
Lilian Saraswati. Gadis yang sebentar lagi menginjak umur 23 tahun. Gadis rumahan yang tidak pandai merawat diri. Sampai akhirnya dia bertemu dengan sosok lelaki yang dari luar terkesan dingin dan sinis. Namun ketika dia mengenalnya lebih jauh … ada setitik perasaan kesepian di dalam diri lelaki itu −yang membuat hati Lili tergerak untuk mengenalnya lebih jauh. Lili pun mulai rajin merawat diri … tentu saja dengan bantuan kakak perempuannya yang agak kocak namun bar-bar.
Tok … Tok … Tok …
Tok … Tok …
Tok … Tok … Tok …
“YAAMPUN … SIAPA SIH INI YANG LAGI MOJOK DI KAMAR MANDI? SUDAH SATU JAM LOH…!”
Pukul 07.00
Gadis itu terbangun dari tidur agak panjangnya. Paginya terasa sangat berbeda hari ini. Biasanya gadis bernama Lilian itu bangun sekitaran pukul 04.00 . Bebarengan dengan waktu adzan subuh. Kalaupun telat, pasti tidak lebih dari pukul 05.00. Dan itu pun sangat jarang terjadi. Namun hari ini, dia bangun jam tujuh pagi. Berhasil mencetak rekor untuk kategori: Bangun Tidur Paling Telat di sepanjang sejarah hidupnya. Wow.
Pun, biasanya dia dibangunkan oleh suara-suara adzan yang saling saut menyaut dari berbagai sudut kota. Gadis yang bulan depan umurnya menginjak 23 tahun itu selalu bersyukur atas gendang telinganya yang senantiasa menangkap panggilan-panggilan solat tersebut, dan membangunkan tubuh mungilnya. Kalau tidak, mungkin dia akan terus tertidur pulas, menikmati alam mimpi. Bukan bermaksud sok agamis yah. Tapi ya memang, Lilian biasanya terbangun disaat waktu solat subuh. Seolah suara-suara yang berkumandang tersebut memanggilnya untuk segera melaksanakan kewajibannya. Walaupun dalam kesehariannya dia bukanlah seorang muslimah yang sempurna dan jauh dari kata taat, namun nasihat kedua orang tuanya sewaktu dia kecil selalu menancap di ingatannya. Tidak apa-apa jika kamu belum siap berkerudung, pun tidak apa jika kamu bersenang-senang sepuasnya dengan hidupmu. Namun pesan dari ibu sama bapak, jangan tinggalkan solat. Se-sibuk apapun kamu, se-menyenangkan apapun hidupmu, se-menyedihkan apapun kondisimu, tolong jangan tinggalkan solat. Setidaknya dengan itu, kamu masih punya pegangan hidup.
Dan WOW! Perkataan dari mulut Pak Hendra dan Bu Inggit itu langsung menancap di ingatan Lilian Kecil, bahkan sampai sekarang dia remaja menuju dewasa. Dia sudah sangat terbiasa dengan lantunan adzan yang membangunkan tubuhnya. Jauh berbeda dengan hari ini. KARENA, pagi ini dia dibangunkan oleh suara.. atau, lebih tepatnya teriakan dari mulut manusia yang sangat dia kenal betul. Yaitu .. adik laki-lakinya. Danang.
“PASTI INI KAK LILI, KAN? BOKER KOK LAMA BANGET SIH. UDAH SATU JAM LOH.” kurang asem memang adiknya itu. Seenak jidat dia melemparkan fitnah pada kakaknya yang baru saja bangun. Lilian tidak terima. Apalagi Danang mengatakan satu jam. SATU JAM. Dia tidak pernah berdiam diri di kamar mandi selama itu. Paling lama juga setengah jam. Itu pun bukan tak beralasan.
Teriakan dari mulut Danang tadi berhasil membangunkan kesadaran Lilian dari lamunan paginya. Dia menyingkap selimut, turun dari ranjang, lalu berjalan ke arah pintu. Dia tidak memperdulikan rambutnya yang urakan efek dari tidur kebo-nya. Mari tuntaskan fitnah dari manusia bernama lengkap Danang Sumarga itu, ucapnya dalam hati.
“Apasih sembarangan ngelempar fitnah padaku? Aku baru bangun loh ini.” Tutur Lilian dengan lantang dari arah pintu kamar. Danang berniat menggedor pintu toilet yang berada tak terlalu jauh dari kamar kakaknya –sebelum akhirnya dia menyadari kehadiran Lilian yang baru keluar dari pintu kamar, dia lalu membatalkan niatnya. Kepalan tangannya mengapung di udara.
Sementara itu dari arah pintu rumah, Ibu Inggit melenggang pelan melewati Putrinya yang sedang mendumel. Kedua tangannya agak kotor dengan tanah. Lilian kemudian berspekulasi, mencurigai ibunya baru saja melaksanakan agenda berkebunnya. Bu Inggit berjalan menuju dapur.
“Oh, ternyata bukan kak Lili toh?” Ungkap Datang. Lalu dia tersenyum, seolah mengejek kakaknya, “Biasanya kan, yang suka BOKER lama itu kak Lili? Iya gak, Bu?”
Kurang ajar sekali bocah 17 tahun itu. Lili ingin sekali menjambak rambut keribo Danang. Pake ngasih kode ke ibu segala supaya ikut-ikut membully-nya. Bu Inggit yang sedang berdiri di dekat meja makan yang berjarak 2 langkah dari kamar mandi dan kurang lebih 7 langkah dari kamar Lili –menatap Danang dan Lili bergantian. Sampai akhirnya dia mamantapkan diri mengucapkan 2 kata yang berhasil membuat putrinya bad mood.
“Bisa jadi …”
Lili manyun. Sementara 2 orang yang bersekongkol itu terkekeh di tempat masing-masing. Lili mengaku kalah. “terserah kamu deh, Danang Sumarga. Ibu juga apasih … ikut-ikutan dia segala.” Dia menatap ibunya dengan agak kesal. Sepertinya Lili tidak akan bisa menang kalau ibu ikut serta melawan opininya. “Yang jelas .. bukan aku yang boker selama itu.”
Lili mendunges. Berjalan pelan ke arah dapur yang memang menyatu dengan kamar mandi beserta meja makan. Ya memang, rumah mereka tidak terlalu besar. Jadinya Pak Hendra berusaha memaksimalkan setiap ruang yang ada, dengan sangat bijaksana. Lili pun biasanya tidur sekamar dengan Kakak perempuannya, Lupia Hayati, sebelum akhirnya kakaknya itu dipersunting oleh laki-laki tampan bernama Lanang Sadewa –lalu tinggal di rumah suaminya itu. Mereka menikah sudah lebih dari enam bulan. Lili sangat mengharapkan kehadiran bayi dari Kak Lupia dan Kak Lanang. Supaya ibu punya mainan baru. Pikirnya.
Jadilah rumah sederhana mereka memiliki tiga kamar. Satu kamar paling depan diisi ibu-bapak, bersisian dengan kamar Lili yang sekarang cuma diisi dia seorang. Tepat di depan kamarnya, di sanalah kamar Danang. Sedikit luas dari kamar Lili dan ibu. Mengingatnya… selalu berhasil memunculkan kembali perasaan iri di dada Lili. Bagaimana tidak? Dia yang kala itu sekamar dengan Kak Lupia, harus menempati kamar yang sempit. Sementara Dik Danang menempati kamar yang cukup besar. Sungguh tidak adil, pikirnya.
Mungkin karena Danang merupakan anak laki-laki satu-satunya, sehingga Pak Hendra dan Bu Inggit begitu memanjakannya dan memberikan perlakuan agak berbeda dari kedua putrinya. Apalagi paras Danang yang memang rupawan. Danang .. oh, Danang. Ganteng, berkulit putih bersih, hidung mancung dengan ujung yang runcing, rambut hitam keribo, ditambah nilai akademiknya yang lumayan bagus. Dia lolos menjadi anak paling disayang. Kebanggaan ibu-bapak. Ditambah dia merupakan anak terakhir alias si Bungsu yang paling dinanti-nanti kehadirannya. Beda lagi dengan Lilian.
Dia ….
Anak kedua dari Bapak Henda dan Ibu Inggit. Dia biasa dipanggil Lili oleh orang-orang terdekatnya. Seperti oleh: ibu-bapak, teman, kakak-adiknya, ataupun tetangga sekampung-seRT. Kalau sedang gabut, mereka juga seringkali menyebutkan nama depannya dengan lengkap… Lilian. Lili begitu senang ketika mereka melakukannya. Nah, beda lagi jika Bu Inggit sedang mengamuk padanya. Dia akan menyemburkan nama depan-belakang putrinya itu dengan nada tidak ramah di telinga. LILIAN SARASWATI… diikuti kalimat-kalimat ajaib dari mulutnya.
Lilian Saraswati. Nama yang cukup indah bukan? Terkesan indah ketika diucapkan, dan terasa nyaman terdengar di telinga. Lili sudah tidak aneh mendengar pujian orang-orang ketika mereka baru pertama kali mengetahui nama lengkapnya. Apalagi bagi mereka yang mengetahui arti atau makna dari nama yang diberikan Pak Henda itu. Kalimat ‘wah, nama lengkap kamu bagus banget!’ dan semacamnya −sudah tidak asing lagi di telinga Lili. Dia pun memiliki kebanggaan tersendiri atas nama lengkapnya. Bahkan saking bangganya, sewaktu duduk di kelas 2 SMP, Lili sempat melontarkan pertanyaan konyol pada laki-laki yang seringkali dia panggil ‘Bapak’ itu,
‘Bapak kok ngasih nama Lilian Saraswati ke aku? Kenapa enggak ke kak Lupia? Padahal namanya bagus banget loh, Pak.’
Begitupun dengan Pak Hendra. Dia menjawab pertanyaan dari putrinya tak kalah konyol.
‘Oh iya, ya? Sepertinya kalo kamu lahir duluan, nama cantikmu yang sekarang bakal beralih ke kakakmu, deh. Mau-mu begitu, Li?’ , dan langsung mendapat respon gelengan kepala dari putrinya.
Sayangnya, tidak semua orang memiliki kebaikan budi dalam berucap, mengungkapkan pendapat. Adapun mereka lebih memfokuskan diri terhadap apa yang terlihat di depan mata. Toh menurut penilaian mereka, muka itu asset yang paling berharga. Paling utama. Sehingga apa yang menurut sebagian orang itu indah, akan terkesan tak berarti bagi mereka. Kebaikan hati ataupun keindahan nama seakan tidaklah penting. Sebenarnya, orang-orang itu tidaklah bersalah jika memiliki pemikiran seperti itu. Namun bukankah akan lebih bijaksana jikalau penilaian itu dipendam sendiri di hati. Menjabarkannya secara sengaja dan terbuka hanya akan menimbulkan luka di hati seseorang. Contoh kecilnya … Lilian.
Seiring berjalannya waktu, dia menyadari bahwa perasaan nyaman yang dia dapatkan di rumah, berbanding terbalik dengan apa yang dia hadapi di luar sana. Tepatnya ketika Lili memasuki bangku SMA. Dari banyaknya pujian atas nama lengkapnya, ada pula beberapa orang yang sengaja memujinya di depan khalayak umum, namun kalimat yang mereka ucapkan terkadang diakhiri ujaran kurang menyenangkan. Bernada menjelekkan.
‘Lilian Saraswati. Nama yang sangat cantik. Secantik hatinya .. eh, maksudnya secantik wujudnya.. hihi.’
‘Nama lengkap kamu cantik banget deh. Suer. Ya, walaupun …’
‘Nanti kalo aku punya anak perempuan, pasti akan kunamai Lilian juga. Biar kayak kamu …. Isi hatinya. Mukanya mah enggak deh.. hihi.’
Atau yang lebih brutal namun sangat jujur …
‘Nama lengkap kamu indah sekali. Sayang banget wujud orangnya kurang indah.’
Perkataan menyebalkan itu pas sekali dengan ekspresi muka mereka yang tak kalah menyebalkan. Tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Dan tanpa permintaan maaf, walaupun Lili pikir mereka sangat sadar apa yang mulut mereka ucapkan sungguh melukai hatinya. Ya .. meskipun dari luar dia pandai memasang topeng, berlagak baik-baik saja. Namun nyatanya .. di lubuk hatinya … ada secoret luka yang lama-lama menggumpal. Apa Lili membenci mereka? Apa dia menyimpan dendam pada orang-orang itu? Sejujurnya, di lubuk hati terdalamnya, dia sangat ingin berteriak bahwa dia sangat .. sangat .. sangat … sangat membeci mereka. Baik orangnya maupun ucapannya. Bukankah kedua elemen tersebut saling mendukung? Menyulitkan hidup Lili. Menjatuhkan perasaannya. Rasanya ingin sekali dia mencabik-cabik mulut mereka dengan garpu milik ibu di rumah. Ingin rasanya menjambak rambut mereka yang sehalus sutra itu sampai botak, tak tersisa. Dan terakhir, ada keinginan di benaknya untuk mengguyur muka mereka satu persatu dengan air cucian milik mbak di kantin sekolah. Namun sayang sekali gadis yang sewaktu SMA berbadan agak gemuk itu tidak bisa berbuat demikian. Eh, ralat deh … lebih tepatnya TIDAK SEBERANI ITU. Hihi
Lagian, pikirnya masa itu sudah berlalu. Berakhir sejak dia lulus SMA. Tidak pernah dia duga bahwa kelulusan Sekolah Menengah ke Atas akan membawa kebahagiaan, atau lebih tepatnya kelegaan di hatinya. Lili jadi tidak perlu mendengar ujaran-ujaran kurang menyenangkan dari mulut sampah mereka. Meskipun tidak semua teman SMA-nya memperlakukannya dengan buruk, masih ada pula yang mau mengawani Lili dan bersikap baik padanya –namun bukankah perlakukan buruk dan perasaan sakitlah yang biasanya akan menghantui seseorang di waktu itu. Apalagi kalau setiap harinya kamu berhadapan dengan sosok-sosok sialan itu. Jadilah tempat bernama sekolah itu Lili anggap sebagai tempat yang paling dia benci kala itu. Dan kalimat ‘baiklah, sudah waktunya pulang.’ menjadi suatu penghiburan baginya. Kalimat yang begitu dia tunggu. Walau terkadang, ketika sampai di rumah, tak jarang ibu dan bapak menanyainya…
‘Kamu kenapa, Li .. kok murung gitu?’
‘Ada masalah di sekolah?’
‘Kamu yakin baik-baik saja? Besok-besok mau bapak kawani ke sekolah?’
Terkadang kakak perempuannya pun ikut nimbrung, dan mengejutkan Lili dengan pertanyaan to-the-pointnya…
‘Gadis sialan mana yang berani membully-mu di sekolah? Biar aku rontokkan gigi mereka satu per-satu.’
Perempuan bernama Lupia itu mantan anggota Komunitas Karate, sehingga ucapan ataupun tindakannya memang agak bar-bar. Beda lagi dengan Danang. Adiknya itu entah tidak peduli padanya. Atau ada perasaan peduli namun enggan mengungkapkannya. ‘Bapak-ibu sama kakak, enggak usah lah terlalu khawatir dengan kak Lili. Toh dia sudah besar. Lagian pun kalo ada kawan yang membully-nya, gak akan bertahan lama. Bentar lagi juga kak Lili lulus sekolah. Iya gak, kak?’ atau yang lebih jujur … ‘salah sendiri sih, udah masuk SMA tapi gak mau mempercantik diri, jaman sekarang kan apa-apa dinilai dari covernya.’
Ucapan Danang benar-benar sukses membuat kepala kakaknya seakan melepuh. Ingin sekali Lili menghajar mulut jelek adiknya itu. Seolah dia sangat rela kakak perempuannya menjadi target bully di sekolah. Benar kata ibu, Danang memang anak yang sangat cerdas. Namun dalam mengungkapkan opininya, seringkali dia melupakan landasan perasaan. Seolah tak memperdulikan apa yang orang lain rasakan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, sebagian dari ucapan Danang ada betulnya juga. Pembully-an itu tidak bertahan lama. Berakhir sejak Lili dinyatakan lulus sekolah. Penilaiannya tentang kakaknya yang enggan untuk mempercantik diri pun memang benar adanya. Lili sangat malas berdandan. Begitu malas menghadap cermin lalu merapihkan rambut panjangnya. Sudah malas berdandan, lalu ditambah berbadan agak gemuk … kombinasi yang sangat sempurna. Bahkan ketika dulu Lupia mengajaknya ikut serta melakukan rutinitas memakai masker timun sebelum tidur pun, Lili menolaknya mentah-mentah. Sangat malas, plus membuang-buang waktu saja, mending nonton film horror sambil nyemilin kerupuk seblak. Pikirnya waktu itu.
Dia lalu menekadkan diri bahwa tak apa jika dia mendapatkan perlakukan kurang menyenangkan di sekola. Selama dia masih memiliki keluarga yang menyayanginya dan rumah yang memberinya kenyamanan tak terhingga, perasaan tertekan di lingkungan sekola bukanlah masalah besar.
Kembali ke tofik ‘Siapa yang Lagi Mojok di Kamar Mandi Selama Se-Jam’
Lili kini berdiri dekat pintu kamar mandi, di belakang Danang. Dia memperhatikan tubuh adiknya perlahan. Rambut keribonya terlihat kusam. Danang melilitkan handuk berwarna biru muda di lehernya yang putih bersih. Tangan kanannya menyentuh gagang pintu toilet. Sementara tangan kirinya ….. iw, menyentuh pantatnya yang dibalut boxer berwarna pink. Keliatannya dia ingin segera menunaikan hajatnya.
“Lalu siapa dong kak yang sekarang lagi mojok di dalem?” Tanya Danang. Dia terlihat menderita menahan isi perutnya.
“Lah mana aku tahu,” Lili menjawab dengan lantang. Dia melirik Bu Inggit yang kini sedang mengisi meja makan dengan menu sarapan yang sangat menggiurkan. Ada goreng telur beserta kuningnya yang masih agak basah, terus ada semur jengkol bumbu rendang –yang satu ini khusus Bu Inggit persembahkan buat putri kedua dan suaminya. Selain itu ada juga oseng kangkung, sambal terasi dan kerupuk udang. Lengkap sudah menu sarapan pagi ini. Lili ingin segera melahapnya. “Daripada nanya sama aku, mending tanya aja ibu. Biasanya ibu tahu betul siapa saja yang lagi boker. Iya gak, Bu?”
Bu Inggit melotot. “Apa ibumu ini terlihat seperti pakar per-boker-an, HAH?!”
Putrinya malah terkekeh, “Penciuman ibu kan bagus. Peka baaaaanget sama bau-bau-an!”
Bu Inggit terlihat mengambil garpu yang ada di piring, lalu berniat melemparkannya ke arah Lili berdiri –sebelum akhirnya dia membatalkan niatnya. Tangan kanannya yang tengah memegang garpu, mengapung di udara. Dia menatap putrinya dari atas sampai bawah. Bu Inggit menaikkan alisnya sebelah. “Kamu baru bangun, Lili? Pasti enggak solat subuh? Pantesan tadi engga keliatan nyapu sama ngebantuin ibu di dapur.”
Lili nyengir di tempat. Sementara Danang di depannya masih sibuk dengan agenda Menahan Boker-nya. Kali ini dia sedang melompat-lompat kecil.
“Umur kamu udah dua puluh tiga tahun loh.. masih aja telat bangun. Biasanya kan kamu bangun jam empat subuh. Kok ini jam tujuh baru bangun sih?”
“Seperti kata ibu tadi. BIASANYA kan aku bangun jam empat subuh.” Lili sengaja memberi penekanan pada kata biasanya. “Gak papa dong kalo sekali-kali telat? He-he. Dan satu lagi, Bu. Ralat ya, Bu .. umurku itu BELUM dua-tiga loh .. tapi HAMPIR menginjak dua-tiga tahun .. Hehe.”
Bu Inggit siap melawan opini putrinya itu, sebelum akhirnya Danang berteriak cukup kencang. “INI APASIH KOK MALAH SIBUK NGURUSIN KAK LILI? INI AKU GIMANA? GAK TAHAN NIH BU PENGEN B-A-B …”
Serentak Lili dan Bu Inggit melirik Danang yang memasang ekspresi cemberut. Terlihat dahinya sedikit berkeringat. Dasar bocah. “Palingan juga bapak? Dobrak aja pintunya sama kamu, Nang.” Kata Lili dengan entengnya, bernada mengejek.
Ibu menimpali, “Bapakmu sesudah solat subuh langsung tidur. Belum bangun-bangun sampe sekarang. Lagian pun semalam dia gak melahap makanan yang menyebabkan dia boker selama satu jam.”
“HAH? Terus siapa dong?”
“HAH? Terus siapa dong?”
Wow, tumben sekali Tom and Jerry versi manusia itu begitu kompak pagi ini. Sampai-sampai meneriakkan pertanyaan yang sama. Ditambah muka mereka yang spontan sama-sama menghadap pintu kamar mandi. Masalahnya, semenjak Lupia tinggal bersama suaminya, kini rumah ini cuma berisi 4 orang. Pak Hendra, Bu Inggit, Lilian dan Danang. Nah tiga diantaranya saat ini ada di satu ruangan yang sama. Satu lagi, Pak Hendra, masih sibuk menunaikan agenda tidurnya. Lalu siapa yang sekarang sedang di kamar mandi?
Bu Inggit beranjak dari meja makan, lalu berjalan mendekat ke tempat Lili dan Danang berdiri. Mulutnya bergerak tanpa menimbulkan suara. Namun Lili masih bisa menangkap kalimat yang keluar dari mulut ibunya.
‘DOB-RAK PIN-TU-NYA!!’
Lili menggeleng, lalu melirik Danang. Dia malah ikut-ikutan menggelengkan kepalanya.
“Danang takut.” Dia sedikit berbisik. “Kalo di dalam bukan manusia, gimana?”
“Maksudmu?” tanya Bu Inggit yang sekarang berdiri di belakang putrinya. Posisi mereka seolah sedang mengantri BLT alias Bantuan Langsung Tunai dari Pemerintah yang tak jarang menimbulkan sesak di dada orang-orang yang kurang mampu dalam segi ekonomi.
“Kalo di dalam ada hantu gimana? Ibu mau tanggung jawab kalo Danang nantinya kerasukan?”
Dia ini kok malah ngelantur ya. Biasanya kan dalam posisi begini, orang yang normal akan memikirkan kemungkinan adanya Pencuri yang menyusup ke rumah. Betul tidak? Ini dia, malah menghadirkan imajinasi liar bin ajaibnya. “Maksudmu ada hantu yang numpang boker di rumah kita?” Lili buka suara.
“Bisa jadi.” Dengan polosnya Danang menjawab.
“Sudah.. sudah.. Kok kalian ini malah adu argumen sih?” ujar Bu Inggit. “Lebih baik ibu panggil bapak saja. Kalian tunggu di sini…”
Baru saja Bu Inggit berniat melangkahkan kakinya. Tiba-tiba dari dalam kamar mandi terdengar suara pintu yang sepertinya akan dibuka. Dia membatalkan niatnya. Bu Inggit kemudian menatap Lili dan Danang bergantian. Satu alisnya terangkat. Lili mematung sembari memegang tangan ibunya dengan erat. Sementara Danang malah menjambak rambut panjang kakaknya dengan tangan bekas dia menyumpel pantatnya –saat dia menahan boker. ‘Kurang ajar sekali dia. Takut sih takut, tapi apa harus menggunakan rambutku sebagai pegangan?’ Lili mengomel dalam hati.
KREEEEEK …
Pintu perlahan terbuka … Dan ternyata …
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
