
Here's a little sneak peek for you;
“Kakek pun menyadari, kalau kamu adalah anak yang pandai membaca situasi.”
Anyelir terdiam. Sepertinya ini adalah maksud utama mengapa dia dipanggil Kakek Abisena.
“Kamu tahu… Kelana itu bukan laki-laki sembarangan, bukan?” Kakek melemparkan pertanyaan yang mau tak mau harus Anyelir tanggapi.
“Iya, Kakek,” ujarnya.
“Jalur hidupnya sudah dipersiapkan, bahkan sejak dia belum bisa bicara. Begitupun perihal pendamping hidupnya kelak.”
Tangannya semakin tertaut dan dia...
“I’ve got thick skin and an elastic heart.” – Sia
Anyelir, 15 tahun.
Anyelir akhirnya menyadari betapa tinggi dinding pembatas antara dirinya dan seorang Kelana Sastrowilogo saat dia menginjakkan kaki di Cahaya Ilmu International High School.
Katakan saja Anyelir udik, namun dia sungguh-sungguh tak tahu jika sekolah bahkan bisa semewah ini gedung dan fasilitasnya. Belum lagi orang-orang yang Anyelir temui yang hampir semuanya berasal dari keluarga berada dan berpengaruh.
Setara dengan Kelana Sastrowilogo.
Anyelir dan Angkasa saling berpandangan ketika acara penyambutan murid baru di aula besar ini dimulai. Para siswa yang memakai seragam yang sama seperti dirinya duduk dengan teman mereka masing-masing.
Setiap orang sudah memiliki circle-nya sendiri dan saling bergurau serta bercerita satu sama lain. Ketika mereka melihat Anyelir serta Angkasa, tatapan mereka yang penuh selidik dari ujung kepala hingga ujung kaki disudahi dengan putaran bola mata. Seakan-akan mereka telah selesai menilai dan mereka tahu jika mereka tak akan pernah diterima di dalam lingkar pertemanan para keturunan konglomerat ini.
Dan pada hari itu pula Anyelir paham jika Kelana tidak memperlakukan dirinya dan Angkasa seperti serangga pengganggu.
“Eh, itu Kelana ya? Anaknya yang punya Yayasan ini ‘kan?”
“Anjir! He’s so handsome! Dia itu sepupunya Archer kan? Yang tahun lalu lulus dari sini? Gila gue pernah ketemu sama sepupu-sepupu mereka waktu liburan di Lugano. They are so fine!” Suara seorang cewek seusianya yang duduk di samping Anyelir membuatnya tergelitik.
Anyelir tidak tahu seberapa banyak sepupu Kelana yang sudah pernah dia lihat berkunjung ke rumah kakeknya. Namun dia tahu, kelima anak Kakek Abisena memiliki anak-anak yang sebagian besar lebih tua dari Kelana, hanya beberapa saja yang seumuran atau lebih muda dibanding Kelana. Seperti adiknya Kelana, Sashi yang berjarak cukup jauh dari Kelana. Sekitar lima tahun di bawah mereka.
“Namanya Archer karena nyokapnya orang British kan? Nyokapnya keturunan Lord kalau nggak salah. Archer itu legend banget di sini, sayang dia nggak punya social media buat kita stalk, too bad.”
Mereka sibuk menggosipkan tentang Kelana dan keluarga besarnya, hingga akhirnya tak bisa menahan histeria saat Kelana berjalan ke arah meja mereka.
“Hi, Kelana!” Beberapa orang menyapa Kelana, tapi dia diam saja dan hanya mengangguk tanpa melihat siapa yang menyapanya.
Tatapannya lurus ke arah Anyelir dan Angkasa. Beberapa orang yang akhirnya paham ke mana arah mata Kelana langsung mengernyit dan menatap tak percaya ke arah Anyelir.
“Hey! Kalian sudah sampai? Ke sini naik apa?” tanya Kelana sambil tersenyum lebar.
“Angkasa bawa motor,” jawab Anyelir pelan.
Dia merasa risih karena menjadi pusat perhatian gara-gara Kelana menyapanya.
“Hei, sorry bisa geser nggak, ya? Gue mau duduk di situ,” ujar Kelana kepada perempuan yang duduk di samping Anyelir tadi.
Cewek itu seperti terhipnotis dan tak menjawab permintaan Kelana sampai cowok itu menjentikkan jarinya dan menatap cewek itu dengan sedikit kesal.
“Bisa?” Suara Kelana semakin membuat suasana rikuh.
Dengan terpaksa perempuan itu beranjak dan Kelana langsung menduduki kursi di samping Anyelir. Angkasa yang sedari tadi berada di samping Anyelir menyipitkan matanya melihat gelagat Kelana.
“Nanti akan kuantar berkeliling. Lunch juga akan kujemput. Kalian sudah dapat silabusnya? Nanti kalau ada yang perlu ditanyakan jangan sungkan-sungkan, ya.”
Kelana dengan antusias menjelaskan ini itu kepada Anyelir dan Angkasa tanpa memedulikan sekitar yang bengong melihat perubahan sikap Kelana yang begitu drastis di mata mereka.
Dan karena perbedaan sikap signifikan tersebut, Anyelir dan Angkasa sejak hari pertama sudah dijadikan target oleh seluruh siswa sekolah elit tersebut.
Semakin banyak yang mengorek informasi tentang mereka, dan prasangka liar semakin menjadi ketika tahu Anyelir dan Angkasa tinggal di rumah kakeknya Kelana sebagai cucu pekerja rumah tangga rumah tersebut.
Dari sana, sekolah yang bagaikan neraka dimulai.
Komentar sinis, tuduhan yang menyakitkan, persepsi yang bias hingga yang terparah, kasus bullying. Semuanya Anyelir terima karena kedekatannya dengan Kelana.
***
“Bagaimana sekolahmu? Sudah dapat beradaptasi dengan baik?” Kakek Abisena berjalan dengan tongkatnya ke arah Anyelir yang sedang sibuk memotong dedaunan kering di halaman belakang rumah.
Kakaknya Angkasa sedang di garasi bersama Pak Radjiman. Mencuci kendaraan sekaligus membersihkan ruang garasi yang besar. Sedangkan nenek ada di ruang laundry mencuci dan menyetrika pakaian yang tak perlu dimasukan ke dalam penatu langganan Kakek Abisena.
Anyelir tersenyum sopan seraya menangguk.
“Iya, kami berusaha mengejar ketertinggalan kami dan belajar sekuat tenaga. Kurikulumnya sangat berbeda dengan apa yang pernah kami pelajari sebelumnya,” balas Anyelir.
Bayang-bayang kemarahan Kakek Abisena tentu saja masih melekat kuat dalam ingatannya. Awalnya dadanya selalu sesak jika melihat sosok megah dan penuh kuasa ini. Namun lambat laun Anyelir menyadari jika dia tak bisa tersandera oleh perasaan takut ini dan harus berdamai segera.
Biar bagaimanapun berkat kemurahan hatinya Anyelir dan Angkasa bisa terawat dengan baik dan memenuhi seluruh kebutuhannya sejak mereka kecil.
“Ayo kita bicara di dalam,” ujar kakek yang kemudian melangkah masuk kembali ke dalam rumahnya.
Anyelir segera berjalan di belakang Kakek Abisena hingga sang punggawa itu duduk di sebuah sofa kulit Italia premium berwarna hitam dan meminta Anyelir untuk segera duduk di hadapannya.
Kedua tangan Anyelir saling bertaut dan dia hanya menatap meja kayu eboni yang terukir begitu indah dan rumit dan penuh karsa hasil karya pengrajin dari luar negeri. Anyelir sejujurnya sudah mulai kebas dengan perasaan inferior saat melihat kemewahan yang ditampilkan secara apik di rumah ini.
Namun terkadang, perasaan tersebut masih suka muncul ke permukaan. Apalagi ketika dia berada di lingkungan sekolah dengan peer pressure yang sangat tinggi hingga dirinya tak mungkin mengejar atau mendekati teman-teman sekolahnya.
“Bagaimana? Kamu menyukai sekolah barumu?” tanya Kakek Abisena sekali lagi.
“Ya Kakek, tentu saja. Kami berterima kasih kepada keluarga Kelana dan Kakek yang bersedia memberikan beasiswa kepada saya dan Angkasa,” jawab Anyelir dengan sopan.
“Kamu sepertinya anak yang tahu balas budi dan cara berterima kasih yang baik, Nak.”
Ucapan Kakek Abisena entah mengapa terdengar begitu mengganjal di hati Anyelir, meskipun ucapan tersebut bernada positif.
Anyelir tak tahu apa yang harus diucapkan untuk membalas pernyataan Kakek Abisena tersebut.
“Kakek berharap kamu fokus dengan sekolahmu, dan manfaatkan beasiswa ini baik-baik, siapa tahu kamu bisa mengembangkan bakat melukismu dan kelak bisa menjadi pelukis profesional.” Kakek Abisena tersenyum dalam memberikan petuahnya.
Anyelir mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
“Angkasa pun kudengar memiliki prestasi yang baik di sekolah. Sebelumnya dia sering menjadi juara kelas. Kakek bisa memberikan rekomendasi agar dia melanjutkan kuliahnya di Cahaya Ilmu International University.”
Tak ada yang Anyelir bisa lakukan selain mengucapkan terima kasih terus menerus kepada Abisena Sastrowilogo dan Kelana Sastrowilogo sepanjang hidupnya. Karena mereka berdua memang selalu membantu Anyelir dan keluarganya dalam bertahan hidup.
“Angkasa sepertinya berencana untuk masuk ke sekolah penerbangan. Dia sudah mempersiapkannya dari sekarang.” Anyelir meluruskan persepsi tentang Angkasa.
Saudaranya itu begitu ingin menjadi pilot. Dia bilang gajinya besar dan dia berencana untuk mengambil rute internasional supaya bisa digaji dalam kurs dollar dan menabung untuk membeli rumah yang akan diberikan untuk Anyelir dan nenek.
“Begitukah? Apa Angkasa tahu jika biaya sekolah penerbangan tidak murah. Apa rencana saudaramu itu untuk masalah biaya?” Kakek Abisena menanyakan hal yang begitu krusial yang acapkali membuat Angkasa bingung.
Tapi setiap mereka menyinggung masalah biaya, Angkasa selalu menepisnya dan meyakinkan nenek mereka kalau dia bisa mendapatkan bagaimanapun caranya.
“Mungkin Angkasa akan mengejar beasiswa penuh,” balas Anyelir ragu-ragu.
Jawabannya mendapatkan senyum dari Kakek Abisena.
“Kakek dengan senang hati membantu jika Angkasa menginginkannya. Kakek punya kenalan pemilik sekolah penerbangan internasional terbaik. Jangan khawatir.” Kakek menambahkan.
“Kakek terlalu baik,” ujar Anyelir menanggapi sambil tersenyum kecil.
Dia mencoba menutupi kegugupannya dan rasa ragu yang menggelayut dalam hati dan pikirannya tak menyeruak sepanjang diskusi mereka.
Dalam hati dia tahu Angkasa pasti akan menolak mentah-mentah penawaran tersebut. Dari gelagatnya Angkasa sudah tak sabar melepaskan diri dari genggaman Abisena Sastrowilogo dan menghentikan ‘ketergantungan’ mereka terhadap bantuan finansial dan belas kasih dari salah satu pengusaha paling berpengaruh di Indonesia ini.
“Kakek pun menyadari, kalau kamu adalah anak yang pandai membaca situasi.”
Anyelir terdiam. Sepertinya ini adalah maksud utama mengapa dia dipanggil Kakek Abisena.
“Kamu tahu… Kelana itu bukan laki-laki sembarangan, bukan?” Kakek melemparkan pertanyaan yang mau tak mau harus Anyelir tanggapi.
“Iya, Kakek,” ujarnya.
“Jalur hidupnya sudah dipersiapkan, bahkan sejak dia belum bisa bicara. Begitupun perihal pendamping hidupnya kelak.”
Tangannya semakin tertaut dan dia hanya bisa diam menerima semua perkataan Kakek Abisena yang tepat sasaran.
“Kakek rasa kamu sudah mengerti ke mana arah pembicaraan ini. Bukan begitu?” tanya Kakek dengan suara lembut penuh wibawa.
Tapi suara tersebut sukses membuat Anyelir tersadar akan posisinya. Dan ucapan yang dikatakan dengan berhati-hati tersebut sudah jelas ditujukan agar Anyelir tahu diri akan hubungannya dengan Kelana.
“Saya dan Kelana hanya sebatas teman,” ujar Anyelir menanggapi.
“Begitukah?” Kakek meragukan ucapannya barusan.
Matanya memaksa Anyelir untuk tetap beradu pandang, seakan mencari kebenaran yang dianggap disembunyikan lewat sorot mata Anyelir.
“Kamu menganggapnya demikian? Jangan pikir kalau Kakek tidak tahu bagaimana sikap Kelana terhadapmu di sekolah, Anyelir!” Suara Kakek Abisena mengeras.
Pertanda dia tak percaya sedikitpun apa yang dikatakan Anyelir barusan.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
