After Tea Time

11
0
Deskripsi

PDF After Tea Time pernah dibagikan secara gratis di twitter. Baca prolog cerita ini terlebih dahulu di sini. Isi tetap sama seperti versi PDF namun tidak di-layout. Bonus fanart Namjin ada di bagian bawah cerita.

Happy reading! ^^

 

 

—Jalanan penuh bunga ataupun duri, akan kulalui bersamamu—

.

.

Ada banyak hal yang harus Seokjin lakukan. 

Seperti membeli bahan-bahan kue yang menipis, membuat pesanan-pesanan yang sedang mengantri, dan membuka toko kue di pagi hari. Kegiatannya padat, namun Seokjin bahagia. Ini adalah pekerjaan impiannya. Mulai dari dapur rumah yang sempit di sebuah desa yang damai, hingga ke dapur toko yang selalu ramai dikunjungi orang.

Seokjin benar-benar membuktikan bahwa ia bisa sukses di atas kakinya sendiri. 

“Oh, Soobin! Kau akhirnya datang.”

Suara Seokjin terdengar lega saat ia melihat Soobin masuk dari pintu belakang, menarik kotak kayu besar beroda empat yang berisikan bahan-bahan dapur. Soobin menyapa Seokjin dengan lambaian tangan dan langsung bekerja dengan gesit, memindahkan isi  kotak kayu ke rak-rak besar yang menempel di dinding. Tepung dengan tepung, pemanis dengan pemanis, pewarna dengan pewarna, dan bahan-bahan lainnya sudah tertata rapi tak lama kemudian.

Suasana toko masih sepi. Belum saatnya membalik tulisan “tutup” menjadi “buka”, namun Seokjin selalu menjadi orang pertama yang datang setiap hari—memastikan semua barang tersedia, memeriksa keuangan, dan kegiatan kecil lainnya sebelum toko dibuka.

Tentu saja untuk mengelola toko yang menjadi favorite orang-orang ini, Seokjin tak bekerja sendiri. Ada lima karyawan yang bekerja bersamanya, termasuk Soobin sebagai penyuplai barang yang sangat ia percaya. Soobin adalah anak tetangga saat ia masih tinggal di desa dulu. Sejak Seokjin berencana untuk pindah ke kota dan memulai bisnis kecilnya, Soobin orang pertama yang ia ajak bersamanya.

Kini dua tahun kemudian, Seokjin berhasil mempunyai lima karyawan dan bangunan toko yang cukup ramai dikunjungi orang sebagai tempat bersantai dan bercengkrama dengan hangat. Mereka bisa memesan dan duduk di kursi-kursi cantik yang telah disediakan, atau memilih untuk membawa pulang dengan kotak kue yang unik.

Dari satu kue ke kue yang lain, dari satu pelanggan ke pelanggan yang lain, begitulah hari-hari sibuk yang Seokjin jalani terus berputar.

 

___

 

Dentingan bel yang berasal dari menara kota menandakan bahwa sebentar lagi tengah malam akan tiba. Sunyi di dalam toko bukanlah hal baru bagi Seokjin. Setelah sepanjang hari membuat banyak kue, di malam hari ia memeriksa keuangan harian dan memastikan segala hal dalam keadaan yang baik. Baru setelah itu Seokjin akan pulang menyusuri kota yang hening untuk berjumpa dengan tempat tidur kesayangannya.

Setelah mengunci pintu toko dengan cermat, Seokjin menyusuri jalanan kota yang mulai tenggelam sunyi. Ada banyak bangunan tinggi yang lampu-lampunya telah padam, namun sebagian masih ada yang menyala. Ada beberapa laki-laki mabuk dan berjalan sempoyongan dengan tangan menggenggam botol kaca, dan Seokjin melewatinya dengan cepat.

Rumah kontrakan Seokjin tak terletak jauh dari tokonya, sehingga memungkinkan Seokjin untuk berjalan kaki hanya beberapa menit untuk tiba. Ia menyusuri kesunyian kota di malam hari dan mempercepat langkah kala bangunan kontrakannya mulai terlihat.

Memasuki pintu utama gedung, Seokjin menaiki anak tangga dan melewati beberapa pintu rumah kontrakan lainnya sebelum tiba di depan miliknya. Ia merogoh saku untuk mengambil anak kunci. Setelah membuka pintu dan mendorongnya sedikit, sepasang sepatu yang ia kenal terlihat di lantai.

Seokjin langsung tersenyum cerah. Ia masuk dengan cepat, mengunci pintu dan melangkah pelan untuk tidak membuat suara. Tiba di ruang tengah yang berpadu dengan dapur mini di ujung ruangan Seokjin menemukan seseorang berbaring di sofa dengan kaki tertekuk, tertidur dengan kepala berbantalkan lengannya yang terlipat. Seokjin melirik meja makan kecil dan menemukan makanan yang telah dingin di sana.

Seokjin berjalan mendekati Namjoon—kekasihnya—yang berbaring di sofa. Ia mengulurkan tangan, namun sebelum ujung jari itu menyentuh pipi Namjoon, laki-laki itu membuka matanya perlahan.

“Seokjin, kau sudah pulang?”

Suara serak yang kentara, dan wajah kantuk yang lucu. Seokjin tersenyum semakin lebar dan tak ragu menyentuh pipi Namjoon dengan lembut. “Kenapa tidur di sofa? Nanti badanmu bisa sakit.”

Namjoon mendudukkan dirinya perlahan, masih dengan raut kantuk dan mata sayu yang terlihat. Ia melirik ke arah meja makan dan bergumam pelan, “Aku meminta koki untuk masak makanan yang kau suka. Tapi sepertinya sudah dingin.”

Ini bukan hal baru bagi Seokjin untuk mendapati ada penyusup masuk ke dalam rumahnya. Penyusup itu selalu membawa makanan yang enak dan mahal, menunggunya pulang sembari membaca buku atau dokumen pekerjaan yang ia bawa, atau kadang tertidur seperti sekarang ini. Penyusup itu adalah kekasihnya.

Seokjin mengangguk mengerti, meletakkan tas kecil yang ia bawa di atas sofa dan mengulurkan tangannya pada Namjoon. Laki-laki berlesung itu meraih tangan Seokjin dan berdiri. Namun bukannya melangkah ke arah meja makan, Namjoon justru melingkarkan tangannya di pinggang Seokjin dan menyandarkan dahinya dengan nyaman di bahu Seokjin.

“Namjoon, aku belum mandi.”

Namjoon menggeleng kecil. “Tidak masalah. Kau wangi manis seperti kue.” Seokjin terkekeh mendengar pujian kecil yang selalu Namjoon lontarkan, dan merasakan hatinya seperti tercubit lembut tak peduli berapa ribu kali Namjoon telah mengatakannya. Ia selalu berdebar untuk Namjoon.

“Ayo kita makan dulu.” Namjoon menggeleng, malah mempererat pelukannya. “Gendong aku,” ujarnya dengan tubuh setengah bersandar di bahu Seokjin dan mata yang terpejam.

“Tubuhmu jauh lebih besar dariku, Namjoon. Bagaimana cara aku menggendongmu?”

Namjoon tertawa kecil, lalu menarik diri dari bahu Seokjin. Mereka melangkah beriringan menuju meja makan dan mengambil kursi yang berseberangan. Namjoon lebih dulu meraih mangkuk kosong di hadapan Seokjin dan menuangkan sup untuknya. Namjoon juga menuangkan segelas air hangat dan mendekatkan keranjang kecil berisi buah-buahan. Setelah semuanya selesai, barulah Namjoon menyiapkan makanannya sendiri.

“Terima kasih, Namjoon.” Namjoon menoleh sekilas, dengan alis terangkat lucu. 

“Padahal pekerjaanmu lebih sibuk dariku. Tapi kenapa kau selalu menyempatkan diri untuk datang setiap hari?” tanya Seokjin, menyambung ungkapan terima kasihnya dengan pertanyaan lain. Pertanyaan yang selalu Namjoon jawab dengan kalimat yang sama.

“Karena kau kekasihku.”

Seokjin mengulum bibirnya, lagi-lagi tersipu. Bahkan meski Namjoon mengatakan kalimat yang sama ribuan kali, maka Seokjin akan tersipu ribuan kali pula. Kasih sayang di antara mereka sesederhana itu, namun begitu hangat dan nyaman.

Mereka menyantap makanan sambil mengobrol ringan—meski sebenarnya itu tabu dilakukan pada jamuan formal, namun mereka kerap melakukannya saat sedang berdua. Seokjin membahas tentang pelanggan-pelanggan yang datang ke toko kuenya, sementara Namjoon membahas kucing liar yang masuk secara tak terduga ke dalam kantornya.

“Lalu kau apakan kucing itu?”

Masih dengan mulut yang penuh dengan makanan, Namjoon menyahut, “Sepertinya kucing kecil itu terpisah dengan induknya dan dia terlihat sangat kelaparan. Jadi aku memberi makan sampai dia diam kekenyangan.”

Seokjin tertawa kecil, membayangkan Namjoon yang kaku itu berjongkok memberi makan anak kucing liar.

“Karena kau memberinya makan, dia pasti akan datang lagi besok.”

Namjoon mengangguk, “Tidak masalah. Aku bisa memberikannya makan sebanyak yang ia mau.”

Mendengar jawaban Namjoon, Seokjin menyipitkan matanya dan menunjuk Namjoon dengan ujung garpunya. “Jadi sekarang kedudukanku sama seperti anak kucing itu? Lihat, kau memberikanku makan setiap hari.”

Namjoon berhenti mengunyah, lalu tertawa terbahak-bahak. “Benar sekali. Kau juga sering mencakar seperti kucing liar.”

Seokjin tidak terima, semakin mengangkat garpunya tinggi. “Kapan aku pernah mencakarmu?”

“Saat kita di ranjang. Kau lupa? Perlu aku perlihatkan bekas minggu lalu?”

Seokjin menutup bibir rapat-rapat, lalu wajahnya perlahan-lahan memerah karena serangan rasa malu yang luar biasa. Bagaimana mungkin Namjoon mengungkit kegiatan ranjang mereka saat sedang menyantap makanan di tengah malam yang sunyi?

“Kenapa diam?” Namjoon tersenyum usil, senang sekali membuat wajah Seokjin merona karena hal-hal kecil yang ia lakukan. Menggoda Seokjin adalah keahlian Namjoon, dan ia menyukai keahlian itu.

“Kenapa? Kau sedang berpikir untuk mencakarku di tempat yang lain?”

“Namjoon!” Seokjin meninggikan suaranya yang terjepit, merasa malu luar biasa karena Namjoon menggodanya secara terang-terangan. Wajahnya kian memerah hingga ke telinga, dan Namjoon masih melanjutkan ucapan usilnya yang menyentil.

“Aku juga tidak keberatan kalau kau mau menggigit.”

“Namjoon! Hentikan!”

 

___

 

Seokjin terbangun pagi esoknya saat matahari sudah tinggi. Ia meraba-raba ranjang di sebelahnya dan membuka mata saat tak menemukan Namjoon. Mendudukkan diri di atas ranjang, Seokjin menghidu udara dan menemukan aroma nikmat yang berasal dari dapur.

Mengikuti naluri perut yang berbunyi, Seokjin melangkah keluar dan duduk di meja makan dengan wajah yang masih mengantuk. Ia memandangi punggung Namjoon yang sedang memanaskan makanan tadi malam. Namjoon berbalik, menyapanya.

“Selamat pagi, kucing kecilku.” Seokjin memajukan bibir bawahnya, teringat percakapan konyol mereka tadi malam.

Hari ini hari minggu. Meski toko kue miliknya buka setiap hari, namun khusus di hari minggu Seokjin datang lebih terlambat dari pada biasanya dan hanya mengawasi toko sebentar saja. Sementara Namjoon, sudah menjadi rutinitasnya untuk menginap di rumah Seokjin setiap akhir pekan, dan mereka akan menghabiskan waktu bersama seharian.

“Apa kau punya susu segar?”

Seokjin mengangguk, bangkit dari kursi dan mengeluarkan dua botol susu segar dari lemari penyimpanan. Namjoon dengan keahliannya memanaskan makanan, dan Seokjin dengan keahliannya menyiapkan minuman susu campuran. Setelah semuanya tersaji di atas meja, mereka menyantap sarapan hingga tanpa sisa.

“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Seokjin.” Namjoon memulai percakapan pagi dengan raut wajah yang cukup serius. “Sebenarnya aku ingin mengatakannya tadi malam, tapi kau terlihat sangat lelah.”

Seokjin menipiskan bibir, menunggu kalimat selanjutnya yang akan keluar dari bibir Namjoon. Meski sedikit, Seokjin seperti bisa menebak ke arah mana pembicaraan ini akan bermuara. Sebab jarang sekali Namjoon memperlihat raut wajah seperti ini di depannya.

“Keluargaku… ingin bertemu denganmu, Seokjin.”

Seokjin menelan ludah dengan susah payah. Benar dugaannya. Topik ini akan selalu menjadi hal yang sensitif untuk mereka bahas secara terbuka. Ia langsung merasakan tegangan di belakang lehernya, dan gugup yang datang entah dari mana.

Namjoon menangkupkan tangannya yang besar dan hangat di atas tangan Seokjin yang terkepal, berusaha menenangkannya. Sorot mata Namjoon yang teduh membuat Seokjin perlahan-lahan kembali menjadi tenang. Meski demikian, ia tetap merasa takut.

Takut akan ditolak, lagi.

 

____

 

Nyaris dua tahun mereka menjalin hubungan, Seokjin tahu ada tembok besar yang menghalangi mereka dengan kokoh. Tembok itu bernama kedudukan. Seokjin terlahir dari sepasang suami istri yang biasa saja. Mereka pergi saat Seokjin menginjak usia dua puluh tahun, hanya meninggalkan Seokjin sebuah rumah hangat dan sepetak tanah yang cukup untuk Seokjin kelola sebagai kebun pribadinya.

Sementara itu, Namjoon terlahir dari sepasang suami istri dari keluarga bangsawan berkedudukan tinggi. Dia adalah anak sulung dari keluarga yang akan mewarisi gelar Marquess suatu saat nanti.

Tentu saja latar belakang mereka amat sangat bertolak belakang. Hubungan mereka mirip seperti novel-novel yang belakangan ini populer di kalangan remaja, tentang si rakyat jelata yang bermimpi untuk bisa menikahi pangeran.

Tidak hanya soal kedudukan, tembok lain yang tak kalah tinggi adalah tentang mereka. Hubungan antar pria tidaklah lazim, dan masih dipandang sebagai hal yang tabu. Dua orang pria tidak akan bisa mempunyai keturunan dari darah mereka, dan Namjoon jelas membutuhkan anak untuk mewarisi gelarnya kelak.

Selama dua tahun ini, bukannya Seokjin tidak pernah bertanya bagaimana tanggapan keluarga Namjoon. Namun dari keengganan Namjoon untuk membicarakan keluarganya, Seokjin sudah mengerti bahwa ia belum bisa hadir di antara mereka. Mungkin Namjoon sedang melindungi Seokjin dari hal-hal yang bisa membuat Seokjin sedih. Bagaimana pun juga, ada banyak hal-hal rumit yang menanti hubungan mereka di depan sana.

Kini sudah tiba waktunya untuk menghadapi hal-hal rumit itu.

 

____

 

Siapa yang tidak kenal keluarga marquess Kim? 

Bahkan orang yang tinggalnya paling tepi kota pun tahu keluarga yang sangat termasyhur itu. Keluarga mereka adalah salah satu pilar penting bagi kerajaan, dan hampir semua keluarga kerabat berkecimpungan di dalam dunia politik. Tidak terhitung sebanyak apa emas yang tersimpan di gudang bawah tanah mansion yang luas itu, dan ada berapa banyak lahan dan gedung-gedung yang mereka miliki.

Seokjin, adalah kekasih dari pria yang akan mewarisi itu semua.

Dulu awal berkenalan dengan Namjoon, ia memang berpikir Namjoon tidak terlihat seperti orang biasa. Namun ia tidak pernah menyangka bahwa Namjoon jauh di atas luar biasa. Meski demikian, Seokjin tak pernah merasa dirinya rendah di depan Namjoon, dan Namjoon tak pernah menganggap dirinya jauh lebih tinggi dari pada Seokjin.

Saat mereka sedang berdua, yang ada hanyalah si biasa Namjoon dan si biasa Seokjin. Tidak ada si pewaris marquess dan si pembuat kue. Mereka jujur apa adanya, saling terbuka dan menerima kekurangan satu sama lain. Pilar hubungan mereka sangat kuat, namun sangat rapuh jika berhadapan dengan kenyataan.

Butuh dua tahun, sampai Seokjin bisa melewati gerbang utama kediaman keluarga Marquess Kim. Rasanya seperti mimpi, ia takut terbangun namun juga takut untuk menghadapi apa yang menanti di depan sana.

Bahkan taman indah di sepanjang halaman yang luas itu tidak bisa menghentikan kegundahan hati Seokjin. Ia membayangkan skenario terburuk yang mungkin terjadi—dan itu semakin membuat telapak tangannya mendingin.

Namjoon meraih tangan Seokjin. Telapak tangan yang besar dan hangat itu menyalurkan rasa tenang pada Seokjin yang seolah ingin berbalik dan lari dari tempatnya berpijak. Selagi menunggu pelayan menyambut mereka, Namjoon berbisik di dekat daun telinga Seokjin.

“Meski ini rumah tempat aku dibesarkan, aku akan berpihak padamu, Seokjin.”

Biasanya, Namjoon akan melemparkan candaan tentang keluarganya yang tidak menakutkan, yang mungkin sedikit kaku namun tidak jahat. Biasanya, Namjoon akan mengalihkan pembicaraan tentang keluarganya dengan topik pembicaraan lain yang riang.

Namun kali ini, nada suara Namjoon yang serius dan tenang justru terdengar lebih menyeramkan. Itu artinya, Namjoon secara tidak langsung memprediksi Seokjin mungkin akan disudutkan dan ia berusaha menenangkannya dengan mengatakan bahwa ia akan berpihak pada Seokjin.

Apakah masih bisa untuk kembali?

Rasanya saat pintu utama mansion yang tinggi nan tebal itu terbuka, Seokjin benar-benar ingin melarikan diri.

 

___

 

Tak bisa dipungkiri, hawa tegang yang ada di meja panjang itu benar-benar terasa pekat. Bahkan untuk mengangkat kepalanya saja, Seokjin merasa sangat berat. Ia memang tidak berpikir akan disambut dengan ramah, tapi ternyata menjadi udara kosong yang tak dianggap benar-benar menyakitkan.

Ada sekitar sepuluh orang di meja makan panjang itu, termasuk Namjoon dan Seokjin. Seokjin tahu keluarga inti Namjoon terdiri dari empat orang yaitu ayah, ibu, Namjoon, dan adik laki-lakinya yang masih remaja. Sisanya adalah kerabat dekat yang membantu pekerjaan dan bisnis keluarga. Mereka adalah paman dan bibi Namjoon, beserta tiga orang anak mereka—satu laki-laki dan dua perempuan.

Di antara delapan orang itu, tidak ada yang terlihat menyambut Seojin dengan ramah. Jangankan mengajak bicara dengan nada basa basi, Tuan dan Nyonya Marquess Kim bahkan tak repot-repot untuk menyapa Seokjin. Mereka hanya melirik Seokjin sekali saat ia tiba di ruang makan bersama Namjoon, dan Namjoon-lah yang memperkenalkan Seokjin pada mereka. Setelahnya keberadaan Seokjin bahkan setara seperti piring kosong yang tak menarik.

Aku ingin pulang.

Seokjin mengepalkan tangannya di bawah meja, benar-benar merasa tak nyaman. Bahkan untuk menelan ludah pun terasa sulit. Keadaan dimana ia tidak diterima adalah perasaan paling buruk yang pernah ia alami. Bahkan lebih buruk dari pada saat ada pelanggan yang memakinya di depan orang lain karena merasa tak puas pada pelayanan toko.

Para pelayan datang tak lama kemudian, membawa troli berisi makanan dan memindahkan satu per satu piring dan mangkuk besar ke atas meja. Setelahnya, mereka membungkuk serempak dan keluar dari ruang makan dengan teratur—hanya tinggal beberapa pelayan yang berdiri kaku di dekat dinding.

Segera setelah Tuan dan Nyonya Marquess mengangkat pisau dan garpu mereka, barulah orang lain di meja makan itu ikut bergerak. Seokjin melirik ke samping, menemukan Namjoon tersenyum hangat padanya. Mata Namjoon seolah berkata, “tenang, ada aku di sampingmu.”

Baiklah, setidaknya keberadaan Namjoon masih menjadi hal terbaik yang ada di ruangan ini. 

Hingga beberapa saat yang hening kemudian, Tuan dan Nyonya Marquess Kim meletakkan alat makan mereka, diikuti oleh semua orang yang ada di meja makan. Meski masih ingin melanjutkan makan, sudah menjadi peraturan tata krama bahwa tidak ada alat makan yang boleh terangkat jika tuan rumah sudah meletakkannya. 

Pelayan masuk tak lama kemudian, membereskan piring-piring makanan yang masih tersisa banyak, dan menggantinya dengan makanan penutup yang manis. Bahkan meski hidangan itu beraroma nikmat dan terasa memanjakan lidah, hati Seokjin tak bisa berbohong. Ia kehilangan banyak sekali energi dan ingin pulang sesegera mungkin. 

“Aku tidak menyangka rakyat jelata tahu bagaimana harus bersikap di meja makan.” Gerakan tangan Seokjin terhenti saat suara sinis dari salah seorang sepupu Namjoon terdengar diiringi tawa merendahkan. 

Rasa panas menjalar di belakang leher Seokjin, dan ia merasakan lidahnya kelu untuk sesaat. Tatapannya terlihat sangat kebingungan saat ia mendongak dan menemukan keluarga kerabat tersenyum dengan bibir mencebik ke bawah.  Tuan dan Nyonya Marquess Kim saling melirik dengan sebelah sudut bibir terangkat, justru memperburuk suasana hati Seokjin yang semakin kacau. Satu-satunya orang yang terlihat tidak setuju adalah adik kandung Namjoon yang duduk di seberang Seokjin, terlihat bersimpati dengan Seokjin namun tak bisa menolong karena ia sendiri masih remaja untuk bisa ikut campur keributan yang dimulai oleh orang-orang dewasa.

Seokjin berusaha terlihat tegar dengan punggung yang masih tegak dan senyuman tipis yang belum luntur, meski matanya mulai memanas karena rasa sakit hati karena dipermalukan di hari pertama mereka berjumpa.

“Aku tidak menyangka keluarga kerabat penjilat juga bermulut besar di meja makan.”

Seokjin menoleh cepat ke arah Namjoon dengan mata membelalak. Berbeda dengan Seokjin yang terlihat panik karena serangan balasan Namjoon, laki-laki itu justru terlihat santai menyuap hidangan penutup seolah yang tadi itu bukankah tamparan yang sangat memalukan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa keluarga kerabat yang tinggal di kediaman Marquess senang sekali menjilat kesana kemari dan membanggakan status mereka seolah mereka-lah pewaris marquess selanjutnya. Mendatangkan Seokjin artinya mendatangkan sasaran empuk iri dan dengki mereka pada Namjoon yang selama ini terpendam. Di mata mereka, Seokjin adalah kegagalan terbesar Namjoon dan juga kelemahannya yang paling fatal.

Dengan Namjoon yang bersikeras tidak memiliki anak penerus meyakinkan mereka bahwa gelar selanjutnya akan lebih mudah didapat untuk anak laki-laki mereka yang sebenarnya tidak pintar apa-apa itu.

“Namjoon.”

Suara Tuan Marquess terdengar tenang, namun tersirat teguran pada Namjoon yang terang-terangan membalas ucapan sepupunya yang menjengkelkan.

“Kenapa? Ayah juga berpendapat sama seperti mereka?”

Seokjin menyentuh tangan Namjoon di bawah meja, memberikan tatapan mata bahwa ia baik-baik saja. Walau ia tentu saja merasa sakit hati karena dihina secara terang-terangan, Seokjin tetap tidak ingin melihat Namjoon melawan keluarganya. Seokjin tidak ingin menjadi hal yang membentangkan hubungan Namjoon dan keluarganya.

“Aku membawa Seokjin ke sini bukan untuk dikomentari oleh mulut jahat kalian. Aku membawa Seokjin untuk memperkenalkan calon suamiku.”

“NAMJOON!”

Kali ini suara Tuan Marquess terdengar keras dan membentak, nyaris membuat Seokjin terlompat ketakutan dari tempat ia duduk. Ujung jari Seokjin dirayapi rasa dingin, dan jantungnya berdentam hebat—ia ketakutan berada di tengah keadaan yang rumit seperti ini.

Namjoon meremas tangan Seokjin di bawah meja, lalu bangkit berdiri dengan tangan yang masih tertaut. Seokjin mendongak, menatap Namjoon dengan tatapan bingung.

“Tujuanku mendatangkan Seokjin sudah selesai. Beritanya sudah kusampaikan dengan mulutku sendiri dan aku tidak ingin mengulang untuk kedua kalinya. Ah, aku juga tidak bertanya apa kalian setuju atau tidak. Kami pulang.”

Setelah beberapa kalimat yang dilontarkan dengan tajam, Namjoon membawa Seokjin pergi dari ruangan yang menyesakkan itu, dan tidak membiarkan Seokjin tinggal lebih lama disana.

 

___

 

“Maafkan aku.”

Namjoon menoleh dengan rahang mengeras. “Kenapa kau yang meminta maaf, Seokjin?”

“Aku—” Namjoon memotong dengan cepat, meletakkan jari telunjuknya hingga bibir Seokjin kembali mengatup. “—aku tidak ingin mendengar maaf darimu karena kau tidak salah, Seokjin. Justru seharusnya aku yang meminta maaf karena telah memperlihatkan keluarga yang memalukan itu.”

Namjoon mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu mengembuskan napas dengan keras. “Itulah kenapa aku tidak ingin kau bertemu dengan mereka. Aku merasa malu.”

Seokjin menepuk-nepuk bahu Namjoon. Mereka menenangkan satu sama lain setibanya di rumah kontrakan Seokjin yang sempit.

“Selama dua tahun ini, aku telah bekerja dengan sangat keras agar ayah mengabulkan keinginanku untuk menikahimu. Tapi ia masih bersikukuh menentang dan aku tidak punya pilihan lain selain membangkang dengan caraku. Aku bekerja seratus kali lebih keras, membawa keluarga jauh melambung tinggi ke tempat yang belum pernah dicapai oleh keluarga kami, dan memperlihatkan pada Ayah bahwa ia membutuhkanku sebagai pewarisnya. Ia pasti tidak akan membiarkan keluarga kami hancur di tangan kerabat yang tidak becus itu.”

Seokjin terdiam, mendengarkan Namjoon dengan hati terasa pedih. Seokjin tahu betul Namjoon bekerja dengan sangat keras. Seringkali ia menemukan Namjoon dalam keadaan tertidur dengan kantung mata yang menghitam. Seokjin tahu, Namjoon membawa beban yang sangat besar di bahunya. Beban itu tidak bisa sembarang ia buang, tapi juga tak bisa ia telan mentah-mentah.

“Karena itu aku membuat perjanjian dengan ayah.”

Tatapan Namjoon menerawang, teringat pertemuannya dengan Marquess Kim beberapa waktu yang lalu. Hubungan mereka sebagai ayah dan anak memang tak terlalu bagus, dan Namjoon selalu menjaga jarak untuk tidak terlalu dekat dengan laki-laki angkuh yang tak bisa ia hormati sebagaimana layaknya anak laki-laki kepada ayahnya.

“Dia akan menyerahkan gelar kebanggaannya itu padaku dengan syarat,” Namjoon berhenti berbicara sesaat sebelum melanjutkan, terlihat pahit untuk mengungkapkan kalimat berikutnya “Dengan syarat, yang tadi itu adalah pertama dan terakhir kali dia melihatmu.”

“Hm… haruskah aku mengganti wajah sehingga dia tidak mengenaliku lagi dan aku bisa muncul kapan saja?”

Namjoon tertawa mendengar guyonan Seokjin di tengah-tengah pembicaraan yang cukup serius. Meski demikian, ia menghargai bagaimana Seokjin berusaha untuk mencairkan suasana.

“Tapi wajah ini terlalu tampan dan indah untuk dirusak,” gumam Seokjin kemudian. Ia memang terlihat sangat tertekan di ruang makan tadi, namun terlihat cukup santai sekarang ini. Namjoon mengembuskan napas lega.

“Permintaannya itu justru menguntungkan kita, bukan begitu? Kau tidak harus tinggal di mansion yang dingin itu, dan tidak perlu bertemu dengan sepupuku yang menyebalkan. Tidak terikat oleh seribu satu peraturan, dan kita bisa bahagia di rumah kecil kita.”

Seokjin memicingkan mata, “ini rumahku, Lord Namjoon. Aku membayar tagihannya setiap bulan dari tetes keringatku membuat kue setiap hari.”

Namjoon meraih tangan Seokjin untuk ia genggam, menatap kekasihnya dengan tatapan memuja yang tak pernah pudar sejak mereka menjalin hubungan. “Kalau begitu gunakan keringatku mulai sekarang.”

Hening sesaat, hanya ada dua pasang mata yang saling menatap dalam diam.

“Seokjin, tolong menikahlah denganku.”

“Meski pernikahan kita tidak diakui oleh keluargaku, tidak diakui oleh kerajaan, bahkan meski orang-orang menatap kita aneh, tolong menikahlah denganku. Meski hanya di gereja kecil dan disaksikan oleh orang-orang terdekat kita, tolong berikan seumur hidupmu untukku, dan akan kuberikan seluruh hidupku untukmu.”

Tatapan mata yang tak lepas, tautan tangan yang hangat dan menenangkan, serta rasa membuncah di dalam dada Seokjin meledak dengan cepat. Ia bahagia. Ia telah bahagia bersama Namjoon selama dua tahun, dan ingin bahagia bersama laki-laki itu bertahun-tahun setelahnya.

Dalam senyuman dan air mata yang menetes, Seokjin menjawab permintaan Namjoon dengan satu ciuman lembut yang manis.

“Aku bersedia.”

 

____

 

Kehidupan percintaan mereka tidak mudah. Ada banyak sekali pertentangan dan pertanyaan sulit yang sengaja dijatuhkan untuk memojokkan mereka.

“Sayang sekali, Lord Namjoon tidak akan mewarisi gelar untuk anaknya.”

“Seharusnya dia mengambil satu atau dua istri sah untuk mendapatkan keturunan.”

“Hubungan mereka aneh. Bagaimana bisa dua orang laki-laki saling mencintai?”

Seokjin dan Namjoon berusaha menulikan telinga terhadap semua kalimat tajam yang dilontarkan dengan senyum. Mungkin orang-orang tidak akan berani seterbuka itu untuk mengkritik di depan Namjoon. Tapi karena itu adalah Seokjin, mereka sedikit berani untuk menunjukkan taring—tentu saja saat Namjoon tidak ada di sekitar Seokjin.

Sering kali, Seokjin mendapati pembeli marah akan ketidakpuasan toko kue yang ia jalani. Kebanyakan dari mereka mempunyai alasan yang tidak jelas dan abstrak, sehingga Seokjin sering kali memahami bahwa mereka bukan tidak puas pada kue-kue yang Seokjin buat, melainkan rasa tidak suka pada diri Seokjin itu sendiri. 

Seokjin mulai terbiasa menghadapi satu dua orang pelanggan yang tidak sopan itu, dan lama kelamaan mereka juga tidak terlihat lagi di sekitaran toko Seokjin—yang tanpa Seokjin ketahui, Namjoon mengenyahkan mereka semua ke ujung bumi.

Jalanan terjal dan berbatu tajam itu mulai terkikis, perlahan mereka menemukan lapangan rumput hijau yang memanjakan mata. Mungkin tidak mudah di awal, tapi mereka berdua cukup sabar untuk menanti saat dimana orang-orang akan membiarkan mereka sendiri. Berdua, saling mencintai.

 

____

 

“Sebenarnya ide untuk memintamu menikahi satu atau dua orang perempuan pernah terlintas di kepalaku.” Namjoon menoleh dari koran yang ia baca, menatap tak percaya pada Seokjin. “Kau apa?”

Namjoon meletakkan kembali koran yang menampilkan berita panas, tapi tak sepanas kalimat yang baru saja Seokjin ucapkan. Terburu-buru agar laki-laki yang telah menikahinya itu tak salah paham, Seokjin mencium pelipis Namjoon sekilas sebelum ia mengambil tempat di seberang Namjoon, menuangkan teh beraroma nikmat ke dalam dua cangkir cantik.

“Tapi itu hanya ide konyol, tenang saja. Tentu saja aku tidak rela melihatmu bersama wanita lain.”

“Dan kau pikir aku mau?”

Seokjin tersenyum malu di bawah tatapan tajam Namjoon. Bukan Seokjin terlalu percaya diri kalau Namjoon tidak akan berpaling, tapi nyatanya demikian. Namjoon benar-benar memuja Seokjin sedemikian rupa sehingga kadang ada waktu dimana Seokjin berpikir “apakah aku pantas?”

Namjoon menggeram, meraih gagang cangkir teh untuk ia bawa ke depan bibir. “Jangan pernah berpikir bahwa aku menginginkan anak dari wanita lain.” Kemudian ia menyesap teh beraroma bunga mawar itu dalam diam, cukup untuk menurunkan rasa kesal yang sempat naik beberapa saat.

Meja kaca berbentuk bundar itu berukuran tidak terlalu besar sehingga Seokjin bisa meraih tangan Namjoon untuk ia genggam lembut. “Maaf, terkadang aku terpengaruh ucapan orang-orang.”

“Jangan dengarkan mereka, Seokjin. Atau kau mau aku menyingkirkan mereka semua?”

Seokjin membelalak, menggeleng dengan terburu-buru. “Sudah cukup semua pelanggan menyebalkan kau singkirkan, Namjoon.”

Namjoon mengangkat sebelah alisnya tinggi, “oh, kau tahu itu?”

“Tidak. Aku hanya menebak. Kau sendiri yang memperjelasnya, Lord.” Seokjin menyipitkan mata, sudah lama sekali curiga terhadap Namjoon dan akhirnya terbukti saat ini.

Menyadari bahwa ia masuk dalam perangkap Seokjin dengan mudah, Namjoon tertawa kecil. Padahal ia berencana untuk mengusir semua orang yang mengganggu Seokjin jauh-jauh tapi ternyata suaminya itu cukup peka.

“Aku hanya menawarkan kehidupan yang lebih baik untuk mereka dan mereka menerimanya dengan suka cita.”

Seokjin tebak, Namjoon—melalui orang lain—pasti menawarkan banyak pundi-pundi emas dengan syarat mereka angkat kaki dari kota ini. Cara yang cukup klasik namun selalu berhasil—karena manusia selalu silau dengan harta.

Satu kali seminggu, di penghujung sore berlangit indah mereka akan meluangkan waktu untuk menikmati teh bersama, mengobrolkan banyak hal. Kadang membicarakan pekerjaan, bertukar pendapat dan pikiran, kadang bercanda dan bergurau, atau hanya bertukar tatapan panas di bawah selimut tebal tanpa kata yang terucap—hanya desah samar yang terdengar halus.

Ada banyak hal yang menanti di depan mereka. Entah itu padang rumput hijau yang menyejukkan, atau jalan baru berkerikil tajam. Apapun itu, selama mereka percaya satu sama lain dan menggenggam tangan, mereka akan melewati semuanya bersama-sama.

Lingkar emas di jari mereka menjadi saksinya.

 

(End)

 

 

fanart by @sedboiulung on twitter. DO NOT REPOST.

.

Download fanart HD : gdrive.

.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Mansion's Flower
47
0
Namjoon punya segala hal yang dibutuhkan untuk menjadi seorang Kaisar, namun sayangnya dia berada di urutan ke tiga dari suksesi kerajaan dan tidak menaruh minat untuk duduk di atas takhta. Kepindahannya ke bagian Utara kerajaan juga memperjelas bahwa ia tidak berminat di dalam perebutan kekuasaan. Keputusan Namjoon untuk hengkang dari ibu kota membuat keluarga-keluarga bangsawan berpengaruh yang mendukungnya untuk naik takhta kini mundur teratur.
Komentar dinonaktifkan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan