Memeluk Rembulan Chapter 21-24

4
0
Deskripsi

21. First Quarter: Breaking Apart

22. First Quarter: Damnation

23. Waxing Gibbous: The Gap Between Us

24. Waxing Gibbous: Woman in Love

21. First Quarter: Breaking Apart

Adrian tidak pernah merasakan jantungnya berdentum lebih cepat dari saat ini. Pikirannya kacau, dipenuhi oleh puluhan kemungkinan terburuk sejak pesan teks yang diterima sekretarisnya–Kartika– yang menampakkan sosok Jelita terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit dengan plester kecil yang menutupi kening sang istri.

Pria itu menyibak tirai ruang rawat, menemukan sosok lain yang duduk mendampingi sang istri. Rahang Adrian mengetat, gemuruh pada dadanya semakin menggila terlebih setelah mendapati ekspresi mengejek yang ada pada wajah Dharma. Ya, Dharma–si saingan yang memiliki obsesi aneh terhadap dirinya.

"Get out."

"You are hurting my feelings here. At least show some decency by saying thank you, I waited for her in your place."

Adrian menghiraukan ucapan Dharma, lalu mendorong tubuh saingan bisnisnya itu untuk menjauh. Sungguh, Adrian tidak punya waktu untuk dibuang bersama Dharma. Pria itu bahkan tidak peduli lagi tentang bagaimana caranya Dharma bisa menjadi sosok yang mendampingi Jelita. Ia memilih untuk berpikir bahwa Dharma hanya tidak sengaja berada dalam satu lokasi yang sama, lalu Dharma memanfaatkan kesempatan itu untuk mengganggunya.

Sudah Adrian bilang bukan, kalau Dharma ini punya obsesi yang aneh terhadap dirinya?

"I don't think she'd love your presence, though,"
suara Dharma terdengar lagi, kali ini terdengar benar-benar ingin mencari masalah dengan Adrian tanpa disembunyikan sama sekali. "She forbade me from calling you directly."

"Scram, Dharma."

Meski mendapat respon yang jauh dari kata sopan, Dharma sama sekali tidak terganggu. Justru pria itu terlihat lebih puas. Dharma mengangkat bahu acuh, kemudian melangkah menjauh dengan langkah yang luar biasa ringan. Menyenangkan rasanya bisa membuat wajah tanpa ekspresi Adrian terus berkerut, mungkin suatu saat nanti Dharma bisa mendapatkan kepuasan yang lebih jika Adrian benar-benar dalam posisi kalah.

Sepeninggalan Dharma, Adrian akhirnya mengambil tempat yang seharusnya–di samping sang istri. Netra Adrian menatap lekat pada wajah Jelita yang terlihat pucat, namun ketenangan jelas terlihat di sana.

Sudah beberapa hari Adrian mendapati sang istri menyendiri di rumah dengan pandangan kosong. Jujur pemandangan seperti itu sangat mengganggunya, ia ingin tahu apa yang tengah menghantui Jelita hingga sang istri bisa terlihat kehilangan kebahagian tiba-tiba. Sekarang yang menjadi pertanyaan, bagaimana caranya ia bisa membuat Jelita berbicara?

Helaan napas yang kesekian kali Adrian keluarkan. Pria itu melirik ponselnya, membaca pesan Adam yang mengatakan bahwa berdasarkan keterangan dari Polisi kecelakaan yang dialami Jelita adalah karena kelalaian dari pengendara motor yang mengambil lajur yang salah, selain itu Adam memberikan konfirmasi terkait keadaan Jelita yang didapat dari dokter yang sempat menangani sang istri. Beruntungnya sang istri hanya memiliki luka ringan di pelipis, sebab jika tidak, Adrian pastikan pengendara motor tidak tahu diri itu akan menyesal sudah membuat keputusan bodoh hari ini.

 

Sekitar pukul tiga sore akhirnya Jelita membuka mata untuk pertama kali. Wanita itu mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan yang sekarang sudah berubah dari ruangan awal tempatnya terbaring. Tidak ada lagi tirai yang membatasi antara ranjang miliknya dengan pasien lain. Mudahnya, tempatnya sudah di upgrade menjadi jauh lebih baik. Jika sudah begini maka salah satu anggota keluarganya pasti sudah berada bersamanya. Dalam hati Jelita berharap bahwa bukan Adrian yang mendampinginya sebab ia sendiri tidak sanggup bertemu tatap dengan sang suami.

Pintu ruang rawat milik Jelita berderit dengan suara yang cukup nyaring, lalu pintu tersebut terbuka lebar menampakkan Adrian dengan setelan kantornya. Napas Jelita tercekat. Bukan, Jelita sedang tidak terpesona, ia hanya merasakan sakit disekujur tubuh terlebih mendapati pandangan penuh kekhawatiran pada netra suaminya. Jelita muak dengan kepalsuan yang terus Adrian perlihatkan di depan wajahnya, Jelita ingin mencabik-cabik topeng yang tengah Adrian gunakan.

Adrian yang akhirnya tersadar bahwa Jelita sudah terbangun dengan cepat mendekati wanita itu. Ia menyentuh pundak Jelita, memaksa untuk saling bertatap. Sekali lagi Adrian menemukan tatapan kosong pada netra Jelita, celakanya tatapan itu ditujukan untuk dirinya. Nyeri perlahan-lahan menjalar pada tubuh Adrian kemudian bersarang pada dadanya hingga menimbulkan efek sesak yang teramat.

"You alright, Sayang?"

Cukup lama Jelita mengunci suara, hanya berbicara melalui pandangan dengan Adrian berharap bahwa dengan keajaiban bahwa Adrian bisa mengetahui bahwa pria itu sudah menyakitinya melebihi siapapun.

"Hei, why are you crying? Di mana yang sakit? Saya panggilkan dokter dulu."

Penuh kepanikan Adrian hampir berlari keluar, namun cekalan pada lengannya membuat pria itu terhenti. Ia menoleh kepada Jelita, mendapati bahwa tangis sang istri semakin menjadi. Jika sebelumnya Adrian merasa sesak, kali ini jantungnya seolah tengah diremas. Pria itu kehilangan kata-kata serta kemampuan untuk berpikir, yang dapat ia lakukan hanyalah mendekati sang istri kemudian memeluknya dengan erat.

"Where does it hurt, sayang? Bilang ke saya, biar saya bisa bantu."

"Semuanya sakit, Mas. I feel like dying here."

Rengkuhan Adrian semakin erat, namun ia tidak merasa bahwa Jelita memeluknya. Jelitanya hanya menangis tersedu-sedu bagaikan seorang anak kecil yang ditinggal oleh sang ibu—penuh pilu yang tak bisa Adrian sembuhkan. Mata pria itu terpejam, memaki dirinya sendiri karena tidak berdaya.

***

Jelita semakin jauh dari jangkauan Adrian. Jarak yang sebelumnya hanya satu jengkal kini terasa terlalu sulit untuk digapai. Adrian tidak tahu dari mana kerenggangan bisa masuk ke dalam keluarga kecil mereka, ia tidak tahu di mana kesalahan terjadi hingga keretakan bisa muncul di antara mereka. Just thinking about making him lose his shit.

Pria itu melonggarkan dasinya yang terasa mencekik, melangkah tanpa semangat menuju lantai dua. Ketika sampai di depan kamar mereka, Adrian terdiam beberapa saat untuk mempersiapkan diri bertemu dengan kecewa karena ia tahu di balik pintu ini pasti Jelita sudah terlelap. Wanita itu seolah sengaja menghilang dari pandangannya sejak pagi buta dan meninggalkannya menuju mimpi sebelumnya kembali bekerja. Hilang sudah Jelitanya yang selalu menyambutnya dengan hangat.

Kegelapan melingkupi Adrian begitu menginjakkan kaki di dalam kamar, hanya penerangan kecil dari lampu baca yang terlihat. Dengan hati-hati pria itu mendekati sisi Jelita, berjongkok di hadapan sang istri. Keningnya berkerut, pun mulutnya bergerak mengeluarkan umpatan kala menyadari bahwa ada jejak tangis lagi pada bantal wanita itu. Entah sudah berapa kali Adrian menemukan Jelita menangis sendirian, dan entah sampai kapan ia harus diam menyaksikan istrinya menderita sendirian.

Pria itu menyentuh puncak kepala Jelita, mengusapnya berkali-kali.

"What went wrong between us, Jelita?" Adrian berbisik, berharap mendapatkan pencerahan. "Saya sudah menyakiti kamu, ya?"

Kepala pria itu menunduk, menyatu dengan kening sang istri. Ia ingin melepaskan rindu namun tak mendapat kesempatan sebab detik berikutnya tubuhnya didorong dengan kekuatan penuh hingga ia jatuh terduduk, lalu Jelita bagai kesetanan melompat menjauh dari dirinya.

"Ma..maaf, Mas. Aku refleks, aku pikir ada orang asing yang masuk dan–"

"It's okay," Adrian menyela. Ia tidak ingin mendengarkan kebohongan lain dari Jelita, ia tidak ingin membuat wanita kesayangannya harus pusing merangkai berbagai agai alasan yang penuh dengan dusta. Ia juga tidak ingin menemukan rasa bersalah pada netra Jelita. Semua itu sangat mengganggu Adrian. Sudah pernah Adrian katakan bahwa ia paling tidak suka Jelitanya kesakitan dan kesusahan.

Pria itu berlalu ke kamar mandi, meninggalkan Jelita sendirian. Ia cukup yakin bahwa Jelita akan lebih senang tanpa kehadirannya. Berkali-kali Adrian bergumam dalam hati bahwa Jelita hanya butuh waktu untuk mencerna apapun masalah wanita itu, ia hanya harus bersabar hingga sang istri rela berbagi padanya. Adrian berharap kesabarannya tidak akan mudah habis.

Sepeninggalan Adrian, Jelita berjalan memutari ruang kosong di kamar mereka seraya menggigit jari. Ia ingin melarikan diri, tapi bagaimana caranya tanpa membuat Adrian mempertanyakan dirinya lagi? Haruskah ia melibatkan Carolina? Tetapi jika mengungsi dengan sahabatnya itu pasti ia akan dipaksa bercerita. Tidak ada tempat yang bisa ia tuju tanpa dituntut penjelasan.

Jelita mendesah, hampir berteriak jika saja deringan di ponsel Adrian tidak mengalihkan atensinya. Wanita itu berjalan menuju meja riasnya, melihat notifikasi pesan yang muncul di sana.

Answer your damn phone before I talk to your little wife.
I need you right now.

Pesan itu semakin menghancurkan rasa percaya diri wanita itu. Jelita tidak bodoh, ia bisa mengetahui pengirim dari pesan-pesan menuntut perhatian itu tanpa banyak mengeluarkan usaha.

Sejak mengetahui bahwa ada satu nomor yang terus menghubungi Adrian tanpa tahu jam, tentu ia tidak tinggal diam. Jelita itu menggali semua informasi yang bisa ia dapat dan menemukan bahwa sosok wanita yang mengisi masa lalu Adrian masih terus berusaha mendapatkan atensi suaminya, dan parahnya lagi Adrian masih membiarkan kesempatan pada wanita lain. Sungguh, Jelita merasa sudah sampai dititik untuk menyerah, ia tidak sanggup lagi untuk berpura-pura.

Ketika Adrian keluar dari kamar mandi, pria itu mendapati sang istri duduk di pinggir ranjang dengan pakaian yang sudah diganti seolah-olah sang istri ingin keluar.

"Mau ke mana?" Adrian bertanya hati-hati seraya melangkah mendekat, lalu berhenti tepat di hadapan wanita itu. "Sudah malam begini, kamu nggak capek?"

"Aku mau pulang ke rumah."

"Jelita—"

"Mas," panggil Jelita lirih, terdengar pasrah dan tak punya tenaga lagi untuk mendebat. "I think I made a mistake by marrying you. I shouldn't have forced myself on you knowing damn well the chance for me is small—no, I don't even have a chance to begin with."

"Kamu lelah, kita bicara lagi besok pagi." Adrian berbalik, enggan melihat langsung ekspresi terluka yang terlukis di wajah cantik sang istri. Adrian tidak sanggup.

"Okay, tapi biarkan aku pulang, ya, Mas. Aku nggak sanggup buat bersama kamu dan berpura-pura baik-baik saja."

Adrian merasa seperti baru saja ditampar berkali-kali oleh Jelita. Telinganya sedang tidak bermasalah, kan? Jelita pasti sedang mempermainkannya.

"Come again, Jelita, I think I heard you wrong."

Jelita meremas kedua tangannya untuk mengalihkan dari sakit hatinya yang luar biasa. "Aku mau pulang ke rumah orang tuaku."

Adrian langsung memegang kedua bahu sang istri, mencengkramnya cukup keras. Kemarahan kali ini tak bisa disembunyikan oleh pria itu. Ia tidak bisa menerima perlakuan Jelita tanpa diberi penjelasan.

"Saya berbuat salah?" Pertanyaan tersebut dibalas gelengan. "Lalu kenapa kamu seperti ini? Kamu nggak mungkin mendadak meminta berpisah tanpa alasan Jelita. Saya mengenal kamu bukan hanya satu dua hari, tapi sejak kamu lahir. Pasti ada alasannya 'kan? Kamu hanya nggak ingin memberitahu saya. But know what? I will never let you go unless you give me a valid reason."

Jelita membuang muka, menahan diri untuk tidak menangis lagi namun tentu saja gagal. Bagaimana ia bisa menahan jika dadanya terasa tengah terhimpit oleh dua batu besar? Bagaimana caranya ia tidak menangis jika rasanya hatinya tengah diremukkan.

"Kamu berbicara seolah-olah peduli dengan pernikahan kita, Mas."

"Kamu bicara apa 'sih? Sejak kapan saya nggak peduli dengan pernikahan kita? Kamu tahu saya sangat serius berusaha untuk membuat pernikahan kita berhasil. What kind of mistake did I make that drove you to doubt my feelings?"

Jelita bungkam, bahkan untuk membalikkan kalimat Adrian yang ia dengar membuatnya merasa sangat malu.

"Lihat saya," pinta Adrian seraya mengangkup wajah Jelita dengan kedua tangannya. "Tolong jangan menghukum saya tanpa memberikan alasan, Jelita. Beritahu saya, kesalahan apa yang menyakiti kamu?"

"Do not look at me with those eyes, Mas.  Do not act like what I am doing is hurting you. Please just once show your real face to me." Jelita ingin menghindar, ingin meloloskan diri sebab jika begini terus ia bisa memuntahkan isi perutnya.

"Kamu mau saya terlihat senang, begitu? Bagaimana saya bisa kalau kamu memang menyakiti saya dengan—"

"Berhenti, Mas, berhenti!" Jelita kali ini benar-benar mendorong tubuh Adrian agar jarak diantara mereka tercipta. "Aku muak lihat Mas Adrian."

Wajah Adrian pias. Belati tajam berhasil menyentuh jantungnya. Tangannya terangkat berniat menyentuh sang istri namun urung kala Jelita mundur semakin menjauh.

"You don't mean that. Tarik kembali kata-kata kamu, Jelita."

Jelita kembali menggeleng, lalu menghapus jejak air mata dengan punggung tangannya secara kasar.

"I meant every word. Aku muak sekali dengan Mas Ian. Setiap aku melihat kamu, setiap kali kamu menyentuh aku, rasanya aku mau muntah."

Adrian rasa lebih baik Jelita membunuhnya saja daripada ia harus melihat wanita kesayangannya berakhir menderita seperti ini.

"I feel sick whenever you treat me like the love of your life because you faked it! You touched me, whispered love to me only to feel disgusted by me in silence!"

Sesak sekali, Jelita tidak sanggup lagi bernapas terlebih sambil melihat wajah pucat Adrian yang menampilkan luka begitu mirip dengannya. Ia seolah tengah bercermin.

"Kenapa, Mas? Kenapa kamu bersusah-susah terlihat menyayangi aku sementara kehadiran aku saja membuat kamu jijik?"

 

22. First Quarter: Damnation

"Gue nggak bercanda ataupun mengejek progres lo, Mas. I ask simply because I  am concerned about your well-being. Jadi bagaimana, Mas?  I think you two are compatible and I can see that you are at ease whenever she is around. Dengan asumsi itu, wajar kalau gue bisa nyimpulin  masalah lo udah selesai, kan?"

"Sepuluh tahun, Satya." Adrian bergumam, nada suaranya jelas menampakkan bahwa dirinya bahkan sudah lelah jika harus membahas hal yang sama untuk sekian kali.  "Lo pikir pernikahan bisa menyelesaikan masalah gue? It appears to me that your brain capacity has dropped to the lowest level."

"Are you being serious right now? Dengan Jelita pun nggak membantu?" di seberang sana suara Satya menunjukkan ketidakpercayaan akan perkataan Adrian seolah-olah yang baru saja Adrian sampaikan hanyalah bualan.

Untuk sesaat Adrian diam, berpikir dengan baik-baik tentang pertanyaan Satya. Benarkan Jelita tidak membantu sama sekali? Benarkah bahwa dirinya sudah berada di tahap tidak tertolong lagi? Benarkah semua yang sedang dirinya usahakan hanyalah angan tak sampai?

Bayang-bayang wajah Jelita pada usia lima tahun menghampiri Adrian. Anak kecil yang sangat manis itu datang bagaikan pelangi, menawarkan sedemikian kebahagian untuk dirinya yang haus akan kasih. Lalu, gambaran itu berangsur memudar terganti oleh sosok Jelita dewasa yang mengutarakan cinta tanpa tahu takut, terganti dengan sosok yang Adrian impikan menjadi alasan dirinya jatuh cinta kembali.

Jantung Adrian berdenyut liar sehingga pria itu mengumpat dalam hati. Adrian menarik napas seraya mengepalkan kedua tangan.

"Nggak sama sekali. If anything, gue merasa jijik."

"Jaga omongan lo, Mas. We are not talking about anyone else, but your wife. She deserves respect."

Adrian tertawa sunbang. "I feel disgusted by myself, Prastya. Menggunakan Jelita sebagai bahan percobaan–menyentuh dia yang seharusnya gue jaga seperti permata berharga." Netra Adrian kembali terpejam kala gelombang rasa bersalah menerpanya tanpa amun. "I feel sick knowing I enjoyed the feeling of being her husband. My stomach churns whenever the thought of wanting her as a woman entertains my mind. She should've stayed as my sister, not as someone I desired."

"Omongan lo kontradiktif banget, sadar nggak 'sih? Awalnya lo hopeful mau menikah dengan dalih bahwa Lita adalah sosok yang paling bikin lo nyaman, lo juga berpikir kalau somehow Lita will help you get over your traume. Seharusnya ketika lo bisa berpikir seperti itu, berarti lo sudah siap buat membuang bayangan dia sebagai sosok adik yang lo jaga. Sekarang lo bilang merasa jijik karena mau dia sebagai wanita?"

Adrian diam, bersiap mendengarkan rentetan petuah dari seorang Satya yang entah bagaimana menjadi lebih berpengalaman tentang masalah wanita.

"Rasa bersalah yang lo rasain itu karena lo lagi denial, Mas. Coba lo pikir dan dengar kata hati lo baik-baik, pasti akan mudah buat nerima bahwa Lita yang sama lo sekarang ini bukanlah anak kecil yang harus lo jaga sebagai seorang kakak. Dia adalah wanita yang sudah pilih dengan kesadaran penuh sebagai pasangan, sebagai your equal until your ends." di seberang sana Adrian mendengar Satya berbisik-bisik–mungkin dengan Gianna. "Pakai otak lo yang encer itu buat berpikir, Mas, jangan kelamaan karena akan sangat merugikan Lita. Itu saran gue, mau diikuti silahkan kalau nggak, resiko lo sendiri. Gue tutup, Gianna sama Sangkala nungguin gue."

"Hmm, I'll think about it." Adrian bungkam kembali, melirik ponselnya yang masih terhubung dengan Satya. "Sat, tentang dokter yang lo bilang waktu itu...tolong buatkan janji temu. Nggak masalah 'kan?"

"Jangan lupa ajak Lita, who knows her presence might help."

Adrian mematut pantulan dirinya di cermin. Membawa Jelita untuk melihat sisi dirinya yang berantakan, ya? Apakah Jelitanya yang penuh cahaya itu harus mengetahui kegelapan yang Adrian simpan? Bagaimana Jelita akan memutar badan dan meninggalkannya ketika mengetahui bahwa sosok Adrian yang wanita itu puja hanyalah cangkang kosong tak berarti?

"Kenapa, Mas? Kenapa kamu bersusah-susah terlihat menyayangi aku sementara kehadiran aku saja membuat kamu jijik? Aku dengar semuanya sendiri. You talked about me like that to your cousin."

Adrian diam membatu di tempatnya, wajahnya sudah benar-benar kehilangan warna. "Jelita–" kalimatnya terpenggal kala Jelita kembali melangkah mundur.

"Pasti sangat menyiksa melihat aku selalu berada di sekitar kamu 'kan? Kamu pasti lelah harus menuruti kemauanku yang nggak penting, kamu juga pasti mual setiap aku meminta cinta. Ya Tuhan, Mas Adrian, aku pasti terlihat seperti badut bodoh di mata kamu. Apa kamu merasa terhibur?" Suara Jelita tercekat, nafasnya semakin tidak teratur. "I hope you at least have fun playing with my heart."

"Jelita..sayang, dengar dulu–"

Jelita menutup kedua telinganya, menggeleng kuat-kuat agar Adrian berhenti berusara. Jelita tidak ingin mendengarkan sebuah narasi yang dibuat untuk menyenangkan hatinya. Jelita tidak ingin lagi menjadi si bodoh yang tertipu oleh Adrian.

"Stop speaking to me like I am your lover. I am not, Mas. Tolong berhenti berpura-pura."

Adrian tak membalas lagi, pria itu langsung mendekat lalu berlutut di depan Jelita dengan kepala yang tertunduk dalam. Ia menggenggam kedua tangan sang istri, mengecupnya berkali-kali. Sungguh, ia tidak sanggup melihat wajah tanpa daya Jelita.

"Maafkan saya sudah menyakiti kamu. I didn't mean to hurt you, sayang. Please, just let me explain, ok?"

Jelita meski dengan keadan hati remuk tak berbentuk masih bermurah hati untuk tidak mendorong Adrian menjauh. Wanita itu membingkai wajah Adrian, memandangi wajah sang suami yang benar-benar menampilkan raut terluka yang sama parahnya dengan dirinya. Jari-jari Jelita mengusap pipi Adrian pelan. Seharusnya Adrian tidak terlihat sehancur dirinya.

"Kamu nggak salah, Mas. Aku saja yang bodoh sudah mempercayai mimpi-mimpi yang aku bangun saat masih kecil." Jempol Jelita mengusap air mata yang mengalir dari sudut mata Adrian. "Aku harusnya sadar diri kalau aku nggak hidup dalam dunia dongeng di mana tuan putri mendapatkan pangerannya."

"Kamu salah paham, Jelita. Apapun yang kamu dengar, it's not about you." Adrian semakin mencengkram kedua tangan Jelita ketika wanita itu terlihat akan menarik diri. Jika dilepaskan, Adrian takut Jelitanya akan pergi terlalu jauh hingga sulit untuk digapai kembali. "Beri saya sepuluh menit untuk menjelaskan semuanya, ya? Please don't give up on us yet. You told me we were going to be so happy together. Please...just...just let me explain everything."

"Kita berdua terlalu emosional untuk berbicara sekarang, Mas. Aku pun nggak merasa kuat untuk terus berhadapan dengan kamu sekarang. Biarkan aku menyendiri dulu, ya? I need space to think without you." Ketika Adrian hendak membalas, Jelita kembali menyela. "Let me lick my wound in peace."

"Jelita, tolong–"

"I will let you know when I am ready to face you again. Untuk sekarang, kita berdua perlu waktu untuk membenahi hati. Sampai saatnya tiba, jangan mencoba untuk menemui aku. I will loathe you to death if you ever tried to see me without my consent."

Jelita tidak memberikan Adrian kesempatan untuk mendebat sebab ia langsung melarikan diri dengan kecepatan penuh. Dengan ultimatum seperti itu seharusnya Adrian tidak akan mencoba macam-macam. Dengan begini harusnya Jelita akan mendapatkan sedikit ketenangan, namun setiap langkah menjauh yang dirinya ambil seperti membuka luka yang baru. Wanita itu menoleh, melirik Adrian dari balik bahunya. Pria itu berdiri di depan pintu rumah mereka, terlihat hancur.

He is going to be okay, Jelita. Do not fall for his dead eyes. Do not fall for it.

Jelita kembali berbalik, melangkah semakin jauh dari rumah yang dahulunya penuh mimpi yang indah.

 

23. Waxing Gibbous: The Gap Between Us

Bertamu pada jam sebelas malam tentu bukanlah pilihan waktu yang tepat terlebih pemilik rumah tidak diberitahu terlebih dahulu, namun Adrian sama sekali tidak peduli meski tahu dirinya pasti akan mengganggu agenda Satya dan juga Gianna.

Adrian sama sekali tidak ingin menghabiskan waktu di kediamannya sendiri terlebih dengan bayang-bayang ekspresi penuh kehancuran milik Jelita yang terus menghantui. Rasanya Adrian bisa gila jika harus tinggal di rumah itu. Maka, dengan kesadaran penuh dirinya memilih menjadi perusak hari orang lain.

Pintu rumah milik Satya terbuka, kemudian pria dengan setelan piyama berwarna abu-abu dengan kancing bagian atas tidak terpasang dengan benar, menampakkan diri dengan ekspresi kesal setengah mati. Oh, Adrian benar-benar berhasil menghancurkan malam sepupunya kali ini.

"What the fuck are you doing here, Adrian?" Satya berdesis, suara gemeretak gigi sepupunya itu bisa terdengar dengan jelas. "I don't care about your purpose, but I need you gone right now."

"Jelita minta pulang ke rumah orang tuanya."

"Gue nggak–" Okay, that caught Satya's attention. Satya mengumpat dengan suara rendah, sebelum akhirnya membuka pintu rumahnya lebih lebar dengan perasaan yang begitu berat. Sepertinya misi untuk memberikan kado khusus untuk Sangkala harus tertunda.

Langkah kaki Adrian membawanya ke ruang tamu–ruang yang selalu terasa hangat–entah karena adanya sentuhan dari sosok wanita, atau karena rumah yang ditinggali Satya memang dilingkupi dengan banyaknya kebahagian sampai setiap sudut bangunan itu menggambarkan semuanya dengan begitu baik.

"Gue ke Gianna sebentar."

Adrian hanya mengangguk singkat, cukup mengerti bahwa sepupunya itu butuh waktu untuk menjelaskan kedatangan dirinya yang tidak diundang ini. Sungguh beruntung sosok yang menjadi pasangan Satya adalah Gianna yang baik hati sebab Adrian sangsi jika wanita lain akan mau menampungnya malam ini.

"Jadi bagaimana bisa Lita tiba-tiba minta pulang? Lo selingkuh, Mas?" Pertanyaan itu dilontarkan pada detik yang sama saat Satya menampakkan batang hidungnya lagi. Satya sudah terlihat lebih rapi, bahkan kacamata sepupunya itu sudah bertengger manis pada hidungnya.

"Kalau bicara dijaga. Why would I cheat on her?" Adrian membalas. "Remember our last conversation? Di mana lo saranin gue buat berobat dan juga menerima perasaan gue dengan mata yang terbuka. Jelita tahu tentang itu."

"Iya. Bukannya lebih bagus kalau dia tahu? Sejak awal 'kan gue sudah bilang sebelum menikah seharusnya lo ungkapkan kalau punya masalah yang sulit untuk diselesaikan." Pandangan Satya untuk sesaat menurun dari wajah Adrian, lalu kembali setelah mendengarkan suara decak decak kesal dari lawan bicara. "Jadi masalahnya apa?"

"Masalahnya yang Jelita dengar hanya bagian gue ngomong jijik. And now she thinks I am playing with her heart."

"Are you not?" Satya melipat kedua tangan di dada seraya menyandarkan punggung pada sofa. Sungguh, ia tidak menyangka harus menghabiskan waktu untuk menjadi seseorang yang memiliki kesempatan sebagai penasehat hubungan Adrian. "Jadi Lita sekarang benar-benar pulang?" Anggukan Adrian membuat umpatan kembali lolos dari kerongkongan Satya. "Lo bodoh, Mas? Kenapa dilepaskan begitu saja? You should've held onto her, and begged until your head bled."

"Lo pikir gue bisa nahan dia saat ekspresinya sudah jelas-jelas tersiksa? Gue nggak sejahat itu, Sat."

"Terus lo mau bagaimana?"

"Ya gue datang karena butuh pencerahan, after all, you are the one with experiences in marriage."

Deringan ponsel Adrian menyita atensi keduanya. Nomor tanpa nama kembali tertera hingga membuat Adrian gemas ingin melempar benda pipih itu ke dinding. Ia muak sekali dengan semua ini, dan sepertinya Satya juga muak karena detik berikutnya ponsel tersebut sudah berenang bersama ikan warna-warni milik Sangkala dalam sebuah akuarium yang kecil.

"Terganggu, kan? Screw her, Adrian. Sudah sepuluh tahun sejak kalian putus dan lo masih ngasih kekuasaan buat Vianka untuk ganggu hidup lo? You have a lot of power to eradicate that woman's life, jangan ditunda-tunda. Dia sudah menghancurkan hidup lo dengan selingkuh sama–"

"Prasatya," Adrian berdesis, memperingati sang sepupu untuk tidak berbicara lebih banyak. "Gue udah lupa tentang itu semua."

"Kalau lupa lo nggak mungkin masih sakit sampai sekarang, Mas."

Skakmat. Adrian mana bisa memberikan pembelaan diri sekarang.

"You need to take your problem seriously 'sih, Mas, terlebih serkarang sudah ada Lita. You like her, right? I believe you wouldn't want to see her suffer for a long time."

Adrian mendesah, mengusap wajah dengan kedua tangan karena merasa rantai hidupnya semakin berantakan saja

"Mas Ian, rumah tangga hanya bisa dibagun dengan sebuah landasan kejujuran. Kalian sudah berjanji bersama, jadi sudah seharusnya Lita tahu penjara jenis apa yang masih mengurung lo. Gue tahu berbagi sebuah luka itu sulit dan gue tahu lo juga pasti lebih berharap dia hanya tahu yang indah-indah saja, but that's not how you create a beautiful family."

Satya menghela napas berat bersamaan dengan Adrian. Sampai detik ini masih terasa tidak nyata bahwa dirinya sedang menggurui Adrian.

"She is brave enough to enter this marriage knowing she'd get hurt, so you should do the same. Tunjukkan sisi rapuh lo ke dia, tunjukkan sisi Adrian yang lo benci ke dia. Let her know what kind of pain you've been hiding. Berhenti membuat istri lo menebak-nebak sendiri, Mas. Lo hanya akan menyakiti dia kalau terus keras kepala."

"Akan gue pikirkan."

"Ya Tuhan, Adrian Atma Kalingga! Nggak perlu dipikir, langsung dikerjakan!"

***

Jelita pikir dirinya akan mati setelah mengalami patah hati paling parah selama dirinya hidup, ternyata dirinya sehat-sehat saja. Mungkin suasana hatinya saja yang terus kelabu sejak meninggalkan rumah, namun secara fungsional ia tetap menjalani hari seperti biasa–berakting seolah tidak ada yang salah.

Sejak perpisahan terakhir dengan Adrian, wanita itu tidak pernah mencoba menghubungi suaminya meski Adrian terus mengirimi pesan yang menanyakan keadaannya. Bahkan malam kemarin Adrian untuk pertama kalinya mengatakan merindukannya. Jelita hampir saja luluh, beruntungnya ada Carolina yang langsung menyita ponselnya.

Jelita memang tidak benar-benar pulang ke rumah orang tuanya sebab kegaduhan akan terjadi jika dirinya pulang dengan tiba-tiba. Jadi, sampai waktu yang tidak ditentukan ia akan menjadi pengungsi di apartment milik sang sahabat.

Jelita mengangkat tangan kiri, melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan waktu makan siang. Seharusnya Franda sudah berada di tempat mereka berjanji untuk bertemu. Meski tidak ingin bertemu dengan ibu sang suami untuk saat ini, namun Jelita pada akhirnya tidak dapat menolak ajakan Franda yang terkesan sangat memelas.

Memasuki Rempah –sebuah restaurant yang menyajikan berbagai jenis hidangan dari seluruh penjuru Indonesia–Jelita disambut hangat kemudian langsung diarahkan menuju area private. Di sana sudah ada Franda yang duduk manis menunggu kedatangannya.

"Maaf, Lita agak telat, Mi. Tadi agak sedikit macet."

"Nggak apa-apa, sayang. Ini juga salah Mami karena ngajak kamu makan siang mendadak. Kamu nggak sibuk 'kan?" Tanya Franda khawatir. "Mami sempat mengajak Ian, tapi dia lagi sibuk. Anak itu benar-benar, dari dulu sampai sekarang selalu menomorsatukan pekerjaan."

Dalam hati Jelita bersyukur karena Adrian tahu diri untuk tidak menerima permintaan Franda, karena jika pertemuan terjadi saat dirinya tidak siap, Jelita khawatir akan terjadi hal yang tidak diinginkan.

"Lita lagi lenggak 'kok, kebetulan jadwal MCU banyak yang didorong ke minggu depan jadi sekarang banyak waktu buat Lita ketemu Mami."

"Syukurlah, Mami sempat takut sudah mengganggu kamu." Franda mengangkat tangan kanan, menyerahkan tisu kepada Jelita yang hendak meraih kotak tisu di sampingnya. "Ini. Kamu kabarnya bagaimana? Setelah pulang dari rumah waktu itu nggak dimarahi Adrian 'kan?"

Jelita tidak membalas sebab atensinya terpusat pada memar yang melingkar di pergelangan tangan Franda. Menyadari arah pandang Jelita, Frana menarik tangannya seraya tersenyum.

"Nggak usah khawatir begitu, sayang, ini memar karena Mami main tennis terlalu semangat. Bukan masalah besar."

Jelita ingin membantah, ingin mengatakan bahwa apa yang dilihatnya tidak menunjukkan hal yang sama dengan yang dijelaskan oleh Franda namun bibirnya membisu karena menyadari perubahan ekspresi Franda yang menjadi sedikit panik, pun sang mertua terus menarik lengan bajunya untuk menutupi memar tersebut.

Mungkin percakapan singkat itu tidak dilanjutkan namun dalam benak Jelita terus terpatri tanya. Komunikasi mereka berakhir menjadi satu arah dengan Franda sebagai penanya dan Jelita sebagai narasumber. Topik yang dibahas tentu tidak jauh dari Adrian, tentang kehidupan pernikahan mereka serta kapan rencana mereka untuk melakukan program kehamilan. Semuanya dijawab Jelita dengan baik, sesekali ia menaburkan sedikit bubuk dusta dalam jawabannya agar sang mertua tak mencium bau busuk dari pernikahannya.

"Mami senang sekali bisa bertemu kami seperti ini, Ta. Lain kali kalau Mami buat jadwal untuk spa bareng, kamu mau? Sekalian ajak Ibumu juga."

"Iya, boleh, Mi. Nanti Lita info ke Ibu juga biar bisa luangin waktunya."

"Hmm. Kalau begitu Mami pulang dulu, ya. Kamu hati-hati bawa mobilnya, kalau lelah langsung telepon Ian saja."

Jelita hanya mengangguk, pikirannya melayang pada penemuan yang baru saja ia dapatkan. Langkah kaki Franda tidak normal. Franda terlihat menyeret kaki kanannya dengan susah payah seraya sesekali memegang paha. Selain itu, cetakan memar juga Jelita temukan secara tidak sengaja di antara pipi dan dagu Franda saat sang mertua menghapus jejak air yang berada di pipi. Sungguh, Jelita ingin berpikir yang baik-baik saja, namun firasatnya berkata sebaliknya.

Wanita itu sempat menimbang-nimbang untuk menghubungi Adrian, namun membatalkan niatnya pada detik terakhir karena nyali yang ia miliki ternyata tidak sebesar itu. Jelita masih belum siap untuk menghadapi Adrian

***

Dunia memang selalu bekerja dengan cara yang tidak bisa diprediksi, selalu ada kejutan yang mengagetkan. Seperti saat ini, Jelita yang berhasil merawat lukanya selama dua minggu tanpa sang suami, kini dihadapkan dengan sosok Adrian.

Seharusnya Jelita tahu bahwa seorang Adrian pasti akan datang di acara pernikahan putri bungsu keluarga Wiratama. Seharusnya Jelita yang memilih tidak datang, namun tidak bisa menolak sebab sang mempelai wanita adalah yunior yang cukup dekat dengannya saat berada di bangku kuliah.

Semua orang mengetahui status Jelita dan Adrian, sehingga keduanya tidak punya pilihan selain duduk berdampingan di meja yang sama. Tak ada pembicaraan yang terjadi, bahkan Jelita kerap keli membuang pandangan. Berbanding dengan Adrian yang justru menjadikan Jelita sebagai obyek satu-satunya yang pantas untuk mendapatkan perhatiannya.

"Sayang," bisikan lembut dengan nada memohon itu memenuhi indra Jelita hingga wanita itu menutup mata seraya meremas dress berwarna abu-abu yang ia kenakan. "Bisa lihat saya sebentar?"

Jelita menolehkan kepala, bertemu tatap dengan kedua netra Adrian yang entah mengapa kali ini terlihat menyimpan banyak rasa untuknya. Dentuman jantung Jelita kembali menggila meski disertai rasa nyeri.

Jangan percaya dengan dia lagi, Lita. He is a good liar.

Jelita tetap mengunci bibir, kemudian kembali mengacuhkan keberadaan Adrian. Ia hanya harus berpura-pura bahwa sang suami tidak ada di sampingnya, lalu dalam waktu dua puluh menit ia akan pergi.

Ketika acara resepsi sudah hampir mencapai puncak, Jelita bangkit, berjalan dengan langkah terburu-buru sebelum orang lain menyadari bahwa dirinya sedang melarikan diri.

"Mau lari ke mana? Tidak lelah?" Langkah kaki Jelita dipaksa berhenti sebab lengannya ditahan. Wanita itu menghela napas.

"Let me go."

"Jelita, harus berapa lama saya menunggu kamu untuk bersedia menerima penjelasan saya? I cannot watch our marriage fall into ruin."

"You are the reason behind our misery, Mas."

"Jadi biarkan saya menghentikan penderitaan kita. I am sick of longing for you without having the chance to hold you close."

"Jangan bicara sembarangan. Aku nggak suka mendengarkan kebohongan."

"Will you look at me while speaking, Jelita? Let me see your eyes."

Jelita mengangkat dagu tinggi-tinggi, menguatkan diri sendiri agar tidak menangis di hadapan Adrian. Rasanya usaha selama dua minggu untuk menutupi lubang yang begitu besar di hatinya terbuang sia-sia, sebab sekarang lubang itu kembali terbuka lebar.

"Aku belum siap, Mas. Aku butuh waktu."

"Sampai kapan, Jelita? Sampai pernikahan kita tidak bisa diselamatkan lagi, begitu?" Adrian memberanikan melangkah maju, dan untuk pertama kalinya menyentuh pipi Jelita yang memerah karena udara dingin. "Kamu kedinginan." Ia melepaskan jasnya, lalu menyampirkan pada bahu Jelita.

"Mas, aku sudah bilang perlu waktu." Meski berkata begitu, Jelita kali ini tidak mundur bahkan saat Adrian mengusap pipinya berkali-kali. Jelita menyukai kehangatan itu meski hatinya sekarang masih berdarah-darah.

"God, I miss you so much it's killing me." Desahan yang sangat panjang Adrian keluarkan, rasanya ia ingin berteriak namun tak sanggup. Ia tidak punya kuasa untuk memaksa Jelita mendengarkan kisahnya. "Saya akan menunggu lagi, tapi sebelum kamu pergi biarkan saya memeluk kamu, ya?"

Jelita tidak memberikan penolakan sama sekali, hingga Adrian memberanikan diri untuk merengkuh tubuh sang istri dengan erat, menghidu dalam-alam aroma bunga mawar dari ceruk leher wanita itu untuk menghilangkan rindunya.

Adrian tahu bahwa kedua tangan Jelita tetap berada di samping tubuhnya, meski begitu ia tetap menipu diri bahwa Jelita pasti akan kembali. Adrian hanya harus bersabar lagi–bersabar hingga wanita kesayangannya ini bersedia menerimanya dengan tangan terbuka. Sampai saat itu, Adrian akan terus mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk memberikan kebenaran kepada sang istri.

 

24. Waxing Gibbous: Woman in Love

Langkah kaki tergesa-gesa milik Jelita membawanya melintasi lobby Imperial–salah satu hotel berbintang di area Kuningan– tempat pelaksanaan check-up calon karyawan hari ini. Jelita tidak biasanya terlambat, namun karena adanya perubahan pola tidur yang disebabkan oleh masalah pernikahannya, ia jadi sering lupa waktu saat berhasil terlelap.

Jelita hampir saja memasuki tempat berkumpulnya para cakar, namun kedua kakinya seolah tengah terikat oleh jangkar hingga dirinya membatu di tempat. Kedua tangannya terangkat untuk menyeka matanya yang mungkin saja sedang bermasalah karena kurang tidur, namun pemandangan di hadapannya tidak berubah sama sekali. 

Di depan sana, mungkin sepuluh langkah di depannya, ada Ervano yang tertawa-tawa dengan begitu puas dengan seorang wanita–tidak, lebih tepatnya anak gadis yang mungkin baru menginjak usia legalnya beberapa hari lalu. Gadis muda berambut sebahu itu bersandar di bahu Ervano dan juga membiarkan tangan pria tua itu menyentuh setiap lekuk tubuh yang bahkan masih bisa dikategorikan tubuh anak-anak.

Did Jelita just catch her father-in-law cheating? With a kid at that.

Entah sudah berapa banyak kejanggalan terkait kedua orang tua Adrian yang Jelita temukan secara tidak sengaja. Dirinya tahu tentang ketidakharmonisan keluarga sang suami, tetapi mana berani ia berpikir bahwa masalahnya sudah sampai seperti ini?

Penemuan tersebut terus menghantui Jelita bahkan hingga check-up selesai dan dirinya sudah duduk manis di ruang tamu unit apartment kakaknya. Bagaimana caranya ia memberitahu Adrian tentang semua yang baru saja diketahui sementara dirinya masih tidak sanggup berbicara dengan serius bersama sang suami. Masalah mereka saja masih belum selesai, sekarang ada masalah baru yang membuat kepala Jelita semakin ingin meledak.

"Hah..." tanpa sadar Jelita mengeluarkan desah panjang.

"Kenapa lo? Bosan nonton doraemon?" Henning meletakkan satu mangkuk ice cream pada pangkuan sang adik, lalu ikut bergabung untuk menyaksikan tayangan ulang animasi rakun berwarna biru yang menurut Jelita masih sangat menggemaskan.

"Lagi pusing, Mas. Kepala Lita rasanya mau meledak."

"Kolesterol lo kayaknya naik," kata Henning santai yang dibalas delikan tajam oleh Jelita. "Bercanda, Dek. Lagian lo lagi stres bukannya curhat ke suami malah datang ke gue. Lagi ada masalah sama Ian, ya?"

Jelita tidak menjawab, hanya menyandarkan kepala pada pundak saudara satu-satunya yang entah kenapa sekarang lebih tenang jika membahas Adrian. Sepertinya sogokan suaminya benar-benar berguna.

"Kok tahu?"

"Siapa yang nggak bisa menebak suasana hati lo 'sih, Dek? Coba ngaca sebentar terus lihat muka lo yang seperti mau menangis terus. Habis diapain sama Ian, mau gue pukulin buat lo?"

"Family affairs shouldn't be exposed to outsiders."

"Nggak usah banyak gaya, cerita kalau ada masalah biar gue dan ayah yang urus."

Bukannya menjawab Jelita hanya memeluk lengan Henning. Selalu seperti ini, apapun masalahnya bisa diselesaikan oleh kakak ataupun ayahnya. Namun masalah perasaan, mereka mana bisa bantu. Mereka tidak punya kekuatan magis untuk mengubah pandangan Adrian terhadapnya.

"Mas Henning sendiri ada masalah apa? Lita udah sering ngajak Mas buat ketemu tapi selalu ditolak dengan alasan sibuk kerja."

"Memang sibuk kerja 'kan? Memangnya lo yang kerjaannya lebih longgar."

"Tapi kali ini Mas Henning udah kelewatan seolah-olah sengaja buat menyibukkan diri." Jelita mengangkat kepala untuk bertemu tatap dengan saudaranya. "Kak Vivian masih menolak buat menikah, ya?"

Tentu saja tebakan Jelita tidak meleset, terbukti dari perubahan raut wajah Henning. Rahang kokoh kakaknya itu mengeras untuk beberapa detik sebelum membuang pandangan dari Jelita.

"Sabar aja dulu, Mas. Mungkin memang Kak Vivian masih belum siap untuk menikah. Kalian bisa menikmati masa-masa–"

"Kami sudah selesai. Benar-benar selesai, Lita." Henning memberi senyum tipis namun Jelita bisa menangkap kesedihan dari nada suara kakaknya. Pada saat seperti ini Jelita merasa tengah melihat dirinya sendiri, hancur karena cinta.

Kenapa jatuh cinta harus menyakitkan begini 'sih? Mereka membiarkan diri rapuh bukan untuk tersakiti seperti ini.

"Nggak usah pasang wajah seperti itu. Mas nggak apa-apa. She doesn't want to marry me at the moment, and I can't wait for her anymore. I am not getting any younger."

"Harusnya Mas bisa menunggu satu tahun lagi."

"Sudah, Lita. Kalau tahun depan masih belum siap juga? Apa gue harus nunggu sampai sepuluh tahun? I want to create a family like ours, and for that to happen, I need a wife, not a girlfriend."

"Mas Henning nggak akan menyesal? Kalian sudah bareng tujuh tahun."

Henning menyentil kening adiknya tanpa berniat menjawab. Ia memaksa Jelita untuk menghadap ke layar televisi seraya menyandarkan kepala pada pundaknya. Lebih baik Henning tidak mendengarkan ocehan Jelita daripada dirinya dibuat semakin terpuruk.

"Dek," panggil Henning sepuluh menit kemudian. "Gue nggak tahu masalah lo sama Ian apa, tapi kalau menurut perkiraan gue sih kalian lagi ada miskomunikasi jadi sebaiknya kalian berbicara. Ian itu tipe yang pasti akan menjelaskan semuanya dengan rinci asal lo bertanya."

Entahlah, Jelita tidak tahu. Rasanya ia sudah dibodohi berkali-kali. Jelita tidak bisa lagi membuat dirinya berlaku bodoh dan mempermalukan diri sendiri.

"Tapi kalau masalah kalian ternyata lebih serius dari sekedar komunikasi, pasti gue dan ayah akan turut campur. We will not let him harm our Princess."

Jelita hampir ingin menangis dan menuangkan semua keresahan hatinya, namun mengurungkan niat karena sadar jika keluarganya mengetahui semuanya pastilah mereka langsung mengurus perceraiannya.

"Thank you, Mas Henning. Kalau begini Lita sayang banget sama Mas."

Henning berdecak kesal namun detik berikutnya ia mengusap kepala adiknya penuh perhatian, berusaha membuat Jelita masuk ke dalam dunia mimpi sebab sejak tadi pria itu sudah menyadari jejak-jejak kelelahan di wajah adiknya.

Sebenarnya Henning ingin melangkah mundur dan membiarkan Jelita menyelesaikan masalahnya sendiri, namun mengetahui perangai adiknya yang sering menghindar untuk waktu yang cukup lama rasanya akan semakin merugikan. Henning tidak suka melihat Jelita kurang semangat seperti sekarang.

Pria itu mengambil ponselnya, tertegun sesaat karena gambar lockscreennya yang masih menampilkan wajah menawan Vivian. Henning berusaha mengabaikan perih pada hatinya sendiri, lalu mengirimkan pesan singkat kepada mantan sahabat yang sekarang berubah status menjadi adik iparnya.

Adipati Henning D

*Sent a picture.

Ke apart gue sekarang soalnya Jelita sendirian.

Gue mau balik ke rumah sakit.

***

Adrian tahu seharusnya ia tidak berada dalam ruang yang sama dengan sang istri terlebih tanpa wanita itu ketahui sama sekali, namun ia tidak bisa menahan diri ketika membaca pesan dari Henning. Mengetahui sahabatnya itu masih setengah rela merestui mereka, maka pesan itu bermakna sangat besar yang berarti Henning sekarang dengan sukarela menjembatani dirinya dan Jelita.

Entah sudah berapa angka yang dilewati oleh jarum pendek jam, namun Adrian masih setia duduk memandangi istrinya yang tertidur begitu pulas seraya menggenggam tangan kanannya dengan erat. Adrian 'sih terlalu bahagia karena ternyata dalam bawah sadar Jelita, wanita itu masih meraih untuk menyentuhnya.

Perlahan-lahan Adrian mengecup kening istrinya, sebuah aksi yang makin ke sini terasa lebih mudah. Mungkin Satya benar. Adrian hanya perlu untuk menerima apa yang tengah ia rasakan dengan pikiran terbuka. What he feels isn't wrong at all, it's normal to fall for his wife's charm. Jelita bukan adiknya, dan yang paling penting untuk Adrian tanamkan di dalam kepala, perasaannya tidak pernah mekar sampai mereka berada dalam hubungan pernikahan.

Adrian berakhir tersenyum tipis, ia kembali menikmati waktunya memandangi wajah polos Jelita yang secantik namanya.

Kurang lebih dua jam Adrian berada dalam posisi yang sama hingga tangan serta kakinya terasa keram semua, jika bergerak ia yakin akan meringis. Pada saat yang sama, akhirnya lengguhan kecil keluar dari bibir sang istri. Kedua alis Jelita menukik, keningnya berkerut, dan mulutnya bergerak seolah tengah mengunyah sesuatu, sebelum akhirnya kedua mata wanita itu terbuka perlahan-lahan.

Adrian menahan napas, mempersiapkan hati untuk diusir oleh Jelita begitu keberadaannya terbongkar, namun sampai hampir satu menit kedua mata wanita itu masih menghadap langit-langit yang tak menarik sama sekali.

Sebuah kejadian yang tak Adrian duga pun terjadi, wanita itu menarik tangan kanannya untuk dipeluk di depan dada dengan kekuatan penuh hingga Adrian tanpa sengaja hampir menjatuhkan diri ke arah wanita itu.

"Jel–"

Belum selesai Adrian berseru, Jelita lah yang terlebih dahulu memberikan reaksi. Entah bagaimana caranya, Jelita sudah melompat jatuh dari ranjang. Wanita itu terlihat bingung, kedua matanya terus melihat Adrian serta pintu kamar secara bergantian. Jelita kemudian menggeleng, memukul pipinya sendiri seolah tidak percaya dengan apa yang tengah berada di hadapannya.

Satu kali, tidak ada perubahan.

Dua kali, masih sama.

Okay, sepertinya memang kurang keras.

Rencana untuk memberi tamparan ketiga tentu saja digagalkan Adrian. Pria itu berdiri di hadapannya, menjulang bagaikan raksasa yang menakutkan terlebih ekspresinya menunjukkan ketidaksukaan.

"Sudah berapa kali saya bilang kalau saya tidak suka melihat kamu menyakiti diri sendiri."

Cih, tapi kamu udah nyakitin aku berulang kali. Jelita ingin membalas seperti itu, namun berakhir tanpa suara. Ia menarik pergelangan tangannya yang masih berada dalam kekangan Adrian.

"Kenapa menemui aku tanpa izin? Aku 'kan sudah bilang butuh waktu."

Menghela pelan, Adrian membalas, "Henning yang meminta saya datang, katanya kamu sendirian. Dia takut ada orang yang jahat masuk dan melukai kamu, jadi saya datang sebagai penggantinya untuk menjaga kamu."

Jelita merotasikan kedua mata malas. Apakah mereka pikir dirinya bodoh? Lingkungan apartment Henning yang terkenal memiliki pengamanan ketat kebobolan? Setidaknya mereka harus memilih alasan yang lebih logis kalau ingin membual.

"As you can see, I am perfectly well and there is no sign of forced entry. So please leave."

"Aren't you going to let me talk?"

Detik itu juga Jelita merasa jantungnya memompa dengan liar. Ia menghindari tatapan penuh harap yang diberikan pria itu. Tangannya dikepalkan terlalu kuat hingga kuku-kuku yang tajam menyakiti telapak tangan, bibir bawahnya pun tidak lepas dari sasaran sebagai pelampiasan gelisah.

"Bibir kamu bisa luka, sayang." Jempol Adrian menyentuh bibir sang istri, memaksa gigitan wanita itu lepas. "Kalau memang sekarang tidak bisa, saya bisa pulang. Jangan menyakiti diri seperti ini."

Diamnya Jelita seperti sebuah afirmasi bahwa Adrian kembali ditolak. Entah sampai kapan ia akan terus mendapatkan penolakan. Jelasnya ia tidak akan menyerah sebelum Jelita memberikan kesempatan lagi.

Ketika Adrian berbalik, Jelita dapat merasakan hatinya kembali retak. Punggung kokoh suaminya terlihat rapuh, pun Adrian terlihat seperti seorang prajurit yang baru saja kehilangan wilayahnya dalam perang–melangkah lemah penuh kekalahan.

Sebaiknya kalian bicara.

Kalimat Henning semalam terus terngiang, mendorong Jelita untuk mengikuti. Selama ini ia menunda karena tidak siap mendengarkan pengakuan baru yang mungkin akan menghancurkan dunianya tanpa sisa. Upaya untuk menunda konfrontasi masalah semata-mata dilakukan karena Jelita ingin melindungi diri tanpa memperdulikan bahwa mungkin Adrian menderita. Jikapun Adrian benar-benar tersiksa, Jelita dalam diam pernah berharap bahwa apa yang suaminya rasakan lebih membunuh daripada yang dirinya rasakan. Jelita pikir dengan begitu mereka akan impas, dan ia akan lebih lega.

Sekarang bukti Adrian menderita terpampang dalam wujud yang nyata, namun kelegaan tidak Jelita temukan sama sekali–yang ada hanya sakit saja.

"Mas," Jelita membuka suara, begitu pelan bagai suara kucing kecil yang ketakutan. "Let's talk."

Lalu bongkahan batu yang begitu besar yang menimpa dada Jelita seolah-olah terangkat dalam hitungan detik begitu Adrian berbalik dengan ekspresi berkaca-kaca.

Sejak masih belia hingga sekarang pun, ternyata Jelita memang tidak sampai hati kalau harus melihat Adrian tersiksa. She could pick a star if he wished as long it would make him happy.

Ya, segila itu Jelita mencintai Adrian.

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Extra Bunga Terlarang: Baby’s Breath
23
2
“The first breath, the first cries that call for endless happiness.”
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan