Villain's Violet

21
0
Deskripsi

Tags : reverse time, MPREG (without abo), selfharm, suicide, toxic relationship, slight nsfw.

Prolog

Seokjin tidak menyesal mencintai Namjoon, tapi menyesal karena bertingkah bodoh dan menyedihkan. Saat ia diberi kesempatan untuk mengulang semua dari awal, Seokjin tanpa ampun mengusir Namjoon dari hatinya. 

___

Seokjin mengambil putranya dari gendongan pengasuh dan memutuskan untuk mengunjungi Namjoon. Ia berbuat kesalahan beberapa hari yang lalu, dan Namjoon mengabaikannya. Seokjin tahu putra mereka adalah kelemahan Namjoon jadi ia akan menggunakannya untuk berdamai.

Senyum lebar Seokjin saat membayangkan ia akan berdamai dengan Namjoon runtuh saat berhadapan dengan Yoongi, pengawal pribadi Namjoon. "Yang Mulia sedang ada pertemuan penting, Tuan." Seokjin masih mempertahankan sisa senyum di ujung bibir, tapi pikirannya berkelana.

Sebagai pengawal pribadi Namjoon, Yoongi tidak mungkin berada di luar ruangan apalagi jika itu pertemuan penting. Kecuali jika..., "Minggir." Seokjin mengeratkan sentuhannya di pinggang putranya, dengan mata berkilat dingin. Tapi Yoongi bergeming.

Namjoon adalah Tuannya, sementara Seokjin pasangan Tuannya. Saat perintah mereka bertentangan, Yoongi sudah pasti akan lebih menuruti Namjoon. Tapi meskipun begitu, ia juga tidak bisa melakukan sembarangan gerakan kepada Seokjin. Jadi saat Seokjin berjalan maju dan menabrak bahu Yoongi dengan sengaja, Yoongi tetap berdiri di tempat. Ia menebak akan mendengar keributan kesekian kalinya yang terjadi di antara pasangan itu. 

Seokjin mendorong pintu dengan sebelah tangan, menggertakan gigi saat—tebakannya benar. Di ruangan itu, hanya ada Namjoon dan seorang wanita bangsawan berpakaian ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya. Bibir merahnya tersenyum malu-malu sementara tangannya memegang cangkir teh dengan anggun.

Senyum wanita itu luntur saat pintu terbuka dan memunculkan Seokjin bersama putranya. Ia bangkit berdiri dari sofa dengan wajah pucat dan lutut yang mulai terasa lemah. "S-salam kepada Tuan Seokjin." Namjoon yang duduk tak jauh dari wanita itu mengerutkan dahi tidak senang.

"Aku ingat sudah memberi pesan kepada Yoongi untuk tidak membiarkan siapapun masuk." Suara dingin Namjoon terdengar bagai belati tajam bagi Seokjin. 

"Keluar." Suara tertahan Seokjin terdengar. Wanita itu langsung paham kalimat itu ditujukan kepadanya dan ia langsung—pergi tanpa menoleh ke belakang. Sudah bukan lagi rahasia bahwa pasangan sah Raja adalah laki-laki gila yang terobsesi dan sangat kejam pada siapapun yang mendekati suaminya. Bahkan jika wanita itu punya nama besar keluarga yang mendukungnya, itu bukanlah apa-apa dibandingkan—latar belakang keluarga Seokjin yang jauh luar biasa. Setelah pintu tertutup, Seokjin mengembangkan senyum. Ia berjalan mendekat dan duduk tepat dimana wanita itu tadi duduk. Memangku putranya yang lucu, Seokjin berucap dengan nada ceria.

"Aku menjahitkan pakaian baru untuk pangeran kecil. Bagaimana menurutmu, sayang? Bukankah pangeran kecil kita terlihat sangat menggemaskan?" Namjoon menipiskan bibirnya, tidak menggubris kalimat Seokjin. 

"Apa yang akan kau lakukan padanya?" 

Seokjin menatap Namjoon dengan bingung. "Siapa?"

"Jangan bersikap bodoh, Seokjin. Aku bertanya apa yang akan kau lakukan pada Hye Eun nanti di belakangku?" Seokjin mengerucutkan bibirnya dengan lucu, "jika aku merusak wajahnya, bagaimana menurutmu?" 

"SEOKJIN!"

"Sshhh. Jangan berteriak di depan pangeran kecil, Namjoon. Kamu membuatnya takut." Namjoon mengepalkan tangannya. Ia memanggil pelayan dan memerintahkan mereka untuk membawa pergi pangeran kecil. Seokjin melipat tangan di depan dada, menantang Namjoon.

"Aku datang ke sini untuk berdamai denganmu, Namjoon." Namjoon mendengkus. "Berdamai?" Suara sinis itu terdengar kejam. "Kau yang membuat masalah, dan aku yang harus bersikap seolah aku pihak yang salah?" Seokjin memiringkan kepalanya, bertindak seolah ia tidak mengerti.

"Dalam tiga bulan terakhir, kau mengusir selusin pelayan, menusuk kaki pengawal, menyiramkan air panas di wajah tamu pentingku, lalu apa lagi? Apa yang akan kau lakukan pada Hye Eun untuk menguji kesabaranku?" Tatapan Seokjin perlahan menjadi sengit.

"Aku tidak bersalah, Namjoon. Mereka yang memprovokasiku! Aku hanya membela diriku demi nama baikku. Apakah itu tidak boleh dilakukan?" Namjoon memejamkan matanya sesaat. Merasa sangat lelah meski mereka baru beberapa menit berhadapan.

"Jadi kau tidak mengakui kesalahanmu." Namjoon menatap lurus ke dalam mata Seokjin, mencari-cari sisa kehangatan yang dulu ia genggam. Namun tak ada apapun lagi disana selain kegilaan. Dan untuk keamanan takhtanya, Namjoon sudah tidak bisa lagi menyimpan Seokjin di sisinya.

"Pengawal!" Namjoon berteriak marah. Selang beberapa detik pintu ruangan kembali terbuka dan ada beberapa orang pengawal masuk dengan sikap tegas. "Mulai hari ini Seokjin akan dikurung di istananya. Dia tidak akan keluar sampai menyadari kesalahan-kesalahannya."

"NAMJOON! KAU GILA?!" Seokjin meraung marah, namun namjoon terlihat tidak terganggu. "Kirim surat ke mansion keluarga Kim dan kabarkan kalau Seokjin sakit dan tidak akan menerima tamu sampai dia sembuh."

"Dan siapapun yang membantu dia keluar bahkan meski hanya satu langkah, maka ia telah menentang perintahku. Hanya leher yang putus bisa dimaklumkan sebagai penebusan dosa." Seokjin berteriak histeris saat dua orang pengawal memegang bahu dan lengannya, setengah menyeret karena Seokjin memberontak dengan kuat. 

"Namjoon! Namjoon, bukankah kita bisa membicarakan ini secara baik-baik? Bagaimana mungkin kau menyebarkan berita palsu tentang aku yang sehat ini untuk mengurungku. NAMJOON!"

Minggu pertama dalam tahanan istana, Seokjin masih terlihat tenang dan menikmati teh di taman belakang seorang diri. Minggu kedua, ia berteriak marah saat mengetahui bahkan pangeran kecil juga dilarang masuk. "Siapa kalian beraninya memisahkan aku dan anakku!!

Para pelayan yang dibentak berlutut dengan bibir membiru. Satu orang di antara mereka menahan isak tangis ketakutan. Semua orang tahu, Seokjin tidak akan segan-segan menguliti orang yang tidak ia senangi dan itu bukan bualan belaka.

"Panggilkan Namjoon. Cepat! Katakan bahwa aku mengakui kesalahanku. Setelah itu, bawa pangeran kecil. Aku merindukan putraku. Cepat pergi, APA YANG KALIAN TUNGGU!?"

Satu jam menjadi satu hari. Satu hari menjadi satu minggu hingga beberapa minggu. Permintaan Seokjin untuk melihat anaknya tak dikabulkan, bahkan meski ia sudah bersikap lunak dan berlutut di gerbang istana. Semua pelayan semakin menjaga langkah kaki mereka untuk tidak membuat Seokjin kesal, dan semua orang menunggu kabar dengan tegang.

Sejak Seokjin ditahan, ia tidak mendapatkan berita apapun yang terjadi di luar. Tentang bagaimana keluarganya dan apa yang sedang bergejolak di antara panasnya politik, Seokjin tidak tahu. Pakaian apa yang dikenakan pangeran kecil dan apa yang dimakannya, Seokjin tidak tahu.

Hubungannya dengan dunia luar telah terputus. Pelayan semakin merapatkan mulut dan melayani dengan kehati-hatian. Hanya setelah mereka berkumpul bersama kemudian tahu bahwa Seokjin telah diabaikan oleh Raja seutuhnya. Dia dibiarkan sendiri, menggila.

Setelah berlutut dan menangis tak digubris, Seokjin melakukan hal-hal ekstrem untuk menarik perhatian Namjoon. Terkadang ia menyakiti pelayan, karena dulu Namjoon pasti akan menegurnya. Tapi sekarang, Namjoon tidak datang.

Kemudian ia mulai tidak menyentuh makanannya, namun Namjoon juga tidak datang. Bahkan sampai ia menyakiti dirinya sendiri dengan menyayat pergelangan tangannya, hanya dokter yang datang untuk merawatnya. Namjoon tetap tidak datang.

Seokjin sangat merindukan putra kecilnya sampai ia sendiri nyaris lupa dengan suara tawanya. Terkadang saat ia sedang sendirian di kamar memandang keluar jendela, Seokjin berbicara seolah ada orang yang mendengarkan. Kadang, ia tertawa seorang diri.

Kesendirian dan ketidakpedulian Namjoon membuat Seokjin semakin terasing. Tidak ada tamu yang mengunjungi, tidak ada pangeran kecil yang menemani, Seokjin dibiarkan sendiri. Ia sering menghabiskan waktunya di taman belakang istana yang dipenuhi dengan bunga violet.

Dulu, Namjoon membangun taman ini sebagai hadiah pernikahan mereka. Mereka sering duduk di sana, bercanda atau sekadar berbincang ringan. Dulu, Namjoon sering memetik bunga violet dan menyelipkannya di telinga Seokjin, mengatakan bahwa keindahan parasnya adalah yang terbaik.

Sekarang, Seokjin sendirian di antara hamparan violet, menunggu. Ia yakin, Namjoon akan datang menemuinya disini seperti dulu. Ia yakin, Namjoon akan memaafkan dirinya dan mereka akan kembali bersama. Seokjin terus menunggu disana dengan harapan kosong.

Mata indah tergantikan oleh mata penuh kesedihan. Pipi merona tergantikan oleh pipi cekung yang menyedihkan. Bibir lembut tergantikan oleh bibir pucat dengan banyak luka. Bulan berganti bulan, tanda luka semakin banyak bertambah di tangan dan kakinya.

Dokter silih berganti untuk mengobati, namun luka yang belum kering kembali berdarah. Tidak ada yang bisa menghentikan kegilaan Seokjin. Mulutnya tak lagi meminta kedatangan Namjoon, tapi memohon untuk melihat putra kecil yang ia rindukan setengah mati.

Di suatu hari di musim semi, pelayan yang bertugas kebingungan karena tidak menemukan Seokjin di dalam kamarnya. Tidak di ruangan pakaian atau pun ruang baca.

Mereka menemukannya di taman belakang, tertidur di antara kelopak bunga violet yang mekar. Tangannya menggenggam pisau kecil yang berlumuran darah, dan lelehan cairan merah itu berasal dari lehernya. Dia pergi, dengan kelopak mata tertutup yang masih basah oleh air mata.

Tidak ada yang tahu kenapa orang yang begitu kejam menyiksa orang lain pada akhirnya mengambil nyawanya sendiri. Tidak ada yang tahu kenapa ia memilih untuk pergi di tengah-tengah bunga violet yang mekar. Namun tebakan yang paling sering dibicarakan orang-orang oleh setelah kematiannya karena taman itu adalah simbol cinta mereka berdua. Tempat yang paling banyak mereka habiskan waktu untuk berbahagia. Tempat yang paling dia senangi itu kini menjadi tempat terakhirnya.

Seokjin sedang bermimpi panjang. Ia melihat semua kilas balik hidupnya. Entah itu yang membahagiakan ataupun menyakitkan, ia melihat semuanya. Saat melihat kembali putra kecilnya dalam ingatan yang terputar, Seokjin tidak bisa menahan rasa rindu dan air mata.

Ia menggapai-gapai, namun tangannya tak bisa meraih putra kecil. Seokjin menangis lebih keras dan memanggil namanya. Ia tidak punya penyesalan dalam hidup itu, namun ia ingin sekali saja memeluk putranya. Bahkan walau itu hanya dalam mimpi sekali pun.

Kemudian bayangan gelap tentang ingatannya berputar, seolah-olah ada yang mengaduk semuanya, dan Seokjin terbangun. Hal pertama yang ia lihat adalah ruangan kamar yang tidak asing. Ini bukan kamar tidur utama ataupun kamar tidur tempat ia dikurung.

Seokjin mengusap matanya yang basah, lalu dengan jemari yang gemetar meraba lehernya. Tidak ada luka, meski rasa sakit saat ia melakukannya masih terasa. Seokjin terduduk dengan linglung di atas ranjang, mempertanyakan apa yang baru saja terjadi.

Pintu ruangan terbuka. Seokjin menoleh, melihat Namjoon melangkah masuk. Langkah demi langkah saat ia semakin dekat, Seokjin merasakan dentuman jantung di dadanya semakin keras. Wajah ini... sudah berapa lama ia tidak melihatnya?

Seokjin melihat kepanikan dan ketidakpercayaan di wajah Namjoon. Mereka bertatapan seolah seperti tahunan waktu tak saling menatap. "Seokjin." Suara lirih yang bergetar itu sampai di telinga Seokjin. Ia melangkah lebih dekat dan membungkuk untuk memeluk Seokjin.

Pelukan itu kuat, dan menyedihkan di saat yang sama. Seokjin masih terdiam kaku, mencoba berpikir apakah ia sedang bermimpi atau apakah ini halusinasi. "Apakah kau baik-baik saja? Ada yang terluka?" Namjoon melepaskan pelukan, kini memperhatikan wajah Seokjin dengan saksama.

"Tadi di perjalanan kita diserang oleh sekelompok bandit. Kau pingsan." Seokjin samar-samar merasakan ini pernah terjadi. Perjalanan. Kereta kuda. Penyerangan. Pingsan. Dan kamar yang tidak asing ini... bukankah ini kamar vila pribadi Namjoon untuk bulan madu mereka?!

Wajah Namjoon terlihat pucat. Ia menatap Seokjin, tapi seperti menatap jauh ke dalam genangan jiwanya. Seokjin tidak mengerti, dan ia merasa sangat tidak nyaman. 

"Aku lelah." Adalah cara yang halus untuk meminta Namjoon pergi. Agaknya Namjoon terlihat keberatan, tapi karena—wajah Seokjin masih terlihat tidak sehat, ia pun pergi setelah membubuhkan ciuman tipis di dahi Seokjin dan menyuruhnya untuk istirahat lagi. Setelah ia ditinggalkan sendiri, Seokjin menyentuh pelipisnya. Lagi, ia menyentuh lehernya dan tak menemukan ada luka disana.

Ini jelas adalah kamar tidur utama di vila pribadi Namjoon. Dalam hidupnya, Seokjin hanya sekali mengunjungi vila ini saat mereka berbulan madu. Apakah ia bermimpi? Ataukah... ini kenyataan bahwa ia kembali ke masa lalu? Di masa dimana mereka masih saling mencintai—dan tidak mencurigai satu sama lain. Jika itu benar... maka Seokjin harus mengubah semuanya. Ia harus menghentikan dirinya dari kegilaan kecemburuan dan kecurigaan berlebih yang membuat Namjoon mengurungnya. Ia harus menjauh. Ia harus pergi secepat mungkin.

Tapi jika ia mengulang waktu, itu artinya pangeran kecil belum lahir. Seokjin menyentuh perutnya. Ingatan gelap saat ia meraung-raung ingin bertemu anaknya kembali terbayang di dalam benak. Putra kecilnya yang berpipi gemuk itu... sudah berapa lama ia tidak–melihatnya? Sudah berapa lama ia tidak mencium dan memeluknya? Kerinduan yang sangat hebat mendera relung hati Seokjin. Ia tidak merasa apa yang telah berlalu adalah mimpi. Ia yakin itu terjadi, karena perasaan cinta untuk anaknya tidak mungkin palsu.

Ia masih ingin melihat anak itu lagi. Memeluknya. Menciumnya. Ia merindukannya setengah mati. Namun jika ia ingin bertemu dengan pangeran kecil, maka ia tidak bisa meninggalkan Namjoon. Ia harus berada di sisinya, tidur dengannya dan menunggu pangeran kecil hadir.

Tapi... sanggupkah Seokjin mengendalikan dirinya di depan Namjoon dengan ingatan kehidupan masa lalu yang masih terbayang jelas di benaknya? Sanggupkah Seokjin kembali mengalami penghinaan yang dulu ia sembunyikan di belakang Namjoon, penghinaan yang membuatnya gila?

Main Story

 

Seokjin telah memutuskan.

Ia akan menceraikan Namjoon setelah anak itu lahir. Ia akan bertahan pada kepura-puraannya dalam mencintai Namjoon seperti di kehidupan sebelumnya. Ia hanya perlu menghindari sifat jeleknya yang dulu—tentang posesif dan kecemburuan. Selama ia menutup hati, ia tidak akan merasa kehausan untuk diperhatikan oleh Namjoon. Selama ia bisa menahan diri untuk bersabar, ia akan mengandung anak itu sekali lagi di dalam perut.

Hanya sampai saat itu tiba.

___

Pengulangan siklus kehidupan adalah kejadian yang sangat suci. Meskipun praktik sihir di dalam kerajaan dijalankan dengan ketat, pembuktian tentang pengulangan hidup hanya ada di dalam catatan penting yang sangat rahasia. Bahkan tidak ada banyak informasi dimuat di dalamnya. 

Kejadian suci itu terlalu sakral, tertutup selubung tebal bernama kemisteriusan dan tidak dapat dipahami oleh logika. Karena catatan yang sangat sedikit dan tidak ada pembuktian apapun yang mendekati teori sihir, para petinggi sihir menyegelnya dalam pengetahuan rahasia dan hanya sedikit orang yang mengetahuinya.

Seokjin tidak punya bukti apapun selain ingatannya yang utuh. Jika ia bersuara dan mengatakan bahwa ia datang dari masa depan, orang-orang akan menganggapnya gila dan dia akan diasingkan. Itu tentu saja tidak boleh terjadi. Karena itu Seokjin menyimpan semuanya di dalam hati, memperhitungkan langkahnya dengan cermat.

Tujuannya hanya satu; meninggalkan kedudukannya sebagai pasangan penguasa kerajaan setelah ia yakin telah mengandung.

Ini adalah waktu yang tepat. Dia dan Namjoon baru menikah dua minggu yang lalu dan mereka belum pernah tidur di ranjang yang sama karena padatnya pekerjaan Namjoon. Baru setelah ia menyelesai ini-itu yang sangat penting, ia akhirnya memilih tanggal untuk pergi berbulan madu yang sayangnya, sempat terganggu oleh penyerangan bandit.

Meski penyerangan itu diselesaikan dengan cepat, tetap berdampak pada kesehatan Seokjin yang sedikit menurun. Ia terlihat linglung setelah siuman dan samar-samar sikapnya terlihat aneh. Karena itu Namjoon memutuskan untuk memisah kamar tidur mereka agar Seokjin bisa beristirahat dengan lebih leluasa.

Tapi Seokjin tidak berpikir demikian. Semakin lama Namjoon menunda untuk menyentuhnya, maka kehadiran anak itu akan semakin lama. Ia bertarung dengan waktu dan punya tujuannya tersendiri. 

“Bawa aku ke kamar Yang Mulia.”

Seokjin berdiri dengan lutut yang masih terasa lemah—bagaimanapun, ia punya kondisi fisik yang tidak terlalu bagus dan perjalanan dari ibu kota ke vila ini cukup jauh dan membuatnya lelah. 

“Tapi, Yang Mulia berkata—”

Seokjin menoleh dengan tatapan sengit, langsung menghentikan ucapan pelayan yang hendak menahan Seokjin. Ia menutup bibirnya rapat-rapat dan mempersilakan agar Seokjin berjalan di depan.

Vila ini luas dan megah. Pemandangan yang dihadirkan pun luar biasa indah dan menenangkan, sangat berbanding terbalik dengan hati Seokjin yang cemas. Ia mengepalkan tangan kuat-kuat saat mereka tiba di depan pintu ruang kamar Namjoon. Kukunya menancap di telapak tangan, perlahan ia merilekskan ekspresi tegang di wajahnya.

“Tuan Seokjin tiba!”

Beberapa saat kemudian, pintu itu terbuka dan Seokjin melangkah masuk dengan hati yang kebas. Meski ia baru saja bertemu Namjoon tadi saat siuman, namun dalam ingatannya yang asli, ia tidak bertemu dengan Namjoon selama berbulan-bulan. Menghadapinya dengan ingatan kehidupan masa lalu yang terbayang di depan mata benar-benar sangat mengerikan untuk dicoba. Tapi demi senyuman dan tawa anak yang ia rindukan, Seokjin menahan gejolak panik yang melanda pikirannya.

“Sayang.”

Seokjin ingat, di periode waktu ini ia harusnya masih memanggil Namjoon dengan sebutan ‘sayang’ dan nada manja. Ia tidak bisa tiba-tiba memanggilnya hanya dengan nama dan nada yang dingin karena akan membuat kepribadiannya berubah dengan cepat.

Saat ini, Seokjin hanya harus berpura-pura bahkan meski mulutnya langsung terasa pahit saat ‘sayang’ terlontar keluar.

Namjoon sedang duduk di dekat jendela besar saat Seokjin melangkah masuk. Ia benar-benar seorang Raja yang sangat berdedikasi. Bahkan saat hari libur bulan madunya, Namjoon masih menyempatkan diri untuk membaca laporan penting yang ia bawa.

Melihat laki-laki yang baru ia nikahi dua minggu lalu melangkah masuk dan memanggilnya dengan akrab, ada perasaan bahagia dan lega membanjiri hati Namjoon. Ia termagu di tempatnya duduk, melihat bayangan mengerikan tentang Seokjin yang tertidur tenang di antara kelopak bunga violet kini tergantikan oleh raut wajah cantik yang menatapnya penuh damba.

Baguslah. Baguslah ia berhasil kembali ke masa lalu. Tuhan telah memberikannya kesempatan untuk memperbaiki kesalahan dan penyesalan terdalam di hatinya. Ia tidak akan membiarkan kejadian itu terulang.

Namjoon mengerjap saat Seokjin berdiri di depannya. Bayangan kehidupan masa lalu dan sekarang tumpang tindih dengan kejam di matanya. Ia bisa melihat leher Seokjin yang putih bersih, namun bayangan lumuran darah masih menghantuinya sampai sekarang.

“Kamu melamun?”

Seokjin menjentikkannya jari depan wajah Namjoon. Ia tidak tahu apa yang sedang Namjoon pikirkan, tapi melihatnya linglung seperti ini entah kenapa membuat Seokjin sangat tidak nyaman dan merasa bahwa Namjoon tahu sesuatu.

Seokjin menelan ludah. Sepertinya ia harus menguatkan diri untuk bersandiwara dengan kesungguhan. Seokjin memutar otaknya dengan cepat, dengan cermat berusaha mengingat-ingat bagaimana dulu ia bersikap di awal pernikahan mereka.

“Kau membawa pekerjaan di saat bulan madu kita?”

Seokjin menjernihkan suaranya, dengan impulsif menyentuh bahu Namjoon dan tanpa ragu duduk di atas pangkuannya.

Ya, Seokjin yang itu pasti akan bersikap manja dan menggoda seperti ini.

Seokjin menertawakan dirinya di kehidupan yang lalu, laki-laki naif yang terbutakan oleh cinta. Dia yang sekarang berbeda. Ia tidak akan melakukannya dengan kesadaran penuh. Ini hanyalah sandiwara.

Namjoon tersenyum masam mendengar suara manis yang telah lama tak ia dengar. Seolah dirinya yang gerah tersiram oleh air sejuk, ia langsung merasa sangat damai. 

Namjoon memeluk pinggang Seokjin yang duduk di atas pahanya, sedikit mendongak untuk mempertemukan tatapan mereka dalam jarak yang dekat. “Hanya sedikit laporan yang harus dilihat. Apa yang kau lakukan disini, hm? Bukankah aku menyuruhmu untuk beristirahat?”

Jari-jari Seokjin di atas bahu Namjoon bergetar hebat, dan ia merasa perutnya seperti diaduk. Mual. Ia benci bersandiwara, namun berusaha untuk menahan dirinya sendiri.

Demi pangeran kecil.

“Bagaimana mungkin kita tidur di kamar yang terpisah saat sedang bulan madu? Apa yang akan pelayan katakan nanti di belakang kita?”

Seokjin mengeluh dengan bibir mengerucut lucu. Ia bersandiwara dengan kehati-hatian agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Namjoon terkekeh pelan. “Bukankah tadi kau yang mengatakan lelah saat baru siuman? Dari mana datangnya energi ini, Seokjin?”

Seokjin merendahkan kepalanya, mencapai telinga Namjoon dengan bibirnya. Ia berbisik pelan di sana. “Bukankah bulan madu ini juga tugas negara yang sangat penting? Kita tidak boleh menundanya.”

Namjoon tentu tahu dengan jelas apa yang Seokjin inginkan. Tapi keraguannya jauh lebih besar. Bukan hanya karena dalam waktu ini mereka baru saja diserang bandit dan butuh istirahat, tapi juga karena kenangan kehidupan masa lalu masih tumpang tindih di dalam ingatan Namjoon.

Satu-satunya ketakutan Namjoon adalah Seokjin memiliki ingatan kehidupannya yang lalu. Jika itu benar, maka semua rencana yang telah Namjoon susun agar kejadian itu tidak terulang akan berantakan. Jika Seokjin memiliki ingatan kehidupan masa lalunya, maka ia tidak akan pernah mau melihat wajah Namjoon lagi. Selamanya.

Namun yang membuat Namjoon yakin Seokjin tidak memiliki ingatan kehidupan sebelumnya adalah…, Seokjin yang itu tidak akan mungkin bersikap manis dan manja seperti ini. Seokjin yang itu pasti membencinya sampai ke tulang.

“Liburan kita masih panjang, kenapa terburu-buru?”

Namjoon menolak dengan sangat halus, tapi Seokjin penuh dengan kekerasan kepala yang tidak bisa ditentang. Ia tidak ingin membuang waktu bahkan meski itu hanya satu jam. Ia harus tidur dengan Namjoon secepatnya. Agar ia bisa meninggalkannya lebih cepat pula.

Seokjin tersenyum manis, menipu Namjoon dengan paras indahnya. “Bukankah tugas negara yang dikerjakan lebih cepat akan menghasilkan yang terbaik pula?”

Seokjin mengusap pipi Namjoon dengan lembut. Sementara tangannya yang lain menarik simpul kecil di bagian dadanya. Ia menurunkan pakaiannya itu hingga menampilkan kulit bersih yang lembut. Dengan kehati-hatian, Seokjin membimbing Namjoon. Menciumnya, membelainya, dan membawanya ke ranjang sampai ia nyaris lupa bahwa ia sedang bersandiwara.

Walau ingatan kehidupan yang lalu menerjangnya bagai mimpi buruk, jauh di dalam hatinya Seokjin hanya mencintai Namjoon seorang. Namun cinta itulah yang menikamnya dengan kejam.

Usai bercinta, Seokjin memandang langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Namjoon tertidur di sampingnya dengan deru napas yang teratur, sementara dirinya tak bisa memejamkan mata sedikitpun. Tangannya bergerak menyentuh perutnya sendiri, bertanya-tanya apakah pangeran kecil akan hadir setelah satu malam?

___

Seokjin berubah.

Setelah tiga malam berturut-turut mereka bergulingan di ranjang vila, Namjoon merasakan perubahan dalam sikap Seokjin. Mungkin perjalanan pulang ke istana membuat Seokjin kelelahan, Namjoon tidak berpikir tentang hal lain.

Namun setelah seminggu mendekam di istana pribadinya—ya, Raja dan pasangannya tinggal di istana terpisah—Seokjin masih belum mau menemui Namjoon dengan dalih sedang tidak sehat.

Karena sepulang dari bulan madu Namjoon dihadapkan oleh pekerjaan yang menumpuk, ia tidak terlalu banyak berpikir negatif sehingga memberikan Seokjin kelonggaran untuk tidak menemuinya hingga dua minggu. Namun setelah dua minggu terlewati dan Seokjin masih tidak mau melihatnya, Namjoon mulai kehilangan kesabaran.

Ia memaksa masuk ke ruang kamar pribadi Seokjin yang luas dan megah, menemukan laki-laki yang ia rindukan berwajah pucat di atas tempat tidur. Kemarahan yang tadi sempat naik kini lenyap. Namjoon mendekat dengan raut cemas.

“Tolong panggilkan tabib.”

Permintaan Seokjin dengan cepat dikabulkan. Tabib yang dipanggil itu memeriksa Seokjin dengan cermat, sedikit berkeringat sebab berada di bawah pengawasan Raja. Namun setelah tiga kali mengecek, raut wajah tabib itu tampak kusut untuk sesaat sebelum kemudian melaporkan keadaan Seokjin.

“Tuan Seokjin hanya kelelahan, Yang Mulia. Dengan istirahat lebih banyak dan makan makanan yang sehat, keadaannya akan membaik dengan cepat. Saya juga akan meresepkan beberapa obat dan vitamin untuk Tuan Seokjin.”

Namjoon mengangguk lega mendengar Seokjin tidak terkena penyakit serius karena dari ingatan kehidupan yang lalu, Seokjin sangat jarang sakit.

Seokjin yang duduk bersandar di atas ranjang bertanya dengan nada pelan. “Apakah… apakah ada kemungkinan aku… hamil?”

Mata Namjoon membelalak, begitu juga dengan tabib yang berdeham malu dan mendekati Seokjin dengan langkah ragu. “Apakah Anda ingin saya memeriksa sekali lagi, Tuan?”

Seokjin mengangguk kecil, segera mengulurkan tangannya. Beberapa saat kemudian, Seokjin terlihat kecewa karena tabib sepertinya tidak menemukan tanda-tanda yang ia inginkan.

Apakah itu murni karena kelelahan saja? Bukan tanda-tanda kehamilan?

Seokjin mendesah kecewa.

“Izin bertanya, Tuan. Kapan terakhir kali Anda berhubungan?”

Tidak ada yang tidak tahu kalau mereka adalah pasangan yang baru menikah dan pertanyaan ini terdengar amat konyol. Wajah Seokjin memerah dengan cepat, namun suara dari belakang tubuh tabib itu terdengar.

“Dua minggu yang lalu.”

Namjoon menjawab dengan nada datar, sementara Seokjin memalingkan wajah ke arah lain. Untuk ukuran pasangan yang baru menikah, dua minggu itu adalah waktu yang lama untuk jeda berhubungan.

Tabib tidak mengubah ekspresinya. Ia terlihat sangat profesional saat menjelaskan. “Memang dua minggu adalah waktu minimal untuk mengetahui apakah Anda hamil atau tidak. Namun terkadang akan membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa memastikan apakah Anda hamil atau tidak, Tuan.”

Walau kalimat tabib seolah memberikan angin segar, Seokjin sudah mengetahui dalam hatinya bahwa ia tidak hamil. Kelelahan dan mual-mual yang ia rasakan hanya halusinasi karena ia terlalu ingin untuk segera hamil. Di kehidupan sebelumnya, mereka memang berhubungan badan saat berbulan madu, namun Seokjin baru mendapati dirinya hamil enam bulan kemudian. Jika kehidupan ini mengikuti alur di kehidupan sebelumnya, maka tidak heran Seokjin belum hamil di waktu ini.

Semua pemikiran itu semakin membuat Seokjin sedih.

___

Keesokan harinya usai bekerja di istana utama, Namjoon kembali mengunjungi Seokjin untuk menghiburnya. Seokjin terlihat sangat tertekan sejak tabib mengatakan bahwa ia belum hamil. Kedatangan Namjoon hari ini adalah untuk menghibur Seokjin dan menciptakan kesempatan agar mereka kembali dekat seperti sebelumnya.

Namjoon melangkah masuk ke ruang kamar Seokjin. Laki-laki itu duduk membelakangi pintu masuk, sedang menikmati makanan penutup yang diantar pelayan ke kamarnya. Seokjin memegang buah pisau di tangan kanan. Saat ia merasakan gatal di lehernya, Seokjin mengangkat tangan kanan yang masih menggenggam pisau itu untuk menggaruk area yang gatal.

Namun di mata Namjoon, itu semua berubah menjadi gambaran mengerikan tentang kehidupan sebelumnya. Seokjin yang tertidur damai di antara bunga-bunga violet kembali terbayang. Tentang darah yang mengalir, dan tentang pisau yang Seokjin genggam. Itu membuat Namjoon langsung disetrum rasa panik dan setengah berlari menghampiri Seokjin, menggenggam bagian tajam pisau buah dan berlutut dengan bibir pucat.

“Jangan… Jangan lakukan itu lagi. Seokjin, jangan…”

Tangan Namjoon bergetar hebat, seiring dengan lelehan darah yang keluar dari genggamannya di bagian mata pisau. Namjoon seolah kehilangan arah dan kewarasan saat ingatan buruk itu semakin membanjirinya. Sementara Seokjin, ia mematung dengan pupil mata yang tak fokus.

Hanya ada satu jawaban tentang kenapa Namjoon bereaksi berlebihan. Itu sudah pasti karena Namjoon juga memiliki ingatan kehidupan masa lalu dan berpikir bahwa Seokjin akan mengulang kembali untuk menyayat lehernya.

Namjoon tahu… Namjoon juga punya ingatan itu…

Seokjin tersadar lebih cepat, menepis tangan Namjoon sampai pisau yang Namjoon genggam terlempar ke lantai. Kini hanya tersisa tangan berdarah Namjoon berada di atas pangkuan Seokjin.

Rasa asam memenuhi mulut Seokjin saat ia bertanya dengan nada sumbang, “Kau… kau juga punya ingatan itu…”

Namjoon yang tadinya menghadapi ruangan gelap ingatan masa lalu kini tersadar. Ia mendongak, masih berlutut di lantai. Bahkan sayatan di telapak tangannya sama sekali tak terasa sakit. Kepalanya kini dipenuhi dengan ratusan pertanyaan.

Dan satu hal yang Namjoon takutkan ternyata menjadi kenyataan. Seokjin juga memiliki ingatan tentang kehidupan masa lalu!

____

Ruangan itu sunyi meski dihuni oleh beberapa orang—Seokjin, Namjoon, satu tabib kerajaan dan dua orang pelayan di belakangnya. Setelah memastikan perban di tangan Namjoon tertutup sempurna, mereka pergi dengan raut wajah penuh pertanyaan tentang kenapa tangan Yang Mulia bisa berdarah namun tak satu pun di antara mereka yang punya hak untuk bertanya. Pada akhirnya mereka hanya bisa menelan rasa penasaran dan bergegas pergi karena tahu ada aura tegang di antara Namjoon dan Seokjin.

Setelah ruangan itu kini hanya ada Seokjin dan Namjoon, tak satu pun di antara mereka yang memulai membuka suara. Masing-masing bergelut dengan pikiran sendiri dan mempertanyakan kenapa setelah diberikan kesempatan kedua untuk memulai dari awal, mereka justru dihadapkan dengan kenyataan bahwa ingatan masing-masing masih utuh tanpa rusak.

Namjoon dengan tujuannya untuk mencegah Seokjin bunuh diri dan bencana yang mengikut di belakangnya, Seokjin dengan tujuannya untuk melahirkan pangeran kecil sebelum kemudian pergi dari hidup Namjoon selama-lamanya.

Dilihat dari sudut mana pun tujuan mereka berbelok arah dan tidak senada. Dengan terbongkarnya bahwa ingatan mereka utuh, tujuan masing-masing terlihat semakin sulit untuk ditempuh.

Setelah beberapa hening yang mencekam, akhirnya Seokjin membuka mulutnya terlebih dahulu.

“Apa kau melihat mayatku?”

Jari-jari Namjoon kembali bergetar hebat mendengar pertanyaan yang langsung memojokkannya. Bayangan itu kembali segar dalam ingatannya. Tubuh dingin Seokjin tak bernyawa kembali terasa di dalam pelukannya saat Namjoon runtuh dan menangis dalam penyesalan terdalam. Ingatan itu mengoyaknya dengan hebat.

“Jawab aku, Namjoon. Apa kau melihat mayatku atau kau sama sekali tidak sudi untuk melihatku dalam keadaan mati?”

Namjoon merasakan napasnya memberat. Ia bahkan tidak berani menatap wajah Seokjin saat menjawab dengan nada pelan. “Aku melihatnya.”

“Lalu? Apa kau merasa puas?”

Namjoon tidak menjawab, malah semakin menundukkan kepalanya tak ingin menatap Seokjin. Ia berkali-kali membayangkan jika Seokjin tahu bahwa ia mati bukan karena tangannya dan pisau buah, melainkan oleh sikap dingin Namjoon tak tak terbuka, apakah laki-laki itu akan membencinya sampai ke tulang?

Namjoon hanya tak menyangka bahwa ia menghadapi ketakutan itu secepat ini.

“Apa kau puas melihat orang yang membuatmu terkekang mati? Apa kau puas membuang orang yang tak lagi berguna untukmu? Apa kau puas… melihat orang yang pernah kau cintai kini pergi agar tidak menghalangimu untuk mendapatkan cinta baru?”

“Aku tidak pernah menyukai orang lain, Seokjin!”

Bibir Namjoon bergetar hebat, dengan napas tersengal. Terlalu cepat untuk mengungkapkan apa yang terjadi di kehidupan masa lalu. Mimpi buruk yang paling Namjoon takutkan harus ia hadapi sekarang, membuatnya tak berdaya. Kalau saja… kalau saja Seokjin tidak mempunyai ingatan kehidupan masa lalu, ia akan melakukan segala cara untuk melindungi laki-laki itu, membiarkannya melakukan apapun yang membuatnya senang, menutup mata pada semua hal yang membuatnya kesal di masa lalu. Hanya membiarkannya terus berada di sisinya. Namjoon hanya ingin itu saja.

“Lalu? Kenapa kau mengurungku? Kenapa kau bahkan tidak membiarkan aku melihat anakku? KENAPA, NAMJOON!?”

Mata Seokjin menghangat, perlahan membuat penglihatannya sedikit buram oleh air mata. Rasa sakit paling besar yang ia rasakan di kehidupan yang lalu bukanlah saat ia mengarahkan pisau ke lehernya, melainkan pengabaian Namjoon dan ketidakberdayaan Seokjin melawan rasa rindu untuk melihat pangeran kecil. Ia mati bukan karena pisau, melainkan dikoyak oleh rasa sakit hati dan rindu.

“Aku mengurungmu agar tidak ada orang asing yang mendekatimu untuk melakukan hal buruk. Semua orang yang berada di istanamu selama masa tahanan adalah orang-orang pilihanku. Mereka ada di sana untuk melindungimu. Hanya saja… aku tidak menyangka bahwa kau akan melakukan itu…”

“Aku sedang melindungimu, Seokjin. Aku harus mengurungmu di istana agar orang-orang yang ingin menggulingkan posisimu tidak bisa menggapai. Agar orang-orang tidak lagi menyebar desas desus yang memojokkanmu. Aku mengirim pangeran kecil ke tempat yang jauh sehingga saat aku membereskan semua orang yang memfitnahmu, dia tidak terpengaruh oleh ucapan orang-orang. Aku melakukan itu semua untuk melindungi kalian berdua.”

“PEMBOHONG!”

Seokjin balas meninggikan suara, dengan suara ribut di dalam kepalanya berputar-putar, tentang pelayan-pelayan yang dulu pernah ia usir. Mereka semua membicarakannya di belakang dengan fitnah yang bahkan tak pernah Seokjin dengar. Mereka menertawakan Seokjin atas ketidakmampuannya menahan Namjoon mendekati wanita lain. Mereka menertawakan Seokjin dan mengatakan bahwa kedudukannya di atas semua orang tak lama lagi akan runtuh.

Salahkah Seokjin mengusir mereka semua?

“Mereka memfitnahku. Mereka menertawakanku dan membicarakan aku. Aku Tuan mereka namun mereka menghinaku!”

“Aku tahu.” Suara Namjoon tertahan di tenggorokan. Matanya memerah karena ia tahu itu semua terlambat. Saat Seokjin sudah tak ada, barulah Namjoon tahu alasan Seokjin mengusir pelayan-pelayan itu.

“Aku menyiram wajah tamu pentingmu karena dia memfitnah keluargaku sampai ibuku jatuh sakit!”

“Aku tahu,” jawab Namjoon kembali terdengar lemah. Ini juga ia ketahui belakangan saat menyelidiki semua orang yang pernah bermasalah dengan Seokjin setelah ia tiada. Ia menelusuri satu per satu, dan menemukan bahwa yang dilakukan tamu pentingnya itu terlalu menjijikkan untuk ditanggung. Saat itu, barulah Namjoon mengerti kenapa Seokjin sangat marah dan tak tanggung-tanggung menyiram wajahnya dengan air panas di dalam teko teh.

Seokjin seolah tercekik saat mengatakan kalimat terakhir dengan air mata yang perlahan mengalir di pipinya. “Aku menusuk kaki pengawal karena dia…” bibir Seokjin bergetar hebat, hampir tidak mampu mengucapkan kalimat selanjutnya dengan utuh. Namun Namjoon sudah tahu apa yang akan Seokjin katakan, dan itu membuat hatinya jauh lebih hancur mendengarnya secara langsung. “Dia hampir memerkosaku.”

“Mereka semua adalah orang-orang yang lebih dulu memprovokasiku. Tapi saat aku membalas, semua orang tidak tahu apa yang telah lebih dulu aku alami dan hanya berfokus pada kejahatanku. Apapun yang akan kukatakan, mereka hanya menganggap angin lalu dan mencapku sebagai pasangan Raja yang kejam!”

“Itu semua salahku, Seokjin. Salahku yang tidak memperhatikanmu sehingga kau merasa aku tidak lagi mencintaimu. Salahku yang tidak bertanya dan mempercayai kalimatmu. Salahku yang membuatmu”

Seokjin memejamkan matanya, dengan bulu mata yang basah oleh air mata. Meski setelah mendengarkan semua penjelasan Namjoon membuatnya mengerti bahwa mengurungnya adalah langkah yang tepat, namun ketidakpercayaan Namjoon padanya saat itu amat sangat membuatnya sedih dan menderita.

Ia tidak mendapatkan penjelasan apapun, tidak bisa bertemu siapapun, dan bahkan tidak bisa tidur dan makan dengan tenang karena mencemaskan pangeran kecil.

“Maafkan aku, Seokjin.”

Maafkan aku, Seokjin.

Di kehidupan terakhirnya saat Seokjin menghabiskan waktu-waktu sepi seorang diri, ia pernah membayangkan Namjoon akan datang dan meminta maaf padanya. Waktu itu, Seokjin pikir dirinya pasti akan langsung memaafkan Namjoon atas dasar cinta. Ia akan menutup mata pada apa yang Namjoon lakukan sebelumnya selama mereka akhirnya masih bisa bersama. Ia mencintai Namjoon jauh lebih besar dari pada mencintai dirinya sendiri.

Namun itu adalah kehidupan masa lalu. Ia telah bertekad untuk mengubah semuanya di kesempatan yang baru. Ia tidak ingin lagi mengubah dirinya menjadi pasangan posesif dan paranoid hingga membuat Namjoon menjadi tidak sabar terhadap dirinya. 

“Aku tidak memaafkanmu, Namjoon.”

Seokjin mengepalkan tangannya. “Aku sangat membencimu.”

___

Epilog

Namjoon membutuhkan waktu yang sangat, sangat, dan sangat lama untuk hanya sekedar bisa makan di meja yang sama dengan Seokjin. Tidak terhitung berapa banyak upaya yang Namjoon lakukan selama ini untuk mendapatkan maaf dari Seokjin, laki-laki berparas indah itu sama sekali tidak tergerak.

Undangan makan malam di istana kediaman Seokjin ini bukan karena Seokjin telah memaafkan Namjoon, namun karena tekanan yang diberikan keluarganya.

Seokjin berasal dari keluarga nomor dua di kerajaan setelah keluarga kerajaan. Dengan kekuatan dan kekayaan yang nyaris menyaingi keluarga kerajaan, ayah Seokjin yang saat ini bergelar Duke menyarankan pertunangan Namjoon dan Seokjin. Tentu saja usulan itu muncul dari bibir Seokjin, dan disetujui oleh Namjoon yang saat itu juga tertarik padanya.

Akhir-akhir ini ayah Seokjin mendengar kabar bahwa putranya sedang bertengkar dengan Raja, dan mereka sudah hampir satu bulan tidak terlihat berada di ruangan yang sama. Karena itu ayah Seokjin memberi teguran kepada Seokjin.

“Pernikahanmu dan Yang Mulia adalah pernikahan yang diberkati oleh Tuhan. Tidak baik jika kalian bertengkar terlalu lama. Ayah tidak akan bertanya apa salahnya atau apa salahmu, tapi berikan keluarga kita martabat yang baik agar orang-orang tidak mengira kita sedang menginjak kepala Raja.”

Seokjin paham betul apa yang ayahnya katakan. Bahkan meskipun ia ingin berpisah dengan Namjoon saat terbangun di awal kehidupan kedua, ia sadar bahwa itu sangat tidak mungkin dilakukan. Perceraian mereka akan menjadi permulaan dari segala pergolakan politik yang memanas. Kedua keluarga sama kuatnya sehingga jika timbul perpecahan, maka itu tidak akan baik untuk semua pihak.

Tapi Seokjin belum mau memaafkan Namjoon. Ia juga tidak bisa bertindak kekanakan selamanya dan membuat citra dirinya dan keluarganya semakin tercoreng. Maka pilihan yang paling aman adalah membuat semua orang tahu bahwa mereka telah berbaikan meski sebenarnya tentu saja tidak.

Namjoon tahu jika ia tidak berbuat sedikit licik di kesempatan yang datang ini, maka selamanya hubungan di antara mereka tidak akan bisa diperbaiki. Maka saat para pelayan dan dayang berdiri tak jauh dari mereka, Namjoon mengusulkan sesuatu dengan tidak tahu malu.

“Aku akan menginap disini malam ini.”

Seokjin mengerutkan dahi, hendak membantah. Tapi kemudian ia menyadari bahwa jika ia mengusir Namjoon, maka desas desus kembali terdengar. Di kesempatan yang telah lama mereka tak terlihat bersama, jika Seokjin menolaknya mentah-mentah di depan para pelayan, maka itu akan mencoreng wajah Namjoon tanpa ampun. 

Tak mendengar penolakan dari Seokjin, Namjoon bersorak di dalam hatinya, menyusun satu sampai seribu rencana agar ia tidak melewati kesempatan untuk berbaikan dengan Seokjin.

Saat mereka akhirnya berpindah ke ruang tidur, Seokjin mengambil bantal miliknya dan berbaring di sofa memunggungi Namjoon, bahkan tidak repot-repot mengatakan satu kalimat. Ia langsung menutup matanya dan tidak bergerak lagi—sama sekali tidak memberikan kesempatan kepada Namjoon untuk memulai pembicaraan apapun.

___

Dari satu kesempatan kecil ke kesempatan kecil lainnya, intensitas Namjoon muncul di hadapan Seokjin semakin sering. Seokjin juga menyadari bahwa orang-orang yang dulu memprovokasinya di masa lalu sudah tak terlihat di sekitarnya. pelayan-pelayan yang menggunjingnya di belakang punggung, Namjoon telah mengganti mereka semua dengan pelayan yang lebih baik. Pengawal yang dulu hampir melakukan hal keji kepada Seokjin, Seokjin mendengar bahwa pengawal itu secara misterius diserang oleh bandit dan kehilangan kedua kakinya.

Wanita-wanita yang sengaja mendekati Namjoon untuk membuat Seokjin marah, Seokjin mengetahui bahwa mereka sudah tak ada lagi di ibukota dan sebagian besar keluarga mereka tertangkap karena telah melakukan korupsi atau kejahatan lainnya.

Seokjin tahu kejadian itu sama sekali tak ada di kehidupan sebelumnya, dan itu terlalu kebetulan untuk terjadi secara serentak. Ia tahu, ia adalah salah satu cara Namjoon untuk menyuarakan maaf pada dirinya, bahkan meski Namjoon sama sekali tidak pernah mengungkit hal itu di depannya.

Semakin lama waktu berlalu, kemarahan Seokjin tidak lagi sebesar saat ia baru terbangun. Semakin lama waktu berlalu, ia menyadari bahwa dirinya juga banyak melakukan kesalahan di kehidupan sebelumnya. Ia menyadari bahwa kekurangan mereka berdua sebagai pasangan adalah tidak terbuka terhadap perasaan masing-masing, tidak mengerti kegundahan dan kesulitan masing-masing.

Semakin Seokjin menyadari hal itu, semakin kemarahannya berkurang. Ia tidak lagi menolak jika Namjoon datang ke istananya, tapi tidak berinisiatif untuk membuka suara. Seokjin hanya membiarkan Namjoon disana, mengikutinya sepanjang waktu dan mengabaikannya.

Tapi bagi Namjoon, itu adalah kesempatan besar dan perubahan yang sangat patut disyukuri. Kapanpun ia punya waktu luang usai mengurus kepentingan kerajaan, ia pasti akan berkunjung ke istana kediaman Seokjin. Berdiri memperhatikannya, duduk memperhatikannya, bahkan jika itu hanya punggung Seokjin dari kejauhan sekali pun.

Adalah kesempatan yang langka saat Namjoon sengaja mengosongkan jadwalnya di sore hari dan berniat untuk berada di istana kediaman Seokjin. Ia menemukan laki-laki itu di taman bunga violet memandang langit jingga, terdiam di sana dengan pandangan kosong.

Namjoon mengeraskan rahangnya, masih merasa tak nyaman melihat taman bunga violet itu utuh dan sama seperti di kehidupan masa lalu. Bayangan-bayangan buruk masih menyertai ingatan Namjoon saat ia melihat taman itu, namun tak bisa melakukan apapun karena di kehidupan ini Seokjin masih mempertahankan taman itu.

Namjoon melangkah pelan, mengambil dua langkah jarak dari Seokjin dan duduk di atas rumput, memandang langit yang sama. Keduanya tak melakukan apapun, tak membuka pembicaraan apapun. Hanya terus menatap langit sampai langit perlahan menjadi gelap.

“Aku merindukan pangeran kecil.”

Suara lirih Namjoon dan kalimat yang ia lontarkan membuat Seokjin menoleh dengan cepat. Jantungnya berdenyut sakit saat kembali teringat wajah bulat dan mata indah pangeran kecil yang menatapnya. Suara riang dan langkah kaki tak seimbang pangeran kecil saat berusaha berjalan ke arahnya.

Seokjin amat sangat merindukannya.

Namjoon perlahan menoleh mencapai mata Seokjin. Guratan sendu dan kerinduan jelas tercetak di wajahnya.

“Aku tahu kau merindukannya juga. Karena itu kau berpura-pura tidak punya ingatan kehidupan masa lalu dan bersedia tidur denganku saat kita berbulan madu.”

Seokjin tidak membantah. 

“Tidak bisakah kita berdamai, Seokjin? Aku akan menerima karmaku atas kesalahan di masa lalu. Kau bisa melakukan apapun yang kau mau. Tapi tolong… jangan tinggalkan aku.”

Namjoon tahu. Jauh di dalam lubuk hatinya ia tahu Seokjin berniat meninggalkannya setelah terbangun di kehidupan ini. Entah itu setelah mendapatkan pangeran kecil atau pun tidak, Namjoon tahu kesempatannya memenangkan Seokjin setipis jarum benang.

Jarak dua langkah di antara mereka perlahan Namjoon hapus saat ia bergerak mendekat, dengan ujung jari yang terasa dingin berusaha menyentuh tangan Seokjin, menggenggamnya. Langit di atas kepala mereka semakin gelap, namun Namjoon tak butuh cahaya tambahan untuk bisa melihat wajah indah Seokjin dari dekat.

“Tak bisakah… kita berdamai?”

___

Seokjin berguling dengan napas terengah-engah, menekuk kedua lututnya dan memejamkan mata. Saat sepasang tangan memeluk pinggangnya yang telanjang di bawah selimut, Seokjin hanya mengerutkan dahinya. Ia terlalu lelah untuk menepis tangan itu, atau mungkin memang ia ingin membiarkannya.

Namjoon memandang punggung telanjang Seokjin, menahan diri untuk tidak membubuhkan ciumannya di sana karena ia tahu Seokjin tidak akan senang. Seperti ini saja sudah sangat cukup bagi Namjoon. Walau maaf belum diterima secara lisan, Namjoon percaya diri akan mendapatkannya suatu saat nanti. Ia hanya harus lebih sabar lebih lama untuk mendapatkan kembali Seokjin yang dicintainya.

Melihat Seokjin yang mungkin telah tertidur, Namjoon tidak menyangka Seokjin akan membuka suara.

“Waktu itu, aku berharap kau datang.”

Namjoon langsung mengerti “waktu itu” yang dimaksud Seokjin. Ia merasakan tidak nyaman di dalam hatinya yang penuh dengan rasa bersalah, tapi juga tidak bisa menghindari topik ini selamanya.

“Sejujurnya, aku tidak ingin mati.”

Tangan Namjoon terulur hendak menyentuh bahu Seokjin, namun ia menarik kembali tangannya dan membiarkan Seokjin menumpahkan keluh kesah yang tertahan.

“Waktu itu aku berharap bisa mengulang waktu. Ternyata Tuhan mengabulkannya. Hanya saja… aku tidak berharap kau juga datang kembali.”

Seokjin masih memunggungi Namjoon saat mengatakan kalimat selanjutnya. “Aku masih belum memaafkanmu, Namjoon. Dan kau juga tidak perlu memaafkanku. Yang aku inginkan hanyalah pangeran kecil dan kehidupan yang damai. Selama aku mendapatkan dua hal itu, aku tidak akan berpisah denganmu.”

Meski kalimat itu penuh dengan penolakan dan syarat, Namjoon tidak peduli. Selama ia bisa menahan Seokjin di sisinya dan memberikan semua yang ia inginkan, Namjoon merasa beruntung. Itu artinya ia punya banyak kesempatan untuk bisa membuat Seokjin luluh, meski mungkin akan membutuhkan waktu yang sangat panjang.

Momen ini dan kesempatan ini, Namjoon menggenggamnya dengan begitu berharga di dalam hatinya. Ia telah berjanji untuk mencintai dan menghargai Seokjin dengan lebih baik di kehidupan ini. Ia berjanji.

“Ya. Aku akan mewujudkan semua harapanmu, Seokjin. Terima kasih. Terima kasih karena telah memberi kesempatan untukku.”

Suara Namjoon bergetar, dan akhirnya ia memberanikan diri untuk mengecup bahu Seokjin. Memejamkan matanya dan merasakan bahagia memenuhi dirinya.

___

End.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Close the Door
22
0
Close the Door adalah short fic Namjin yang dipublish di twitter. Laman ini hanya memuat narasi yang terdiri dari chapter [10] dan [16].
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan