
"Wanita itu paling lemah hatinya. Mudah tersentuh, mudah pula terluka."
Senin datang sungguh tidak terasa. Rasanya seperti baru saja menarik napas lega kala hari Sabtu berakhir dengan lancarnya. Libur sehari hanya terasa seperti mengedipkan bola mata sesaat.
Butuh lebih banyak waktu untuk bermesraan dengan segala perhobian yang hanya bisa dilakukan saat Minggu datang. Rebahan misalnya. Menikmati aroma bantal dengan tubuh berbalutkan selimut yang tebal. Sayangnya, kenikmatan itu hanya datang sekali dalam seminggu. Berdesak-desakan di dalam angkot akan mengubah hari ternikmatmu.
Seorang cewek berseragam putih abu-abu yang melekat di tubuhnya, menguap menahan kantuknya. Ingin sekali dia cepat-cepat sampai sekolahnya. Ah, bukan! Cewek berambut panjang sebahu itu, lebih ingin cepat-cepat sampai kembali ke rumahnya.
"Permisi."
Cewek yang duduk diapit dua ibu-ibu itu mendongakkan kepalanya. Gerak matanya memperhatikan seseorang yang baru saja masuk sehingga menambah sesak suasana angkot.
"Hai, Pio!" sapa cowok berseragam serupa yang baru saja masuk ke angkot itu.
Piony. Nama cewek itu. Ia tampak hanya berdeham pelan untuk membalas sapaan cowok itu.
"Pagi Kak Rama!" Bukan Piony yang membalas sapaan cowok itu. Melainkan dua cewek dengan seragam serupa dengan Piony.
"Pagi juga." Balasan sapaan dari Rama membuat kedua bola mata Piony memutar ke atas. Dasar tukang tebar pesona, batin Piony.
Rama Dominic. Salah satu dari deretan cowok paling populer di SMA Angkasa. Yang Piony tahu, cowok yang duduk di seberangnya itu sering kali maju ke depan saat upacara. Bukan untuk menjadi pasukan pengibar bendera, apalagi menjadi anggota paduan suara.
Cowok yang tingginya 175 cm itu, langganan mendapatkan penghargaan karena prestasinya dibidang akademik maupun non akademik.
Bukan hanya itu. Rama sangat populer karena parasnya yang sangat tampan. Apalagi bibir cowok itu sangat ramah senyuman. Membuat banyak siswi menjerit saat melihat senyumannya. Termasuk kedua cewek ini. Mereka tak henti melirik dan tersenyum saat berada didekat Rama.
Tapi senyuman dan sapaan ramah dari Rama, tidak berlaku untuk Piony. Piony jarang sekali membalas sapaannya, bahkan membalas senyuman cowok itu pun enggan. Mungkin saja hanya Piony yang berprilaku seperti itu pada Rama.
Bukan karena Piony sombong atau malas tersenyum. Tapi perempuan itu sungguh tak menyukai sifat ramah tamah dari Rama.
Bagi Piony, laki-laki tidak seharusnya menebar senyum ke semua wanita seperti itu. Rama yang terlihat terlalu baik, justru malah Piony anggap sebagai kedok.
Siapa tahu dia sebenarnya punya niat mau pacarain semua cewek di sekolah? Itu yang selalu Pio pikirkan soal Rama.
"Kak Rama kapan-kapan ajarin aku dong, biar aku pinter kayak Kak Rama," kata salah satu cewek di sebelah Rama.
Kan? Dia itu ada niat tebar pesona. Lagian ngapain di angkot baca buku pelajaran, sih? Mau caper kali ya.
"Kamu udah pintar, kan, Nadia. Masa masih minta diajarin sama aku," balas Rama. Entah dari mana Rama bisa tahu nama adik kelasnya itu. Piony saja tidak kenal.
"Anak saya di rumah otaknya bodoh banget, Nak. Duh! Ampun deh Ibu sama anak perawan Ibu itu." Kini giliran ibu-ibu di sebelah Piony yang berbicara. "Ah, siapa tahu Nak ganteng ini mau jadi guru private anak saya. Nanti saya bayar."
Piony melirik ke arah Rama yang terlihat menggaruk-garuk tengkuknya. Cowok itu terlihat berpikir.
"Duh, maaf ya, Bu, saya belum pantas jadi pengajar. Lagi pula saya masih sibuk sama tugas sekolah saya," tolak Rama sopan.
"Begitu, ya. Ya udah nggak pa-pa. Kalau nggak bisa datang ke rumah jadi guru private anak saya. Kamu boleh datang sebagai calon mantu saya, kok."
"Ih, Ibu kok main jodoh-jodohin gitu aja, sih. Lagian mana mungkin Kak Rama mau sama anak Ibu. Kenal juga enggak," cibir Nadia.
"Karena nggak kenal itu saya ajak Nak ganteng ini untuk ke rumah saya. Biar saling kenal," balas ibu itu.
"Jangan ya Kak Rama! Kita kan harus hati-hati sama orang asing."
"Eh, Neng maksudnya apa ngomong begitu? Emang saya orang jahat apa harus hati-hati segala?!" Ibu tersebut tampak tidak terima dengan ucapan Nadia. Lihat saja matanya yang seperti ingin menusuk Nadia lewat tatapannya yang tajam.
"Emang kalau orang hati-hati nggak boleh apa, Bu?" balas Nadia. "Sewot aja deh. Dasar Emak-emak!"
"Heh, kok kamu ngomongnya nggak sopan, sih?! Padahal mau pergi ke sekolah, tapi bicaranya seperti tidak di sekolahkan!"
Piony menepuk dahinya merasa perdebatan antara Nadia dan ibu tersebut sangatlah konyol.
Ngapain, sih, ngerebutin cowok? batin Piony sambil mengeluarkan headset dari saku seragamnya.
"Maaf, Ibu, Nadia. Jangan berantem ya!" tegur Rama dengan lembut.
Bukannya diam. Nadia dan ibu tersebut malah makin kencang berdebat. Mereka bahkan tidak memperdulikan teguran dari penumpang lain yang merasa terganggu dengan suara mereka.
Piony duduk dengan tenang sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya menatap ke arah Rama. Seolah mengatakan kalau keributan ini adalah akibat dirinya.
Sedangkan Rama terlihat mengangkat buku yang ia pegang. Menutupi wajahnya karena merasa malu sekaligus mencoba menghindari tatapan tajam Piony.
Perdebatan antara murid sekolah dan ibu rumah tangga itu masih berlangsung. Sampai akhirnya Piony dan Rama bisa bernapas lega saat gerbang besar SMA Angkasa sudah terlihat di depan mata mereka.
"Kiri, Bang!"
"Bang kiri!" seru Piony dan Rama bersamaan.
Rama lebih dulu keluar angkot karena rasa malunya sudah tidak tertahan lagi. Suasana angkot yang pengap, semakin terasa tidak nyaman karena dirinya.
"Waduh, Dek, uangnya nggak ada uang kecil aja? Saya nggak ada kembalian," kata sopir angkot saat Rama menyerahkan uang Rp. 50.000 untuk membayar ongkos.
"Saya juga nggak ada uang lagi, Bang. Saya tukar dulu gima—"
"Nih Bang," sela Piony. "Ongkosnya berdua sama ... dia," lanjut cewek itu setelah menyerahkan uang Rp. 10.000 kepada sang supir.
"Makasih, Piony." Rama tersenyum, canggung.
Piony menganggukan kepalanya tak acuh. Tangannya sedang sibuk memasukan kembali headset ke dalam saku seragamnya.
"Lain kali tuh jangan cuma bisanya baca buku pelajaran doang. Lo juga harus bisa baca situasi. Lagian ya, pagi-pagi kayak gini, sopir angkot masih jarang punya kembalian."
"Sebelum hujan sediakan payung. Sebelum naik angkot sediakan recehan. Gitu aja harus diajarin," lanjut Piony dan kemudian berjalan melewati Rama yang tengah berdiri termangu.
"Satu lagi!" Langkah kaki Piony terhenti. Ia berbalik sambil menunjuk ke arah Rama. "Lain kali nggak usah naik angkot lagi. Lo mancing keributan!"
Untuk pertama kalinya Rama merasa kehadirannya tidak diingikan di Bumi ini.
***
"Jangan tinggalin gue! Gue ganti pembalutnya sebentar doang kok, Pi." Fia Alfiani. Sahabat sekaligus sepupu Piony itu, tak pernah mau pergi ke toilet sendirian. Cewek itu akan selalu minta ditemani Piony atau sahabatnya yang lain—Maria, Alia, atau Nada.
"Iya, iya. Jangan lupa bekas pembalutnya dibuang! Jangan jorok!" kata Piony mengingatkan.
"Tenang aja! Gue nggak jorok," balas Fia. Kemudian cewek itu masuk ke salah satu bilik di toilet wanita itu.
Sembari menunggu Fia keluar dari toilet. Piony menonton murid Kelas 11 IPA 1 yang sedang beraktivitas di tengah lapangan. Sepertinya mata pelajaran penjaskes sedang berlangsung di kelas itu. Dari balkon lantai dua, Piony bisa melihat dengan jelas semua kegiatan para murid di tengah lapangan. Tidak semua murid terlihat bersemangat. Mereka yang tidak suka dengan mata pelajaran olahraga, terlihat ogah-ogahan saat melakukan pemanasan.
"Aaaa! Ya ampun kak Rama keren banget, sih, pakai kaus olahraga. Badannya itu loh. Atletis banget."
"Lo ngebayangin nggak, sih, kalau misalnya kita pingsan, terus kak Rama yang gendong kita?"
"Gue bakal pura-pura pingsan setiap hari."
Bola mata Piony memutar ke atas saat mendengar obrolan para gadis yang berjalan di belakang Piony.
Dia bilang apa? Pengin pura-pura pingsan? Cih, kenapa nggak pura-pura mati aja, sih? Biar si Rama itu yang kuburin kalian. Umpat Piony mencibir dalam hatinya.
"Eh, kayaknya gue pernah liat lo deh." Piony membalikkan badannya saat seseorang menepuk pundaknya.
Nadia. Cewek genit di angkot tadi pagi yang telah menepuk pundak Piony.
"Ada apa?" tanya Piony terdengar sedikit ketus.
"Lo yang tadi pagi, kan? Yang disapa sama kak Rama terus bayarin kak Rama angkot."
Piony menghela napasnya pelan. "Iya, kenapa emang?"
"Lo pasti naksir juga, kan, sama kak Rama?" tanya Nadia asal.
"Ya nggak, lah! Alasannya apa coba yang bikin gue suka sama dia? Nggak ada kali."
"Masa, sih? Buktinya aja lo lagi diem-diem ngeliatin kak Rama dari atas sini. Itu maksudnya apa coba kalau bukan karena naksir?" kata cewek di sebelah Nadia.
Piony mendengus dengan mata mendelik. Ingin rasanya ia menegur para cewek itu dan mengatakan pada mereka kalau Piony ini adalah kakak kelas mereka. Seharusnya mereka memanggil Piony dengan embel-embel 'kakak', bukan dengan 'lo-gue'. Dasar nggak sopan.
"Atau mungkin lo salah satu penggemar kak Rama, yang sukanya itu diam-diam ya? Ngaku deh lo!"
"Wah. Penggemar rahasia dong," kata mereka diakhiri dengan tawaan yang terdengar menyebalkan di telinga Piony.
"Ngomong apa ,sih, lo berdua?" ujar Piony. "Mending sana, deh, balik ke kelas kalian! Nggak usah kepo sama orang lain!"
"Ih, judes banget sih lo." Nadia tampak tidak suka pada Piony.
"Ya udah yuk! Kita balik aja ke kelas," kata Nadia lagi. "Biar dia seneng ngeliatin kak Rama sendirian dari atas sini. Jangan diganggu!"
Piony diam saja saat mendengar ucapan Nadia itu. Yang penting bagi Piony, mereka segera pergi dan menghilang dari pandangannya.
Lima langkah kaki Nadia dan temannya itu menjauh dari Piony. Piony langsung dibuat menganga ketika melihat bola basket melayang dengan sangat tinggi dan menghantam kepala Nadia dengan kencang.
"Nadia!" pekik temannya Nadia, panik.
Piony melongok ke bawah. Dan pandangannya langsung bertubrukan dengan mata Rama.
"Pio lo nggak pa-pa?" teriak Rama dari lapangan.
Kepala Piony menggeleng pelan dan jarinya menunjuk ke arah samping. "Ada yang pingsan, tuh, gara-gara bola basket lo."
"Mampus lo, Bal. Tanggung jawab lo anak orang pingsan, tuh."
"Gimana sih lo, Bal? Lempar bolanya jangan sambil marah-marah! Makan korban kan, tuh."
Iqbal–teman sekelas Rama yang ternyata pelakunya. Entah apa yang membuat cowok itu melempar bola basket dengan sangat tinggi. Yang jelas, akibat bola itu sekarang Nadia sedang terkapar tidak sadarkan diri di lantai.
"Jangan bohong lo! Mana yang pingsan nggak keliatan tuh." Iqbal mencoba membela diri.
Piony meletakkan telapak tangannya di bawah dagunya. Cewek itu nampak santai setelah apa yang terjadi antara Nadia dan bola basket itu. Piony bahkan tidak ada niat untuk membantu Nadia. Jahat memang.
Lagi pula, jelas saja mereka tidak bisa melihat Nadia yang tengah pingsan saat ini. Pagar di balkon itu hampitrr setinggi dada Piony. Sedangkan Nadia dan temannya terkapar di atas lantai.
"Kalau lo nggak percaya. Naik aja sini! Lihat gimana kasarnya lo sampai bikin, tuh, cewek berdarah dan pingsan," kata Piony.
Semua teman sekelas Iqbal mulai meneriaki cowok itu untuk segera naik dan menolong Nadia. Guru penjaskes yang sedang mengajar pun menyuruh Iqbal untuk segera naik dan membantu Nadia.
Raut wajah Iqbal terlihat malas, padahal ia pelakunya. Tapi dari gelagatnya, ia terlihat tidak panik sama sekali. Merasa khawatir pun tidak.
"Biar gue aja, Bal. Lo ke gudang olahraga aja, ambil bola basket yang baru. Biar yang pingsan itu gue yang urus." Iqbal menganggukan kepalanya setelah Rama menawarkan diri untuk membantu Nadia dengan suka rela.
Piony tidak bisa mendengar percakapan Rama dan Iqbal di bawah sana. Piony hanya bisa melihat dan menyaksikan Rama yang sedang berlari cukup kencang menuju tangga. Sedangkan Iqbal berjalan santai ke arah gudang. Dahi Piony mengerut saat Rama tiba dan berjongkok di depan Nadia dengan napas yang tersengal-sengal. Kenapa jadi dia yang nolong?
"Kak Rama tolong bantuin Nadia Kak!" rengek teman Nadia pada Rama.
Rama menatap Piony sebentar. Tapi Piony buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah lain.
"Kita bawa Nadia ke UKS ya," kata Rama sambil mengangkat tubuh Nadia dan menggendongnya.
Piony diam-diam memperhatikan Rama yang sedang membantu Nadia, tanpa berniat untuk membantu ataupun mendekat. Piony tidak menyangka kalau Rama yang akan datang membantu Nadia.
Sebaik itu kah sifat Rama? Atau se-pintar itu kah Rama berpura-pura baik?
Entahlah. Atau mungkin hanya Piony saja yang terlalu berpikir negative tentang Rama. Bahkan sampai Rama dan kedua cewek itu hilang dari pandangan Piony. Piony tetap saja terlihat santai dan tidak perduli.
Biarin aja. Si Nadia itu sendiri yang kepengin pingsan terus digendong Rama. Sekarang bener kejadian. Ngapain juga gue bantuin. Pas sadar nanti juga kegirangan tuh anak. Lagi-lagi Piony menggunjing dalam batinnya.
"Yuk, Pi. Kita balik ke kelas."
Piony menatap tajam ke arah cewek yang baru saja keluar dari dalam toilet. "Gue bilang, kan, jangan lama-lama! Kenapa lo malah lama banget di dalem, hah?"
Fia mendekati Piony dengan cengiran renyah di bibirnya. "Jangan marah apa, Pi! Gue kira daleman gue nggak kena. Eh, ternyata tembusnya sampai ke celana dalam gue. Jadinya lama deh. Maaf, ya."
"Terserah lo, deh. Gue mau buru-buru balik ke kelas. Capek abis liatin orang pingsan."
"Ha? Ada yang pingsan, Pi? Siapa? Kok nggak lo tolongin?" tanya Fia sambil menyusul Piony yang sudah berjalan sedikit jauh darinya.
Piony menggelengkan kepalanya malas. "Udah ada yang nolongin. Pangeran di sekolah kita."
***
Moment yang sangat ditunggu oleh Piony telah tiba. Bel pulang sekolah yang siap menemani langkah Piony menuju gerbang sekolah untuk segera pulang ke rumahnya telah berkumandang.
"Piony jangan lupa kalau sampai rumah—"
"Langsung cuci kaki, cuci tangan, basuh muka, dan ganti baju? Inget lah gue Fia. Masa gitu aja gue kudu diajarin," sela Piony.
"Sholat jangan lupa ya Piony!"
Piony tersenyum manis seraya mengangguk membalas ucapan Nada.
"Gue balik duluan, ya. Warung sembako bokap gue harus gue jagain, nih. Takut kalau dijagain sama adik gue yang ada nanti permen sama gula pasir di warung ludes sama dia," ujar Maria.
"Masih untung adik lo makan permen sama gula pasir, Mar. Gue khawatir dia iseng jilatin terigu sama sabun colek nantinya. Kan bahaya," timpal Alia membuat ketiga temannya–Piony, Fia dan Nada–tertawa mendengar candaannya.
"Kalian keluar sekolah duluan aja! Gue masih ada urusan." Piony bangkit dari kursinya sambil menyelempangkan tasnya.
"Urusan ilegal aja lo sok-sokan dibuat penting kayak begitu," cibir Fia.
"Jangan bocor deh!" balas Piony dengan tangan mencolek dagu Fia-berniat menggoda. Fia dengan cepat menepis tangan Piony karena merasa geli.
"Gue duluan ya, sobat. Bye!" Piony dengan kecepatan kilat pergi meninggalkan kelasnya.
Semua murid terlihat sudah keluar dari kelas mereka masing-masing. Hanya segelintir murid cerdas saja yang masih terlihat disekitaran sekolah. Entah masih ingin belajar, atau sedang menghadiri salah satu kegiatan sekolah.
Piony sedikit memelankan langkah kakinya saat ia hampir sampai ke tujuannya. Tempat semua kursi dan meja tidak terpakai, yang diletakkan di samping aula sekolah, yang sudah sepi.
Tangan Piony kini merogoh kesalah satu laci meja rusak itu. Jemari lentik cewek itu mencoba meraih sesuatu dari dalam laci tersebut.
"Ini dia," seru Piony pelan saat tangannya berhasil mendapatkan apa yang dia cari.
Satu buah susu kotak rasa cokelat berhasil Piony sembunyikan dari teman-temannya. Piony hafal sekali dengan sifat teman-temannya itu. Kalau salah satu dari mereka ada yang membawa makanan atau minuman dari luar. Mereka pasti langsung berebut untuk saling mencicipi. Makanya Piony menghindari hal itu dengan menyembunyikan susu kotak kesukaannya. Bukannya Piony pelit. Dia hanya tidak ingin menyesal jika membiarkan teman-temannya untuk mencicipi susu kotaknya.
Nanti malah kaga kebagian lagi. Itu yang selalu Piony pikirkan.
Tangan Piony baru saja hendak menusukkan sedotan ke lubang susu kotak itu. Namun, ia mengurungkan niatnya saat telinganya mendengar suara decitan lantai yang saling beradu.
Apa ada yang datang? Apa Piony akan dipergoki oleh Fia, Maria, Nada dan Alia?
"Kenapa harus bicara di sini?"
Suara berat milik seorang laki-laki mulai terdengar. Piony dengan cepat bersembunyi di balik tembok dan duduk disalah satu kursi.
"Ka-karena ... di sini sepi?"
Alis Piony saling tertaut. Kini suara perempuan yang terdengar di lorong dekat aula itu. Mau apa murid laki-laki dan perempuan datang berduaan ke lorong yang sepi ini? Jangan sampai Piony berpikir yang macam-macam!
"Ya udah, tapi jangan lama-lama ya, Nadia!"
Nadia? Kok kayak nggak asing?batin Piony.
"Sebentar doang kok, Kak. Aku janji habis ini aku langsung pulang. Tapi Kak Rama harus dengerin aku, ya!"
Rama? Oke, kali ini bener-bener nggak asing. Ngapain Rama sama Nadia berduan?
Ujung bibir Piony tertarik membentuk sebuah smirk.
Cewek itu kini benar-benar menusukan ujung sedotan ke atas susu kotak itu. Dengan santainya ia bersender di kepala kursi sambil menyedot isi susu kotak yang ia pegang.
Sambil menunggu Rama dan Nadia pergi dari lorong itu. Tidak ada salahnya Piony menikmati susu miliknya sambil menguping pembicaraan Rama dan Nadia.
"Ya udah, kamu mau ngomong apa? Aku nggak bisa lama-lama," kata Rama.
Kepala Nadia tertunduk. Jari-jemarinya tidak bisa diam memainkan roknya. "Sebelumnya aku mau bilang makasih sama Kakak karena udah tolongin aku tadi. Terus aku juga mau bilang kalau aku ... suka sama Kak Rama. Kak Rama mau nggak jadi pacar aku?"
Pernyataan cinta dari sang cewek membuat Piony sedikit kaget sekaligus penasaran. Nadia benar-benar pemberani.
Rama tidak langsung menjawab pernyataan cinta dari Nadia. Dia diam sejenak. Lalu sedikit mendekat ke arah Nadia dan memegang pundak cewek itu dengan bibir tersenyum.
"Makasih ya Nadia, aku merasa tersanjung karena kamu suka sama aku. Tapi maaf ...." Ucapan Rama menggantung. Tapi Nadia dan Piony sudah tahu apa yang akan Rama katakan selanjutnya.
"Kita cukup jadi teman baik aja ya Nadia. Aku nggak sedang memikirkan soal pacaran," lanjut Rama membuat Piony tersenyum menyeringai. Selamat Anda ditolak, Nadia.
Sedangkan Nadia tampak tersenyum kecut. Ada yang ia sembunyikan dibalik senyumannya itu.
"Nggak pa-pa kok, Kak! Ka Rama, kan juga sibuk ikut lomba di sekolah. Kalau pacaran nanti kegiatan Kakak bisa keganggu, kan?" kata Nadia dengan senyuman terpaksa. Sebelum Nadia mengungkapkan cintanya pada Rama. Dari awal dia memang sudah siap untuk patah hati.
"Maaf ...." lirih Rama. Cowok itu merasa tidak enak karena telah menyakiti hati adik kelasnya itu.
"Kalau gitu aku pulang duluan ya, Kak."
Rama menganggukan kepalanya pelan menyetujui ucapan Nadia. "Hati-hati!"
Mata Rama memperhatikan kepergian Nadia yang terlihat tidak bersemangat. Penolakan cinta yang ke dua puluh dalam sebulan ini, membuat Rama merasa menjadi cowok yang jahat.
Pundak Rama bersender pada tembok putih di belakangnya. Telapak tangannya mengusap pelan keningnya yang terasa agak pening. Urusan percintaan yang tidak pernah bisa Rama hadapi.
"Kalau nggak mau resah begitu. Harusnya lo jangan terlalu baik ke semua perempuan. Perempuan itu paling lemah hatinya. Gampang kesentuh, gampang juga terluka."
Rama menegakkan badannya mensejajarkan tubuhnya dengan Piony.
Setelah kepergian Nadia. Piony akhirnya keluar dari persembunyiannya dan menghampiri Rama dengan tatapan tidak sukanya.
"Lo kayaknya nggak suka ya sama gue, Piony?" tanya Rama pada cewek di hadapannya itu.
"Memang," jawab Piony singkat.
"Gue iri sama lo," ujar Rama, "lo gampang bilang nggak suka ke orang lain, tanpa peduli udah nyakitin hati orang lain."
"Lo tinggal tutup mata lo, dan lo bayangin orang yang ada di hadapan lo itu, orang yang paling lo benci."
"Kenapa? Kenapa lo nggak suka sama gue?" tanya Rama penasaran.
"Gue nggak pernah benci sama lo, Rama," jawab Piony. "Gue cuma nggak suka sama orang yang yang punya sifat kayak lo."
Dahi Rama mengerut. Ia tidak mengerti dengan ucapan Piony. Sifat Rama yang mana yang tidak disukai Piony? Bukannya Rama selama ini selalu bersikap baik?
"Ya, lo memang bukan orang jahat, sih. Lo itu cowok paling baik di sekolah ini. Itu yang gue tahu. Tapi apa lo nggak sadar? Sifat terlalu baik lo itu bisa jadi masalah buat lo sendiri. Apa lagi lo baiknya hampir ke semua cewek." Piony mencoba menjelaskan.
"Semakin sering lo berbuat baik sama mereka. Semakin sering juga lo nyakitin hati mereka," lanjut Piony.
Sebelah tangan Piony membenarkan tali tasnya, seraya berkata. "Mereka akan semakin jatuh cinta sama lo, kalau sifat manis lo itu terlalu lo tumpah ruahikan ke mereka."
"Tunggu, Pi!" Rama menahan tangan Piony saat perempuan itu membalikkan badannya dan hendak pergi dari tempat itu.
"Kenapa?" tanya Piony.
Rama menarik tangan Piony dan membuka kepalan tangan cewek itu. Rama kemudian meletakkan selembar uang Rp. 5000,- ke telapak tangan Piony.
"Gue nggak mau lo tambah benci sama gue kalau gue sampai lupa bayar utang ke lo," kata Rama sambil tersenyum.
"Makasih buat pinjaman uangnya. Gue nggak akan lupa bawa recehan lagi."
Piony diam terpaku menatap lembaran uang kertas itu. Cewek itu bahkan lupa dengan utang Rama pagi tadi. Tapi cowok itu mengingatnya. Padahal tidak masalah bagi Piony jika Rama tidak mengganti uangnya.
***
So, gimana menurut kalian cerita Neighborhood ini. Kalau kalian suka jangan lupa vote, komen, dan share ke sosmed dan teman-teman kalian.
Notes : Jangan ada war di antara kita. ~~
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
