Chrono Divide - (Part 4 - Cerita Klasik Yang Serupa)

39
4
Deskripsi

Dari gosip yang kudengar, ada kisah klasik yang menorehkan luka juga pada masa lalu sosok itu. Cerita klasik yang senada. Namun ada juga gosip nyeleneh lainnya, seperti kemungkinan dirinya menyukai pria? Heh? Nggak heran sih, ini kan Jakarta.

 

 

Part 4 – Cerita Klasik Yang Serupa

Awalnya aku pikir magang ini hanya akan menjadi batu loncatan. Tiga bulan, rasanya cukup untuk belajar sistem kerja profesional dan mungkin melupakan kisah yang memang hendak kulupakan, lalu kembali ke kampung halaman sebagai sosok baru yang sudah siap menghadapi kenyataan. Tapi ternyata, semuanya berkembang jauh di luar dugaanku.

Rutinitasku sekarang padat, kadang melelahkan, namun juga memicu semangat yang nggak pernah kurasakan sebelumnya. Pagi-pagi aku berdesakan di TransJakarta sambil nyempil baca notulen rapat di HP, kalau tidak bareng kak Larissa. Di kantor, aku ikut brainstorming, kadang hanya disuruh mencatat, kadang diminta pendapat. Dan kalau beruntung, idenya dipakai. Rasanya seperti berhasil tumbuh sedikit demi sedikit, dari semai menjadi tunas kecil yang mulai mencari cahaya dan bonusnya, urusan patah hati bisa sedikit terlupa di siang hari meski masih menyiksa di saat-saat menjelang tidur.

Aku mulai akrab juga dengan teman-teman kantor. Walau awalnya canggung, mereka pelan-pelan menerima kehadiranku. Meski ya, satu hal yang belum berubah: panggilan itu.

“Eh, Gadis Desa! Nggak nyasar ke kantor pagi ini?” teriak Nando dari balik layar monitor.

Semua berpikir Jogja hanyalah sebuah desa kecil yang jauh dari keramaian dan aku nggak ingin repot-repot menjelaskan bahwa rumahku terletak di kotanya, kota Jogja.

Aku geleng-geleng saja sambil tertawa. “Yang penting datang tepat waktu, Do. Nggak kayak kamu.”

Mereka pikir itu cuma becandaan. Tapi kadang aku mikir, kenapa latar belakangku selalu dijadikan bahan candaan? Lalu aku sadar—aku bisa memilih untuk tersinggung, atau bersikap tak acuh saja. Karena toh, aku memang berasal dari daerah dan belum pernah hidup di Jakarta lebih lama dari tiga hari tiap berkunjung ke rumah mas Rama dulu.

Suatu sore, Mbak Dira memanggil aku ke ruang meeting kecil. Suaranya tetap ramah seperti biasa, tapi aku bisa dengar nada seriusnya.

“Kami sudah evaluasi kinerjamu selama magang, Puti. Dan hasilnya memuaskan. Jadi… Perusahaan ingin menawarkan kontrak satu tahun.”

Aku sempat terdiam. Mataku menyisir lembar kontrak di depanku. Satu tahun. Gaji tetap. Tanggung jawab lebih besar. Rasanya deg-degan. Antara senang dan takut.

“Boleh aku pikir-pikir dulu, Mbak?”

“Tentu. Ini keputusan penting. Diskusikan dengan orang yang kamu percaya.”

Malam harinya pun aku berdiskusi dengan mas Rama dan kak Larissa. Pertama yang mas Rama tanyakan adalah perasaanku tentang bekerja di sana.

“Kamu senang? Kamu merasa berkembang nggak di sana? Banyak yang bisa kamu pelajari? Kalau semua jawaban itu ‘ya’, maka kamu nggak ada alasan untuk menolak.”

‘Tapi, itu berarti aku akan tinggal lebih lama di sini.” Jawabku sambil menatap lantai.

Aku tidak pernah berencana tinggal lebih lama dari ini, aku pikir hanya butuh waktu sebentar untuk melupakan itu semua.

“Kamu keberatan nggak kalau Puti tinggal lebih lama, Bund?” Tanya mas Rama pada istrinya, aku melirik galak pada kakakku namun kak Larissa justru menertawakan pertanyaan itu.

“Nggak sih, selama itu adekmu. Kalau adekku, baru deh. Takut ‘Ipar Adalah Maut’ jilid dua.” Kelakar kak Larissa, mas Rama tersenyum kecil dan menggerakkan kepalanya ke arah kak Larissa memberi isyarat agar aku tidak perlu mengkhawatirkan hal itu.

Aku memang sungkan jika merepotkan lebih lama, karena bagaimanapun juga mereka telah berumah tangga dan pasti butuh ruang untuk keluarga kecilnya. Sementara aku hanyalah ipar bagi kak Larissa.

“Kalau aku kost, gimana, Mas?”

Ndak usah! Ada kamar di sini, untuk apa kost lagi?” Jawab mas Rama tegas.

“Iya, Put. Kakak nggak ada masalah kok. Malah terbantu kalau kamu ajak Aquila dan Birru main biar kami bisa pacaran lagi.”

Aku tersenyum lebar. “Makasi ya, Kak, Mas.”

Dan di situlah aku sadar—mungkin memang belum waktunya pulang. Mungkin Jakarta masih punya ruang buat aku belajar lebih banyak dan peluang untuk mengembalikan hatiku dengan layak.

Beberapa hari kemudian aku kembali ke ruang meeting itu. Kali ini dengan langkah yang mantap. Aku tanda tangani kontrak yang diberikan mbak Dira sembari mendapat ucapan selamat karena memutuskan untuk resmi bekerja di perusahaan ini.

Sekarang, aku bukan lagi anak magang. Aku staf. Resmi. Dan siap menulis bab baru dari hidupku—di tengah kota besar, sebagai gadis desa yang bukan hanya sedang menyembuhkan luka namun juga belajar untuk menjadi wanita tangguh seperti wanita Jakarta kebanyakan.

Kupikir, kesibukan kerja akan membuatku lupa. Tapi ternyata, rasa itu tetap tinggal. Diam-diam, dan terasa nyata.

Setiap malam, setelah layar laptop ditutup dan deadline berguguran, aku masih suka memikirkan hal yang sama: bagaimana kalau dulu aku tidak terlalu lama membuang waktu dengan Rian dan memutuskan menikah saat lulus kuliah, mungkin kah hari ini masih sama? Atau jika saja aku tidak terlalu menggenggam hubungan kami sendirian, atau terlambat menyadari bahwa tidak ada lagi namaku di masa depan bersamanya—kini, perpisahan itu meninggalkan lubang menganga di hatiku terlebih saat foto-foto pernikahannya dengan Sophia tersebar di sosial media bahkan masuk akun lokal daerah. Sementara aku di sini sedang berusaha membuang sisa-sisa fragmen penuh kenangan yang masih menempel namun tidak bisa lagi aku genggam.

Patah hati itu belum sembuh. Mungkin karena aku tidak pernah benar-benar menghadapinya. Aku hanya sedang menghindar. Berlari dari masa lalu yang sudah membuatku lupa menjadi diri sendiri. Kubungkus luka itu dengan kesibukan, pura-pura kuat di tengah ruangan meeting, pura-pura bergembira sambil bercanda ria saat makan siang bareng tim, pura-pura bermain dengan dua keponakanku di rumah, dan pura-pura nggak dengar kalau Nando mulai tanya-tanya soal siapa kekasihku saat ini. Dan tidak ada siapa pun yang bisa kuakui sebagai kekasih.

Aku tahu Ilham—rekan kerja dari divisi strategi—belakangan sering cari alasan untuk ngobrol. Kadang ia bertanya hal sepele, kadang ngajak bareng pulang kalau hujan deras. Dia baik. Nggak memaksa. Tapi justru karena itu, aku jadi tambah bingung. Aku nggak mau kasih harapan kalau hatiku masih kosong, karena masih ada puing yang belum kubersihkan di dalam sini.

“Put, kamu selalu jaga jarak ya sama orang,” katanya suatu sore, saat kami duduk bareng di pantry, minum teh yang sudah tidak panas.

Aku hanya tersenyum kecil. “Mungkin karena aku masih belajar percaya.”

Dia menatapku lama, tapi nggak bilang apa-apa. Mungkin dia paham. Mungkin juga kecewa. Tapi aku nggak bisa pura-pura siap kalau kenyataannya memang belum.

Kadang aku iri pada orang-orang yang bisa jatuh cinta dengan mudah. Yang hatinya nggak dibayangi rasa kehilangan, atau takut dikhianati lagi. Tapi aku bukan mereka. Dan sekarang, aku nggak sedang mencari siapa pun. Aku sedang mencoba menemukan diriku sendiri dulu—versi yang lebih utuh, lebih kuat, dan nggak lagi menyimpan luka di balik senyum profesional. Dan kuharap Jakarta membantuku untuk menyembuhkan diri.

Semakin lama aku bekerja di sini, semakin sering nama Mas Jagad muncul dalam percakapan sehari-hari. Bukan karena dia suka ikut campur urusan sepele—justru sebaliknya. Ia hampir selalu tak terlihat, tapi pengaruhnya terasa di mana-mana. Seperti bayangan panjang yang tenang tapi dominan.

Beberapa staf lama menyebut namanya dengan nada segan, seolah setiap kalimat tentang Mas Jagad harus diberi jeda penghormatan. Yang lebih muda—terutama perempuan—lebih sering membicarakannya dengan antusias setengah menggoda. Katanya, Mas Jagad itu paket lengkap: tampan, cerdas, mapan, dan tentu saja available. Tapi di balik semua puja-puji itu, tetap ada narasi yang tak bisa diabaikan—bahwa dia juga pernah hancur.

Dari gosip yang beredar, kudengar ia belum menikah karena patah hati ditinggalkan oleh mantan pacarnya. Mereka menjalin hubungan selama lima tahun, tapi kandas karena keluarga Mas Jagad tidak merestui hubungan itu—katanya, karena perbedaan latar belakang. Wanita itu pun akhirnya menikah dengan orang lain. Sejak saat itu, Mas Jagad berubah. Tidak lagi percaya pada hubungan jangka panjang. Ia memang sering terlihat bersama perempuan berbeda, tapi tidak satu pun yang benar-benar mendekat ke ruang pribadinya.

Lalu muncul gosip lain—yang lebih berani. Ada yang bilang Mas Jagad sengaja mencitrakan diri sebagai playboy untuk menutupi orientasi seksualnya. Katanya, ia menjalani hidup selibat dan mungkin seorang gay. Jujur saja, aku terkejut saat pertama kali mendengarnya. Di usianya yang sudah menginjak tiga puluh tujuh tahun, ia memang masih sendiri dan tinggal di sebuah penthouse terkenal di bilangan Sudirman. Konon, hanya Kak Inggrid dan Ko Melvin yang rutin bertamu ke sana.

Lucunya, meski banyak yang bergosip, tak ada yang menghakimi. Karena di balik semua spekulasi, Mas Jagad tetap menjalankan perusahaan ini dengan presisi dan ketegasan yang nyaris tak tergoyahkan. Aku pernah mengamatinya diam-diam—cara ia membaca data secepat membaca emosi seseorang, cara dia mengambil keputusan besar dengan wajah setenang langit mendung yang menahan hujan.

Dan harus kuakui, kharismanya nyata. Bukan dari senyum manis atau gombalan murahan, tapi dari cara dia berdiri, cara bicara seperlunya, dan cara dia tidak berusaha memikat siapa pun—justru itu yang membuat banyak orang terpikat. Lelaki maupun perempuan. Ya, Jakarta memang seperti itu.

Tapi bagiku, kharisma saja tidak cukup. Tidak sekarang.

Aku masih belum selesai dengan diriku sendiri. Dan jujur saja, aku bisa melihat kalau luka itu masih belum betul-betul hilang dari sorot matanya. Mas Jagad memang tidak tampak menyimpan amarah, tapi ia juga tak benar-benar membiarkan siapa pun tinggal terlalu lama di hidupnya. Ia sopan, bahkan sesekali mencoba akrab, tapi aku tahu—hatinya seperti kamar dengan pintu yang selalu tertutup rapat.

Dan aku tidak sedang ingin berdiri di depan pintu yang belum tentu akan dibuka.

Kami pernah mengobrol sebentar—agak santai, tapi terasa ada jarak yang dijaga. Ada saat ketika aku menangkap sesuatu di balik mata tajamnya, semacam retakan lama yang belum tersentuh siapa pun. Tapi aku pun tahu diri. Aku juga masih menyimpan bekas luka. Masih belajar sembuh. Masih takut membuka ruang yang terlalu dalam.

Kupikir, tak ada yang lebih rumit dari dua orang yang sama-sama belum sembuh—saling tatap dari jauh, tapi memilih berdiri di tempat masing-masing.

Mungkin memang belum waktunya. Atau mungkin, tidak perlu ada waktu sama sekali.

Hari ini, ruang meeting dipenuhi aroma kopi dan energi yang aneh—semacam campuran antara gugup dan harapan. Kak Inggrid baru saja membuka rapat mingguan divisi kreatif, dan seperti biasa, ia penuh semangat sekaligus to the point. Tapi hari ini berbeda, karena beberapa menit kemudian, pintu kaca terbuka dan Mas Jagad masuk.

Tak ada pengumuman. Tak ada salam berlebihan. Hanya kehadiran yang tiba-tiba, membuat semua suara mereda secara otomatis. Termasuk jantungku.

Aku menunduk sejenak, pura-pura sibuk dengan laptop, meski kenyataannya tak ada satu pun kata yang masuk akal di layar. Rasanya terlalu mencolok jika aku menatap langsung, tapi lebih aneh lagi kalau pura-pura tidak terpengaruh. Maka aku memilih duduk diam, seperti kebanyakan orang yang tidak tahu harus bereaksi bagaimana di hadapan seseorang yang karismanya terlalu pekat.

“Silakan lanjut, Grid. Gue ikutan duduk saja,” katanya santai, sambil menarik kursi di ujung meja.

Suaranya terdengar biasa saja, tapi efeknya tidak biasa. Beberapa staf langsung merapikan postur, beberapa lainnya pura-pura mencatat sesuatu. Kak Inggrid tetap tenang, seperti sudah terbiasa dengan kedatangan mendadak itu.

Rapat berlanjut. Kami membahas progres campaign untuk klien FMCG terbaru—konsep konten, angle iklan, copy headline, dan ide visual. Kak Inggrid lalu menyebut namaku.

“Puti, kamu yang lead naskah untuk campaign Ramadan, kan? Coba share progress-mu,” katanya.

Detik itu, semua mata mengarah padaku. Termasuk bos kami semua.

Aku menarik napas pendek dan mulai bicara. Cukup lancar, meski beberapa kali aku harus menyusun kalimat di kepala lebih hati-hati dari biasanya. Aku membahas tema ‘Ruang Pulang’ sebagai inti narasi, menekankan bahwa Ramadan bukan cuma tentang tradisi, tapi juga tentang keintiman batin dan ruang temu yang kita tuju setelah segala kesibukan.

Aku belum selesai bicara ketika Mas Jagad menoleh padaku dan menyelipkan komentar.

“Konsepnya puitis,” katanya. “Tapi pastikan nggak kehilangan arah secara komersial, ya. Kadang, brand terlalu sibuk ingin terlihat ‘deep atau touchy’, tapi lupa jualannya apa.”

Seketika, ruang rapat menjadi hening. Aku mengangguk pelan, mencoba menyimpan reaksi dengan rapi.

“Iya, Mas. Sudah kami diskusikan juga opsi untuk split antara versi pendek yang direct dan versi panjang untuk teaser video. Ada breakdown-nya di deck ini,” jawabku sambil membalik halaman presentasi.

Matanya sedikit menyipit, seperti sedang menimbang.

Good job!” Ucapnya singkat.

Dan hanya itu. Tapi entah kenapa, nadanya tak terasa meremehkan. Lebih seperti… bentuk kepercayaan yang belum sepenuhnya diberi, tapi juga tidak ditarik.

Setelah itu ia diam cukup lama, sesekali membolak-balik halaman, lalu berdiri bahkan sebelum rapat benar-benar selesai.

Good luck ya, Tim. Ramadan-nya tinggal beberapa minggu. Pastikan insight-nya relevan dan nggak generik. Nanti kalau ada kebutuhan buat alignment antar divisi, langsung aja hubungi Inggrid.”

Lalu ia keluar seperti saat masuk: tanpa suara berlebih. Tapi bekas kehadirannya tinggal seperti sisa parfum yang samar namun mengganggu pikiran.

Sementara aku kembali duduk tegak, mencoba fokus lagi, bagian diriku yang lain justru sedang sibuk memproses sesuatu: komentar singkatnya, cara matanya sempat berhenti lebih lama di wajahku, dan ekspresi samar yang entah mendukung atau menguji.

Aku tidak tahu harus mengartikan itu sebagai apa. Tapi satu hal yang pasti: untuk pertama kalinya, ruang antara kami terasa sedikit lebih pendek. Meski belum cukup untuk disebut dekat dan rupanya jantungku sedikit lebih lemah tiap berada di sekitarnya. Dan aku segera menepis perasaan itu. Terang saja aku tegang, dia adalah pemilik perusahaan ini sekaligus pemimpinnya. Dan perusahaan ini terhitung perusahaan baru yang ia bangun di tengah badai pandemi di saat semua orang kehilangan pekerjaan, dia menciptakan lapangan kerja.

Katanya juga dia berasal dari latar belakang berada. Nggak heran juga sih aku, kalau dia mampu membuat perusahaan seperti ini di tengah hantaman pandemi kala itu yang banyak meruntuhkan ekonomi beberapa sektor.

Kalau Liana bilang, tidak ada jantung yang aman setiap berada di dekat mas Jagad. Hanya kak Inggrid saja wanita yang berhasil bicara normal dan tampak tidak terdistraksi dengan aura yang dimiliki mas Jagad. Ada gosip juga mereka memang dekat secara harfiah namun ada juga yang berkata mereka hanya bestie bertiga dengan ko Melvin.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Chrono Divide - (Part 5 - Memindahkan Rumah)
46
2
Puti merayakan Idulfitri di tengah sunyinya Jakarta, jauh dari wangi tanah basah dan suara takbir masjid kampung yang biasa menemaninya di Jogja. Namun di balik dinginnya kamar hotel dan sepinya jalanan ibu kota, ia menemukan hangat yang berbeda—hangat yang datang bukan dari tempat, tapi dari kehadiran orang-orang tercinta. Dalam perbedaan itu, Puti belajar bahwa rumah ternyata bisa berpindah, selama cinta tetap menetap.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan