The Truth 3 : Kisah Kita Berakhir.

39
8
Deskripsi

Naruto mengerang frustasi, “Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu Hinata? KU MOHON.... PERCAYALAH!“

“Kau tau Naruto, hubungan layaknya sebuah sepatu. Jika bukan ukuranmu, lepaskanlah atau itu akan menyakitimu. Carilah sepatu yang membuatmu nyaman, karena sepatu yang nyaman akan menemani sejauh apa kaki melangkah tanpa membuat kakimu terluka.”

“Kurasa kau mengetahui ukuran sepatu yang pas untuk kakimu.”

Deghh..!

Story by : HinataLight8

Rate : M

Genre: Faith, Romance, Hurt, Friendship, Regret.

Diclaimer: All Characters of Naruto is belongs to Masashi Kishimoto.

This story is mine.

Warning: All Typo(s), Out Of Chara, If you dislike this story, please turn back with peace. No flames with barbarian's words, Be Nice for critic, Typo and others. Thank you.

.

.

********

Restoran Yakiniku.

“Naruto, pagi tadi hal apa yang ingin kau bicarakan.”

Hinata membuka percakapan sebab sedari tadi pria yang duduk dihadapannyaya hanya diam membisu dengan kepala tertunduk. Bagi Hinata cukup aneh, orang yang biasanya banyak bicara mendadak jadi pendiam seperti Uchiha Sasuke. 

Apa pria ini sedang kerasukan arwah sahabatnya? 

Hihh... bulu kuduk Hinata seketika meremang.

Sebelum menjadi pasukan Anbu, Hinata tak lazim dengan hal yang berbau mistis. Namum kejadian-kejadian konyol timnya dikejar-kejar bayangan hitam dan putih saat melakukan misi mata-mata dihutan Yanare desa Gakure membuatnya setengah percaya dan tidak perihal adanya kehidupan lain didimensi ini.

Ditatapnya netra biru Naruto yang nampak bermunculan gurat-gurat kemerahan membuat Hinata semakin merinding, membayangkan bahwa Naruto telah kemasukan arwah Sasuke.

Keheningan menyusup selama beberapa saat.

Daripada menatap Naruto, Hinata memilih fokus memanggang daging, makan, dan minum sedikit sake. Sedang Naruto tak lepas memandang Hinata dengan pandangan sendu.

Ok... keterdiaman pria ini cukup mengganggu bagi Hinata.

Takkk!!

Hinata meletakkan sumpit dimeja dengan kasar.

“Jadi, kau ingin bicara apa Naruto?” Dari nadanya suara Hinata terdengar cukup ketus.

“Kalau tidak mau bicara biarkan aku yang berbicara.”  Hinata menarik nafas dalam-dalam. “Naruto ayo kita suda----” 

“TIDAK.” Naruto memotong ucapan Hinata dengan cepat dan tegas.

“Kalau begitu bicaralah!! Jangan membuang waktuku percuma.” Geram Hinata.

Naruto tersentak. Baru dua bulan bersama Anbu, Hinata benar-benar berbeda. 

Tunggu... bukan dua bulan, jika menghitung dari kematian Sasuke dirinya dan Hinata sudah tidak saling berkomunikasi hampir selama sembilan bulan.

Hinata dan Naruto memiliki jadwal misi yang berbeda. Ketika mendapatkan libur dari misi selama kurun waktu itu Naruto menemani Sakura menjalani pengobatan pada Tsunade atau Orochimaru.

Beberapa kali saat libur misi Naruto mencoba mencari Hinata diwaktu sisanya, namun anehnya semesta seperti menutup rapat pintu pertemuan hingga Ia selalu gagal bertemu kekasihnya. 

Entah karna gadis itu melakukan misi tambahan, atau pergi keluar desa melaksanakan tugas dari Klan Hyuga ataupun karena kesibukkan lainnya. 

Atau mungkinkah Hinata memang sengaja menghindar darinya?

Di lain pihak, dalam kurun waktu setelah malam Naruto mabuk  Hinata menarik diri dari pria itu. Jika biasanya disetiap kesempatan Ia selalu menyisihkan waktu untuk bertemu kekasihnya, namun sejak Naruto seperti menghilang tanpa kabar Hinata pun tak sudi menjadi lintah. 

Hinata memilih belajar berproses memperbaiki dan mengembangkan potensi diri.

Wajar dalam waktu sembilan bulan mereka hanya pernah bertemu dua kali yang entah disadari oleh Naruto atau tidak. Pertama adalah ketika malam pria itu mabuk dan yang kedua adalah ketika Naruto dan Sakura yang dalam ‘pandangan’  Hinata kedapatan berciuman malam itu. 

Naruto dan Hinata sama-sama tidak mengetahui perubahan pada diri masing-masing ataupun kejadian yang menimpa keduanya.

“Hinata, yang Ino katakan tidak benar. Sungguh aku bersumpah dan yang kau lihat malam itu tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya.”

“Aku tidak mencium Sakura.”  Suara Naruto memelan.

“Kau sedang melucu Naruto?”  Ujung mata Hinata menyipit bersamaan dengan sudut kanan bibirnya tertarik keatas. Mengejek.

“Aku bersumpah atas nama kedua orang tuaku.”  Suara dalam Naruto terdengar meneguhkan.

Mengalirlah cerita Naruto dimulai dari kematian Sasuke, kehancuran Sakura yang kehilangan kekasih dan calon bayinya diwaktu berdekatan, berujung periode penyembuhan gangguan mental Sakura melalui metode penanaman Genjetsu.

Terakhir, Naruto menjelaskan dan menjabarkan posisi dirinya dan Sakura malam itu yang menyebabkan kesalahpahaman pada Hinata bahwa Ia berpanggutan mesra dengan Sakura.

Netra amethyst Hinata berkedut karna tak berkedip begitu lama. Hinata masih tidak percaya dengan semua yang didengarnya. Dimatanya Naruto terlalu ‘konyol’ dengan merahasiakan keadaan Sakura darinya. 

Bukan, bukan bermaksud lancang dan ikut campur dengan perkara Sakura. Setidaknya bagi Hinata cukup Naruto memberikan pengertian tanpa harus menjelaskan kondisi Sakura secara keseluruhan, Ia akan mengerti.

Bodohnya Pria itu justru melakukan pengabaian tanpa ada secuil kepercayaan untuknya. Alhasil kesalahpahaman ini telah membuatnya begitu tersiksa. Dalam benaknya Hinata bertanya-tanya...

Apa sebegitu tidak percayanya Naruto hingga merahasiakan ini semua darinya?

Apa Naruto ketakutan dirinya akan menyebarkan kondisi Sakura layaknya penyebar gosip diluaran sana?  

Keterlaluan.

“Percayalah padaku Hinata, aku bisa meminta Kakashi Sensei dan Tsunade Baa-chan untuk menceritakan semuanya padamu.”

Hinata mengebas-ngebaskan tangan didepan wajahnya meminta Naruto untuk berhenti bicara. “Tidak perlu Naruto. Cukup. Aku sudah mengerti.”

“Sungguh, kau memaafkanku?” Naruto menggengam tangan Hinata.

Hmm... itu sudah berlalu.” Hinata menarik tangannya dari genggaman Naruto.

“Terimakasih.” Netra biru Naruto berbinar cerah.

“Masih ada yang ingin kau katakan?” Hinata bertanya sebelum membuat keputusan. 

Naruto menggeleng pelan dengan senyuman lebar. Hinata asumsikan pria itu sudah selesai dengan pembicaraannya.

“Kalau begitu sekarang giliran aku yang ingin menyampaikan sesuatu.” Hinata memberikan setengah sunyuman.

“Terimakasih, kau sudah memberi penjelasan padaku. Tapi.. Naruto..... sebaiknya kita sudahi sampai disini.”

Deghhhh!!

“TIDAK...TIDAK!!!” Naruto terus menggelengkan kepala, menolak keputusan sepihak dari Hinata.

“Maaf. Kurasa aku bukan wanita yang tepat untuk dirimu. Kau tahu? Jika kita memang benar saling mencintai, kepercayaan itu akan lahir seiring dengan keyakinanmu padaku.”

Hinata lantas bangkit berdiri, namun Naruto menahan kepergiannya dengan menggenggam erat pergelangan tangan mantan kekasihnya itu.

“Hinata...kumohon?” Safir memandang amethyst dengan air mata setengah menggenang.

“Maaf, aku harus pergi.”  Hinata menepis sedikit kasar tangan Naruto yang menggenggam erat pergelangan tangannya.

Hinata meninggalkan Naruto yang termangu. Pria itu mengiringi kepergian mantan kekasihnya dengan airmata. Tak patah arah Naruto berdiri, berlari tergesa meninggalkan restoran mengejar Hinata.

Di persimpangan jalan taman patung Hokage, langkah Hinata terhenti karena tarikan kuat seseorang dari belakang. Tubuh mungil Hinata berbalik kearah belakang.

“Kumohon Hinata....” suara memelas keluar bibir Naruto yang bergetar.

“Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Sakura, diapun tidak menaruh hati padaku, kumohon percayalah...”

Hinata memutar bola mata jengah mendengar penuturan Naruto,  mungkin efek selalu diabaikan membuatnya menaruh ketidakpecayaan pada ucapan pria itu.

“Hinata... Percayalah, hanya kau yang aku cintai. Bukan Sakura atau gadis manapun.” Mata nanar Naruto mulai basah, keterdiaman dan sikap acuh Hinata benar-benar menakutkan.

Memilih menatap langit malam, Hinata mencari ketenangan. Baru kemudian berganti Hinata memandang Naruto lembut, kedua tangannya menarik kedua telapak tangan Naruto untuk digenggam.

“Naruto kau adalah pria yang baik, sangat baik malah. Kurasa aku wanita beruntung karena diberikan kesempatan menetap dihatimu walau hanya sesaat.”

“Kau bilang Sakura tidak pernah menaruh hati padamu bukan? Tapi pernahkah kau berpikir jika seandainya Sakura bisa bangkit karena kau selalu berada disisinya? Pernahkah kau berpikir Sakura telah jatuh hati padamu?”

Hinata menatap pria itu lekat dan dalam, “Pernahkah kau berpikir seperti itu Naruto?”

Naruto menggeleng keras, “TIDAK!! Hinata dengar! Sakura sangat mencintai Sasuke. Begitupun aku hanya mencintaimu. Kumohon berikan aku satu kesempatan...” Airmata sudah memenuhi pelupuk matanya.

“Seandainya Naruto. Hanya seandainya yang kukatakan benar terjadi Sakura menaruh hati padamu. Bagaimana kau akan menyikapinya?”

“SAKURA HANYA SAHABATKU!!! Kenapa kau tidak percaya? Kenapa kau sekarang meragu padaku Hinata... KENAPA?”  Naruto setengah berteriak menahan frustasi karena keraguan terpampang nyata diwajah kekasihnya. Mantan kekasihnya.

“Baiklah, anggap saja aku percaya.” Hinata membuang nafas lelah.

“Kau tau pelajaran apa yang telah kupetik dari keadaan yang menimpa kita saat ini Naruto?”

“Kedepan, kuyakin kau akan mengulangi hal yang sama. Kau akan selalu memprioritaskan Sakura atas nama persahabatan kalian.”

Hinata memejamkan mata serta menarik nafas dalam. Tangannya mulai kebas lalu melepaskan genggaman pada telapak tangan Naruto.

“Demi menyamankan Sakura, kau menyisihkan diriku dengan sebuah pengabaian. Kau terlalu meremehkan perasaanku, berbanding terbalik dengan perasaan wanita yang kau katakan hanya sebatas sahabat.”

Naruto mengerang frustasi, “Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu Hinata? KU MOHON.... PERCAYALAH!“

“Kau tau Naruto, hubungan layaknya sebuah sepatu. Jika bukan ukuranmu, lepaskanlah atau itu akan menyakitimu. Carilah sepatu yang membuatmu nyaman, karena sepatu yang nyaman akan menemani sejauh apa kaki melangkah tanpa membuat kakimu terluka.”

“Kurasa kau mengetahui ukuran sepatu yang pas untuk kakimu.”

Deghh..!

“Hinata? Bagaimana bisa kau berpikir seperti itu?” Naruto kehabisan kata-kata. Tak pernah dalam terbesit dalam benaknya perkataan gadis pendiam seperti Hinata bisa lebih menyakitkan dari tusukan mata pedang.

Hinata mengengus jengah. “Bisakah kita sudahi sampai disini, aku tidak marah untuk itu. Bahkan jika kalian benar saling mencintai, aku mendukung kalian. Mungkin pada awalnya aku akan hancur, marah, sedih dan merasa terkhianati, tapi itu hanya proses untuk diriku bangkit.”

“Percayalah Naruto dengan kesungguhan hati aku mendoakan kebahagian kalian berdua. Kita sudah tidak bisa lagi bersama, pengabaian yang kau lakukan membuatku lelah.” 

Netra Hinata berkilat. “Maaf, aku harus mengatakan hal ini. Kau terlalu angkuh dengan memandang remeh perasaanku. Kau membuatku muak Naruto.”

“Aku berhenti menjadi gadis bodoh yang selalu mengejar cintamu.” Hinata berucap pasti.

Deghhh...

Wajah Naruto memucat dengan air mata yang mengalir dipipi. Hinata dengan teguh meninggalkan dirinya begitu saja bahkan tanpa menoleh sedikitpun kearahnya.

Selang beberapa saat kemudian, tentu saja airmata Naruto akan mengering dipipi. Bohong!! Jika mereka bilang karena kesedihan manusia menangis terus-menerus, secara biologis hal itu tidak dapat dilakukan oleh tubuh manusia. 

Yang benar adalah..... 

Ketika isakan hilang disenyapnya waktu, tidak ada lagi sisa airmata diwajah. Namun, tangisan itu sesungguhnya menetap dan tertinggal dihati. 

Kesedihan, rasa sakit, kesendirian, rasa bersalah  tetap membekas.

.

.

Dua Tahun kemudian.

Sebagaimana bumi yang terus berputar pada porosnya, kehidupan akan terus melangkah tanpa bertanya apakah kita siap atau tidak. 

Waktu yang terus bergerak memaksa setiap orang berjuang untuk hidupnya masing-masing. 

Begitupun yang terjadi pada Naruto dan Hinata, keduanya turut berevolusi seiring berjalannya waktu. Kegagalan yang mereka alami bukanlah hukuman, tetapi kegagalan adalah teguran agar lebih berhati-hati melangkah. 

Dalam dua tahun Naruto dan Hinata berusaha keras menggapai cita-cita dan mimpi.

Kini, Naruto telah menjadi Hokage ke-7 Konohagkure mengantikan Hokage ke-6 yang pensiun lebih dini. Sedang Hinata saat ini telah menjadi ketua regu tim3 jaringan mata-mata pasukan Anbu Konoha.

Bagaimana Naruto dan Hinata melewati masa dua tahun belakangan ini?

Bagaimana tekad, kerja keras Naruto dan Hinata dalam menjemput impian?

Serta bagaimana pula kisah sepasang mantan kekasih setelah dua tahun berlalu?

Hmm..... Sepertinya itu akan menjadi sesuatu yang patut dicari tau dan ditunggu.

.

.

.

To be continued….

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Truth 4 : Petualangan, Bertemu Teman Lama.
36
7
Menjadi anggota pasukan Anbu, Hinata menanggalkan identitas aslinya sebagai Putri bangsawan Klan Hyuga.Sungguh... Hinata menikmati ini bagai petualangan seperti yang pernah Neji ceritakan dalam mimpinya. Selalu saja ada cerita menegangkan dibalik aksi-aksinya dan tim saat melaksanakan misi memata-matai musuh.Percayalah, diri sendiri adalah perjalanan yang tidak dapat diprediksi.Hinata yang pemalu dan kikuk tak pernah membayangkan diri sebagai seorang mata-mata.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan