
Malam itu, Puti punya sesuatu untuk diceritakan. Bukan hal besar—tapi cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih tenang. Kadang, langkah kecil pun terasa istimewa ketika ada yang mendengarkan.
Part 2 – Sebuah Langkah Kecil
Atas saran Mas Rama, aku memutuskan untuk berhenti sejenak dari rutinitas kerja dan memilih menemani dua krucil—keponakanku—yang biasanya dititipkan di daycare selama ayah-ibunya bekerja. Kupikir, ini akan jadi semacam ‘cuti penyembuhan’. Tapi ternyata… ini keputusan yang salah besar!
Mana aku tahu kalau anak-anak menyimpan energi seperti habis di-charge petir semalaman? Boro-boro teringat patah hatiku, Birru bahkan tidak membiarkanku melamun sejenak. Tanganku terus ditarik—ambilkan mainan, nyalakan TV, cari botol minumnya yang entah bagaimana bisa hilang tiga kali sehari. Kadang aku merasa sedang dalam reality show bertajuk ‘Welcome To The Jungle’ dengan nol besar surviving skill namun sedikit tutorial dari ibunya anak-anak ini.
Untungnya, Aquila berbeda. Dia sudah lumayan bisa diajak bicara. Selama ada pensil warna dan kertas kosong, dia akan duduk tenang dan menggambar. Suara teriakan adiknya pun hanya jadi semacam musik latar yang tak lagi mengganggunya. Aku salut dengan ketenangannya—dan iri.
Meski melelahkan, semua ini ternyata baik untukku. Tidak ada ruang untuk menangisi hubungan sepuluh tahun yang kini hanya tinggal kenangan. Malam hari, tubuhku sudah terlalu lelah bahkan untuk sekadar mengingat wajah mantanku. Aku akan rebah di kasur sebelum Mas Rama dan Kak Larissa pulang kerja, dan baru tersadar ketika suara Birru minta ditemani ke kamar mandi membangunkanku di tengah malam.
Yang membuatku terharu—atau mungkin geli—adalah Mas Rama sendiri. Sependiam dan setegas apapun ia, saat Birru memanggil-manggil namanya, minta ditemani main robot-robotan, tak pernah sekali pun ia menolak. Kakakku yang dulu rasanya dingin seperti kulkas dua pintu itu, kini luluh total di tangan bocah dua tahun yang notabene darah dagingnya.
Sudah sepuluh hari aku di Jakarta. Hari Minggu ini, Mas Rama mengajak kami makan siang di luar dan meliburkan Mbak Atik selama dua hari. Di sela makan siang, Kak Larissa melempar senyum iseng sambil menyeruput minumannya.
“Gimana, Dek, masih semangat nemenin krucil-krucil di rumah?”
Aku tertawa kecil. Sejujurnya, aku bahkan lupa alasan utamaku ke Jakarta. Sepuluh tahun cinta yang kandas, terasa begitu jauh dibanding sepuluh hari mengurus Birru yang super aktif. Rasanya, misi awal datang ke ibukota malah sudah tercapai.
“Capek, Kak. Jujur.”
Komentarku langsung ditertawakan oleh Mas Rama dan istrinya.
“Besok ikut Kakak dulu aja ke kantor,” ujar Kak Larissa. “Kakak kenalin ke beberapa teman di divisi lain. Siapa tahu ada yang butuh tambahan orang. Atau ya… siapa tahu ditawari jadi talent.”
“Talent?” alisku terangkat. “Talent apa maksudnya?”
“Ya bisa bantu di program TV, atau jadi talent buat reality show, kuis gitu…”
Aku meringis malu. “Aku ndak percaya diri tampil di TV, Kak.”
“Lho, kenapa? Wajahmu ayu gitu kok, kok nggak pede?” Kak Larissa menoleh ke Mas Rama, minta dukungan.
Mas Rama malah nyeletuk, “Ayu darimana sih? Mirip Dakocan gitu kok!”
“Dakocan itu apa, sih? Aku lho ndak tahu.”
“Hmm... bocil kamu!” cibir Mas Rama sambil ketawa.
“Biarin!” balasku, ikut tertawa.
Hari Minggu ini pun kami habiskan seharian di luar rumah. Rasanya hangat, anehnya bukan karena cuaca Jakarta, tapi karena kehangatan yang mulai muncul dari dalam diriku sendiri. Saat kami kembali ke rumah jam delapan malam, telepon dari Bapak dan Ibu sudah masuk ke ponsel Mas Rama. Mereka masih rutin menelepon sejak aku tiba di Jakarta, menanyakan kabarku, memastikan aku baik-baik saja.
Setiap kali mereka menelepon, aku pastikan wajahku tersenyum saat bercanda dengan Birru atau saat Aquila menunjukkan gambar barunya. Mungkin belum sepenuhnya sembuh, tapi untuk sekarang, cukup bisa membuat Bapak dan Ibu berhenti mencemaskanku. Dan itu sudah lebih dari cukup.
Hari Senin pagi, aku bangun lebih cepat dari biasanya. Bukan karena Birru membangunkan, tapi karena hari ini aku akan ikut Kak Larissa ke kantornya. Ada rasa gugup yang aneh, meskipun aku hanya akan menemani dan melihat-lihat, seperti yang ia katakan kemarin.
"Jam sembilan kita jalan ya, Dek. Pakai baju yang rapi tapi santai aja," katanya sambil sibuk menyisir rambut Aquila yang sedang bersiap sekolah.
Rapi tapi santai. Aku berdiri di depan lemari baju di kamar tamu dan bingung setengah mati. Setelah sepuluh menit berkutat dengan pilihan yang itu-itu saja, akhirnya aku memutuskan memakai celana kain hitam dan atasan putih polos. Aman.
Stasiun TV tempat Kak Larissa bekerja terletak di bilangan Jakarta Selatan, gedungnya tinggi, penuh kaca, dan terlihat sangat sibuk bahkan dari luar. Kami masuk lewat pintu samping yang katanya khusus untuk karyawan. Aku mengikuti langkah Kak Larissa seperti anak magang yang takut tersesat.
Di dalam, suasananya ramai tapi teratur. Orang-orang lalu-lalang sambil membawa map, kamera, atau segelas kopi yang tampak seperti perpanjangan tangan mereka. Beberapa duduk di depan monitor, memperhatikan tayangan live sambil memberi isyarat ke rekan mereka. Rasanya seperti masuk ke dunia lain. Dunia di balik layar.
"Ini ruang produksi utama. Di sini biasanya meeting harian, atau naskah diedit sebelum syuting," jelas Kak Larissa sambil mengangguk sopan ke beberapa orang yang menyapanya.
Ia mengenalkanku ke beberapa kolega. Ada Mbak Rani dari tim kreatif, Mas Bimo yang menangani audio, dan Mbak Kika dari tim make-up yang langsung menatap wajahku dan berkata, “Wah ini bisa nih, muka tivi.”
Aku tertawa canggung. “Aku cuma nemenin Kak Larissa, Mbak…”
“Lihat-lihat dulu, siapa tahu ketagihan,” jawabnya sambil tersenyum menggoda.
Kami berpindah ke satu ruangan yang lebih sunyi, berisi meja-meja kerja dan papan besar penuh post-it warna-warni. Di sana, Kak Larissa duduk dan membuka laptopnya.
"Ini kantor Kakak sehari-hari. Tapi lebih sering sih mobile, pindah-pindah lokasi syuting atau ruang editing. Kamu duduk aja dulu, bisa pakai laptop Kakak kalau bosan."
Aku duduk, mengamati sekitar. Suara-suara di luar ruangan terdengar samar—suara orang berpacu dengan waktu. Semua orang di sini tampaknya punya ritmenya sendiri, langkah cepat dan kepala penuh ide. Aneh, tapi aku merasa tidak terlalu asing. Ada sesuatu dalam hiruk pikuk ini yang terasa... hidup.
Beberapa jam berlalu, dan aku mulai terbiasa dengan kebisingan yang konstan. Sesekali aku membantu Kak Larissa memindahkan file, atau mencatat hal-hal kecil dari hasil meeting singkat. Tidak ada yang berat, namun cukup membuatku merasa berguna.
Saat makan siang, kami duduk di kantin bersama beberapa orang dari tim kreatif. Obrolan mereka cepat, seru, kadang diselingi guyonan khas orang media.
“Ini siapa, Ca?” Tanya seorang pria pada kak Larissa.
“Adik ipar gue. Adiknya Rama.”
"Ooh, jadi kamu adiknya Rama? Wah, akhirnya ketemu juga, Bimo!" pria itu memperkenalkan diri, dirinya juga ternyata satu kampus dulu dengan Mas Rama. "Masih jomblo?" lanjutnya dengan senyum jahil.
Aku hanya tertawa sambil menyeruput es teh.
Kak Larissa melirikku sambil berbisik, "Lihat? Baru setengah hari di kantor aja kamu udah dilirik orang."
Aku menjawab pelan, “Baru setengah hari juga aku udah capek, Kak…”
Kami pulang sore hari, dan anehnya, aku merasa lebih ringan seolah beban patah hati itu enyah sementara. Bukan karena suasana kantor itu menyenangkan, namun karena ada hal baru yang mengalihkan pikiranku. Jakarta, yang tadinya hanya tempat pelarian, perlahan menjadi tempat yang sepertinya juga bisa untuk kutinggali.
Malam datang, sebelum tidur, aku membuka layar ponsel dan melihat foto-foto lama bersama mantanku si bajingan itu. Entah dorongan dari mana, aku memilih menghapus semuanya satu per satu. Bukan karena sudah tidak sakit, namun karena aku mulai ingin membuka ruang untuk hal baru.
Besok, aku akan ikut lagi ke kantor. Siapa tahu, dunia ini bukan hanya untuk disaksikan dari jauh.
.
.
.
Hari kedua di stasiun TV terasa lebih melelahkan. Bukan karena pekerjaannya—karena aku tidak benar-benar bekerja—namun karena segala hal di tempat ini terasa terlalu... menyala. Dan ternyata aku kewalahan sendiri dengan semua sentuhan akrab, candaan dan hingar bingar.
Lampu studio, suara tertawa yang menggelegar, dan orang-orang yang seolah punya energi tanpa batas. Sementara aku, lebih suka mendengar orang lain bicara daripada menjadi pusat perhatian. Dunia ini, seindah dan semenarik apa pun, bukan panggungku.
Di sela jam makan siang, aku duduk di pantry kecil sambil memainkan sendok plastik dalam gelas puding. Kak Larissa masuk membawa kopi dan duduk di depanku, memperhatikan wajahku yang mungkin sudah cukup jelas menunjukkan kebingungan.
“Kamu nggak enjoy ya, Put?” tanyanya pelan, seperti tak ingin menekanku.
Aku mengangguk pelan. “Menarik sih, Kak. Tapi bukan aku banget. Aku suka yang tenang, rapi, bisa fokus kerja tanpa harus tampil atau ngomong terus.”
Ia mengangguk pelan, lalu tersenyum. “Yaudah. Pas banget sih.”
Aku menoleh. “Pas banget gimana?”
“Teman Kakak di lantai dua—kantor digital agency gitu—lagi cari admin project sama support content. Mereka nggak butuh orang yang tampil, lebih ke bantuin backend-nya. Barusan ngobrol pas di lift. Kakak langsung mikir, ini cocok buat kamu.”
Aku terdiam sejenak, menimbang. Ada rasa ragu, tapi juga penasaran. “Aku bisa apa, Kak? CV aja udah lama nggak ku-update…”
“Yang penting coba dulu. Nanti Kakak bantu kenalin. Mereka butuh orang yang bisa cepat belajar, rapi, dan komunikatif. Kamu punya itu semua.”
Sore harinya, Kak Larissa mengajakku naik ke lantai dua. Kantor yang dimaksud memiliki suasana yang jauh berbeda: lebih tenang, meja-meja kayu dengan tanaman kecil di pojok, dan orang-orang yang bekerja sambil mendengarkan musik lewat airpod. Tidak ada teriakan, tidak ada orang lari-lari dengan naskah di tangan dan headset yang hampir jatuh.
Kami bertemu dengan Mbak Dira, perempuan ramah dengan blazer abu dan rambut digelung rapi.
“Puti ya? Sudah diceritain banyak sama Larissa. Lagi cari aktifitas ya di Jakarta?”
Aku mengangguk, mencoba tersenyum sopan. “Iya, Mbak. Sebenarnya baru aja pindah dari Jogja.”
Kami ngobrol sebentar. Tanya jawab ringan soal latar belakang, pengalaman kerja sebelumnya, dan hal-hal yang aku suka kerjakan. Rasanya lebih seperti ngobrol dengan kakak perempuan daripada wawancara kerja. Aku merasa nyaman.
“Kami sedang butuh yang bantu cek dokumen internal, bikin laporan meeting, dan sesekali bantu koordinasi sama tim kreatif. Nggak berat kok. Kamu mau coba magang dua minggu dulu?”
Aku melirik Kak Larissa yang mengangguk memberi isyarat “ambil lah!”
Aku menghela napas. “Boleh, Mbak. Saya coba dulu, ya.”
Saat kami berjalan turun kembali ke ruangannya, Kak Larissa menepuk pundakku. “Lihat? Kadang bukan kita yang nyari tempat, tapi tempat yang nyari kita.”
Aku tertawa kecil. Untuk pertama kalinya sejak datang ke Jakarta, aku merasa tidak lagi sekadar kabur dari masa lalu. Aku mulai menapak pelan-pelan—mungkin ini bukan tempat pelarianku lagi, atau sekedar tempat tinggal tapi juga tempat bertumbuh. Aku optimis bisa meninggalkan segala luka-lukaku di belakang dan terus bergerak maju menyongsong masa depan.
Malam harinya, rumah terasa lebih tenang dari biasanya. Birru sudah tertidur pulas setelah seharian kelelahan bermain robot-robotan, dan Aquila masih sibuk menggambar diam-diam di pojok ruang tamu dengan lampu temaram. Kak Larissa sedang mencuci botol susu, dan aku duduk di ruang tengah sambil menatap layar ponsel yang kosong. Sejujurnya, aku hanya menunggu waktu yang pas untuk bicara.
Mas Rama duduk di sofa sebelahku, masih dengan laptop di pangkuan dan ekspresi serius khasnya. Aku mengatur napas, lalu memberanikan diri.
“Mas…”
“Hm?”
“Aku tadi ditawari magang, di kantor digital agency di lantai dua. Temannya Kak Larissa yang nawarin.”
Mas Rama berhenti mengetik, menutup laptop perlahan, lalu menoleh padaku. “Magang? Mulai kapan?”
“Besok… atau kapan aja aku siap, katanya. Dua minggu dulu, coba-coba.”
Ia menatapku sejenak, lalu mengangguk kecil. “Bagus. Kamu mau ambil?”
Aku mengangguk cepat. “Iya, Mas. Kayaknya aku cocok di sana. Kantornya tenang, kerjaannya jelas, dan aku nggak harus ngomong di depan kamera.”
Mas Rama tersenyum tipis, langka sekali ia menunjukkan ekspresi seperti itu tanpa harus ditarik paksa oleh Birru.
“Bagus kalau kamu udah tahu mana yang kamu mau. Di Jakarta ini, semua orang sibuk kejar target, kejar posisi, kejar eksistensi. Tapi nggak semua bisa tahu apa yang sebenarnya cocok buat dirinya sendiri.”
Aku diam, menyimak. Mas Rama memang bukan tipe yang bicara panjang, tapi kalau sudah buka suara, kata-katanya seperti punya makna tersendiri yang tidak bisa diabaikan.
“Sepuluh tahun pacaran dan harus pisah, itu bukan hal kecil, Put. Tapi kamu ke sini bukan buat sembunyi. Kamu ke sini untuk bangkit. Dan kalau kamu sudah mulai melangkah, sekecil apa pun, itu artinya kamu nggak kalah.”
Aku menunduk, menahan air mata yang tiba-tiba muncul begitu saja.
“Makanya,” lanjutnya pelan, “kalau dua minggu ke depan kamu suka, kamu lanjutin. Kalau nggak cocok, cari lagi. Yang penting jangan berhenti.”
Aku mengangguk pelan, lalu bersandar di sandaran sofa. “Mas… makasih ya. Beneran makasih.”
Mas Rama tertawa kecil, lalu berdiri sambil mengacak rambutku. “Sudah, sana tidur. Besok kamu butuh energi.”
Aku tersenyum sambil mengusap mata. Sore tadi aku merasa sedang membuka pintu kecil yang belum pernah kubuka sebelumnya. Namun malam ini, aku merasa ada seseorang yang berjaga di depan pintu itu, memastikan aku berani masuk dan tidak kembali mundur. Dan sosok itu selalu mas Rama. Entah bagaimana caranya, dia selalu ada di sana. Bersiap menungguku mengambil langkah sambil diam-diam menjagaku ketika aku hendak berjalan ke arah yang salah.
Dan keputusan bapak untuk membuatku tinggal bersamanya memang tidak pernah salah. Bapak tahu aku tidak akan bertindak konyol di depan mas-ku yang satu ini, bahkan untuk sekedar mencari perhatian pun, aku tidak akan melakukannya.
∞
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
