
Cerpen ini saya tulis pada bulan Desember 2011, hampir sepuluh tahun lalu, dan merupakan curahan hati saya saat keinginan saya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi terhalang restu orangtua karena faktor ekonomi. Cerpen ini juga saya ikut sertakan dalam sebuah lomba cerpen di sosial media facebook pada akhir tahun 2011 dan berhasil masuk 150 besar dari 700 cerpen yang dikirimkan.
Sinar matahari masuk melalui jendela yang terbuka, menyinari ruang tamu kecil yang di dalamnya terdapat beberapa kursi dan meja serta sebuah televisi di sudut ruangan. Di salah satu kursi, aku duduk dengan wajah masam menatap sebuah surat beramplop putih di atas meja dengan lambang universitas swasta yang mengirimkan surat itu padaku.
Surat itu memang ditujukan padaku. Dikirimkan untuk memberitahukan sebuah kabar gembira bahwa aku telah diterima sebagai salah satu mahasiswa di universitas tersebut dengan beasiswa berupa potongan SPP 40% untuk setiap semesternya dengan syarat dapat mempertahankan nilai IP diatas 3,75 jika tidak ingin beasiswa itu ditarik.
Tentu sebuah berita yang menggembirakan. Sebuah berita yang kuharap bisa membuat orangtuaku senang mendengarnya. Sayangnya, apa yang kuharapkan tidak sesuai dengan kenyataan. Orangtuaku tampaknya tidak menyambut berita itu dengan gembira, terutama setelah melihat isi surat yang tidak hanya menyatakan diterimanya aku ke dalam Universitas itu, tapi juga lampiran mengenai biaya cicilan yang harus dibayarkan perbulannya dalam kurun waktu yang telah ditentukan sebelum aku memulai perkuliahan tahun depan.
Hal itulah yang tampaknya membuat orangtuaku tidak merasa gembira dengan berita ini. Hal ini pula yang membuatku duduk di ruang tamu dengan wajah masam sementara Ayah duduk di depanku. Sesekali dia melirikku dan surat di atas meja lalu melempar pandangannya ke luar jendela.
“Kau lihat daftar harga yang harus kita bayar?” kata Ayah akhirnya, membuka pembicaraan setelah lama diam membisu. “Uang segitu banyak, dari mana kita mendapatkannya?”
Aku hanya bisa diam karena memang tidak ada yang bisa kujawab.
“Lagipula, kau mau tinggal dimana nantinya?”
Ah! Pertanyaan ini sudah bosan-bosannya aku dengar. Berulang-ulang aku mendengar dan berulang-ulang pula aku menjawab, “Kost.”
“Kau pikir kost di Jakarta gampang? Uangnya? Seluk beluk di kota ini saja kau tidak tahu apa lagi di Jakarta?”
“Aku kan bisa kuliah sekaligus kerja di sana. Uangnya setidaknya bisa kubayarkan untuk biaya kost. Dan soal seluk beluk kan bisa dilihat nanti. Aku ke Jakarta tentunya bukan sehari sebelum kuliah dimulai, kan?”
Itulah dialog antara kami yang diulang tanpa henti tiap mendiskusikan masalah keinginanku untuk kuliah.
“Kost itu butuh uang. Kau kost 4 tahun. Bukan seminggu. Bukan sebulan. Kalau Cuma seminggu sih tidak apa-apa. Kau mau nginap seminggu di hotel juga tidak apa-apa, tapi ini 4 tahun.”
Aku mencibir. Seminggu di hotel? Aku ingin lihat, apakah aku akan tinggal di hotel berbintang dengan di bayari oleh Ayah jika berada di Jakarta selama seminggu?
“Aku kan tentunya akan mendapat pekerjaan untuk membiayai kost.” ulangku lagi. “Universitas itu saja bilang aku bisa bekerja setengah waktu disana.”
“Uang yang ini saja kita susah membayarnya. Gila! Kuliah saja belum dimulai sudah harus membayar dulu.” Ayah pura-pura tidak mendengar kata-kataku sebelumnya dan mengalihkan pembicaraan.
“Namanya juga kuliah. Dimana-mana juga seperti itu. Cicilannya selama sepuluh bulan, kalau pun memang bisa dibayar setelah kuliah dimulai, memangnya kita mampu membayar cicilan dalam waktu 4 sampai 6 bulan dengan nominal yang sama?”
Aku sudah mulai dibuat kesal oleh pembicaraan ini.
“Apa jurusan yang kau ambil?” tanya Ayah, lagi-lagi mengalihkan pembicaraan.
“Sastra Inggris.” jawabku acuh tak acuh.
“Mau jadi apa kalau sudah sarjana?”
“Banyak kok. Tour guide, guru, wartawan juga bisa.”
“Huh! Wartawan apa gunanya? Gak berguna!”
“Kata siapa? Ayahkan gak pernah jadi wartawan. Gimana ayah bisa tahu kalau jadi wartawan gak berguna.” kataku kesal. “Kalau gak ada wartawan, ayah mau nonton berita dari mana? Lagi pula, kalo’ profesi wartawan menurut ayah gak bagus, aku bisa kerja di kantor atau hotel. Pariwisata di sini kan sedang pesat-pesatnya. Siapa tahu sepulang dari kuliah daerah kita ini ramai oleh turis. Aku kan bisa jadi guide-nya.”
“Tapi kamu gak pasti dapat kerjaan kaya’ gitu kan?” tanya ayah. “Coba kamu lihat sepupumu, si Andi. Dia kan sarjana hukum, eh, sekarang malah buka toko kelontong. Atau anak Tante Key, dia juga kuliah mahal-mahal pulang kesini malah buka toko.”
“Siapa suruh mereka gak mau cari kerjaan sesuai bidangnya? Lagi pula itu kan mereka. Bukan aku. Kali’ aja emang rejeki mereka seperti itu. Rejeki setiap orang-orang kan beda-beda.” kataku kesal sambil beranjak menuju kamar mengakhiri percakapan di pagi yang cerah itu.
Kuhempaskan tubuhku diatas ranjang dengan hati yang bercampur antara marah dan sedih. Hari itu, aku benar-benar kehilangan semangat untuk beraktivitas. Untuk pertama kalinya, aku bolos magang.
Sebagai siswa kelas tiga Sekolah Menengah Kejuruan, kami memang selalu ditempatkan di beberapa tempat, baik instansi pemerintah maupun toko-toko biasa, untuk magang selama tiga bulan. Sialnya, aku ditempatkan di sebuah pusat perbelanjaan di daerahku dengan seorang manajer yang cerewet. Sehingga membuat nafsuku ke tempat magang semakin menghilang.
Hari itu, aku mengurung diri di kamar seharian. Aku keluar apabila aku ingin ke kamar kecil atau minum. Aku berbicara dengan ayah dan ibu hanya seperlunya. Selebihnya aku berada di kamarku.
Orangtuaku tahu aku sedang marah, sehingga mereka maklum dan lebih memilih diam. Bahkan saat aku keluar pada malam harinya, mereka tidak bertanya sama sekali. Begitupun sebaliknya, aku tidak memberitahu kemana aku akan pergi dan tanpa permisi aku keluar dari rumah untuk mencari angin segar serta menghilangkan kekesalan di dalam hati.
Aku benar-benar kesal dan, terutama sekali, sangat kecewa. Kenapa baru sekarang Ayah menyatakan ketidaksetujuannya dengan keinginanku setelah aku diterima sebagai mahasiswa. Kenapa bukan sebelumnya? Kenapa bukan disaat aku belum membeli formulir pendaftarannya? Kenapa harus sekarang?
Ingatanku melayang ke beberapa minggu sebelumnya. Masih kuingat betul saat ibu mengantarku ketempat pembelian formulir, bagaimana ibu menasehatiku untuk belajar sungguh-sungguh. Aku senang sekali saat itu, karena semula kukira orangtuaku setuju dan memberikanku sebuah harapan. Namun sayang, itu rupanya hanya sekedar harapan, bukan kenyataan.
“Kami tidak bisa membiayai kuliahmu, Nak.” kata Ibu padaku, keesokan harinya.
Aku diam. Mungkin Ibu tidak tahu bagaimana sakitnya hatiku mendengar kata-kata itu.
“Kita masih harus bayar uang sewa rumah tiap bulan. Kau tahu sendiri, ayahmu tidak bekerja, sementara untuk makan dan kebutuhan sehari-hari, kita hanya berharap pada toko kita yang sepi ini,” lanjut Ibu. “Kalau kau ingin kuliah, kerjalah. Pakai uangmu sendiri. Kau kan bisa kerja setahun atau dua tahun.”
“Gimana kalau tiba-tiba keinginan kuliahku hilang saat aku kerja?” tanyaku. “Coba Ibu lihat anak Tante Neli, Anton. Dia juga ingin kuliah tapi maminya yang pelit itu gak mau biayain—padahal orang kaya—dan nyuruh dia pakai uang sendiri. Dia kerja, tapi malah jadinya dia keenakan dan gak mau kuliah.”
“Kalau ada niat pasti ada jalannya. Dari pada mikirin kuliah, mending kamu pikirin ujian! Sekolah belum selesai udah mau mikirin kuliah!” kata Ibu dengan sedikit kesal sambil beranjak dari kursinya menuju dapur.
Aku berangkat magang dengan tak semangat. Seharian di tempat magang kebanyakan kulewati dengan duduk dengan wajah cemberut. Terserah mau si manager marah-marah, aku gak peduli. Yang pasti aku benar-benar bad mood dan tidak ingin melakukan apapun.
“Untuk apa kuliah? Kita ini orang miskin, jangan ngarapin kuliah deh.” kata temanku, Rudi saat kami duduk di taman kota, malam harinya.
“Iya, kita ini bukan orang mampu, udah bisa makan aja udah cukup.” Sinta, temanku yang satunya menyuarakan ungkapan serupa.
“Yang penting tuh, kita lulus, kerja, bisa makan sehari tiga kali. Cukup.” kata Rudi lagi.
“Yang ada di kepala kalian itu kaya’nya cuma makan, makan dan makan. Emang gak ada kepikiran hal-hal lain gitu?” kataku kesal.
“Kalau gak makan bisa mati kita. Lagian ya, buat apa kuliah? Di Jakarta pula. Mending disini, di Belitung. Udah damai, aman, tentram, nyaman, kurang apa lagi coba? Dengar ya, Edmund yang baik, hidup di Jakarta tuh susah, orang-orang gak bakal peduli pada kita. Harga diri kita tuh gak ada di mata mereka.” ujar Sinta sok berharga diri.
“Udah deh, Ed, kita tuh orang miskin, orang gak mampu, hidup pas-pasan. Makan aja susah, udah mau mikirin kuliah. Haduh… jangan mimpi, deh. Kuliah tuh buat anak-anak orang kaya. Buat kita-kita tuh udah kaya’ punuk merindukan bulan. Mustahil.” kata Rudi.
Sinta memberi anggukan setuju dan menimpali, “Udahlah, pasrah aja. Jangan dipaksakan kalau orang tuamu gak bisa ngebiayain kuliah. Udah nasib kita jadi orang gak mampu. Gak usah mimpi kuliah. Mending buang jauh-jauh keinginanmu itu. Terima nasib.”
Kali ini aku benar-benar tidak bisa menahan emosi dalam diriku. Aku berdiri didepan mereka dan dengan berapi-api aku berkata, “Pasrah pada nasib? Enak aja, emangnya aku kalian yang menjadikan nasib sebagai alasan! Kalo’ kalian mau pasrah dan hidup miskin terus, hidup miskin aja sendiri! Jangan ajak-ajak aku! Aku sih ogah!”
Dan aku berbalik meninggalkan mereka. Dan bahkan saat aku membelakangi mereka, aku yakin betul mereka pasti saling berpandangan dengan wajah kaget mendengar kata-kataku.
Hanya sahabatku, Alex, yang tampak mengerti masalahku. Alex adalah murid yang berprestasi dan hidup berkecukupan. Dia mendapat beasiswa bersekolah di salah satu sekolah unggulan di luar kota. Aku hanya bertemu dengannya hanya apabila dia libur sekolah.
“Tenanglah, Ed.” katanya sewaktu mengetahui masalahku. “Ada banyak jalan menuju Roma. Memang sih, sayang sekali beasiswa itu jadi batal tapi bukan berarti kamu gak bisa kuliah, kok.”
Aku hanya diam mendengar nasehatnya.
“Kerjalah selama setahun atau dua tahun. Uangnya bisa kau tabung untuk biaya kuliahmu. Dan selama berkerja, teruslah belajar agar niatmu itu tidak hilang. Kalau ada niat, pasti ada jalan, kok.”
Aku hanya menganggukan kepala.
“Kenapa kau tidak coba saja masuk universitas negeri? Kan lebih murah ketimbang universitas swasta.”
Aku hanya menghela nafas. “Mau negeri atau swasta, orangtuaku juga tidak akan membantuku kuliah. Aku tidak bisa mengharapkan bantuan orangtuaku lagi untuk kuliah. Belum lagi masalah tempat tinggal di Jakarta nanti.”
“Kau kan bisa kost dan kerja. Uangnya bisa kau biayai untuk bayar uang kost. Kau beri penjelasan kepada orangtuamu.”
“Aduh, Lex. Sudah berbuih mulutku memberitahu kedua orangtuaku, tapi tetap saja pertanyaan itu-itu saja yang mereka ajukan. Aku benar-benar sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tampaknya aku memang harus mengubur keinginanku untuk kuliah.” Aku menelan ludah sebelum melanjutkan, “Biarlah aku tidak kuliah, jika memang itu tidak akan menyusahkan orangtuaku. Mereka sudah berkorban terlalu banyak untukku.”
Aku menundukan kepalaku dan membenamkan wajahku di kedua tangan sementara Alex hanya mampu menatapku iba.
***
Bulan Desember adalah bulan paling basah. Hujan turun hampir tiap hari ibaratkan salju di Eropa. Air hujan membuat aroma aspal yang basah tercium oleh hidung. Bunyi cipratan genangan air hujan tedengar ketika orang-orang melangkahkan kaki mereka di luar.
Malam ini, hujan turun seperti malam-malam sebelumnya. Suhu udara yang turun membuat dingin serasa menusuk tulang. Petir menyambar-nyambar dilangit malam. Namun tak ada bunyi guruh terdengar.
Aku masuk kekamar membawa secangkir teh hangat dari dapur untuk menghangatkan tubuhku yang kedinginan meskipun telah dipakaikan jaket. Kuletakan teh hangat itu di atas meja setelah meminumnya sedikit, dan aku duduk di kursi sambil melihat ke luar jendela.
Hujan benar-benar turun dengan derasnya di luar. Bunyi hujan terdengar begitu kuat di atas genting saat beribu tetes air jatuh ke atap rumahku namun bunyi itu tidak sampai terdengar oleh telingaku karena aku tengah mendegar lantunan lagu dari headset yang dipasangkan ke handphone-ku.
Aku termenung melihat ke luar. Masalah beasiswa kuliahku sudah lewat beberapa bulan yang lalu. Hubunganku dengan orangtuaku sudah membaik. Kami sudah tidak membicarakan masalah ini lagi. Aku sudah pasrah akan keinginanku untuk meneruskan pendidikanku ke perguruan tinggi, bahkan aku nyaris melupakannya andaikan saja tak kutemukan surat itu lagi.
Ini berawal saat aku membersihkan isi laci meja belajarku tadi siang. Tak sengaja, aku melihat surat itu terselip diantara tumpukan buku. Tentu saja, hal itu membuat aku teringat akan kejadian lima bulan yang lalu saat aku mendapat surat ini. Dan bagaimana aku sangat berniat masuk universitas itu. Rasanya sakit saat mengingatnya.
Namun, harus bagaimana lagi? Aku sudah tidak mungkin memaksakan kehendakku lagi. Dengan strata sosial keluarga kami yang hanya sebatas menengah ke bawah—atau mungkin kurang dari pada itu—tentunya, sangat tidak mungkin untuk mengharapkan kedua orangtuaku agar bisa menguliahkan aku sementara masih terdapat dua adikku yang masih duduk dibangku SMP dan SD yang juga butuh uang untuk sekolah. Untung saja, sekolah di daerahku gratis, kalau tidak, mungkin kami tidak akan sekolah sementara untuk hidup kami hanya mengandalkan toko pakaian yang sepi oleh pengunjung.
Aku menghela nafas. Kata-kata Rudi dan Sinta sewaktu di taman lima bulan yang lalu tergiang di telingaku.
“Untuk apa kuliah?... kita ini bukan orang mampu… orang miskin, orang gak mampu, hidup pas-pasan… makan aja susah, udah mau mikirin kuliah… jangan mimpi, deh… udah kaya’ punuk merindukan bulan… mustahil… udah nasib kita jadi orang gak mampu… terima nasib…”
Mungkin apa yang dikatakan mereka waktu itu ada benarnya. Aku ini bukan terlahir sebagai orang yang mampu, mustahil bisa kuliah. Sudah bisa sampai jenjang SMK saja sudah untung. Tampaknya aku memang harus mengubur keinginanku untuk kuliah. Sebagai anak pertama, aku tentunya yang akan diharapkan sebagai tulang punggung keluarga. Mungkin kelak aku sudah harus puas apabila adik-adikku yang bisa kuliah.
Ada setetes air yang hangat yang mengalir di pipiku. Mungkin memang sudah nasibku terlahir sebagai anak pertama yang harus menjadi tulang punggung keluarga. Mungkin memang nasibku hidup tidak mampu. Mungkin memang sudah nasibku untuk membuang segala mimpi-mimpi indahku—tentang kuliah, hidup berkecukupan, menjadi sukses—dan menerima kenyataan pahit bahwa itu hanyalah sekedar mimpi belaka. Aku memang harus pasrah dan menerima nasibku yang telah ditakdirkan Tuhan.
Nasib…
‘Tapi ini tidak adil!’ kata sebuah suara dari hatiku. ‘Di luar sana banyak orang yang punya nasib baik, tapi kenapa kita tidak? Nasib orang bisa berubah! Tergantung dari orang itu sendiri, mau atau tidak dia merubah nasibnya sendiri!’. Sesuatu di dalam hatiku seperti menjerit-jerit mencerca diriku yang patah semangat.
‘Kita dilahirkan dan diciptakan Tuhan bukan hanya untuk menerima atau pasrah pada nasib, tapi berusaha!!!’. Suara kecil itu menghilang, namun kata-kata dari hati kecilku itu masih tergiang-giang di telingaku.
Someday I’ll be living in a big old city
And all you’re ever gonna be is mean
Someday I’ll be big enough so you can’t hit me
And all you’re ever gonna be is mean
Why you gotta be so mean?
Suara lain terdengar di telingaku. Tapi itu bukan berasal dari suara kecil di hatiku, melainkan dari headset yang kupasangkan di telinga. Aku benar-benar tidak sadar jika lagunya terus berganti, bahkan aku tidak tahu lagu apa yang sebelumnya diputar. Yang kuketahui, lagu yang kini diputar adalah lagu penyanyi favoritku, Taylor Swift yang berjudul ‘Mean’.
Aku ingat dalam video lagu ini terdapat seorang wanita berambut merah yang berkerja di sebuah restoran dan bertugas sebagai penarik konsumen dengan memakai sesuatu yang seperti sebuah karton besar berbentuk bintang di tubuhnya dan memegang papan yang mengajak pengunjung untuk berkunjung ke restoran. Dan selama berkerja, dia diusili dan diejek oleh teman-teman seusianya.
Adegan lain memperlihatkan dia pulang kerumah dan memasukan uang yang dia dapat ke dalam celengan berbentuk babi yang dia tempeli dengan sebuah kertas bertuliskan, “College” Di akhir lagu, dia duduk di sebuah kantor dengan celengan babinya dan foto saat dia berkerja di restoran di atas meja kerjanya serta sebuah piagam bertuliskan “College” terpanjang di dindingnya, menandakan bahwa dia telah berhasil menyelesaikan pendidikannya setelah perjuangan yang gigih.
Tiba-tiba sebuah sensasi hangat mengalir dalam darahku. Semangat yang tadi sempat redup kini bangkit lagi setelah mendengar lagu itu. Kata-kata dari hatiku dan lirik lagu serta gadis berambut merah dalam video lagu itu membangkitkan semangatku lagi.
Aku harus berusaha untuk memperjuangkan keinginanku untuk kuliah. Aku harus berusaha agar mimpi-mimpiku tidak terkubur sia-sia, agar mimpi-mimpiku tidak sekedar mimpi atau khayalan belaka, tapi sesuatu yang harus diraih.
Aku ingin seperti gadis berambut merah yang terus berkerja meski harus diejek teman-temannya namun berhasil meraih impiannya. Aku ingin seperti dia.
Alex dan ibuku benar, aku harus berkerja untuk diriku, agar aku bisa kuliah dengan uangku, agar tak ada yang merasa direpotkan. Aku bisa kuliah dengan uangku dan tak ada yang bisa mencegah jika aku ingin kuliah dengan hasil keringatku sendiri.
Hidupku adalah milikku. Aku tidak akan menyerah sebelum bisa menggapai impianku.
Aku tersenyum. Aku kini bersemangat lagi. Aku yakin aku bisa menggapai impianku dengan usahaku sendiri. Akan kusingkirkan kata-kata ejekkan yang mungkin akan dilontarkan orang-orang tentang keputusanku. Aku akan berusaha untuk hidupku sendiri!
Hujan di luar sudah mulai reda. Teh hangat di atas meja telah mendingin dan Taylor Swift menyanyikan lirik-lirik terakhir dari lagunya.
And all you’re ever gonna be is mean
Why you gotta be so mean?[]
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
