tidak di sini.
Tidak setelah semua usaha yang kulakukan untuk menyusun kembali diriku dari serpihan-serpihan yang dia tinggalkan.
Aku menegakkan badan perlahan, menyembunyikan segala getar di balik ekspresi datarku. Jangan tunjukkan apa-apa, Put. Jangan beri dia kemenangan sekecil apa pun.
“Baik,” jawabku singkat. Datar. Nyaris tanpa nada.
Seketika, wajahnya berubah sedikit canggung. Tapi ia tetap berdiri di hadapanku, seolah menunggu lebih.
“Kelihatannya kamu sibuk ya sekarang,” katanya lagi, berusaha mencairkan suasana. “Aku lihat kamu kerja di sini sekarang. Keren sih, bisa masuk kantor ini.”
Aku mengangguk kecil. “Iya.”
Jawabanku pendek lagi. Dan jelas. Aku tidak sedang membuka ruang untuk percakapan. Namun aku penasaran apa yang sedang ia lakukan di sini, dengan mas Jagad. Dirinya bekerja satu kantor denganku adalah hal terakhir yang kuharapkan bisa terjadi.
“Kamu ngapain di sini?” Tanyaku tidak bisa menyembunyikan nada ketus di dalamnya.
“Uhm–temuin Mas Bhakti.”
“Mas Bhakti? Adik bungsu mamamu? Dia kerja di sini?” Aku mengingat sosok mana yang bernama Bhakti di perusahaan tempatku bekerja.
“Eng–anu, kamu kenalnya Mas Jagad mungkin ya? Dia dipanggil Jagad sama staf-nya tadi. Iya Mas Jagad itu Mas Bhakti, pamanku yang kuceritakan punya perusahaan di Jakarta.”
Apa?!
Jadi, Mas Jagad CEO kami yang kukenal dingin namun cukup baik itu adalah paman dari mantan kekasihku yang brengsek ini?
Tentu saja aku familiar dengan Mas Bhakti yang kerap ia ceritakan dan banggakan. Paman dari pihak mamanya, dari istri ketiga kakeknya, paman yang masih muda namun sudah sukses menjabat sebagai Pengusaha di Jakarta. Rupanya sosok Mas Bhakti itu adalah Mas Jagad. Agak sulit diterima namun aku menjaga air wajah untuk tidak terlihat terlalu terkejut.
“Kamu mau kerja di sini?” Suaraku kini tercekat, takut dengan jawabannya.
Dia menggaruk kepala dengan canggung. “Istr–Sophia dipindahkan ke Jakarta, Put. Aku sedang cari kemungkinan bekerja di sini juga. Tapi kalau nggak ada, ya terpaksa LDM.”
Mataku menatap nyalang mendengarnya hampir menyebut kata ‘istriku’.
Dan entah kenapa, hujan di luar justru membuat suasana makin sempit. Udara terasa tebal. Aku melirik layar ponsel—taksi yang kupesan masih tertulis mencari driver. Tentu saja.
“Boleh kita ngobrol sebentar?” tanyanya kemudian.
Aku mengangkat alis. “Untuk apa?”
Ia menggeser posisi berdirinya, tampak agak gelisah. “Aku cuma... mau menjelaskan beberapa hal. Aku tahu, mungkin ini terlambat, tapi aku nggak enak kalau—”
“Rian,” potongku pelan tapi tegas. “Nggak enak? Kamu hanya sedang merasa bersalah karena melihatku pergi meninggalkan Jogja?”
“Put–kita belum bicara banyak sejak itu.”
“Memang apa lagi yang ingin kamu bicarakan?”
Ada jeda.
Ia menunduk, lalu kembali menatapku. Wajahnya tidak setegas tadi. Ada rasa bersalah yang samar, atau mungkin hanya permainan mimik yang pernah ia kuasai dengan baik.
“Aku cuma nggak mau kamu salah paham. Waktu itu… aku juga bingung, Put. Banyak hal terjadi—”
Aku mendesah pelan dan memalingkan wajah. “Bingung? Bingung harus milih aku yang sudah kelamaan kamu pacarin atau Sophia, runner up Dimas Diajeng Jogja? Orangtuanya pemilik hotel bintang empat di beberapa kota. Nggak sulit, nggak perlu ahli matematika untuk tahu siapa yang kamu pilih, kok.”
Aku menatapnya lagi. Kali ini, mataku dingin. Dingin seperti seseorang yang sudah terlalu lama terbakar, dan kini hanya tersisa abu.
“Dan kamu memang sudah memilih, kan? Seolah sepuluh tahun hubungan itu cuma transisi. Cuma batu loncatan menuju hidup yang lebih nyaman. Kamu memotong masa depan yang kita bangun bareng seperti memotong tali layangan—tanpa permisi, tanpa penjelasan, tanpa peduli aku jatuh di mana.”
Suara di sekitarku terasa jauh. Hujan di luar seperti gema yang memantul dari dinding kaca. Tapi di dalam dadaku, semua terdengar jelas. Detak jantung. Dengus napas. Dan suara patah itu—yang sebenarnya belum pernah benar-benar sembuh.
“Mungkin kamu nggak tahu, selama ini aku bukan hanya berusaha sembuh. Aku juga berusaha untuk nggak benci kamu. Karena sepuluh tahun, meskipun kamu hancurkan, tetap masa-masa yang aku hargai. Tapi kamu tiba-tiba muncul lagi di hadapanku begini, dengan senyum yang sama saat kamu bilang ‘nggak melihat aku di masa depan itu’—seolah nggak ada yang pernah kamu rusak—itu…keterlaluan.”
Wajahnya menegang. Mulutnya terbuka, tapi tidak ada kata yang keluar. Mungkin karena dia sadar, tidak ada penjelasan yang pantas.
Aku mengatur napas. Suaraku melemah, tapi nada bicaraku lebih tajam dari sebelumnya.
“Aku pernah percaya kamu akan jadi rumah. Tapi ternyata aku bagimu hanya persinggahan yang nyaman… untuk menunggu rumah yang lebih mewah yang sedang kamu bangun diam-diam di belakangku.”
Aku mengalihkan pandangan, tidak sanggup lagi menatap wajah yang dulu aku cintai lebih dari diriku sendiri. Dan sebelum aku benar-benar melangkah pergi, aku menoleh sedikit, cukup untuk melihat matanya yang kini memudar dari percaya diri menjadi kesepian.
“Terima kasih, Rian. Tanpa kamu, aku nggak akan pernah tahu rasanya membangun hidup dari nol. Tanpa kamu, aku nggak akan pernah belajar mencintai diriku sendiri… lebih dari mencintaimu.”
Lalu aku pergi. Tanpa menoleh lagi.
Karena kali ini, aku memilih diriku.
Langit di luar makin gelap. Gerimis berubah menjadi hujan yang lebih deras. Suara rintik di kaca seperti irama pengiring dari percakapan yang tak pernah seharusnya ada.
Langkahku mantap menuju gerbang, melewati hujan, menuju sembarang taksi yang berhenti dan kebetulan kosong. Dan meski air mulai membasahi ujung sepatu, rasanya jauh lebih ringan daripada beban yang berhasil kutinggalkan di belakang.
Di sana. Bersama Rian. Dan bersama semua kenangan yang tidak layak dibawa lagi.
∞
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
