Chrono Divide - (Part 3 - Hari Baru)

36
7
Deskripsi

Hari pertama Puti di dunia baru penuh istilah asing, gaya hidup cepat, dan rekan kerja yang terasa seperti dari planet lain. Di tengah rasa minder dan culture shock, ia hanya punya satu pegangan—tekad untuk tidak menyerah. Karena meski merasa asing, Puti tahu: bangkit memang tidak selalu terasa nyaman.

Part 3 – Hari Baru

Aku selalu membayangkan hari pertamaku bekerja kembali akan disambut rasa gugup. Mungkin mual sedikit. Kaki gemetar, telapak tangan dingin. Tapi pagi ini aku justru bangun lebih awal—merasa kosong, namun kali ini terasa lebih ringan. Mungkin karena aku sudah kehabisan cemas. Atau karena aku tahu: tidak ada yang lebih menyakitkan dari kehilangan cinta yang selama ini kupikir akan menjadi takdirku.

Hari pertama magang. Aku datang lima belas menit lebih awal, mengenakan kemeja biru yang sudah kusetrika tiga kali karena takut terlihat lecek. Kantor masih sepi saat aku masuk, tapi satu-dua orang mulai berdatangan. Mereka membawa kopi dengan tangan kiri, dan rasa percaya diri di tangan kanan. Santai. Cekatan. Terlihat begitu... cocok menjadi kaum urban.

Aku berdiri di dekat meja resepsionis sambil menunggu Mbak Dira, yang kemarin mewawancaraku. Begitu beliau datang, ia langsung menyambut hangat dan mengajakku ke meja kerja yang katanya akan jadi basecamp-ku selama dua minggu ke depan.

“Ini meja kamu ya, Puti. Nanti kamu bareng tim produksi digital dan campaign. Leader-nya Inggrid, tapi kamu bisa tanya siapa saja di sini.”

Aku mengangguk cepat. Deg-degan. Kemudian datanglah sosok bernama Inggrid.

“Hai, Puti. Welcome ya. Kita lagi ada dua project jalan, jadi sorry kalau aku agak sibuk. Tapi kamu nanti bisa ikut mantau konten plan, sama bantu recap revisian klien, oke?”

Aku menatapnya sekilas—kulitnya cerah, wajah tirus dan elegan. Cara bicaranya rapi, cepat, penuh percaya diri. Tipikal perempuan ibukota yang tahu apa yang ia mau dan terbiasa mengambil keputusan dalam waktu singkat. Ada aura tegas dan efisien yang membuatku seketika merasa seperti murid pindahan dari sekolah kampung yang nyasar ke kelas akselerasi.

Aku tersenyum, berusaha terdengar antusias. “Siap, Kak.”

Tapi dalam hati… aku panik. Konten plan? Recap? Revisi klien? Istilah-istilah itu berterbangan di kepalaku seperti bahasa asing. Dan belum satu jam duduk di depan layar, aku sudah merasa seperti alien yang baru mendarat.

Rekan-rekanku terlihat akrab. Mereka bicara cepat, mencampur bahasa Inggris dan Indonesia seperti sedang syuting sitkom. Mereka tertawa soal ‘deadline gila’, ‘brief absurd dari klien A’, atau ‘campaign ini harus Gen Z banget vibes-nya!’

Aku bukan Gen Z, kan ya? Atau... bahkan kalaupun iya, aku jelas bukan yang paham vibes seperti yang mereka maksud.

Saat makan siang, aku duduk sendiri di pantry. Yang lain sudah keluar bareng tanpa sempat bilang apa-apa. Aku tidak menyalahkan mereka—aku pendatang, masih asing, terlalu kikuk untuk nimbrung. Di Jogja, semuanya terasa lebih pelan, lebih halus. Di sini, semuanya seperti balapan tanpa lampu merah.

Aku sempat bertanya-tanya, apakah aku terlalu jauh dari tempat asal? Apakah aku cukup untuk dunia ini?

Tapi aku ingat malam tadi. Wajah Mas Rama ketika mengatakan; ‘Yang penting jangan berhenti’.

Aku menarik napas panjang, membuka laptopku kembali.

Mungkin aku memang berbeda. Tapi... berbeda bukan hal yang buruk, kan?

Ruangan mulai kembali terisi. Meja-meja penuh dengan cowok berhoodie dan headphone besar, cewek-cewek stylish dengan laptop penuh stiker. Semuanya tampak nyaman. Mereka seperti sudah lama tinggal di dunia ini, tahu cara bicara dan berekspresi yang benar.

Aku masih merasa seperti alien kecil. Tapi entah kenapa, aku juga merasa sedikit bersemangat.

Setelah jam makan siang Inggrid mengajakku menyusuri area terbuka yang katanya adalah creative zone tim campaign. Tidak seperti bayanganku tentang kantor agency yang penuh stres dan muka kusut, tempat ini seperti perpaduan coffee shop dan coworking space. Tenang, modern, tapi tetap hidup. Energinya membuatku merasa... kecil.

Orang-orang di sini terlalu keren untuk jadi rekan kerja. Mereka berpakaian santai tapi penuh gaya. Pria-pria dengan flannel terbuka dan sneakers putih bersih. Perempuan-perempuan dengan palazzo, turtleneck, atau kaus band yang terlihat mahal meski kasual. Semua tampak seperti punya gaya hidup terkurasi.

Aku refleks menarik blazerku, menutupi kerah blus putihku yang terasa terlalu... biasa. Dari cara mereka berbicara, menyebut nama klien-klien besar yang bahkan belum pernah kudengar, aku tahu: aku benar-benar orang baru di dunia ini.

“Kita sampai,” kata Inggrid, berhenti di depan meja panjang dengan empat orang yang sibuk di depan laptop mereka.

Aku meneguk ludah, mencoba tersenyum.

Inggrid memperkenalkan mereka satu per satu.

“Ini Liana, social media planner. Ribka, biasanya pegang ads dan client relationship. Tia—creative lead untuk konten. Dan ini Dirga, UI designer kita yang paling sibuk di pagi hari.” Inggrid tertawa ringan sambil menepuk bahu cowok berkacamata yang sedang scroll Figma.

Guys, kenalin. Ini Puti. Anak magang baru dari Jogja. Background-nya komunikasi, dan dia akan bantu tim konten dan riset selama tiga bulan ke depan.”

Empat pasang mata menoleh ke arahku—dengan ekspresi yang beragam. Ramah, penasaran, ada juga yang datar. Tapi entah kenapa, semua tatapan itu membuatku ingin menciut. Dan apa tadi, tiga bulan? Mbak Dira kemarin menawariku untuk mencobanya selama dua minggu. Aku menggigit bibir khawatir dan dipindahkan ke tim riset? Mengapa ini semua seperti miscomm dengan perkataan mbak Dira kemarin ya?

“Hai... saya Puti,” ucapku pelan, berusaha menjaga nada suara tetap normal. Tangan kiriku mencengkeram tali tas, tangan kananku melambai singkat—awkward, seperti adegan di film remaja.

Ribka tersenyum duluan. “Wah, Jogja! Aku suka banget ke sana. Waktunya pas banget nih. Tim kita lagi banyak campaign.”

Welcome, Puti,” ujar Tia singkat sambil kembali mengetik. Tidak ketus, tapi tidak juga hangat.

Liana mengangguk kecil, dan Dirga—masih dengan earphone di telinga—mengangkat tangan dan berkata, “Halo,” seperti program default.

Aku mengangguk dan duduk perlahan di kursi kosong yang ditunjuk Inggrid.

“Nanti rundown dan akses tools aku kirim lewat email, ya,” ucapnya sembari beranjak.

Aku duduk di kursi itu, memandangi layar kosong. Napasku panjang. Rasanya ingin pulang. Tapi jauh di dalam, ada suara kecil yang berkata:Kamu ke sini bukan hanya untuk sembuh, Puti. Kamu ke sini untuk bangkit.

Waktu berjalan lambat saat kita merasa asing. Jarum jam seperti menunda setiap detik hanya untuk mengingatkan bahwa kita belum menyatu. Aku sudah duduk lebih dari dua jam, bolak-balik membuka tab Google dan file brief yang dibagikan Inggrid, tapi isi kepalaku tetap kosong. Istilah-istilah itu terasa asing seperti kode rahasia yang belum kupelajari cara membacanya.

Tiba-tiba sebuah suara menyapaku dari arah samping. “Puti, kamu udah sempat buka tools yang dikirim Kak Inggrid belum?”

Aku menoleh. Liana. Suaranya lembut, wajahnya terlihat lebih ramah dibanding waktu perkenalan tadi.

“Sudah... tapi masih bingung sih,” aku jujur.

Dia tersenyum kecil, lalu menggeser kursinya sedikit lebih dekat. “Mau aku bantuin sedikit? Tools-nya agak ribet di awal, tapi nanti juga biasa.”

Aku mengangguk cepat. “Boleh banget, makasih ya.”

Liana pun mulai menjelaskan satu per satu, dari sistem internal untuk update revisi, hingga folder cloud yang harus diakses untuk cari referensi. Penjelasannya sederhana, tidak sok tahu, dan dia sesekali menyisipkan candaan kecil yang membuatku merasa sedikit lebih ringan.

“Jangan khawatir kalau masih bingung. Dulu aku juga minggu pertama kayak zombie. Cuma bisa senyum dan bilang ‘noted, Kak’ ke semua orang,” katanya sambil tertawa.

Aku ikut tertawa kecil. “Bedanya kamu nggak datang dari luar planet kayak aku,” sahutku.

“Jogja bukan planet, Puti,” katanya sambil mengedip. “Itu tempat healing nasional. Internasional malah!”

Kami tertawa pelan, dan untuk pertama kalinya sejak masuk ke kantor ini, aku merasa tidak sendirian.

Beberapa saat kemudian, Inggrid datang dan memberikan task pertama—memeriksa kalender editorial dan memberi catatan jika ada konten yang tidak sesuai dengan tren yang sedang naik. Aku tidak terlalu mengerti, tapi Liana diam-diam membantuku membaca pattern yang biasa mereka pakai.

“Liat deh, tiap campaign pasti punya nuansa, entah pakai humor atau gaya sinis. Nah, tugas kamu bantu cocokin tone sama tren minggu ini. Mulai dari TikTok atau Twitter—eh, X sekarang.”

Aku mencatat sambil manggut-manggut, meski beberapa istilah tetap masih terdengar seperti teka-teki silang.

Jam empat sore, Liana menoleh padaku yang masih duduk di depan laptop. “Mau nemenin aku ke bawah sebentar nggak?”

“Ke bawah?”

“Iya, depan kantor ada tukang jajanan SD. Aku udah ngidam cilok-nya dari pagi.”

Aku langsung tersenyum. “Wah, aku ikut!”

Kami turun bersama, keluar dari lobi kaca gedung tinggi itu, dan berjalan menuju gerobak kecil yang parkir teduh di bawah pohon. Seorang bapak paruh baya dengan celemek sederhana sedang melayani anak-anak SMA yang juga kebetulan lewat. Ada cilok, telur gulung, jasuke, dan sosis goreng yang mengingatkanku pada halaman SD dekat rumah dulu.

Liana langsung sigap menunjuk, “Pak, cilok dua bungkus. Satu pakai saus doang, satu pakai lengkap!”

Aku ikut menambahkan, “Saya cilok juga, Pak. Yang pakai bumbu kacang ya.”

Saat kami menunggu pesanan, Liana menatapku sambil nyengir.

“Kantor kita kadang suka sok modern banget, tapi percayalah… semua orang pasti pernah jajan ginian juga. Ini comfort food semua lapisan usia. Permicinan.”

Aku tertawa. “Rasanya kayak lagi di depan sekolahan, bukan kantor agency.”

“Emang kita semua masih bocah kok, cuma dikasih deadline biar keliatan dewasa,” balasnya.

Kami duduk di bangku semen pinggir taman mini dekat gerobak, makan cilok dari plastik bening, sesekali tertawa pelan di sela komentar-komentar soal dunia agency yang katanya keren tapi ‘penuh drama’. Tidak ada yang formal, tidak ada ‘vibes Gen Z’ atau brief klien absurd. Hanya dua perempuan yang makan jajanan, mencoba bertahan, dan mungkin diam-diam saling menguatkan.

Untuk pertama kalinya hari itu, aku merasa tidak se-kaku tadi pagi. Dan mungkin, untuk pertama kalinya sejak putus… aku merasa nyaman, tanpa perlu berpura-pura kuat.

.
.
.

Hari-hari berlalu pelan tapi pasti. Setelah hampir dua minggu, aku mulai memahami irama kantor ini—yang ternyata tidak secepat yang kukira di awal. Mungkin karena aku sudah mulai bisa membaca arah percakapan, atau mungkin karena aku berhenti memaksa diri untuk terlihat paham segalanya. Aku belajar mencatat, mengamati, dan hanya berbicara jika benar-benar perlu. Dan ternyata, semua berjalan lancar dan aku mulai terbiasa.

Liana tetap menjadi orang yang paling sering mengajakku bicara. Sesekali Ribka juga ikut nimbrung kalau kami sama-sama sedang butuh istirahat otak. Dirga tetap tenggelam dalam dunia desainnya, hanya sesekali melirik dan mengangguk kalau aku menyapanya duluan. Tia? Tetap kalem, profesional, dan sulit ditebak. Tapi kalau aku mengajukan pertanyaan yang tepat, dia akan menjawab dengan serius dan cukup membantu.

Aku mulai merasa… tidak terlalu asing. Belum sepenuhnya nyaman, tapi setidaknya, ada beberapa wajah yang kini terasa familiar.

Namun hari ini, suasana kantor terasa agak berbeda. Semua orang tampak lebih… bersemangat? Ribka berdandan sedikit lebih rapi, bahkan memakai lipstik merah yang sebelumnya belum pernah kulihat. Liana, yang biasanya santai dengan sweater, hari ini memakai blazer cokelat muda dan celana kulot.

Aku tidak ingin berasumsi, tapi suasana ini aneh.

“Mas Jagad balik dari liburannya hari ini,” kata Liana setengah berbisik, seperti bisa membaca pikiranku.

“Mas Jagad?” aku mengernyit.

“CEO kita. Yang ruangannya di pojok, paling besar. Samping Ko Melvin. Orangnya itu... jarang ngomong, tapi semua orang pasti mingkem kalau dia udah muncul.”

Liana melirikku dengan ekspresi geli. “Kamu belum tahu ya? Semua orang agak deg-degan tiap kali dia datang. Dia tuh... tipikal bos yang tenang tapi bikin orang nggak berani main-main. Sedikit intimidatif, penampilannya maksudku.”

Aku belum sempat menjawab saat pintu kaca terbuka dan seseorang masuk.

Beberapa menit kemudian, suasana mendadak sunyi. Langkah kaki terdengar dari arah lorong utama. Semua kepala secara alami berpaling, dan seseorang masuk dengan gaya sederhana—kaos hitam polos, jaket denim, sneakers putih bersih. Rambutnya sedikit berantakan, tapi entah mengapa justru itu yang membuatnya tampak effortless. Tatapannya tenang, dalam, dan cara ia berjalan tidak terburu-buru tapi tetap tegak.

Mas Jagad.

Aku bisa merasakan perubahan energi di sekitarku. Seolah-olah udara ikut menyesuaikan. Ia menyapa beberapa orang dengan anggukan kecil, lalu menghampiri Ko Melvin yang sudah menunggunya di ruang meeting terbuka. Beberapa perempuan di tim mulai berbisik pelan—dari nada suara dan senyum-senyum kecil, aku tahu mereka membicarakan hal yang sama.

“Gila sih, auranya beda,” gumam Ribka. “Gue udah dua tahun kerja di sini, tiap dia datang bawa vibes bos startup film di Netflix.”

Liana tertawa pelan. “Gue lebih mikirnya kayak tokoh utama drama Korea yang jarang ngomong tapi tahu semua masalah tim.”

Aku hanya tersenyum kecil, mendengarkan semua komentar itu sambil menyesap teh hangatku. Jujur, aku bisa paham kenapa banyak orang terkesan padanya. Mas Jagad punya ketenangan yang mencolok, tapi bukan jenis yang ramah. Lebih ke... penuh jarak. Terlalu rapi, terlalu tertata, seperti seseorang yang tahu terlalu banyak dan memilih untuk tidak berkata-kata sembarangan.

Lalu datanglah momen yang tidak kusangka. Aku sedang mencetak dokumen brief revisi untuk Inggrid di ruang printer kecil ketika suara berat di belakangku berkata pelan, “Intern, ya?”

Aku menoleh reflek. Mas Jagad berdiri di sana. Dekat. Matanya menatapku lurus.

“Iya, Pak, saya Puti,” jawabku cepat, lalu hampir menjatuhkan kertas yang baru saja keluar dari mesin.

Dia mengangguk singkat. “Lihat progress-mu di tracker. Keep it up ya, kamu cukup rapi.”

Aku mengangguk cepat, tidak tahu harus bicara apa. “Terima kasih, Pak.”

“Pak? Tua banget.” Seperti menggerutu, dia berkata. Dan dengan itu, dia berlalu begitu saja.

Aku berdiri diam selama beberapa detik. Tidak tahu mana yang harus kuproses dulu—pujiannya, suaranya, atau fakta bahwa aku tidak bisa membaca ekspresi wajahnya sama sekali. Tidak ada senyum basa-basi, tidak ada nada kasihan. Tapi entah mengapa, justru itu yang terasa paling tulus.

Aku kembali ke meja dengan napas pelan. Liana langsung menatapku curiga.

“Kamu barusan dari ruang print, ya?”

Aku hanya mengangguk.

“Ketemu, dong?” Aku kembali mengangguk. “Terus?”

Aku mengangkat bahu, masih sulit mencerna protesnya soal panggilan ‘Pak’. “Ya gitu. Serius banget orangnya.”

Liana menatapku dengan tatapan tidak percaya. “Ya ampun, Puti… kamu ini beneran imun dengan aura cowok-cowok misterius, ya?”

Aku hanya tersenyum kecil. Bukan karena imun—tapi mungkin karena hati ini sedang terlalu sibuk mengobati luka, untuk bisa tergoda pada apa pun yang belum terasa nyata.

Aku kembali duduk di mejaku. Layar laptop menyala, tapi fokusku buyar. Bukan karena kaget, bukan juga karena gugup. Lebih seperti... efek sisa dari pertemuan singkat yang terlalu tenang untuk diabaikan.

Mas Jagad.

Namanya belum sempat benar-benar kukenal, tapi langkahnya, caranya berbicara, bahkan diamnya, meninggalkan jejak aneh di pikiranku. Ia tidak menatap seperti ingin menguji, tidak juga seperti sedang menilai. Tatapannya hanya... lurus. Seperti melihat, bukan menebak. Dan itu justru membuatku bertanya-tanya, sudah seberapa banyak hal yang dia tahu, tanpa harus bicara?

Tapi anehnya, aku tidak merasa jantungku berdebar karena itu. Tidak ada getar, tidak ada bunga-bunga khayalan seperti saat remaja bertemu cinta pertama. Mungkin karena hatiku masih sibuk—mengemas luka yang belum selesai dibereskan, mengeringkan kenangan yang masih menempel di sisi-sisi hidup yang tak terlihat.

Entah apakah aku yang terlalu sensitif sejak ditinggalkan oleh Rian dan dikhianati olehnya, aku merasa banyak orang yang bisa mengetahui isi kepalaku kemudian menatapku penuh iba. Seperti tatapan bapak dan ibu sebelum aku berangkat dari rumah menuju Jakarta, juga pelukan mas Trian ketika melepaskanku di stasiun Tugu malam itu padahal dirinya lah yang paling suka membuatku berteriak kesal.

Mas Jagad menarik perhatian, ya. Tapi dia tidak menyentuh apa pun di dalam diriku. Belum.

Dia seperti gedung tinggi yang baru kulihat dari luar: kokoh, rapi, sedikit menakutkan. Tapi belum ada alasan bagiku untuk masuk. Belum ada undangan, belum ada kebutuhan. Dan mungkin, itu justru yang membuatku lebih tenang. Karena untuk saat ini, aku hanya ingin berdiri di luar gedung, sambil belajar membaca petanya terlebih dulu.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chrono Divide - (Part 4 - Cerita Klasik Yang Serupa)
35
4
Dari gosip yang kudengar, ada kisah klasik yang menorehkan luka juga pada masa lalu sosok itu. Cerita klasik yang senada. Namun ada juga gosip nyeleneh lainnya, seperti kemungkinan dirinya menyukai pria? Heh? Nggak heran sih, ini kan Jakarta.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan