
29. Full Moon: The Moon is Beautiful
30. Waning Gibbous: Secret Untold
31. Waning Gibbous: Threat
32. Last Quarter: Light in the Dark
29. Full Moon: The Moon is Beautiful
"Saya mencintai kamu."
"Hah?" Jelita menoleh, saling berhadapan dengan Adrian untuk memastikan apa yang ia dengar bukan hanya mimpi. "Come again?"
"Saya bilang, saya mencintai kamu, Sayang."
Tidak ada grand gesture, tiga kalimat itu diucapkan dengan begitu ringan, seolah sangat mudah bagi Adrian untuk mengakui hal itu.
Mulut Jelita terbuka lebar, matanya berkedip berkali-kali. Dari banyak momen yang sering Jelita bayangkan untuk Adrian mengungkapkan perasaan, yang satu ini tidak pernah terbesit. They were about to rest in no time, and this man has the audacity to rob her from sleep.
"Kamu kaget sekali seperti nggak pernah menyangka saya bisa mengatakan itu," Adrian berucap seraya mengelus pipi Jelita yang lagi-lagi memerah. "Maaf sudah membuat kamu menunggu sangat lama. Sekarang saya menyerahkan diri kepada kamu seluruhnya."
"Katakan lagi, Mas," pinta Jelita sembari membenarkan posisinya hingga dirinya tenggelam dalam rengkuhan suaminya.
"Saya mencintai kamu, Jelita."
Adrian terus mengucapkan kalimat itu tanpa henti hingga Jelita merasa dadanya terasa penuh oleh gelombang bahagia. Siapa yang menyangka perasaan anak kecil yang dahulu dianggap remeh banyak orang kini bersambut dengan tangan terbuka.
"More?"
Jelita mendongak, mendorong Adrian untuk menundukkan kepala dan menciumnya tepat dibibir, hanya sebentar lalu terpisah kembali dengan jarak yang begitu dekat.
"I love you, Princess."
Tatapan hangan dan lembut yang Adrian berikan membuat Jelita kembali bangkit dari posisinya lalu tanpa berkata sama sekali, ialah yang mulai menyerang Adrian. Hilang sudah kontrol yang begitu dijaga dengan sangat, Jelita terlena begitu pun Adrian.
Dalam gelembung kebahagian mereka, keduanya memadu kasih. Bibir bertaut bibir, mencecap, merekam rasa masing-masing. Mereka seperti manusia yang telah lama kehausan yang begitu menemukan oase langsung kehilangan akal sehat, yang mereka tahu harus terus menegak dan menegak hingga kepuasan tercapai.
Ketika keduanya mengurai ciuman, ada untaian saliva yang seolah menjadi pengikat. Dada Jelita naik turun, wajahnya terlalu memerah seperti terkena sunburn. Ia menyeka bibirnya seraya menutup mata, mencoba mengembalikan lagi akal sehatnya yang melayang sekitar lima menit.
"Kita harus berhenti sekarang 'kan, Mas?"
Adrian sama sekali tak bersuara, ia terlalu sibuk mengagumi sang istri yang sekarang sialnya terlihat sangat...sangat menggairahkan. Tali gaun tidur Jelita terjatuh dari bahunya, mengekspos bagian atas bra berwarna merah muda yang terlihat meminta untuk ia lepaskan. Pandangannya kemudian turun, menyadari kedua tangannya yang beristirahat dengan senang di bokong istrinya.
"We should stop, right?"
Ketika mata bulat Jelita bertubrukan dengannya, Adrian tahu tidak ada yang bisa ia lakukan untuk memadamkan api yang sedang mengelilingi mereka.
He wants her– wants her to be his, only his. Screw that damn trauma.
Pria itu menarik bibir atas membentuk senyum menenangkan kepada sang Jelita, sebelum mendorong bokong sang istri sehingga semakin dekat dengannya lalu bibirnya berlabuh pada kulit bagian dada yang terekspos hingga Jelita menjerit kaget.
"Mas!"
Adrian mengangkat kepala, lalu berkata. "We will be okay."
Jelita meragu, ingin menarik diri sejauh-jauhnya dari sang suami, namun kuasa akan tubuhnya hilang tanpa sisa. Adrian memujanya seperti yang pernah Jelita impikan. Pria itu membuatnya terlena, lupa akan dunia.
"Touch me, Sayang," bisik Adrian tepat di samping telinga Jelita hingga wanita itu merinding.
"Mas," lirih Jelita. Wanita itu membiarkan Adrian menyentuhnya lebih dari yang seharusnya mereka lakukan, tetapi ia tidak memiliki keberanian yang sama untuk melakukan hal itu kepada Adrian.
Adrian tak membiarkan Jelita berkata lagi sebab detik berikutnya ia melepaskan pakaian atasnya, lalu membawa tangan istrinya untuk menyentuh dada telanjang.
"Touch me."
Dua kata yang disertai kilatan membara pada netra Adrian membuat wanita itu menelan ludah, lalu ia mengumpulkan semua keberaniannya untuk menyentuh tubuh suaminya. Berusaha untuk tidak berpikir macam-macam.
"We will be okay, I promise."
Ketika rasa percaya diri itu akhirnya hadir, keduanya sama-sama tenggelam dalam lautan gairah. Keduanya seolah memiliki misi untuk menjelajahi tubuh masing-masing, memberi jejak-jejak kemerahan pada setiap jengkal yang tersentuh.
Jelita menggigil, tubuhnya hanya dibaluti oleh pakaian dalam yang sama sekali tak berhasil menyembunyikan dirinya. Wanita itu menahan nafas kala Adrian merangkak untuk menindih tubuhnya, kedua tangan pria itu diletakkan di antara kepalanya sebelum akhirnya bibir mereka kembali bertemu dalam ciuman yang panjang.
Semuanya terasa seperti mimpi, terlalu indah dan terlalu menyenangkan sampai akhirnya menjadi mimpi yang buruk. Tubuh Adrian mendadak kaku di atasnya, Jelita pun dapat merasakan embusan napas Adrian yang menyentuh kulit lehernya keluar dengan ritme terlalu cepat.
Keringat dingin membanjiri punggung polos Adrian bersamaan dengan rasa mual yang menggelitik perutnya. Ia menoleh pada sang istri, berharap menemukan ketenangan di sana namun yang ia temukan adalah wajah Vianka yang tersenyum dengan penuh kemenangan.
Vianka kemudian berdiri, meninggalkannya hanya untuk berpindah kepada Ervano yang entah mengapa sudah berada di kamar tidurnya. Kamar yang ia rancang untuk dirinya bersama Jelita.
Kedua manusia itu membiarkannya menjadi penonton bodoh lagi, dan Adrian bagaikan kerbau yang dicucuk hidungnya tetap membeku untuk melihat mereka bercinta dalam berbagai posisi yang menjijikkan.
Gelembung bahagia Adrian hilang, kini ia diselubungi rasa jijik dan malu yang luar biasa.
"Fuck, Vianka!" Adrian mengeram, sebelum akhirnya bangkit dan memakai pakaiannya lalu berlari ke dalam kamar mandi, meninggalkan Jelita yang membeku.
Untuk beberapa saat Jelita tidak tahu harus bagaimana. Wanita itu terlalu syok terlebih mendengar nama mantan kekasih sang suami, namun ketika suara Adrian yang terdengar kesulitan membuatnya tersadar.
Jelita memakai kembali pakaiannya lalu mengikuti Adrian ke kamar mandi. Wanita itu tidak langsung masuk, ia tertegun di depan pintu, memandangi suaminya yang menangis tanpa suara seraya memaksakan dirinya untuk muntah.
Lagi-lagi hati Jelita retak.
Wanita itu melangkah masuk, duduk bersimpuh di samping Adrian. Seolah menyadari kehadirannya, Adrian menoleh. Tatapan suaminya berubah drastis. Rasa percaya diri tak bersisa, hanya ada kebencian di sana yang Jelita tahu pasti ditujukan untuk diri sendiri.
Jelita mengambil tisu, membasuh wajah suaminya dengan pelan lalu berkata.
"Nggak apa-apa, Mas. We will be okay."
They won't.
Adrian menundukkan kepala, terlalu malu untuk memandang istrinya sendiri. Ia terlalu bodoh karena percaya bahwa dirinya sudah baik-baik saja. Ia pikir dengan Jelita semuanya akan lebih baik, namun ia tetap rusak.
Tubuh Adrian dipeluk dan punggungnya diusap dengan sayang, namun rasa bencinya terhadap diri sendiri tak bisa hilang. It's killing him that he could never be the same anymore.
"I will never be normal, won't I, Jelita?"
"Whatever thoughts that cross your mind, don't entertain them. Kamu akan baik-baik aja, Mas."
Adrian mendorong tubuh Jelita menjauh, membingkai wajah sang istri di antara kedua tangannya. Kesedihan yang terpancar dari mata Jelita membuat Adrian mengutuk diri sendiri. Sepertinya sejak menikah dengannya, Jelita lebih sering menderita dibandingkan bahagia.
"Kamu harusnya nggak pernah mencintai pria seperti saya, Jelita. Bersama saya membuat kamu sering menangis."
"Jangan berbicara sembarangan, mencintai Mas Ian sudah membuat aku sangat bahagia. I'd never fall for another man in this life, Mas. Kamu nggak akan bisa mendorong aku menjauh, jadi jangan coba-coba berpikir untuk meninggalkan aku. I told you, I'll be with you."
Kalimat Jelita memang mampu menutupi sedikit lubang yang menganga di dalam hati Adrian, namun pria itu tidak bisa mengabaikan fakta tentang dirinya yang masih jauh dari kata sehat.
Berhari-hari berlalu dan Adrian tetap dalam suasana hati yang tidak baik meski sang istri sudah melakukan berbagai macam upaya untuk membuatnya kembali berpikir positif.
Adrian sudah menerima kenyataan bahwa seberapa keras ia ingin melupakan kenangan buruk itu, ia tidak akan berhasil. Bayangan itu tersimpan dengan baik dalam pikirannya, tak bisa dihapus sama sekali.
"Mas, sini," Jelita memanggil begitu menyadari kehadiran sang suami.
Adrian menurut, pria itu bergabung dengan Jelita di sofa. Ia meletakkan kepalanya pada paha sang istri lalu memandang layar televisi mereka yang menampilkan seorang food vlogger kesukaan sang istri.
"Kelihatan enak 'kan?" Komentar Jelita begitu si food vlogger menyantap pie tiramisu yang katanya sangat terkenal di Rome. "Kayaknya aku mau buat sendiri. Nanti kamu coba, ya?"
"Hmm."
Jelita terus mencoba membuka percakapan, namun sang suami tidak terlihat akan menanggapinya dengan sepenuh hati. Ia mendesah, menyerah untuk mencoba lagi. Ya, mungkin Adrian butuh sedikit waktu.
Mereka berakhir tak berbicara sepanjang menyaksikan vidio makanan demi makanan yang disantap si food vlogger.
"Jelita.."
"Iya, Mas?" Jelita membalas dengan semangat.
"Someone has been calling me, can you answer that for me?"
"Oh, iya."
Jelita mengambil ponsel pribadi Adrian yang sempat disimpan suaminya di atas meja. Ia memandang lama pada nomor tanpa nama yang muncul pada layar. Entah mengapa ia bisa menebak siapa dibalik nomor itu.
"Guess where I am, Adrian?" suara penuh antusias di seberang sana membuat Jelita ingin masuk ke dalam ponsel dan mencekik si pemilik suara. Berani-beraninya wanita itu berbahagia sementara Adriannya harus menderita seperti ini.
"Halo," balas Jelita ketus.
"Di mana Adrian? Aku perlu bicara dengan Ian."
Tanpa sadar Jelita meremas lengan atas Adrian hingga sang suami berbalik untuk menatapnya.
"Kenapa, Sayang?"
"Mas Ian sibuk."
"Siapa?" Adrian bertanya dengan nada pelan. Ia menarik tangan Jelita turun untuk melihat nama pemanggil. Keningnya berkerut, sempat bingung karena hanya angka yang tergera di sana, namun detik berikutnya, tanpa berpikir panjang lagi Adrian menekan ikon speaker.
"I know you are with him, but whatever. Tolong sampaikan kepada Adrian kalau saya sedang dalam perjalanan untuk menemui Ervano."
Wajah Adrian berubah pias, lalu dalam hitungan detik ia sudah bangkit dari posisinya dan merampas ponsel dari genggaman Jelita.
"Jangan bermain-main dengan saya, Vianka! Go back to where you belong before I truly lost my humanity."
Suara kekahan pelan Vianka terdengar, membuat perasaan Jelita sangat tidak nyaman. Ia melirik Adrian yang terlihat sangat khawatir bahkan sampai mencengkram ponselnya dengan begitu kuat.
"Jangan khawatir, Yan. Apapun yang kamu pikirkan nggak akan terjadi, kedatanganku kali ini murni atas permintaan Ervano, katanya dia merindukan aku, hahaha. Since he went through so much trouble to find me, I guess he deserves a little reward. Don't you think so, Adrian?"
Sambungan telepon itu terputus, meninggalkan Adrian dan Jelita dalam keheningan. Pria itu berbalik, memandangi Jelita yang berdiri kaku di tempatnya. Adrian menyugar rambut, merasa pusing sebab tahu ada masalah lain yang menunggunya.
30. Waning Gibbous: Secret Untold
"Apa yang sedang anda rencanakan?"
Ervano tidak melirik Adrian sama sekali. Pria paruh baya itu membalikkan koran, membaca beberapa berita lain tanpa peduli dengan sosok Adrian. Ervano senang jika Adrian kehilangan kendali seperti ini sebab Adrian menjadi lebih mirip dengannya.
"Sepertinya anda memang terlalu yakin bisa terus hidup dengan damai meski sudah mengusik hidup saya. Tapi harus anda ketahui, tindakan anda kali ini mengganggu Mami dan tentu saja Jelita. Saya tidak akan membiarkan anda memegang kuasa di sini."
Ervano melipat koran dengan rapi, meletakkannya di samping secangkir kopi yang masih mengeluarkan uap panas. Pria itu menoleh, tersenyum miring mendapati ekspresi penuh emosi yang tertahan pada wajah sang anak.
"Papa nggak merencanakan apa-apa. Papa hanya benar-benar merindukan Vianka," cetus Ervano enteng, lalu mengedikkan bahu. "Who would've thought Vianka would say she misses me? Crazy, isn't it? Apparently, your ex still likes me so much that she ignores your warning to stay away."
Adrian bahkan tidak memiliki keinginan untuk meluapkan kemarahan dengan bermain fisik. Ia sudah sangat muak dengan Ervano. Bertahun-tahun ia menahan diri, namun Ervano tetap tidak menampakkan itikad baik untuk berubah. Sosok yang menyebut diri sebagai papa itu terus berulah dan mendorong Adrian untuk memupuk dan menumbuhkan benci hingga mengakar.
Tanpa berkata Adrian mengeluarkan ponsel lalu menekan ikon panggil pada kontak Om Satria. Panggilan tersebut terhubung dalam waktu kurang dari sepuluh detik. Senyum terbit pada wajah Adrian, pasti di seberang sana Satria tengah bersorak karena akhirnya dirinya menelpon yang berarti keinginan ayah Satya akan terwujud dalam waktu dekat.
"Om Satria."
"Halo, Yan. Ada kabar baik?"
Tanpa sadar Adrian berdecak, lalu ia membalas. "Tawaran Om sebelumnya masih berlaku 'kan?"
"Tentu saja. Om sudah menunggu sejak Eyang meninggal. Tolong biarkan Om pensiun dengan tenang. Om juga mau bekerja sebagai pengasuh Sangkala, Yan."
Adrian benar-benar hampir tertawa jika tidak mengingat bahwa ada Ervano di ruangan yang sama.
Satria mungkin memegang posisi tertinggi di Kalingga Group karena kepercayaan Dianne Kalingga, namun Adrian tahu ketika jabatan itu diserahkan sesungguhnya Satria sedikit enggan. Ayah Satya itu sudah lansia dan merasa perlu beristirahat saja, terlebih setelah hubungan Satya dan keluarganya sedikit membaik karena kehadiran Sangkala.
Pada awalnya tentu Satria menawarkan posisinya kepada Satya, namun karena konflik tentu saja keinginan Satria tidak terwujud, sehingga pilihan omnya itu tersisa dirinya. Sementara Ganesh? Well, sepupunya yang satu itu ingin hidup santai jadi namanya dicoret tanpa masuk pertimbangan sama sekali.
Sejatinya Adrian pun tidak terlalu berambisi untuk mendapatkan label pemegang kekuasaan tertinggi di Kalingga, namun jika menyandang status itu dapat membuat Ervano menderita maka ia akan dengan senang hati melakukannya.
"Saya bisa menerimanya selama Om berjanji untuk tidak mencampuri kehidupan Ervano kedepannya." Untuk beberapa saat Satria terdiam, hingga Adrian menambahkan. "I want to leave Ervano penniless for the rest of life. I hope Om Satria will be kind enough to let me proceed with my plan."
"He is your father, Adrian."
"Hanya dalam nama. He has stopped being my father for so long that I forget I have one to begin with. Selama Om Satria masih mau membantu Ervano, maka saya tidak akan mengambil alih posisi Om."
Helaan napas berat Satria terdengar, meski begitu Adrian tahu betul bahwa permintaannya disetujui.
"Hmm. I will turn a blind eye to your family dispute. Lakukan sesukamu, Yan."
Mata Ervano melotot ketika mendengar kalimat saudaranya. Pria paruh baya itu ingin merampas ponsel Adrian, namun anaknya sudah terlebih dahulu memutuskan sambungan telepon.
"Sudah dengar? Anda akan kehilangan segalanya, Ervano." Adrian mendekat. Pria itu berdiri menjulang di hadapan sang papa, menundukkan pandangan untuk Ervano–memberikan tatapan meremehkan yang sama seperti Ervano selalu berikan untuknya. "Sebenarnya saya lebih suka untuk membunuh anda, tetapi kematian adalah hukuman yang terlalu mudah. Sementara membuat anda menjadi kehilangan kekayaan, dan kekuasaan akan membuat anda gila. I'd love to watch you trying to get back, Ervano, cause believe me, this time I'll leave no way out for you."
"Jangan bermain-main, Adrian! Mami kamu akan sangat sedih kalau tahu anak kesayangannya punya rencana untuk menghancurkan Papanya sendiri," Ervano berkata dengan nada suara yang dipaksa tenang, sebab tahu jika meledak pun tidak akan ada efeknya dengan Adrian.
"I've warned you, did I not? Jangan mengacaukan hidup saya lagi. Satu kali sudah cukup, Ervano. Jika ada yang harus hancur di antara kita berdua, andaa lah orangnya. A piece of trash like you..." Adrian menggeleng-gelengkan kepala, muak sekali harus berbicara dengan Ervano. "should have rotted long ago."
"Mami kamu–"
"Stop using my mother as your fucking shield!" Bentak Adrian. Ia mencengkram kerah Ervano kuat hingga tubuh pria paruh baya itu sedikit terangkat ke atas. "My mother will leave your pathetic ass the moment she learns the truth. Dan perlu anda tahu, saya sendiri yang akan memberitahunya. Anda akan berakhir sendirian dan tanpa apa-apa, Ervano. And when that happens, I'll laugh at your face."
***
"Iya, gimana, Mas?" Jelita mengangkat tangan, memberi isyarat kepada Hanggini untuk tidak memanggil nama pasien berikutnya. "Nggak usah khawatir, aku nggak apa-apa, kok. Iya, tadi sudah sarapan sebelum berangkat. Kamu bagaimana? Nggak babak belur lagi 'kan?"
Jelita memainkan pena–memutar-mutarkannya di antara jari. Pikiran wanita itu terlempar pada waktu Vianka memberikan kabar buruk. Ia ingat sekali betapa pucatnya wajah sang suami sehingga Jelita yakin bahwa Adrian akan pingsan, namun ketika kesadaran Adrian kembali, suaminya itu justru cepat-cepat meminta maaf dan berjanji untuk membereskan masalah Vianka. Kata Adrian, Vianka tidak akan mengganggu keluarga mereka lagi.
"Kalau kamu merasa kurang sehat langsung pulang ya, Mas. I know you claimed that her phone calls had no effect whatsoever, but I can see you are struggling. Aku nggak apa-apa, serius. Kalau dia memang mau main-main sama aku, biarin aja. I can fight well."
Suara tawa rencah Adrian menenangkan Jelita. Ya, begini sudah cukup. Mengetahui Adrian tidak mengalami serangan lagi sudah sangat membuat wanita itu lega. Dalam diam Jelita selalu berdoa agar kehadiran Vianka tidak akan memantik trauma Adrian yang susah payah untuk disembuhkan.
"Hari ini aku temani ketemu dokter Alfred. Kamu bisa datang sekitar jam setengah empat. Iya, Mas. Hari ini lagi ada jadwal check-up dari PT. Sumber Bakti, jadi kerjaanku agak banyak." Jelita melirik jam dindin, tak terasa ia sudah berbicara dengan sang suami lebih dari lima menit. "Talk to you later, Mas. Hmm, love you too."
Kalimat cinta diutarakan dengan mudah, tak ada kecanggungan ataupun ragu seolah-olah mereka sudah terbiasa melakukan hal itu. Adrian pun tidak menahan diri sama sekali untuk membuat Jelita merasa dicintai–sang suami benar-benar memujanya tanpa menahan diri.
Ketika Jelita mengangkat pandangan untuk memberitahu Hanggini bahwa dirinya sudah bisa menerima pasien lagi, yang Jelita temukan adalah wajah tersipu Hanggini.
"Kenapa kamu malu-malu begitu, Nggi?"
Hanggini tertawa kecil, sebelum membalas dengan suara yang bersemangat. "Dokter Lita dan Pak Adrian manis sekali sampai bikin saya mau nyeret sembarang cowok ke KUA."
Lalu keduanya sama-sama terbahak untuk waktu yang cukup lama, namun setelah itu mereka kembali menjadi pekerja profesional. Melayani semua pasien yang datang tanpa istirahat sama sekali. Ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga sore, Jelita berekspektasi bahwa BioC sudah agak sepi terlebih semua pasien MCU sudah menyelesaikan pemeriksaan, namun suara-suara dari luar ruangannya membuktikan bahwa dirinya salah besar.
"Ramai banget, Nggi. Pasien rujukan 'kah?" Jelita melepaskan snelli, merapikan rambutnya seraya menunggu balasan Hanggini yang sempat mengintip untuk melihat area ruang tunggu.
"Ternyata ada mantan artis yang sempat hilang itu, Dok. Dia datang bawa anak makanya agak heboh." Hanggini menyentuh dagu, terlihat berpikir untuk sesaat. "Anaknya terlihat nggak asing, dok."
"Hah? Kalau memang itu artis yang sempat hilang harusnya 'sih kamu nggak pernah lihat anaknya juga, Nggi. Mungkin perasaan kamu saja."
"Ih, serius, dok. Coba dokter lihat sendiri mampung artisnya masih nunggu panggilan ke sampling."
Sesungguhnya Jelita sama sekali tidak penasaran, ia hanya ingin segera meninggalkan area BioC untuk bisa bertemu sang suami. Mengetahui sifat Adrian, suaminya itu akan datang lebih cepat dari waktu yang sudah Jelita sampaikan. Oleh karena itu, Jelita tidak ingin membuat Adrian menunggu. Tetapi ia berakhir harus menurut ketika Hanggini memaksanya untuk melihat pembuat keramaian di klinik mereka.
Jelita berekspektasi untuk tidak mengenal si artis, terlebih ia tidak begitu peduli dengan dunia hiburan tanah air, namun ia berhenti total ketika menangkap wajah yang sangat tidak asing.
Vianka Evania.
Wanita tinggi dengan rambut panjang yang menjuntai hingga pinggang itu masih terlihat sama seperti sebelumnya. Elegan dan tentunya cantik sekali. Di samping wanita itu ada seorang anak laki-laki yang terlihat berusia sembilan tahun.
Jelita dapat merasakan nafasnya yang berubah menjadi pendek-pendek terlebih ketika netra anak laki-laki itu bertemu dengannya. Sangat mirip–hampir seperti hasil jiplakan wajah Adrian.
Vianka yang sudah mengenal Jelita sejak masih menjadi kekasih Adrian tidak sungkan untuk menghampiri Jelita. Wanita itu mengulurkan tangan yang tidak disambut sama sekali hingga membuat dirinya pelan-pelan menurunkan kembali tangannya.
"Selamat atas pernikahan kamu, Lita," ucap Vianka dengan nada ramah. Senyum tidak runtuh dari wajahnya. Wanita itu menarik anaknya agar berdiri di hadapannya. "Kenalin, Henry–anakku. Kamu tahu, dia mirip sekali dengan ayahnya."
Suara Vianka terdengar sangat jauh darinya. Jelita tidak bisa berpikir dengan baik, dalam benaknya terlalu banyak benang kusut yang tak kunjung rapi. Wanita itu kembali memandang wajah Henry–menemukan jejak-jejak kesamaan dengan sang suami.
Jelita menelan saliva susah payah.
"Terima kasih atas ucapannya," balas Jelita dengan nada sangat kecil. Wanita itu ingin segera pergi. "Saya pamit dulu, ya."
Jelita bahkan tidak menunggu Vianka untuk membalas. Ia mengambil langkah yang besar untuk meninggalkan BioC. Ketika sudah berada di luar gedung, ia dengan cepat mengambil ponsel hendak menelpon sang suami untuk memberitahu tentang kedatangan Vianka namun ternyata Adrian benar-benar sudah datang. Suaminya itu melambaikan tangan kepadanya membuat Jelita otomatis membalas.
Jelita baru saja akan berlari, namun seseorang mendahuluinya. Tubuhnya tanpa sengaja disenggol hingga ia terjatuh, kemudian dari kejauhan Jelita dapat menangkap suara pekikan penuh semangat seorang anak kecil.
"Daddy!"
Jelita terdiam tanpa kata saat Henry tiba-tiba memeluk tubuh Adrian yang hendak berjalan ke arahnya.
31. Waning Gibbous: Threat
Jelita terus diam, pandangannya kosong. Benaknya terus dihantui oleh bayang-bayang wajah anak kecil bernama Henry itu. Tanpa sadar ia mengepal kedua tangan terlalu kuat hingga melukai telapak tangannya, namun ia tetap tidak merasakan apa-apa.
Sentuhan pelan pada pundaknya membawa kesadaran Jelita kembali. Ia menoleh, tersenyum lemah saat mengetahui sorot penuh kekhawatiran dalam netra sang suami. Pipinya dibelai pelan hingga mau tak mau Jelita juga menyentuh tangan kanan Adrian.
"Kamu pasti kaget sekali setelah bertemu Vianka dan juga anaknya."
"Hmm," Jelita menunduk, menghindari pandangan Adrian yang terus berusaha mencarinya seolah-olah ingin membaca seluruh pikirannya. "Henry...is her your..."
"Bukan," bantah Adrian bahkan sebelum Jelita menyelesaikan pertanyaannya.
Pria itu tahu apa yang akan ditanyakan sang istri, dan ia bahkan tidak kaget dengan respon yang Jelita berikan.
Jika semua orang mengetahui sejarah hubungannya dengan Vianka, tentu banyak yang akan berasumsi sembarang setelah melihat anak laki-laki yang diakui Vianka sebagai putranya, terlebih usia anak itu yang sangat sesuai dengan timeline hubungan mereka.
"Dia bukan anak saya." Adrian tersenyum ketika Jelita kembali mengangkat wajah, menampilkan ekspresi syok. "Memang mirip karena kami buah dari Ervano. I assure you, that kid isn't mine."
Jelita sudah mempersiapkan diri tentang identitas Henry yang kemungkinan anak atau saudara Adrian, namun ketika diberikan afirmasi pun, dirinya masih tidak bisa mencerna semuanya. Dalam sebuah opera sabun pun, konflik seperti ini sungguh keterlaluan, tapi sekarang Jelita menemukan kasus ini dalam kehidupannya.
"Kamu tahu sejak lama?"
"Hmm. Dia mencari saya begitu mengetahui tentang kehamilannya." Adrian menarik tubuh istrinya, menyandarkan kepala pada pundak Jelita seraya memainkan jari-jari wanita itu. "Awalnya dia mengklaim sedang mengandung anak saya, Jelita," Adrian berhenti, kemudian tertawa sumbang. "Sampai akhir dia dengan percaya diri mempermainkan saya. It is hard to believe I used to be in love with that woman."
"Kalau kamu tahu sejak awal, kenapa sampai sekarang pun kamu mau berhubungan dengan dia, Mas?"
"Pertama, saya nggak sejahat itu sampai mau meminta dia melakukan aborsi. Kedua, dia ingin meminta pertanggung jawaban kepada Ervano dan kalau saya mengabaikan dia begitu saja."
"Kamu bisa saja membuat dia berhenti berbuat onar, Mas. I think you have enough power to do that."
Jelita tentu tidak salah, tetapi ada pertimbangan lain yang membuat Adrian tidak menindaki kelakuan Vianka dengan lebih tegas. Ya, Franda.
Franda melakukan banyak usaha untuk mempertahankan pernikahannya dengan Ervano meski Ervano sendiri jelas tidak menganggap ikatan mereka penting. Selama ini Franda selalu mengatakan bahwa dirinya memiliki Ervano di dalam hatinya sehingga Adrian tidak akan pernah berani untuk merusak kehidupan sang ibu.
Adrian memilih membiarkan Franda tinggal sendiri dalam kegelapan tanpa mengetahui apa-apa. Setidaknya dengan begitu ia tidak perlu menyaksikan adegan yang sama seperti dirinya masih berusia belia. Adegan di mana sang ibu yang berdiri di hadapan tali yang tergantung, siap untuk mengakhiri hidup ketika pernikahannya diambang kehancuran.
"Kamu harus berbicara dengan Mami, Mas. Jangan sampai dia menemui Mami dan merebut kesempatan kamu untuk memberikan penjelasan."
Jelita menepuk punggung Adrian berulang-ulang seraya memikirkan masa depan keluarga kecilnya. Ia berharap badai bisa segera berlalu.
"Saya akan segera menyelesaikan semuanya. Kali ini semuanya akan benar-benar selesai tanpa sisa. I promise you that she'll never appear before your eyes again."
Jelita menyentuh kening Adrian yang mengkerut, mengelusnya beberapa kali agar sang suami menjadi lebih tenang.
"Semangat, ya, Mas. Kalau merasa berat, jangan lupa untuk berbagi. Aku selalu sama kamu, kok."
Rasa khawatir Adrian menguap tanpa sisa hanya dengan mendapatkan kalimat dukungan seperti itu. Jika tahu Jelita bisa memberikan ketenangan seperti ini, Adrian pasti sudah lama menjadikan wanita itu sebagai pasangan hidupnya.
"Thank you, Princess. Let's hope everything went smoothly so I could take you to our long-overdue honeymoon."
***
Duduk berhadapan dengan Vianka–sosok yang pernah mengisi harinya selama lima tahun, masih terasa sangat tidak nyaman untuk Adrian terlebih dengan riwayat akhir yang sangat tidak menyenangkan.
Jika pandangan Adrian menyiratkan rasa enggan, muak, dan juga benci maka hal itu tidak bisa dikatakan untuk Vianka. Wanita itu terlihat terlalu bersemangat terbukti dari senyum yang sejak tadi tidak luntur dari wajahnya. Hal itu membuat Adrian bertanya-tanya, apakah Vianka bahkan tidak pernah merasa bersalah? Atau jika memang tidak sama sekali, apakah Vianka tidak merasa malu untuk menemuinya?
Cause if it were him, he'd kill himself out of shame.
Vianka mengangkat cangkirnya, menghidu aroma tehnya dalam-dalam sebelum akhirnya mencicipi, lalu senyum kembali terbit dari bibir wanita itu entah karena apa, Adrian tidak begitu peduli.
"You still remember my taste."
Adrian mengernyit, kebingungan sendiri. Teh yang baru saja dinikmati Vianka jelas-jelas bukan hasil buatannya, bahkan Adrian tidak membuat permintaan khusus ketika menyebutkan pesanan mereka. Adrian sudah tidak mengingat apa-apa saja yang Vianka sukai, lagi pula ia tidak harus menyimpan hal yang tak penting dalam ingatannya.
Vianka terlalu percaya diri bahwa dirinya masih memiliki dampak yang signifikan kepada Adrian, tanpa tahu bahwa dalam pandangan Adrian, wanita itu hanyalah batu kerikil yang sangat ingin Adrian tendang sejauh-jauhnya.
"Cut the crap. We are not here to reminisce about the old days."
"Are we not, now?" Vianka menoleh ke kanan, melirik putranya yang terdiam seraya memandangi Adrian dengan tatapan ragu-ragu. "Dia takut karena tindakanmu tadi, Yan. Ingat, Henry masih kecil, kamu jangan kasar-kasar. Henry ini..."
"My father's bastard." Netra Adrian berpindah kepada Henry. Kebencian terpancar jelas pada kedua matanya. Setiap melihat kemiripan antara dirinya dan Henry, Adrian merasa murka. Ia ingin menyembunyikan Henry seolah-olah anak itu adalah momok yang paling memalukan.
Vianka melotot, namun tidak membantah. Ia menyentuh wajah putranya, mengusap air mata yang sudah mengalir dari pipi anaknya.
"Kamu main di sana dulu, ya." Tunjuk Vianka pada arena playground di luar cafe tempat mereka duduk. "Kalau sudah selesai akan Mommy jemput."
Henry mengangguk, dengan senang hati untuk meloloskan diri dari Adrian. Ia tidak sanggup jika harus terus berada di tempat yang sama dengan Adrian. Henry tidak bodoh, ia tahu bahwa dirinya dibenci dengan begitu dalam. Hanya saja ia bingung, mengapa pria yang selama ini anggap sebagai ayah justru tidak ingin mengakuinya. Lebih parah lagi, katanya ia adalah saudara dari pria yang seharusnya menjadi ayahnya.
Bagaimana caranya itu bisa terjadi? Henry tidak mengerti dan memilih untuk tetap tidak tahu. Ia tidak bisa mencerna permasalahan orang dewasa sama sekali.
"Sebenarnya apa tujuanmu untuk datang, Vianka? Bukankah saya sudah memberikan kamu semuanya? Kamu berjanji selama saya membiayai hidupmu dengan anak itu, maka kamu akan diam seperti orang mati. Tapi lihat sekarang? Kamu muncul tanpa tahu malu." Adrian membuang muka, muak melihat ekspresi terluka yang dibuat-buat oleh Vianka. "You asked for a ridiculous amount of money, and I never once refused. Given your situation, you should be grateful for everything."
"Bersyukur? Kamu gila, ya? Aku kehilangan kehidupan ku, Adrian!" jerit Vianka. "Kamu pikir aku senang hidup dalam persembunyian?! I used to be in the limelight. Everyone's attention was always on me. I had a lot of dreams, but you clipped my wings before I could reach them."
"Do not you dare to put the blame on me, Vianka. Kamu yang memutuskan untuk menghancurkan diri sendiri. The very moment you decide to play with my father..." Adrian tercekat, kembali membuang muka dari Vianka. Sungguh ia benci sekali harus membicarakan ini dengan Vianka. "Saya tidak tahu apa yang ada dipikiranmu saat itu, tetapi kamu mengambil keputusan bodoh dalam keadaan yang sadar."
"Coba kalau kamu dulu lebih perhatian, aku nggak akan pernah bermain di belakang. Ervano memberikan aku lebih banyak perhatian daripada kamu. He was a good lover–"
"Diam!" bentak Adrian, ia tidak ingin mendengarkan alasan-alasan bodoh Vianka.
"Saya tidak peduli dengan alasannya, pada akhirnya kamu memilih jalan buntu, Vianka. Kamu bisa saja memulai dengan lembaran baru, tetapi memilih mempertahankan kandunganmu. A stupid move. I was kind enough to let you live with my money; hence you should stop testing my patience. I am not a saint, Vianka. Jika ingin, saya bisa menghancurkan hidup anakmu."
"Istri kamu semakin cantik," kata Vianka seraya menyeringai. "Bukan hanya aku yang memiliki kelemahan Adrian."
"Bold of you to think there is a chance against me." Adrian menyandarkan punggung pada kursi besi seraya melipat kedua tangan di depan dada. "Dengarkan saya baik-baik, Vianka, pilihan kamu hanya dua; hidup tenang dengan anakmu atau kamu ingin saya membuat anak itu kehilangan kesempatan untuk menikmati dunia. Pikirkan langkah apa yang ingin kamu ambil, karena saya sudah tidak peduli lagi dengan ancaman kamu. You want to expose your affair, go ahead."
Vianka mengepal kedua tangan, menahan emosi. Ia ingin melakukan negosiasi, berharap Adrian akan mengikuti permintaannya untuk diberikan izin tetap tinggal di Indonesia, dan lebih baik lagi jika Adrian kembali membukakan dirinya jalan untuk masuk ke dunia hiburan.
"Bagaimana dengan Tante Franda? Kamu ngga takut dengan reaksi Tante?"
"That's none of your business. Choose one. It's either you stay the fuck away or rot along with my father. Adam akan menunggu jawaban kamu paling lambat besok malam. Kalau kamu masih tidak bisa membuat keputusan, maka jangan salahkan saya kalau beranggapan kamu lebih memilih hancur bersama Ervano."
32. Last Quarter: Light in the Dark
Adrian langsung memeluk tubuh Franda ketika sosok ibu muncul dari balik pintu, lalu mencium pipi sang ibu hingga wanita paruh baya itu mau tidak mau tersenyum bahagia.
Melihat raut wajah sang ibu, Adrian kembali dilanda resah. Ia tahu sudah seharusnya bercerita kepada Franda, tetapi ia sendiri tidak sanggup jika harus menjadi saksi hilangnya cahaya dari kedua mata sang ibu. Satu kali sudah cukup, ia tidak yakin bisa melalui kali kedua.
"Kenapa, Nak? Lagi banyak pikiran?" Franda membawa Adrian untuk duduk di ruang tamu.
Franda bersyukur karena Ervano disibukkan dengan masalah di kantor. Terakhir yang Franda dengar, ada wacana untuk menggulingkan suaminya dari kekuasaan di Hearthymeal. Wanita itu sudah tahu sejak lama, bahwa cepat atau lambat sang suami akan kehilangan jabatannya karena tidak bisa membawa keuntungan untuk perusahaan.
"Kalau kamu banyak masalah di kantor, harusnya istirahat di rumah. Kamu nggak perlu datang jauh-jauh buat ketemu Mami."
"Mam," panggil Adrian pelan seraya menggenggam kedua tangan Franda. "Adrian mau bicara penting, tapi Mami bisa janji untuk tetap kuat setelah mendengarkan Ian, ya?"
"Serius banget, Yan? Kamu jadi bikin Mami takut," canda Franda yang tidak dibalas sama sekali oleh Adrian. Wajah anaknya justru terlihat semakin kalut membuat Franda yakin bahwa apapun yang ingin Adrian sampaikan pastinya akan berdampak sangat besar untuk kehidupan mereka.
"Adrian rasa sudah saatnya Mami benar-benar berpisah dengan Ervano," ucap Adrian dengan nada meyakinkan.
"Kita sudah membicarakan hal ini berulang kali, Yan. Mami nggak bisa tanpa Papa kamu. Hampir separuh hidup Mami dihabiskan dan digunakan untuk bersama Papa kamu. Mami masih menya—"
"Mami hanya merasa tergantung saja. Ian yakin sejak perselingkuhan pertama Ervano, perasaan Mami sudah musnah."
"Jangan sembarangan bicara. Kamu nggak tahu apa-apa tentang Mami dan Papamu."
Franda menarik diri, memberi jarak cukup jauh dengan Adrian. Ia memusatkan pandangan ke vas dan bunga yang sudah layu di hadapannya. Bunga itu benar-benar menyerupai dirinya. Tak berdaya.
"Oh, Ian tahu banyak, Mam." Adrian bangkit untuk berjongkok di samping sang ibu. "Ian tahu kalau tinggal bersama Ervano membuat Mami menderita. There is no happiness anymore, why insist on a marriage? He cheated on you, not once but multiple times, Mam."
"Adrian!"
"Mami harus berhenti menutup mata atas semua tindakan buruk Ervano. That piece of shit doesn't deserve your kindness."
Lalu suara tamparan menggema di ruang kosong rumah itu, menyisakan Adrian dan Franda yang sama-sama tertegun. Mata Franda memerah, tubuhnya bergetar sebelum akhirnya tangis wanita itu pecah.
"Maaf, Mami nggak bermaksud...Mami cuman–"
"He has another child," potong Adrian.
Franda membantu. Butuh cukup lama hingga ia bisa mencerna apa yang baru saja Adrian katakan.
"Kamu bilang apa?"
"Ervano punya anak berusia sembilan tahun," jelas Adrian. Ia sempat meragu, namun memantapkan niat kembali sebab jika tidak sekarang maka Franda akan mengetahui semuanya dari orang lain. "Hasil perselingkuhannya dengan Vianka."
"Vianka?" tanya Franda memastikan, berharap bahwa Adrian menyangkal nama itu.
"Vianka Evania, my former fiancee."
"Oh, Tuhan."
Kali ini Franda menangis tanpa henti terutama setelah mendengarkan semua cerita Adrian. Hatinya remuk mengetahui bahwa anaknya diperlakukan dengan begitu buruk. Ia merasa hancur sebab tidak bisa melindungi Adrian dari malapetaka. Franda merasa gagal baik sebagai seorang istri dan ibu.
Bagaimana caranya iu bisa hidup dengan penyesalan yang sebesar ini?
"Adrian hanya mau Mami berpisah dengan Ervano. There are a lot of things you can do, Mam. Kalau Mami merasa kesulitan berdiri sendiri, ada Adrian yang bisa selalu mendampingi. You will never be alone, Mam."
Untuk waktu yang panjang Adrian terus memberikan kalimat-kalimat pendukung kepada Franda. Adrian tahu, untuk seorang Franda yang sudah mendedikasikan hidupnya untuk Ervano, maka akan kesulitan untuk melanjutkan hidup setelah berpisah karena merasa kehilangan tujuan. Seperti dirinya sendiri, Franda juga memiliki jalan yang panjang untuk berdamai dengan keadaan.
They will eventually be happy. Setidaknya itu yang Adrian harapkan untuk kisah hidupnya.
***
"Bagaimana dengan Mami, Mas?" Jelita menyerahkan secangkir coklat hangat kepada sang suami, lalu duduk di samping Adrian untuk melihat pemandangan malam yang sama sekali tidak menarik.
"Everything went well," jawab Adrian seadanya.
Rambut pria itu dibelai, lalu disusul dengan rengkuhan dari Jelita pada pinggangnya. "Pasti sangat melelahkan. You did well, Mas. Aku sangat bangga," ucap Jelita seraya mengecup pipi sang suami.
"What am I, a kid?"
"Hmm. Anak berusia tiga puluh sembilan tahun, kan?"
Perkataan Jelita sukses membuat kedua sudut bibir Adrian tertarik hingga membuat Jelita dapat bernapas lega sebab sejak tadi suasana hatinya ikut mendung karena diamnya Adrian.
"Terima kasih, Jelita."
Jelita mendongak, bertanya, "Untuk?"
"Karena sudah memilih untuk bersama saya, dan dengan suka rela memberikan saya begitu banyak cinta. In my life, you are akin to a miracle. I never thought of falling in love again, but here we are."
"Jangan dipuji terus, aku bisa besar kepala."
"You should be." Adrian menunduk untuk mencuri satu ciuman dari Jelita. "Saya pasti sudah gila karena terlambat jatuh cinta ke kamu."
"Memang," balas Jelita enteng. "Makanya kamu harus banyak-banyak berterima kasih karena aku nggak nyerah buat dapetin kamu. Coba kalau aku menyerah, pasti kamu kesepian terus, Mas."
Adrian tergelak, lalu mencubit pipi Jelita gemas. Sesungguhnya ingin menggigit pipi sang istri, namun urung karena mengetahui bahwa Jelita bisa murka.
"Once again, thank you for taking the first step, Jelita. Thank you for showing me what it feels like to be loved unconditionally. Thank you for being with me despite the dark days. And thank you for allowing me to be your husband. I will spend the rest of my life repaying your love." Adrian mengecup puncak kepala Jelita cukup lama, lalu menunduk untuk berbisik tepat di depan bibir wanita itu. "Saya mencintai kamu, Jelita. Sangat mencintai kamu."
Tanpa berpikir panjang, Jelita langsung menghujani wajah Adrian dengan ciuman berulang hingga kamar mereka yang hening dipenuhi suara tawa ringan yang berbaur dengan suara kecupan.
"I love you more, Mas. Setelah semua masalah ini selesai, aku harap hari kita bisa diisi dengan kebahagian-kebahagian kecil, ya, Mas."
"Hmm. Saya akan pastikan agar hari-hari tenang kita bisa segera datang. Bersabar sedikit, ya, Sayang."
Ketenangan tentu tidak akan didapatkan dengan mudah. Sebelum keinginan tersebut bisa terwujud, badai yang lain datang, kali ini dalam bentuk pemberitaan murahaan yang berasal dari acara televisi yang lebih sering menyiarkan tentang rumor dibandingkan fakta.
Lama menghilang, terungkap mantan artis cilik–Vianka Evania memiliki seorang anak dengan CEO Kalingga Palace.
Berita yang melibatkan mantan public figure dan juga sosok yang dihitung tak tersentuh masyarakat tentu dikonsumsi dengan menggebu-gebu oleh manusia-manusia yang suka mencampuri kehidupan orang asing. Puluhan teori bermunculan hingga membuat berita sampah tersebut semakin menjadi. Api kecil yang terus diterpa oleh angin perlahan-lahan membesar dan membakar seluruh fakta.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
