
Suasana hati Ang sedang redup ketika ia berhadapan dengan sekawanan perampok dari Kunjara. Namun, sebuah pekik perempuan desa membangkitkan emosi Ang.
Patah hati benar-benar buruk bagi Ang. Tidak hanya cuaca jadi membosankan, atau jalan yang ia tempuh terasa semakin jauh, tetapi juga api emosi di dalam dadanya suka tiba-tiba berubah. Sekali waktu padam, lalu berkobar-kobar di waktu berikutnya.
Seperti siang itu, tiga mata tombak mencekik leher Ang. Alih-alih memakai ketangkasannya untuk membela diri, sang pemburu memilih memejamkan mata. Ang seolah-olah menawarkan tubuhnya.
Ini bukan kali pertama nyawanya terancam. Ang remaja pernah hampir pingsan akibat ditubruk celeng. Namun, pada serangan brutal si celeng selanjutnya, golok Ang berhasil merobek tenggorokan binatang tanpa leher itu. Si celeng pun menguik untuk terakhir kali sebelum ambruk di sampingnya.
Ang selamat tanpa cacat. Ia mencapai usia dewasa dengan wajah tampan dan tubuh seimbang. Satu-satunya yang membekas adalah traumanya. Ia trauma dengan bayangan hitam atau segala yang tampak hitam, gempal, dan berbulu, yang terkadang hanya persepsinya, dan ia juga trauma dengan suara dengkuran misterius. Singkatnya, Ang trauma dengan babi hutan. Sampai sekarang celeng yang ugal-ugalan menjadi musuhnya. Maka, untuk melatih jurus memanahnya, Ang suka menjadikan mereka sebagai sasaran.
Ada juga pengalaman maut dengan hewan buas lainnya. Kejadiannya belum terlalu lama. Lokasinya di tengah hutan Hujung Berung yang tidak asing bagi Ang. Sepanjang keluar masuk hutan untuk berburu, sedari kecil hingga dewasa, baru sekali itu ia bertarung satu lawan satu dengan harimau.
Sebenarnya, ia tidak pernah ingin bergulat dengan seekor harimau seperti yang dilakukan pendekar yang ingin cepat terkenal. Ia dan harimau sama-sama pemburu kijang, sama-sama berjalan sendiri di dalam hutan, dan sama-sama menjaga penampilan. Ang menaruh hormat kepada hewan itu sebagai sesama pemburu tangkas dan berkelas. Namun, suatu hari binatang buas itu menerkamnya dari belakang.
Lompatannya diiringi rauman yang menggetarkan. Gelombang suaranya membangkitkan bulu roma, mencekam jantung, dan melemaskan tulang-tulang sendi bagaikan sebuah mantra kanuragan. Gelegar garau itu sudah sepersekian detik lebih dahulu merobohkan tubuh Ang. Namun, karena itu pula ia mendapatkan peluang untuk berkelit.
Ang dalam keadaan sehat walafiat hingga hari ini, sedangkan si harimau hampir bernasib seperti si celeng. Hampir. Artinya, nasib kedua binatang penyerang itu tidak sama. Bisa dibilang si harimau berakhir baik-baik saja. Kucing besar itu hanya sempat mati suri setelah lehernya terkunci dari belakang saat Ang berhasil membawanya bergulat di tanah.
Barangkali saat itu si harimau sedang galau, lalu tanpa pikir panjang main terkam, melampiaskan amarah yang membuncah di dada. Sama seperti dirinya saat tanpa belas kasihan memiting leher harimau itu sekuat tenaga hingga otot-otot lengannya mengeras bagai besi. Ang ingat, hari itu ia baru saja memutuskan untuk pergi berkelana mencari kekasih hatinya yang hilang tanpa pesan.
Sang raja hutan seharusnya berterima kasih. Saat itu Ang baru saja patah hati. Alih-alih mengulitinya untuk dijadikan suvenir, Ang malah mengurut leher dan mengusap kepala si harimau. Ia berempati kepada hewan malang itu.
Tak seberapa lama kemudian, beberapa helai kumis putih panjangnya bergerak sendiri. Perasaan Ang campur aduk antara senang atau khawatir. Ia harus bersiap menghentikan ancaman itu sekali lagi.
Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, harimau nakal itu membuka matanya sambil melirik dengan kesal. Ang tidak tahu apakah binatang itu kesal kepadanya atau kepada diri sendiri. Bagaimanapun, merupakan sebuah keajaiban, ia hidup kembali.
Dengan terhuyung, si harimau bangun dan menyingkir pergi. Binatang liar itu berjalan pulang dengan gontai bagai seorang pemabuk kesepian yang merasa gagal dalam segala hal. Ang dapat merasakan yang ia rasakan. Ang bahkan tidak yakin apakah akan menggunakan goloknya andai kata si belang tidak jera dan kembali mencoba memangsanya.
Namun, ia percaya harimau yang perlente itu lebih pintar daripada celeng. Menurut Ang, celeng adalah binatang urakan yang suka membabi buta dan tidak mau introspeksi.
Sebenarnya, masih ada pengalaman maut yang lain beberapa tahun setelah peristiwa diseruduk celeng. Kejadiannya juga di hutan, tetapi saat itu bukan dengan binatang buas melainkan dengan makhluk halus penunggu gunung. Untuk yang ini, Ang ingin melupakannya sebab masih tersisa gumpalan amarah dan kecewanya kepada makhluk halus tersebut terkait hilangnya Sunbi.
Ingatan akan Sunbi itulah yang membuat Ang pasrah membiarkan punggungnya tertekan kulit pohon mahoni yang keras. Sementara, di depannya ada tiga begundal, yaitu kaki tangan perampok yang menyergapnya ketika sedang mampir minum di rumah seorang penduduk desa. Mereka terus merundungnya dengan tombak-tombak panjang yang menjengkelkan walaupun ia sama sekali tidak melawan.
Ketiga begundal itu bertelanjang dada, memperlihatkan otot-otot kekar yang terbungkus kulit cokelat gelap berdaki. Tubuh mereka pendek dan gempal, hanya saja, tidak berbulu. Muka mereka bengis, tetapi menurutnya, cenderung terlihat dungu, atau bisa dibilang campuran separuh bengis separuh dungu.
Ia memejamkan mata bukan hanya karena sebal dengan tumpukan daging urat itu. Sudah dua belas purnama ia berkeliling dari Hujung Berung hingga Hujung Kulon lalu kembali ke Tanjung Kidul, lalu dilanjutkan ke Agrabinta. Rambutnya telah melewati bahu, sementara, kumis dan jenggotnya pun telah tumbuh, membuatnya tampak semakin dewasa dan garang. Banyak perempuan yang hadir dalam pengembaraannya melihat Ang sebagai lelaki matang. Namun, semua pujian dan harapan dari para perempuan itu sia-sia. Ia tetap berduka dan merasa terluka.
Wanita pujaannya masih lenyap tanpa jejak. Bahkan, aroma wangi bunga anggrek liar dari sang perempuan—yang melekat di memori Ang—tak berbekas sama sekali sehingga makhluk halus sekalipun tak mampu melacaknya. Perempuan bernama Sunbi yang membuatnya mabuk kepayang itu, seolah tidak pernah ada.
"Hei, … mau mati sampean?"
Sodokan tombak di hulu hatinya pasti berasal dari orang yang berbicara. Ang membalas dengan merentangkan tangan. Dari pengalaman hampir mati ia belajar bahwa tidak ada binatang maupun hantu yang dapat mengambil nyawanya. Demikian pula sebaliknya, ia pun tak dapat memastikan nasib ketiga begundal itu. Semua ditentukan oleh waktu.
"—mungkin sudah enggak waras—"
"—orang Salaka—"
"—pendekar—tidak ada bukti—"
"—dukun tenung, bisa jadi—"
"—Hah! Diubah jadi celeng?"
Mereka setengah berbisik-bisik. Ang masih dapat menebak isi gunjingan mereka. Tidak salah jika ia menganggap mereka bodoh. Padahal sebelumnya, ketika dipaksa melepas busur dan kantong anak panahnya ke tanah, Ang telah memperkenalkan diri sebagai seorang pemburu.
"Ada apa dengan celeng?" tanya Ang, terlontar begitu saja. "Bukankah itu binatang hutan yang pendek, gempal, dan kelebihan lemak? Dengan taring panjang melengkung di samping mulutnya? Kami juga menyebutnya celeng."
"Pendek, gempal, dan kelebihan lemak?" gerutu salah seorang mereka dengan nada tersinggung.
"Kenapa kau tutup matamu? Tanganmu juga, turunkanlah!”
"Mengapa? Apa yang kalian tunggu?" balas Ang, menghela napas.
Begitu damai apabila hidup tanpa rindu dendam. Ia menikmati kepasrahannya di antara dering serangga dan kicau burung-burung. Malahan dengan mata tertutup Ang dapat menikmati suara alam yang biasanya terabaikan. Ia lalu tersadar ketiga lawannya seperti telah pergi kecuali bahwa tombak mereka masih terasa di badannya.
"Tenanglah, Kisanak! Aku bukan dukun tenung," ungkap Ang dengan ringan seakan ia tak memiliki beban apa pun di dunia fana ini. "Tapi, kupikir pasti akan sangat mudah mengubah orang gemuk menjadi seekor celeng."
“Sudah kubilang, dia pasti—”
“—aku yakin—”
“—tunggu yang lain—”
“—tidak mau jadi celeng—”
"—diamlah—lebih baik kita tunggu Ketua."
"Ngomong-ngomong, Ketua kalian itu belum juga keluar, ya?"
"Kau … apa maksudmu … apa yang ingin kau lakukan dengan Ketua kami?"
"Seharusnya aku yang tanya, apa yang mau kalian rampok di rumah sederhana seorang perempuan desa?"
"Bukan urusanmu …"
"Begitukah jawaban kalian?"
"... eh, bukan urusan kami juga."
"Kami hanya lewat. Ketua mungkin ingin memeriksa makanan."
"Aaah! Tidak! Tolong, jangan! Aaah!" pekik suara perempuan disertai bunyi kendi yang pecah, datang dari arah rumah perempuan desa tersebut.
Ang membuka matanya. Tatapannya menjadi tajam dan nanar. Wajahnya pun berubah keras seperti dirasuki hawa iblis. Sementara, kedua tangannya yang terentang tampak dialiri tenaga seorang petarung, sudah tidak lagi terlihat pasrah. Dengan rambut panjang tergerai dan pakaian tertutup berwarna gelap, lelaki itu benar-benar seperti dukun tenung yang sedang melepaskan ajiannya di bawah pohon mahoni.
Tiga mata tombak sekarang turun di dada dan perut Ang, tetapi sama sekali tanpa tekanan. Meski berupaya bertahan, ketiga begundal itu dilanda ketakutan. Kekuatan otot mereka rontok seperti terkena mantra.
"Aku harus melihat apa yang terjadi." Ang menyingkirkan tombak-tombak itu ke samping bagai menyibak batang talas, lalu bergegas menuju rumah berdinding anyaman bambu dan beratap rumbia.
Para begundal itu kehilangan muka bengisnya. Namun, ketika menyadari konsekuensi yang akan mereka terima apabila tawanan itu lolos, ketiganya pun memburu Ang. Mereka ikut berhenti ketika ia berlutut mengambil sesuatu dari dalam kantong panah berbahan kulit yang tergeletak di halaman.
Benda itu adalah golok pendek sepanjang lengan. Orang Salaka menyebutnya bedog. Ang memiliki golok itu sejak remaja. Setelah itu ia berdiri dan melemparkan segenggam benda lain ke depan kawanan begundal. Taring-taring celeng yang putih melengkung itu berserakan di tanah.
"Apa kalian pernah punya teman yang hilang di Salaka? Silakan, di antara taring itu mungkin ada yang dahulunya menjadi gigi mereka."
Ang berpaling meninggalkan ketiganya. Kali ini mereka diam di tempat dan kembali berkasak-kusuk. Ang menduga, mereka adalah orang Kunjaran yang sangat percaya sihir, tetapi minim pengetahuan. Maka, ia memanfaatkan koleksi taring babi hutannya. Dan, sepertinya berhasil.
"Ah!"
Jerit mengerang perempuan desa itu semakin jelas terdengar di depan pintu rumah. Ang mengendalikan diri untuk tidak tergesa-gesa. Ia menyandarkan busur dan sekantong anak panahnya dengan rapi di dinding dekat pintu. Kemudian, dengan satu tendangan geledek, daun pintu kayu itu terempas ke dalam.
Hawa pembunuh sang pemburu langsung menyeruak masuk lebih dahulu, menyergap kesadaran dua orang perampok durjana. Sejak awal ia sudah menandai salah satunya sebagai ketua gerombolan begundal.
Ang melewati ambang pintu. Tubuhnya membentuk siluet yang menakutkan. Ia menghimpun segenap galau, amarah, dan kecewa dalam satu embusan napas. Tak ada belas kasihan hari ini untuk mereka yang bertingkah seperti celeng. Golok bedog di tangannya pun mengangguk-angguk ingin segera beraksi.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
