Kamar Sebelah - Part 2 (GRATIS)

20
1
Deskripsi

Pintu kamar Anin terbuka dengan bunyi brak keras, kemudian sahabatnya masuk dengan tampang yang masam.

"Kalo pintu kamar gue rusak, pintu mobil lo yang bakalan gue patahin." Anin mengancam tanpa menoleh pada Caca, ia asik memakan macaroni sambil menonton serial Squid Game di Netflix.

"Kesel gue sama abang lo!" Caca mengadu, mencari perhatian Anin yang masih tetap tak peduli dengan apa yang dilakukan Caca.

Bukannya Anin tidak peduli betulan pada sahabatnya, masalahnya adalah Anin betul-betul tidak paham...

Pintu kamar Anin terbuka dengan bunyi brak keras, kemudian sahabatnya masuk dengan tampang yang masam.

"Kalo pintu kamar gue rusak, pintu mobil lo yang bakalan gue patahin." Anin mengancam tanpa menoleh pada Caca, ia asik memakan macaroni sambil menonton serial Squid Game di Netflix.

"Kesel gue sama abang lo!" Caca mengadu, mencari perhatian Anin yang masih tetap tak peduli dengan apa yang dilakukan Caca.

Bukannya Anin tidak peduli betulan pada sahabatnya, masalahnya adalah Anin betul-betul tidak paham dengan jalan pikiran Caca yang absurd. Sahabatnya ini sudah dua minggu selalu datang ke apartemennya semenjak kakak tirinya pindah ke sini.

Alasannya tentu saja karena dia ingin mendekati Rangga, si manusia kaku bak kabel baru beli itu. Anin padahal sudah mewanti-wanti Caca bahwa usahanya akan sia-sia. Sekali lihat saja, Anin sudah tahu bahwa Rangga bukan tipe orang yang mudah didekati.

Ia terlalu pendiam, bukan pendiam karena pemalu. Tersenyum saja jarang ia lakukan, pokoknya Anin gak suka sama lagaknya yang sok cool itu!

"Masa dia cuekin gue yang udah cantik gini. Dia nanya, mau tampil dimana Mbak Caca pake baju adat?!"

Aku menyemburkan Macaroni yang belum sempat kukunyah, tertawa terbahak-bahak sambil sepenuhnya memperhatikan penampilan sahabatku. Caca benar, dia terlihat memukau, terlalu memukau dengan dress rancangan desainer yang motifnya mirip baju adat Jepara.

Caca cemberut, menggeplak paha Anin karena menertawakan dirinya.

"Lagian ngapain sih lo pake pakean begini, bener aja dia nanya lo mau tampil dimana haha.. " Anin masih tertawa, rasanya melihat wajah Caca lebih menghibur dibanding menonton peserta terbunuh yang ada di Squid Game.

"Yaa.. Gue kan niatnya mau caper ke dia karena dia dari daerah, jadi gue pake baju gini lah biar keliatan lebih anggun dan manis." Caca berkata serius, ia mulai membuka kancing depan bajunya, membuangnya sembarang, berjalan ke sudut ruangan dan mulai membuka lemari baju milik Anin.

"Gak usah aneh-aneh makannya, dibilang percuma. Lagian ngapain sih lo keuhkeuh banget deketin manusia kabel." Anin melempari sahabatnya yang sedang memilih baju miliknya untuk dipinjam dengan Macaroni.

Ia berdiri, ikut memilihkan baju yang cocok di tubuh Caca yang lebih kecil dari tubuhnya.

"Tapi nin, gue ngerasa sikap Rangga ke elo beda gak sih? Dia lebih sering ngajak lo ngobrol duluan, padahal dia gak pernah ngobrol sama siapapun."

"Halah, itu karena dia numpang di apart gue, biasalah jilat adek tirinya sendiri."

"Ihhh, mau dong dijilat Ranggaaaa.. " Caca membuat suara menjijikan ketika mengatakan itu. Anin menoyor kepalanya yang penuh kemesuman.

"Nih pake, gak akan kedombrongan kalo lo pake ini." Anin memberikan kaus berwarna beige pada shabatnya yang masih cemberut.

"Udahh nyerah aja, gebetan lo banyak tuh nunggu diajakin jalan sama lo."

"Ahh, bosen bangett gue. Gue tuh maunya Rangga. Lihat deh kulit putih pucetnya, gue udah bisa bayangin adegan romantis mirip Film Twilight! Berasa pacaran sama vampir gak siiihhh??!" Caca mulai kembali absurd dengan omongannya.

Anin hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar bayangan random dari sahabatnya. Caca benar, kulit Rangga sangat pucat bak mayat hidup. Tidak seperti kulit Anin yang coklat. Anin curiga, Rangga berbohong bahwa ia tinggal di desa sebelumnya.

Bukannya harusnya ia memiliki kulit hitam layaknya orang-orang yang datang dari desa ya? Menyebalkan!

"Udah ah jangan lebay, kemarin bilang mirip Shawn Mendes, sekarang mirip Cullen. Dia tuh Rangga Batara, anak gunung!" Anin kembali menoyor Caca yang bertampang oon dengan fantasinya sendiri. Anin berbalik untuk mengambil kunci mobilnya di atas laci.

"Mau kemana, Nin?" Caca bertanya, melihat Anin yang sibuk nemasukkan dompet, ponsel dan lipstiknya ke dalam tas.

"Mau ketemu Wisnu." Anin berkata acuh, kemudian berbalik kaget saat merasakan panas menyengat di bahunya. Caca menggeplak bahunya dengan sangat keras.

"Aww! Apaansih!"

"Elo yang apaan! Lo gila ya! Gak ada harga diri banget lo masih mau ketemu sama cowok bajingan itu!" Caca meledak, kembali menaboki bahu Anin dengan pelan.

"Aw.. Iya iya gak jadi, apasih, kok lo yang repot!"

"Iyalah gue repot. Ngapain sih niiiinn lo mau temuin cowok yang ninggalin elo karena elo gak mau diajak ngentot!" Caca menyembur, merampas kunci mobil Anin dari tangan si empunya.

"Haaahh.. " Anin menghela nafas, ia duduk di atas ranjang, diikuti Caca yang duduk di sampingnya.

"Gue tau, seumur hidup lo baru pacaran sama satu orang ini, si tolol Wisnu. Tapi berkali-kali kan gue udah bilang sama lo kalo cowok beneran sayang sama lo, dia akan hargain dan nerima prinsip lo."

Caca berkata, sedikit lebih lembut dari sebelumnya. Dalam hati ia sangat mengutuk mantan pacar sahabatnya ini. Anin memang galak dan ketus, namun Caca sangat tahu bahwa ia hanya pernah jatuh hati pada satu laki-laki di hidupnya. Dan si dajjal Wisnu justru merusak hatinya yang baik.

Jangan heran jika Caca dan Anin sangat berbeda dalam hal prinsip berpacaran. Caca orang yang bebas, ia akan have sex jika ia ingin, ia juga orang yang tidak bisa berhubungan dengan satu jenis lelaki dalam waktu yang lama.

Ia lebih suka menjalin hubungan tanpa status, dia akan menerima kepuasan dan memberi kepuasan, tidak ada baper, tidak ada komitmen, bebasss.. Dan selalu bahagia tanpa pikiran toxic yang merajalela di hidupnya.

Namun berbeda dengan Anin, dari luar ia terlihat bebas dan galak, namun hatinya begitu lembut. Anin akan setia pada satu laki-laki yang sudah ia pilih, namun ia menjaga prinsipnya untuk tidak melakukan sex sebelum menikah. Dan siapa yang berani men-judge pikiran suci ini? Sebagai sahabat, tentunya Caca sangat menghargai prinsip yang sahabatnya punya.

"Lo harus inget, dia ngentot sama si Rita cuma karena lo gak mau dia entot! Lo harus inget nin!" Caca kembali mengingatkan Anin betapa brengseknya si dajjal Wisnu.

Anin masih diam, membuka tasnya dan mengeluarkan ponselnya dari sana. Ia mengetikkan sesuatu, kemudian menunjukkannya pada Caca.

"Udah gue batalin nih, puas?!" Anin berkata ketus namun tersenyum, ia tahu Caca sangat peduli padanya.

Caca nyengir, memeluk sahabatnya yang lebih tinggi dari dirinya sendiri.

"Ayok clubbing! Lupain si dajjal Wisnu! Kita have fuuunnn!"

Kedua orang itu kembali membuka lemari pakaian, memilih beberapa gaun pesta untuk mereka gunakan. Ternyata benar kata orang,  mantan pacar sahabat kita adalah musuh terbesar kita.

***

"Tapi ini udah mau maghrib." Aku berkata pada adik tiriku yang sibuk memakai sepatu berhak di meja makan. Temannya duduk manis memandangiku, membuatku sedikit tidak nyaman karena dipandangi dengan begitu intens.

"Ya siapa juga yang bilang pagi. Gue cabut, udah itu aja. Gak usah nungguin, taroh aja kunci manual di laci deket TV. Ntar gue yang ngunci sendiri." Anindira berbalik pada temannya, mengatakan sudah siap dan menarik paksa tubuh temannya yang masih mau duduk sambil memandangiku.

"Jangan pulang larut, Nin." aku mengingatkan, dijawab dengan tatapan dingin yang tajam dari bola matanya yang jernih.

Aku menuju dapur, membuat sesuatu untuk dimakan. Membaginya menjadi dua dan meletakkannya di dalam lemari pendingin, jadi Anin hanya tinggal memanaskannya saja di microwafe jika ia ingin makan.

Sebenarnya aku tidak perlu membuatkan makanan untuk Anin karena ia tidak pernah memakannya. Namun anehnya, tanpa sadar aku akan membagi dua makanan yang kubuat seperti sebuah kebiasaan.

Aku mengecek jadwal kelasku, besok seperti biasa aku mendapat kelas pagi. Beberapa tugas yang belum kukerjakan sudah menantiku di kamar, aku mengerjakan tugas sampai tak sadar bahwa Anin belum pulang di jam 10:30 malam.

Aku menelepon ponselnya, mengirim pesan singkat menanyakan keberadaannya. Namun tidak satupun pesan dan panggilanku dijawab. Aku menunggunya, berusaha membuat mataku tetap terbuka dengan meminum kopi dan menonton serial yang sebenarnya tidak kutonton.

Aku hanya membiarkan televisi menyala menemaniku menunggu adik tiriku pulang. Sebenarnya aku bisa saja tidur, toh Anin bisa membuka pintu apartemen dengan kartu akses yang ia miliki. Namun aku telah diwanti-wanti oleh ibu tiriku untuk mengunci pintu apartemen dengan kunci manual dari dalam setiap malam setelah Anin tertidur.

Aku tidak tahu alasan pastinya, namun sepertinya Anin memiliki kebiasaan yang aneh saat ia tidur. Ibunya mengatakan bahwa gejalanya tidak beraturan. Beberapa bulan belakangan ini Anin tidak pernah mengalami gejala itu lagi. Namun untuk keamanan, mengunci pintu depan secara manual hukumnya wajib dilakukan.

Aku memang tidak pernah tahu apakah kunci otomatis dalam apartemen juga memerlukan kunci manual, namun apartemen Anin memiliki keduanya, seperti sengaja diprogram dan dibuat khusus agar pintunya bisa dikunci dari luar ataupun dalam.

Ibu tiriku juga berpesan untuk menyimpan kuncinya, jangan biarkan menggantung atau tergeletak, apalagi dipegang oleh Anindira sendiri. Maka selama ini, aku membawa kuncinya dan meletakkan di dalam laci nakas di kamarku.

Aku masuk ke dalam kamar di jam setengah satu dini hari. Berniat membaca buku saja sambil menunggu Anin pulang. Beberapa saat kemudian, suara pintu terbuka terdengar dari kamarku yang memang dekat dengan pintu depan.

Aku hendak menunggu Anin masuk ke dalam kamar, namun suara kedebug dan rintihan sakit terdengar dari luar kamarku. Aku bergegas membuka pintu, mendapati Anin yang tengkurap dengan sepatu berserakan di lantai.

"Nin?.. " aku memanggil namanya, namun tak ada jawaban, adikku ini malah bergeser, menelungkup memeluk lututnya sendiri.

Aku mengangkat tubuhnya, ada aroma manis yang memuakkan menguar dari tubuhnya. Ini alkohol, berapa banyak yang dia minum sampai bisa tepar seperti ini?

Aku menggotongnya ke kamar, menidurkan tubuhnya dan menyelimuti kakinya yang bergetar kedinginan. Aku mematikan lampu kamar, dan melakukan ritualku seperti biasa, mengunci pintu depan secara manual.

Setelah meletakkan kuncinya ke dalam laci, aku menyelimuti diriku sendiri dan bergegas tidur, sudah dari dua jam yang lalu aku menahan kantuk, ditambah besok aku memiliki kelas pagi.

Aku sudah berada di langit ketujuh saat kurasakan sesuatu yang basah menyentuh kulitku secara langsung. Kemudian beban berat ada di atasku, aku membuka mata, mendapati sosok wanita yang sedang menjilati bibirku yang terbuka dan mengendus kulit wajahku.

Aku mengerjap kaget. Jantungku berdebar saat mengira sosok di atasku ini bukan manusia. Namun saat menyesuaikan penglihatan dengan dibantu cahaya temaram yang datang dari celah pintu kamarku yang terbuka, aku melihat wajah manis Anin di atasku.

"Anin?" aku memanggil namanya, berusaha menyingkirkan tubuhnya yang menindihku.

Sialan, aku lupa mengunci pintu kamarku. Kulirik jam kecil di nakas, demi tuhan ini baru jam 2 dini hari. Belum ada sejam semenjak aku tertidur.

Anin terlihat linglung, ia diam saja menatapku. Matanya yang biasanya waspada dan galak, kini sendu dan sayu. Ia masih mengenakan pakaian yang tadi, masih ada juga noda eyeliner di bawah mata dan pipinya.

Aku berusaha bangkit berdiri, ingin mengantarnya kembali ke kamarnya. Namun Anin menubrukku, membuatku kembali tertidur di kasur. Ia kemudian menurunkan celana tidurku, kami sama-sama kaget saat penisku meloncat keluar dari sana.

Anehnya Anindira terpekik girang ketika melihat penisku berdiri tegak dan mengeras, sedangkan aku hanya menatapnya seperti orang tolol, aku sendiri tidak tahu kapan aku ereksi dan mengapa aku bisa ereksi.

"Behhsarr.. " ia tersenyum padaku, suaranya terdengar melantur, ia menangkup ereksiku dengan jemarinya yang lentik.

Aku terkesiap, tidak. Bukan seperti ini harusnya, dimana Anindira yang galak dan sangat membenciku? Anindira yang normal tidak akan mau melakukan hal seperti ini, ia bahkan benci untuk sekadar mengobrol denganku.

Aku berusaha menyingkirkan tangannya, namun ia mencengkram penis kerasku dengan ketat, mengocoknya dengan girang layaknya anak kecil yang memiliki mainan baru.

"Anin, gak boleh.. " Aku berusaha berbicara dengan lembut, merayunya untuk melepas penisku yang berkedut.

Anin menatap mataku, kemudian menggembungkan pipinya.

"Kenapa gak boleh?" ia bertanya, aku sangat yakin suaranya melantur. Apakah karena dia mabuk? Tapi kenapa kebiasaan mabuknya sangat berbahaya seperti ini?

Aku merasa frustasi karena adrenalinku berpacu, mengalir memenuhi tubuhku yang tiba-tiba merasa panas.

"Anin, lepasin dulu ya." Aku masih merayunya dengan mengelus sisi wajahnya yang cantik.

Ia mengerjap, kemudian menyengir lebar, terlihat senang saat aku mengelus sisi wajahnya.

"Tapi sosis kamu ngaceng." Aku menutup mataku mendengar ucapannya.

Dengung aneh dan rasa pusing melandaku saat Anin membawa wajahnya mendekati penisku yang anehnya bertambah besar daripada sebelumnya.

Anin yang tahu bahwa aku bertambah besar mengerang takjub, dan mengembuskan nafasnya di sana. Aku meremang, perutku mengencang oleh antisipasi gila yang hadir di kepalaku.

"Anin jangan.. " aku berkata, memperingatkannya untuk tidak mendekatkan wajahnya lebih dekat pada penisku.

"Anin,.. " aku masih memperingatkannya yang justru sibuk memandangi kelaminku, memeriksanya seakan sebuah peninggalan sejarah.

"Anin, ahhhhh.. Ya Tuhan.. " aku menggeram saat mulut kecilnya menangkup ereksiku yang besar, melumuri penisku dengan air liurnya yang hangat.

To be Continued...

***

→Next Part 3 Kamar Sebelah

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Kamar Sebelah - Part 3 (GRATIS)
21
0
Anindira masih tidur, padahal jam alarmnya sudah protes berkali-kali. Entah sudah berapa kali ia menekan tombol tunda pada alarm, membuat benda kecil cerewet itu diam, namun kembali berbunyi 10 menit kemudian.Matanya sulit dibuka, ia merasa sangat lengket dan menyadari bahwa ia tidur menggunakan baju pestanya semalam. Anin mengucek mata kanannya, mendapati belek berwarna hitam di telapak tangannya. Sial, ia tidak membersihkan wajah semalam.Gadis dengan tinggi 165cm itu mencoba duduk di ranjang, merasakan sengatan sakit di belakang kepala dan lehernya. Ia masih mencoba mengumpulkan nyawa saat bunyi pintu depan menyadarkannya bahwa seseorang baru saja masuk ke dalam apartemen.Itu pasti kakak tirinya, Rangga. Sebenarnya Anin sudah merasa terbiasa dengan kehadiran kakak tirinya itu, apalagi Rangga seakan membuat jejak kehadirannya ada di mana-mana. Ia selalu membuatkan makanan untuk Anin, padahal sekalipun tidak pernah Anin sentuh.Namun kali ini, sepertinya Anin terpaksa akan memakan masakan Rangga. Cacing di perutnya meronta, ia terlalu malas untuk membuat makanan. Ia hanya akan makan apapun yang ada di kulkas sekarang.Anin melirik alarm yang menunjukkan pukul 2 siang. Sudah lebih dari setengah hari ia tertidur, ia ingat pulang ke rumah sekitar jam 12 menggunakan taksi, tapi ia lupa bagaimana caranya bisa sampai ke kamarnya kemarin malam.Sialan Caca, dia tahu hari ini Anin harus masuk kelas, tapi tetap mencekoki alkohol padanya. Sudah bisa dipastikan ia telat masuk, dan absensinya yang berharga akan melayang sia-sia.Tubuhnya terasa remuk, apalagi bagian belakang kepala dan tengkuknya. Ia seperti terjatuh atau menubruk sesuatu yang keras. Tapi Anin sama sekali tidak ingat mengapa belakang kepalanya terasa sangat sakit.Ia merenggangkan otot di tubuhnya, mencoba berdiri dan menuju kamar mandi untuk membersihkan wajah, menggosok gigi dan buang air kecil. Perutnya sangat mual, lehernya benar-benar sakit, Anin tidak heran jika ia jatuh di suatu tempat saat menuju apartemen mengingat dirinya merasa sangat mabuk semalam.Ia berjalan ke dapur dan membuka kulkas. Tebakannya benar, Rangga meninggalkan makanan untuknya. Kali ini ada sepotong sandwich isi kornet sapi di sana. Setelah dipanaskan, Anin menggigit sepotong, rasa meleleh keju di mulutnya membuat Anin terpejam.Sudah lama Anin menebak bagaimana rasa masakan Rangga yang berasal dari kampung itu. Ternyata tidak buruk, seleranya terhadap makanan lumayan cocok dengan selera Anin.Anin masih sibuk mengunyah sandwich-nya di atas bangku tinggi dapur saat Rangga keluar dari kamar. Anin menoleh dan tatapan mereka bertemu, Rangga langsung mengalihkan pandangan, berjalan mengitar untuk mengambil minum di kulkas.Makasih sandwich-nya. Anin berdeham, ia memang tidak menyukai kehadiran Rangga di hidupnya, namun ia bukanlah orang yang tak tahu terimakasih. Apalagi ia terpergok sedang memakan masakan yang dibuat sendiri oleh Rangga.Rangga mengangguk sebagai jawaban, sebenarnya Rangga merasa sangat was-was sekarang. Jantungnya berdegup kencang layaknya sehabis berlari maraton.Ia kira Anin sudah ada di kampus, siapa sangka gadis yang semalam datang ke kamarnya ini sedang duduk di dapur dan memakan sandwich buatannya dengan santai.Rangga melirik Anin yang memegang belakang kepalanya, meregangkan otot di sana sambil mengernyit kesakitan.Lehermu, masih sakit? Rangga bertanya hati-hati. Mengutuk dirinya sendiri karena membuat kepala Anin terbentur dinding semalam.Kenapa tahu kalo gue sakit leher? Anin bertanya, matanya menyelidiki Rangga yang kini salah tingkah.Rangga heran, apakah Anin betul-betul tidak ingat kejadian semalam? Demi Tuhan, gadis itu memaksa mengulum penisnya dan ia tidak ingat!Di sisi lain, Rangga juga bersyukur kalau memang Anin melupakan hal absurd itu, bayangkan jika Anin ingat kenapa belakang kepala dan lehernya bisa sampai sakit?Ia mungkin akan memandang Rangga dengan sinar laser selama setahun. Padahal tanpa sinar laser di matanya, Anin sudah menatapnya penuh ketidaksukaan. Sangat berbeda dengan Anin yang semalam terlihat girang saat memandangi penisnya yang berkedut.Rangga menggelengkan kepala, membuat bayangan semalam pergi dari kepalanya sekarang.Semalam, ia hampir gila saat kepala penisnya masuk ke mulut Anin yang panas, pikirannya buyar dan tanpa sengaja ia menendang wajah Anin menggunakan lutut, membuat gadis itu melayang dan menubruk dinding kamar. Setelah itu Anin pingsan, meninggalkan Rangga dengan penis yang teracung sempurna.Kenapa lo? Anin menyelidik karena Rangga tidak menjawab pertanyaannya. Ia memperhatikan gerak-gerik kakak tirinya yang mencurigakan.Ada apa dengan cowok tinggi ini? Tidak biasanya dia berbicara tanpa memandang Anin. Rangga biasanya akan memandang tepat manik mata Anin saat mereka mengobrol, yah walau Anin mengakui tidak pernah ada pembicaraan panjang diantara mereka.Gak papa, kamu gak kuliah?Gak! Lo sendiri,  jam segini udah pulang. Lo gak punya temen, ya? Anin hendak menyesali apa yang ia katakan, tapi tidak jadi karena toh ia juga penasaran bagaimana kehidupan kakak tirinya di kampus.Kami ada tugas kelompok minggu ini. Rangga menjawab, menaruh gelasnya di wastafel.Bukan tugas kelompok. Gue nanya, lo gak punya temen ya di kampus? Anin mengulang kembali pertanyaannya, menegaskan apa yang ia maksud.Rangga mendekat, tiba-tiba mencondongkan tubuhnya pada Anin dari seberang meja makan.Kenapa? Kamu mau jadi teman saya?Anin mengerjap, apa sebenarnya yang cowok ini pikirkan. Beberapa saat yang lalu ia menghindar untuk menatap Anin. Sekarang ja justru mendekat, mengagetkan Anin yang tidak siap dengan kedekatan wajah mereka yang mendadak.Apaan.... Saya mau kerjain tugas di kamar, kalau masih lapar. Ada lauk di tupperware merah. Bisa kamu panaskan, nasinya masih ada di penghangat. Rangga berkata, berjalan ke kamarnya meninggalkan Anin yang masih berusaha mencerna percakapan mereka.Apa-apaan itu? Sejak kapan Anin merasa gugup di depan Rangga? Ia bahkan tidak bisa menyelesaikan apa yang ingin ia katakan tadi!Selama ini, cowok kurus itu tidak pernah membuat Anin gugup bahkan saat pertama kali mereka bertemu. Sial, ada apa dengan jantungnya yang tiba-tiba berdetak lebih cepat? Mungkin ia terlalu banyak mengkonsumsi kafein.Tapi setelah diingat-ingat, sudah dua hari ia tidak minum kopi. Lalu apa yang membuat jantungnya berdebar tidak normal?***Rangga menutup pintu kamar, ada yang aneh dengan suhu tubuhnya yang tiba-tiba memanas. Ia hanya berniat melihat wajah Anindira dari dekat, ia ingin memastikan apakah tendangan dari lututnya semalam melukai wajah adik tirinya, dan Rangga sangat bersyukur bahwa tendangannya tidak meninggalkan bekas apapun.Tapi jantungnya justru menggila, melihat bibir tipis Anin dari dekat membuat ingatannya bertambah kuat. Rangga merasa frustasi, belum pernah ia merasakan perasaan seperti ini.Di satu sisi ia sangat penasaran apa yang membuat adik tirinya melakukan hal itu semalam. Apa benar karena mabuk sehingga Anin melupakan kejadian semalam? Tapi jika karena mabuk, apakah setiap mabuk Anin akan melakukan hal itu?Pada siapa? Rangga baru tinggal di rumahnya selama 3 bulan!Tiba-tiba Rangga merasa kesal. Selama ini, pada siapa Anin melakukan hal itu? Adiknya memang terlihat memiliki pergaulan yang cukup bebas ala anak ibukota. Rangga tak bisa menepis perasaan cemas berlebihan yang timbul di hatinya sekarang.Ia mendengar suara TV dari ruang tengah yang menyala, dibarengi suara Anin yang memaki di telepon. Sepertinya Anin berbicara dengan sahabatnya yang sering datang ke sini, tapi Rangga lupa siapa namanya.Rangga mencoba berbaring di atas ranjang, memandangi langit-langit kamar, ia tidak bisa berhenti memikirkan Anindira. Ia tidak bisa hanya diam saja mengetahui bahwa kebiasaan mabuk adik tirinya begitu berbahaya. Ia ingin memastikan apakah Anin benar-benar melakukannya karena ia mabuk.Malam ini ia memutuskan untuk tidak mengunci pintu kamar. Bukannya ia ingin Anin kembali masuk ke kamarnya dan mencoba menghisap penisnya lagi, ia hanya ingin memastikan apa sebenarnya yang membuat adiknya melakukan hal itu.Rangga melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 1 dini hari. Besok ia tidak memiliki kelas, Rangga hanya memiliki rencana untuk melakukan kerja kelompok di sore hari.Lelaki jangkung itu merasa cemas sekaligus penasaran, adrenalinnya sudah berpacu sejak jam menunjukkan waktu tengah malam. Beberapa jam yang lalu ia masih mendengar tanda-tanda Anin yang belum tidur di ruang tengah. Namun sudah sedari tengah malam Rangga tidak mendengar suara apapun.Kemungkinan Anin sudah tidur, dan jika mengacu pada waktu yang ia perkirakan. Anin akan datang ke kamarnya sekitar pukul setengah dua atau dua dini hari. Rangga akhirnya melakukan beberapa riset untuk pekerjaan kelompoknya nanti sembari menunggu kehadiran Anin.Ia mengetuk-ngetukkan pulpennya ke meja, menggertakkan gigi karena merasa tidak fokus. Telapak tangannya menggusar rambut frustasi. Ia tidak bisa mengerjakan tugas apapun sekarang. Jantungnya berdebar kencang, penuh antisipasi.Ia berharap Anin tidak masuk ke kamarnya sekaligus berharap Anin masuk ke kamarnya. Ini sangat membingungkan, jadi ketika tepat jam 2 dini hari Anindira tidak datang, diam-diam Rangga merasa lega, sebenarnya ada setitik rasa kecewa karena antisipasi yang begitu menggebu-gebu sebelumnya.Namun Rangga tidak mau memikirkan lebih jauh rasa kecewanya. Ia hanya memikirkan bagaimana caranya untuk mencegah Anin minum alkohol kalau kebiasaan mabuknya sangat mengerikan seperti itu.Rangga merapikan meja belajar, ia berniat tidur setelah buang air kecil dan menggosok gigi. Jadi ia menuju dapur untuk mengambil minum dan masuk ke kamar mandi.Ia berjalan kembali ke kamar, merasa aneh karena sebelumnya ia menutup pintu. Namun saat kembali, pintu kamarnya justru sedikit terbuka dan memiliki sedikit celah.Rangga masuk, pemandangan pertama yang ia lihat adalah baju dan celana asing yang berserakan di bawah lantai, kemudian ia melihat Anindira yang duduk di atas ranjang. Rangga terjatuh karena kaget, ia bisa gila karena melihat adik tirinya tersenyum santai seakan menyambut kehadiran Rangga tanpa memakai baju dan celana sekarang.***Aku mencoba berdiri, namun kembali terjatuh karena lututku terasa lemas. Anin yang melihatku kembali jatuh di lantai justru terkikik, gadis itu terlihat sama dengan gadis yang kemarin malam mabuk dan tentunya sangat berbeda dengan Anin yang biasa kukenal.Aku berdiri, menyambar selimut tebal dan langsung menutupi tubuh telanjangnya. Nafasku memburu, apakah Anindira mabuk lagi? Tapi kami tidak menyimpan alkohol, apakah ia menyimpannya sendiri di kamar?Anindira? aku menyebut namanya untuk melihat bagaimana responnya saat berbicara.Yaaa.. ia menjawab sambil tersenyum. Suaranya tidak seperti orang mabuk.Tanpa sadar aku berjongkok, bertumpu pada lututku untuk melihat lebih jelas wajahnya. Aku mengendus apakah ada aroma alkohol di mulutnya dan sangat terkejut saat sensasi hangat dan basah mampir di bibirku yang sedikit terbuka.Anindira mencuri ciuman pertamaku dan kini ia tertawa ceria! Suara tawanya begitu bebas sampai beberapa saat aku hanya diam terbelalak dan membiarkan bibirnya yang tertawa masih menempel di bibirku.Ketika Anin berhenti tertawa dan menghisap mulutku dengan bibir gemetaran, aku menghentikannya. Menjauhkan wajahnya yang terlihat bingung.Jangan.. Kenapa kesini? Kamu gak mabuk. aku berbicara pada sosok Anin yang linglung.Matanya sedikit kosong saat menatapku, ia masih tersenyum ketika mengelus bibirku dengan jemarinya yang lentik.Anin kangen.. Aku menghela nafas, sangat frustasi dengan apa yang sedang terjadi. Apa yang Anin lakukan kemarin malam jelas bukan karena mabuk, sekarang adik tiriku ini tidak mabuk dan masih bersikap seperti kemarin.Caranya berbicara, caranya tersenyum dan memandangku. Ini jelas bukan Anin yang kukenal, gadis ini adalah Anin yang kemarin mencoba untuk menghisap penisku.Kangen siapa? aku bertanya, mengelus rambutnya yang halus.Aku harus membuatnya tertidur karena sekarang sudah mendapatkan petunjuk bahwa bukan mabuk yang menyebabkan Anin melakukan hal absurd kemarin. Aku harus membuatnya tidur dan memindahkannya ke kamarnya sendiri.Kamu... Aku menatap tepat manik matanya yang cokelat, kini bertambah cerah karena sosoknya yang sedang tersenyum lebar padaku.Coba sini... Anin menyentuh telapak tanganku, ia menyeringai saat membawanya masuk ke dalam selimut, memaksaku untuk menyentuh celana dalamnya yang hangat.Anin udah basah.. ia memejamkan mata, masih tersenyum saat menekan-nekan lembut vaginanya menggunakan tanganku.Enghh.. desahannya membuatku menahan nafas.Kepalaku berputar menyenangkan, merasakam sesuatu yang ada di pangkal pahaku berkedut. Sialan, aku ereksi.Anin.. Yahh, yahh...Kamu harus tidur sekarang. Aku memaksa untuk melepas tanganku dari cengkramannya.Saat Anin membuka mata, aku melihat manik cokelat itu berkaca-kaca. Kemudian wajahnya yang manis mengerut oleh tangis.Eh, ssstt.. Kenapa nangis? gelagapan aku membawa kepalanya ke dadaku, mengelus rambutnya menenangkan.A-anin basah, itu a-aneh karena berkedut-kedut. A-ada yang gatal di sana. ia berbicara terbata karena tangis.Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Penisku sesak dibalik celana, tanganku gemetaran ingin kembali masuk ke dalam selimut dan mengacaukan vaginanya.Aku menjauhkan wajah Anin, kembali menatapnya yang kini berurai air mata. Bibir tipisnya sedikit bengkak karena ia menggigiti bibirnya sendiri saat menangis.Jangan nangis. aku mengecup kedua matanya yang basah.Kamu mau mas garuk di bawah sana? aku bertanya hati-hati, melihat ekspresi wajahnya yang mendadak berubah lebih ceria.Ia mengangguk penuh semangat dan kembali menarik tanganku untuk masuk ke dalam selimut.Tapi pakai baju dulu ya. aku merayunya untuk setidaknya memakai baju.Aku tidak akan mungkin bisa bertahan jika melihat payudaranya yang besar terekspos di depan wajahku saat jariku memasuki vaginanya nanti.Anin menautkan alisnya curiga, ia sempat menggeleng. Namun aku mengecup bibirnya dan kembali memintanya memakai baju agar aku bisa cepat menggaruk vaginya.Saat aku membuka selimut yang menutupi tubuhnya, pemandangan pertama yang kulihat adalah ceruk dalam dari dua payudaranya yang besar. Saking besarnya, daging lembut itu tidak mampu ditampung oleh bra yang ia kenakan.Aku menelan ludah, mati-matian menahan penisku yang kini terasa panas. Aku bisa gila sekarang!Anin mengenakan baju tidur yang kusambar dari lantai. Ia kemudian membuka kedua kaki, duduk mengangkang di depanku. Aku melihat celana dalam merah yang menggelap basah di bagian tengahnya yang menceruk.Perutku menegang, air ludah berkumpul di mulutku yang terasa sangat basah. Sialan, aku ingin mengeluarkan penisku sekarang juga!To be continued....***→Next Kamar Sebelah Part 4
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan