Pukul 2 dini hari Jo pulang dengan sedikit terhuyung, kepalanya terasa pening. Ia memegang pelipisnya sembari berjalan kesana kemari tidak tentu arah. Radit yang menunggunya di sofa ruang tamu lantas bangkit, tangannya bersedekap. Ia menghembuskan nafas kasar, tidak habis pikir dengan kelakuan adiknya.

Mereka hanya tinggal berdua di sebuah rumah yang terbilang sedikit mewah berkat peninggalan kedua orangtuanya. Meski terlihat apik, suasana dalam rumah nampak lengang seperti tak berpenghuni.

"Dari mana? Ngga tahu waktu?" Kata Radit berusaha meredam amarahnya.

Jo hanya melewatinya dan duduk disofa yang tadi Radit tempati. Ia meregangkan ototnya dan berbaring menyamping.

"Lo kayak ngga pernah muda bang" sahutnya.

Radit mendengus, "gue ngga pernah pulang selarut ini!".

"Tapi lo juga suka mabuk. Ngga usah munak deh"

"Jaga omongan lo ya! Gue masih berusaha sabar daritadi! Mau jadi apa lo? Pulang larut mabuk lagi! Lo tuh masih sekolah!"

"Cih~" Jo bangkit menuju kamarnya dan membanting pintu kamar keras-keras.

Radit menatap nanar meja ruang tamu. Tidak salah juga sih ucapan Jo barusan sebab memang ada wiski dan rokok disana. Ia menenggak sisa wiski yang berada di gelas dan menghisap rokok yang sudah tinggal sedikit lagi habis. Tangannya meraih sebuah foto pigura berukuran kecil dan menatapnya. Itu potret masa kecil mereka dengan kedua orangtua lengkap. Terlintas sedikit kenangan masa kecil mereka, begitu bahagia dan hangat sebelum ibunya meninggal karena sakit dan ayahnya yang berubah 100% menjadi orang lain. Diingat berkali-kalipun Radit tidak bisa menyalahkan Jo. Sejak kecil Jo kurang kasih sayang. Wajar sekarang ia berontak dan mencari kenyamanan diluar sana. Radit membereskan gelas wiskinya, meletakkannya diwastafel dan berjalan masuk ke kamar.

* * *

Pagi-pagi sekali Radit sudah berada di dapur menyiapkan sarapan untuknya dan Jo. Meski Jo semalam pulang mabuk, ia tetap bangun pagi untuk berangkat ke sekolah. Baginya bertemu dengan teman-teman sangatlah menyenangkan, terutama Barra dan Ghazza. Jo bukannya tidak pintar di mata pelajaran, hanya saja ia suka kebebasan. Ia tidak suka diatur. Duduk diam di depan papan tulis berjam-jam sambil menyimak pelajaran membuatnya bosan setengah mati, anehnya semua materi tetap masuk di otaknya dan Ia tetap dapat nilai baik saat ujian, meski ia sering bolos masuk kelas. Bahkan Ia bisa seharian nongkrong di warung belakang sekolah.

"Makan dulu, gue udah masak" kata Radit sambil memindahkan masakannya ke piring.

"gue ngga sarapan" Jo melenggang pergi dengan tas yang ia sampirkan.

"lo keluar dari pintu, gue banting! mau lo apa sih? "

"Bang gue ngga pernah minta lo untuk sibuk urusin gue. Gue udah gede. Ngga usah merasa bersalah karena masa lalu, gue cuma pengen hidup apa adanya seperti sekarang."

"Terus dengan lo pulang shubuh, mabuk, gue diem aja? Lo-" Radit belum sempat menyelesaikan ucapannya, Rendra masuk dan terdiam di tempatnya. Jo lantas segera keluar dari rumah dan menyisakan Rendra yang masih membeku.

"Kenapa lagi Dit?"

Radit menggeleng sambil memejamkan matanya, ia menyerahkan piring yang telah berisi makanan pada Rendra.

"Makan Ren, Jo ngga sarapan"

Rendra menghampiri Radit dan duduk di meja makan. Ia berusaha mencairkan suasana dengan menceritakan kejadian lucu yang ia temui kemarin sepulang sekolah. Meski Radit tidak menunjukkan reaksi, Rendra paham betul bahwa Radit mendengarkannya hanya saja ia kurang bisa berekspresi.

* * *

"Pulang jam berapa lo semalem? Kata Ghazza sampe shubuh?" Itu Barra yang baru saja datang sambil menenteng jaket.

"Jam 2.. Ngga shubuh itu"

"Tetep aja dini hari, mau jadi apa lo? Kebiasaan..

Jangan dibiasain. Minum boleh tapi jangan belebihan. Lo masih sekolah"

"Iya gue paham, makasih" Jo merebahkan kepalanya di meja.

Ghazza datang dengan senyum mengembang.

"Semalem pulang sama siapa Jo? Lo sampe rumah kan?"

"Bawel amat kalian, gue ngga kenapa-napa!" Jo hendak bangun sebelum wanita itu menabraknya.

"Maaf kak, ngga sengaja" Minuman yang dibawa wanita itu mengenai seragam dan wajah Jo.

Jo menghembuskan nafasnya sebelum ia membuka matanya. Dilihatnya wanita itu baik-baik dengan tatapan tidak ramah.

Tapi tunggu, tunggu dulu. Wanita ini..

"Kak bawa jaket ngga? Aku bersihin dulu seragamnya ya? Boleh?"

Jo melepaskan atasan seragamnya, dan menggantinya dengan jaket. Tanpa sepatah kata, ia memberikan seragam tersebut pada wanita itu dan pergi meninggalkannya.

Barra yang melihat itu memutuskan untuk mengejar Jo dan meninggalkan Ghazza seorang diri.

"Boleh kamu tulis nomer kamu disini?" Kata Ghazza sambil menyodorkan hpnya.

"Nanti aku kasih nomer cowok itu, barangkali mau ngembaliin bajunya."

Sejenak wanita itu mematung sebelum Ghazza menyadarkannya dengan menjentikkan harinya.

"Haloo? Kok ngelamun?"

"Eh iya kak maaf, boleh." Wanita itu segera memasukkan nomer hp nya ke handphone Ghazza.

"Makasih, nanti izin aku kirim pesan yah, duluan.." kemudian Ghazza meninggalkan wanita itu disana.

Kelas sudah dimulai, Jo memutuskan untuk membolos dan memilih berdiam di rooftop. Ia merebahkan badannya di tumpukan meja tidak terpakai dan menutupi kepalanya dengan hoodie jaket yang ia pakai. Ia memejamkan matanya perlahan merasakan hembusan angin dan hiruk pikuk siswa yang samar-samar terdengar.

Meskipun ia sudah mengasingkan diri, nyatanya suara berisik di kepala tak kalah bising dan berhasil mengganggu tidurnya. Bayang-bayang Ayahnya selalu muncul. Ia teringat setiap malam ia akan menyaksikan sang ayah mabuk dengan jumlah botol wiski yang berserakan di meja ruang santai. Pernah suatu hari ayahnya pulang dengan keadaan mabuk membawa wanita lain, bercumbu di sofa ruang tamu hingga hampir melakukan hubungan suami istri di depan Jo.

Jo saat itu bersembunyi dibalik pinggiran tangga. Memori itu terekam jelas diingatan Jo.

Radit yang mengetahui hal itu, akan selalu menarik Jo untuk masuk ke dalam kamar. Ia tidak ingin sang adik mengingat hal-hal yang tidak pantas walaupun pada akhirnya Jo mengetahui semua kelakuan bejat ayahnya.

Ayahnya menikah lagi dengan wanita yang pernah diajaknya ke rumah, dari situ hidup Jo dan Radit semakin berat. Wanita ular itu menguras habis harta sang ayah, ketika ayahnya diambang kehancuran, wanita itu meninggalkannya. Sang Ayah frustasi dan berakhir jatuh sakit. Seburuk apapun sang Ayah, Radit tetap merawatnya sampai pada akhirnya Sang Ayah dinyatakan meninggal oleh dokter. Beruntung mereka bertemu dengan Arga dan Ghazza. Orangtua Arga dan Ghazza mengangkat mereka sebagai anak angkat dan memfasilitasi kehidupan mereka berdua.

Radit merasa sangat berhutang budi pada keluarga Arga dan Ghazza. Radit berjanji akan menggantinya suatu hari nanti tapi Ayah Arga menolak. Baginya, mereka bisa tumbuh dengan sehat dan tidak putus asa itu sudah cukup. Radit menangis di hadapan Ayah dan Ibu Arga Ghazza, mengucapkan terimakasih dan rasa syukur yang tak terkira.

* * *

Suara pintu rooftop dibuka, Jo mengintip dari balik hoodie jaketnya. Itu Barra dan Ghazza yang menghampirinya dengan beberapa kantung makanan. Mereka duduk disamping Jo dan menyerahkan bungkusan itu padanya.

"Makan, kata abang lo, lo belum makan dari pagi" Kata Ghazza sambil membuka bungkusan pertama.

Jo menatapnya haru dan segera melahapnya.

"kalau ada apa-apa cerita, jangan disimpen sendiri. Kita ini anak kembar 3" sahut Barra dengan mulut penuh makanan. Jo hanya nyengir saja.

"gue ngga punya masalah. Cuma masih pening aja karena mabuk semalem."

"pulang langsung istirahat" titah Ghazza

"gue ke rumah lo aja ya?"

"gue ikut, ayo tanding game. Yang kalah kepalanya digeplak sampe mampus"

"lo cari perkara emang Bar"

Barra tertawa puas sambil merebut makanan yang hendak dimakan Ghazza.

Kini mereka di kamar Ghazza sedang beradu game yang tadi dibahas. Arga masuk dengan membawa beberapa piring cemilan.

"nih dek, di meja makan udah ada makanan nanti tinggal diangetin aja yaa, Kakak mau pergi dulu" kata Arga sambil menyodorkan piring ke Jo.

"makasih Bang"

"Jo, kata Radit kemarin kamu pulang shubuh? jangan sering main di bar, kalau ada razia kamu bisa ketangkep soalnya masih anak sekolah"

Jo hanya tersenyum menanggapi. Arga tidak melanjutkan kalimatnya. Rasanya percuma menasihatinya toh Jo tetap akan pergi kesana. Ia hanya kelewat khawatir dengan keadaan Jo dan Radit yang tidak terlalu akur di rumah.

"Kakak pergi ya dek, ngga usah kemana-mana di rumah aja" kata Arga yang ditujukan pada Ghazza.

"Iya bang"

* * *

Malam itu sesuai dugaan, Jo tidak langsung pulang. Ia pergi ke bar favoritnya. Disana ia duduk sendirian ditemani beberapa gelas minuman yang baru saja ia pesan. Beberapa kali para wanita penggoda menghampirinya dengan maksud 'ingin menemani' tapi Jo menolaknya secara halus dengan senyuman maut dan kerlingan mata. Biarlah Jo menikmati suasana malam ini.

Jam menunjukkan sudah hampir pukul 2 dini hari. Handphonenya terus berdering menandakan Radit yang memintanya agar segera pulang. Jo hanya mengintipnya sedikit dari balik saku celananya dan memasukkannya kembali. Ia terus menenggak Whisky on The Rocks sambil netranya menelisik ke arah lain.

Ada 1 wanita yang rasanya tidak asing. Jo seperti mengenalnya. Dilihatnya kembali rupanya ia tidak sendiri, ada seorang pria disampingnya yang kemungkinan pria itu adalah kekasihnya. Jo tidak ambil pusing dan terus menenggak minumannya sambil sesekali masih mencuri-curi pandang pada wanita itu. Tak lama sang pria menarik paksa tangan si wanita hingga terlibatlah percek-cokan. Sang wanita ditampar keras di depan umum dan ditinggalkan begitu saja oleh sang Pria.

Wanita itu terdiam sejenak, merasakan panas dipipinya. Ia tampak acuh meski semua netra menatapnya. Ia berjalan menuju meja bar disamping Jo dan memesan minuman sambil menghapus sisa air mata di pipi. Jo kembali menelisik wanita itu. Karena sang wanita merasa seperti diperhatikan, ia menoleh ke arah Jo.

"Lo?!"

"Haii" sapa Jo kelewat ramah.

"Ternyata lo sering kesini"

Wanita itu tidak menjawab dan cepat-cepat menenggak one-shot minuman yang telah disajikan bartender. Ia kelewat malu. Matanya menelisik ke arah sekitar, khawatir bertemu dengan yang lain yang ia kenal.

"Sejauh ini cuma ada gue, kadang sama temen gue. Lo ngga usah khawatir ke gap anak sekolah"

Itu Sharon.

Wanita yang selama ini ia perhatikan ketika di bar, dan bagian lucunya ternyata Sharon adik kelasnya yang menabrak dan menumpahkan minuman di seragam Jo.

"Jam segini belum pulang, orang rumah ngga kecarian?"

"Ngga kak, ngga punya keluarga."

Jo mengerutkan alisnya.

"Gue yatim piatu.."

Jo tidak meneruskan kalimatnya. Ia mengulurkan tangan dengan maksud mengajaknya kenalan.

"Gue Jo, lo adik kelas gue kan? Yang numpahin minuman tadi pagi? Sorry tadi buru-buru ngga sempet kenalan."

"Gue Sharon.. Kak."

"Panggil Jo aja, kita ngga lagi di sekolah jadi senyaman lo aja" Jo mengembangkan senyumnya dengan mata yang hampir tertutup.

"Lo nggapapa? Pipi lo merah"

Sharon sedikit meringis akibat tamparan si pria, yang tak lain dan tak bukan adalah kekasihnya.

"Cowok tadi pacar lo?"

Sharon mengangguk lesu. Ia kembali menenggak minumannya. Ia belum berani menatap Jo.

Jo meletakkan handuk dingin di pipi Sharon yang tadi ia minta pada bartender. Sharon sedikit terkejut dan menatapnya heran.

"Cantik gini dikasarin, lo berhak bahagia"

Sejenak Sharon terdiam, sadar akan lamunannya ia buru-buru mengambil alih kompresan tersebut dan menundukkan pandangannya.

"Kenapa diem aja? Ngga nyaman ya? Gue pulang ya? Lo ngga pulang? Ini udah malem banget"

Ketika Jo hendak berdiri, Sharon dengan gerakan spontan menahan tangan Jo.

"Mm-mau nemenin dulu ngga? Gue butuh temen"

Jo kembali duduk dan menatap Sharon dari samping.

Sharon menarik napasnya kasar dan menghembuskannya perlahan seolah sedang menenangkan dirinya sendiri sebelum kembali mengajak bicara Jo.

"Pacar gue abbusive, protektif dan posesif. Tapi anehnya gue bahkan ngga bisa ngelepasin dia."

"Kenapa?"

"Karena-" Sharon menjedanya sebentar.

"Karena lo udah ngelakuin itu?"

"Hah?"

"Apa lagi? Sedikit banyak gue ngerti kalau soal gini, ngga usah malu. Gue akan pura-pura gatau apa-apa" Jo kembali tersenyum.

"Temen-temen gue kebanyakan gitu, meskipun ngga bisa dipukul rata sih~"

"Yang lo bilang barusan bener. Gue ngga akan menutupi hal itu, karena memang gue bukan wanita baik-baik."

"Lo baik.. sebenernya. Cuman karena keadaan kan? Mau ngga mau lo cari kenyamanan di orang yang salah."

Sharon mengangguk pasrah.

"Alex. Cowok tadi namanya Alex. Dia cowok pertama yang bikin gue ngerasa nyaman dan ngerasain rasanya 'pulang' . Gue masih punya Papa-Mama sebenernya cuma mereka cerai. Gue ngga bisa nerima itu. Dan mereka ngga pernah di rumah." Sharon mulai berkaca-kaca ketika menceritakan kedua orangtuanya.

"Gue tahu rasanya ngga punya 'rumah'.. Gue bahkan yatim piatu beneran. Gue cuman punya Abang tapi kita ngga begitu deket.."

Mereka terdiam selama beberapa menit, bergelut dengan isi pikirannya masing-masing.

"Lo beneran ngga pengen pulang?" Jo memecah keheningan.

"Kalau gue pulang, gue bakal ketemu Alex.."

"Mau check in?"

* * *

4 O'Clock - Part 01