Makna dari Lemari Baju Kamu

1
0
Deskripsi

Biasanya, sebuah lemari cuma kita peruntukkan untuk segala macam baju, celana dan bahkan uang dingin hasil investasi. Namun, sebenarnya lebih dari itu. 

Sebuah lemari ada di dunia ini tidak hanya untuk menyimpan pakaianmu, tapi juga menitipkan pesan penting yang maknanya enggak kalah oke dari cimol samping lapangan futsal. 


 

Terinpirasi dari film pendek berjudul Merangkul Jarak, di dalamnya ada pernyataan dari tokoh utama perempuan, "Tapi ... kalau pun perjalanannya sulit, aku tidak masalah, loh." Di situ saya langsung menemukan analogi kalau manusia yang kesulitan dalam menggapai cita-citanya adalah seperti baju baru yang dicuci dan beberapa jam kemudian akan kering.

Ada salah satu bisnis jasa yang dimiliki oleh kawan dekat saya. Untuk bisa menjadi penyedia jasa yang profesional, dia diharuskan untuk mempelajari bidang tersebut setiap hari, harus mengamati setiap kabar terbaru tentang hal-hal yang berkaitan dengan bidang tersebut. Omong-omong, jasa itu adalah jasa merakit mining rig. Untuk mengetahui apa itu mining rig, kalian bisa dengan mudah menemukannya di mesin pencarian internet.

Dalam kesehariannya, ia banyak menghabiskan waktu untuk trial and error. Berulang kali tangannya merasakan getaran listrik yang membuat kaget dan mendelikkan mata. Membaca setiap artikel dan tutorial di media massa dan berbagai macam platform. Dia bergelut dengan banyak masalah saat mempelajari hal tersebut. Rasa pesimis, ingin menyerah, pusing, mengorbankan jam tidur dan merusak siklus tidur yang baik hingga mengalami kerugian fisik. Namun, di dalam bisnis jasa tersebut, dia melihat peluang yang bagus. Maka, dia memutuskan untuk tidak berhenti.

Hingga pada suatu kesempatan, akhirnya dia mendapatkan klien pertamanya. Senang bukan main karena keuntungannya besar walaupun hanya 1 proyek, tapi tidak bisa dipungkiri juga kalau dia gugup dan takut gagal. Di sisi lain, dia menjunjung tinggi sebuah kesempatan dan selalu paham bahwa yang namanya risiko memang akan selalu berputar dan mengejar di setiap keputusan kita, maka dia mencoba.

Kejadian berikutnya sama persis seperti apa yang sebelum-sebelumnya teman saya takutkan. Di dalam praktiknya ada masalah yang menghambat, padahal dia sudah mantap karena latihannya yang konsisten dan pengetahuannya yang sudah dianggap mumpuni. Parahnya lagi hal itu ditonton langsung oleh si klien. Teman saya langsung mengeluarkan keringat dingin, jantungnya seperti melihat boneka yang bisa berjalan sendiri di malam hari dan sempat stagnan di tengah jalan.

Pikirnya, "Kenapa selalu saja ada masalah? Saat mencoba mencari ide dan peluang bisnis, saat mencoba memantapkan hati, saat proses belajar, bahkan di saat semua persiapan sudah disiapkan, segala masalah sudah diketahui letak solusinya, sampai sudah belajar bagaimana cara berkomunikasi dengan klien yang baik dan benar, selalu saja ada masalah lain yang baru dan segar."

Susah payah yang dia alami menerbangkan pikirannya ke dalam asal muasalnya. Tentang bagaimana dia sangat bergelora untuk mendalami profesi itu, tentang apa saja yang nanti bisa dia beli jika apa yang sedang ia perjuangkan ini berhasil dan tentang siapa saja yang bisa dia bahagiakan kelak. Seperti biasa dan seperti pada umumnya pada orang-orang, jika sudah terdesak dan darurat, maka jatuh berdarah sambil menahan malu akan dipilih ketimbang menyerah. Itu yang dilakukan oleh teman saya. Tidak peduli apa kata orang, pekerjaannya harus sukses saat itu juga, detik itu juga. Ia meminta maaf pada klien, membuka ulang lembaran dan jejak belajarnya, lalu melanjutkan tugasnya dengan lebih teliti, cermat, sembari mengingat tempat yang ia sebut sebagai "rumah", yaitu keberhasilan dan kebahagiaan dari hasil kerja cerdas.

Tidakkah masalah-masalah yang dihadapi teman saya itu merupakan suatu cerminan kecil bahwa manusia memang perlu kotor dan dihantam ketidaknyamanan terlebih dahulu untuk kemudian merasa segar lagi? Di samping itu, juga dipicu oleh keinginannya mencapai target yang sudah ditentukan, yaitu situasi hidup yang nyaman.

Seperti halnya ketika kita membeli baju baru. Kita pakai selama bertahun-tahun—atau hanya beberapa bulan. Setelah itu terkena berbagai macam kotoran dan debu. Lalu dicuci, direndam dalam air dan menyerap banyak macam aroma wangi dan zat kimia dari taburan deterjen, dibilas, diperas dan diperas, hingga pemberhentian selanjutnya adalah tali jemuran di belakang rumah kita atau di tempat jemuran yang bulan kemarin dibeli oleh ibu. Beberapa jam kemudian menjadi kering, wangi, bersinar dan dipakai lagi. Siklusnya sering seperti itu, sampai mungkin pada zaman yang berganti, pakaian itu diganti oleh pakaian yang lebih baik lagi. Bisa saja tempat terakhir yang sangat nyaman adalah lemari. Karena di dalam lemari, para pakaian bisa bercanda disanding tawa hanya untuk beberapa hari atau beberapa jam yang wajib dinikmati.

Layaknya kita yang lahir ke bumi. Diletakkan di berbagai macam tempat untuk beradaptasi dan mengenal sedikit demi sedikit setiap peristiwa dan manusia-manusia lain. Di saat-saat itulah kita diberi berbagai macam cobaan, ujian, masalah, tantangan, ditimpa kerugian, diberi hal-hal baru yang memikat hati untuk mencobanya dan menghindarinya. Setelah itu kita beristirahat, membersihkan badan dan memotivasi diri sendiri.

Terkadang pikiran kita akan dibersihkan dengan andil dari orang tua berupa saran dan nasihat yang baik. Hingga di malam hari kita istirahat dengan dipeluk oleh guling dan dijaga oleh bantal. Pada pagi harinya kita kembali segar, menyambut hari baru dengan wajah datar di saat bangun, bersiap bergerak dan mengerjakan segala hal yang ingin dan wajib dikerjakan, ditimpa berbagai macam masalah lagi, berkutat dengan tubuh dan bersaing dengan isi kepala sendiri. Setiap harinya bisa tampak kacau atau baik-baik saja, tergantung sudut pandang pribadi dan cara sendiri dalam mengakali hal-hal yang sifatnya duniawi.

Terkadang beberapa pakaian bertempat tinggal di rumah yang berbeda. Seperti salah satu pengalaman hidup saya ketika dulu sering menginap di rumah teman. Pada suatu siang yang panas, tentu saja mandi dengan air dingin adalah ide yang menyegarkan. Namun, kala itu saya tidak membawa pakaian ganti, saya pun terpaksa meminjam paket lengkap pakaian teman saya beserta semua peralatan mandinya.

Jika sudah meminjam seperti itu, mengembalikan adalah tanggung jawab yang berharga. Pakaian milik teman saya itu menetap di rumah saya selama beberapa hari setelah saya pakai di beberapa momen. Dengan pakaian teman saya itu, saya mengunjungi toko sepatu, saya mengunjungi rumah makan, saya mengunjungi supermarket dan pada akhirnya saya tempelkan ke seprai kasur saya yang pastinya juga menyimpan beberapa makhluk hidup super kecil yang bisa hinggap di pakaian itu kapan saja.

Setelah sudah seperti itu, saya harus mencucinya, mengeringkannya, melipatnya dengan rapi dan menaruhnya ke dalam lemari saya, bersatu dengan pakaian lainnya milik saya sendiri. Hingga pada suatu hari, saya berkunjung lagi ke rumah teman saya itu, mengembalikan pakaian yang sempat saya pinjam dan mengucapkan terima kasih sembari mengumbar senyum yang bermakna minta minuman—namanya juga tamu.

Kita sebagai manusia juga sering mengalami apa yang dialami oleh pakaian, termasuk ketika pakaian itu dipinjamkan. Kita jauh dari rumah, kita tidak lagi dekat dengan siapa yang menciptakan kita, kita menemui orang baru dan menetap di bawah atap yang baru. Kita berjalan ke sana ke mari, melihat tempat yang berbeda, merasakan cuaca dan iklim yang berbeda. Hingga pada akhirnya, kita dikembalikan oleh semesta ke tempat pijakan asal kita. Berbahagia lagi, menemui orang lama lagi, menemui mereka yang asli, asli dalam menyayangi dan memberikan makna tulus pada kita.

Seperti dalam judul, lemari pakaian adalah rumah manusia. Kita menaruh lelah di sana, kita berargumen secara damai di sana, kita menyimpan banyak kenyamanan di sana, kita tidak pernah sungkan di sana, kita bebas berkarya di sana dan kita adalah makna bahagia di sana. Sebuah lemari pakaian yang bisa dikatakan seperti rumah surga kecil untuk kita sebagai manusia. Bersama orang terdekat, seperti kaus kita yang mengenal celana kita, karena lebih sering digunakan secara bersamaan agar tampak lebih cocok dan kece.

Untuk itu, patut untuk saya dan juga kamu-kamu yang suka hirau pada apa yang belum dimiliki ketimbang hirau pada apa yang sudah dimiliki untuk sekadar membesarkan makna dan inti dari kata "bersyukur". Karena kita punya rumah, sebagai refleksi dari para pakaian yang bertempat tinggal di dalam lemari.

"Allah tidak membebani seseorang itu melainkan sesuai dengan kesanggupannya." QS. Al-Baqarah: 286.

Saya tahu ayat di atas sudah sering kita dengar di berbagai macam sumber. Entah melalui konten di sosial media, teman, keluarga atau langsung dari sumbernya, kitab Al-Quran.

Mungkin, ini hanya akan menjadi sebuah pengingat saja. Bahwa "sanggup" adalah selamanya dan "tidak bisa" hanyalah anggapan yang sering kita duga di waktu yang cukup lama. Lihatlah kecerdasanmu yang kini lebih hebat ketimbang di saat kamu bayi dulu. Apakah saat bayi dulu, kamu pernah mengira bahwa kecerdasanmu akan bertambah sehebat ini? Di mana dulu yang kamu tahu hanyalah bermain. Namun, seiring waktu belajar yang baik disengaja atau tidak disengaja, kecerdasanmu akan selalu menjadi kesanggupanmu untuk melawan segala-galanya yang terlihat membebani.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Maknakita
Selanjutnya Semut dan Manusia Tidak Pernah Kehabisan Makanan dan Masalah
5
0
Kita sebagai makhluk yang punya sandal jepit warna abu-abu di deket pintu rumah, terkadang takut sama suatu masalah yang datang dengan tiba-tiba di satu waktu. Hingga di malam harinya kita pernah berpikir kalau. Andai saja masalah yang ini enggak pernah datang. Bakal gampang hidupku, 'kan?Yakin?Yakin enggak akan ada masalah lain yang masuk sebagai pemain cadangan? Yakin enggak akan ada masalah lain yang masuk sebagai bentuk reinkarnasi dari masalah yang sudah mati?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan