#6. MUNDUR DEMI KEMAJUAN

0
0
Terkunci
Deskripsi

“Vajra!” Telunjuk Samitra menuding. Listrik menyambar dari tangannya. Dan telak menghantam... udara. Biru Kuasa mengelak begitu cepat seakan-akan tubuhnya berpindah begitu saja. Sama sekali tidak mengganggu irama langkahnya.

Aura hijau berbentuk tali menyeruak dari tanah, membelit kaki Biru hingga berhenti. Sang siluman harimau mengangkat alis.

1,521 kata

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Paket
9 konten
Akses 30 hari
200
Karya
1 konten
Akses seumur hidup
50
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya #7. REBOISASI MELALUI PEMBALAKAN
0
0
Di pelataran parkir bagian Barat kampus, Kukun, Oji, dan Popo berlindung di samping Avanza silver. Mereka mengamati sekitar dengan waswas.Kukun, sang kunti dengan krisis identitas, mengenakan jaket panjang dan topi. Sementara Oji menggunakan hoodie ukuran anak, dengan tudung terpasang. Sang tuyul paro baya juga memakai celana pendek yang bagian bawahnya tetap mencapai mata kaki.“Pake jimatnya lagi, dong!” desis Oji.“Gak bisa! Nih, lihat sendiri!” Kukun mengeluarkan kalung Nirawas, dengan leontin berbentuk mata dari balik bajunya. Bagian pupil yang tadinya merah darah kini hitam. “Tuh, masih ngisi. Kukun kan udah bilang kalo buat tigaan pasti lebih cepet habis!” Mereka berdua melempar tatapan menyalahkan ke Popo yang duduk selonjoran.Popo mengangkat bahu, “Siapa suruh pake dari awal? Hemat dong.”Mata Kukun dan Oji memicing sinis. Karena penampilan Popo berbeda sendiri. Sang pocong gembung mengenakan mantel mandi biru tua besar yang--dari sisi warna--harmonis dengan kafannya. Yang sama sekali tidak harmonis itu lokasi pemakaiannya.“Kalau gak pake, baru keluar rumah juga kita udah ditangkep, tahu!” geram Kukun.“Masih untung belum ada yang lapor satpam liat baju lo kayak gitu,” tambah Oji.Popo merengut, “Kalian juga sama aja, tahu!”“Eits! Beda dong!” Kukun dan Oji sinkron berdiri lantas bertolak pinggang.“Kami sih gak menarik perhatian,” tambah Oji.Segerombolan mahasiswa berjaket himpunan lewat dan menoleh. Mereka saling pandang dan berbisik-bisik. “Anak seni rupa, ya?” Sebagian mengangkat bahu, “Paling.” Ada yang geleng-geleng, “Itu anaknya?”“Pindah, yuk?” usul Oji, yang langsung berbalik dan menjauh. Pendengaran mereka bertiga sebagai makhluk halus lebih sensitif.“Yuk,” susul Kukun. “Tanpa menarik perhatian.”“Gada yang mau bantuin berdiri, nih?” Popo mengangkat tangan.Oji dan Kukun mengerang bersamaan. Mereka terpaksa kembali dan menarik Popo bangkit. Kukun mengingatkan, “Jalan ya, Po. Jangan loncat.”  “Iya, iyaaaa,” jawab Popo.“Iyanya sekali aja!” tukas Kukun.“I—““Kalau berani-berani ngomong ‘Iya sekali aja’...” Kalimatnya menggantung. Tapi nada Kukun yang tajam sudah cukup mengiris kekesalan Popo sampai ciut.Kemudian mereka menelusuri bagian lahan parkir yang lebih sepi.Popo mendeham. “Gak nyangka, beneran. Samitra beda banget kalo di luar.”“Iya, kan!” Kukun menanggapi ceria. Judesnya langsung sirna.Popo mengangguk, “Sering banget senyum, lagi.”  “Ohoho,” Kukun mengeluarkan ponsel dan buka galeri foto, memamerkan koleksinya, “Bukan cuma senyum kok. Masih banyak yang lain.”Popo bingung, “Itu motonya kapan?”“Udah kayak stalker dah,” gerutu Oji.“Masih banyak apa nih, kalau boleh tahu?” Terdengar suara dari belakang mereka.Ekspresi ketiga wadwa langsung kaku. Dingin menjalari tengkuk mereka. Kukun bahkan tak bisa menahan jeritan kecil dari mulutnya. Mereka bertiga menoleh perlahan, bersamaan.“Halo, Bos,” sapa Oji.  Kukun belum bisa mikir dan jadinya malah ngomong, “Udah lama gak ketemu, ya?”Popo berusaha membantu tapi malah bikin lebih parah, “Kebetulan banget nih, ketemu di sini!”Pandangan Samitra menyorot tajam.Ketiganya bergidik dan langsung menjura.“Maaf, Bos!”“Ampun!”“Gue dari awal udah bilang gak mau tapi dipaksa ikut!” Tentunya Popo yang menggali jurang sendiri.Oji dan Kukun langsung memancarkan hawa pembunuh pada sang pocong.Samitra mendecak, “Kan udah gue bilang, kalian gak boleh ikut ke kampus!”Kukun membela diri, “Soalnya kalau di rumah, Sam gak asyik.”Oji mendukung, “Lempeng banget, Bos!”“Betul! Ekspresif dong, bagus!” Popo ikutan semangat. “Oh?” Samitra maju. Kedua ujung bibirnya melebar naik. Tanpa sadar, ketiga wadwa mundur dan saling menempel, dengan Popo sebagai pusat. Samitra meremas kepalan tangannya. “Jadi mau lihat gue yang penuh ekspresi? Boleeeeeh.”“MAAAK!” jerit Kukun, yang sebenarnya—berdasarkan riwayat kemakhlukhalusan--yatim.Oji panik, “GAK JADI, BOS!” “LEMPENG AJA, BAGUS!”DEG!Amarah Samitra terputus seperti benang layangan tersabet helikopter. Ia merasakan hawa negatif yang kuat menusuk sesaat. Dari reaksi mereka, ketiga wadwa juga menyadari hal sama.Samitra menengok ke arah sang tuyul, “Ji!”   Sang tuyul menunjuk ke wilayah pusat kampus, “Dari situ!”Sebelum kalimat Oji berakhir, Samitra sudah melaju ke sana.“AAAAAAAAH!” teriak para pekerja yang kabur berpencar.Sang mandor berkumis baplang jatuh terduduk. Mulutnya menganga. Di hadapannya, asap hitam mewujud jadi siluman pohon bertaring babi hutan. Bagian bawahnya masih menempel dalam celah pohon yang ditembus gergaji mesin. Sang siluman menempelkan kedua telapak di batang beringin dan mendorong sekuat tenaga.BHEEEENG-WEEEEENG!Seakan ada gelombang ledakan yang berpusat di pohon. Bukan berbentuk energi, melainkan tekanan jiwa. Orang-orang yang lari berjatuhan. Sebagian memegang dada. Sebagian meraung sambil menahan kepala.PLOP! Siluman Bertaring lepas dari pohon. Ia melayang bebas dengan wajah ceria, menggoyang-goyang “kaki”-nya yang berbentuk jalinan akar lebat. Tiap akar bergerak seakan mandiri.“Bebassss!” serunya. Sang siluman ingin menyanyikan kegembiraannya. Sayangnya, tidak pernah ada lirik kebebasan yang dilantunkan di bawah pohon beringin. Adanya balada patah hati. Atau janji palsu.Siluman Bertaring menatap celah beringin, “Mana nih? Kok gak nyusul?”“Malas aku,” terdengar jawabannya. “Kau saja susah lewatnya.”Siluman Bertaring terdiam. “Keluar, nggak?” tanya lagi, dengan suara lebih berat.“Ogah.”Siluman Bertaring meraba-raba gergaji mesin. “Coba, tadi nyalainnya gimana...”“Iya, iya. Aku keluar!” Asap hitam menguar dari dalam celah. Lambat laun, asap membentuk sosok siluman yang berambut akar.Sang mandor tampak pulih dan kembali panik. Ia berbalik, menggapai, dan menendang keras hingga akhirnya berhasil berdiri. “SETAAAAN!” teriaknya sembari lari tunggang langgang.Siluman Bertaring meludah. “Dasar manusia. Asal serem dikit aja dibilang setan.” Ludahnya yang kehitaman menguap sebelum mencapai tanah.Siluman Berambut Akar masih susah-payah menarik tubuhnya keluar pohon.“Padahal ya,” lanjut Siluman Bertaring, “tiap amanusya punya nama-nama sendiri. Jadi jangan maen panggil--”“SETAAAAN!” terdengar jeritan perempuan.Siluman Bertaring berbalik geram. Pandangannya langsung mengarah Devika dan kedua temannya yang berdiri gemetaran. Devika jatuh berlutut. Sang perempuan berlogat kental berusaha menahan, tapi pegangannya terlepas. Teman mereka, perempuan berambut gelung, menempelkan kedua tangan di mulutnya.PLOP! Siluman Berambut Akar berhasil lepas.Siluman Bertaring terbang mendekat. “Coba kalau ada yang ngomong perhatiin, ya!” Tanpa berteriak, suaranya terdengar lantang dalam kuping semua orang di sekitar.“Tipikal manusia. Mana ada perhatian dengan yang lain?”Kedua teman Devika lari pontang-panting.“Kami,” ujar Siluman Bertaring tepat di hadapan Devika, “muak sama kelakuan kalian.” Sulur-sulur di tubuhnya memanjang, mendekati sang gadis yang menatap pasrah.Seseorang menunjuk ke arah belakang mereka, “ADA JIN POHON!”Kedua siluman berbalik sigap, “MANA?”Yang mereka lihat hanya pohon beringin. Pandangan Siluman Berambut Akar mencari-cari. “Mana? Gak ada.”“Bodoh!” hardik Siluman Bertaring. “Jin pohon kan kita.”Siluman Berambut Akar mendelik, “Terus kenapa kamu noleh juga?”“GRAAA!” geram Siluman Bertaring. “Manusia penipu!”Mereka kembali berbalik dan melihat Barry lari sambil menarik tangan Devika. Belum jauh, mereka berdua kehilangan keseimbangan dan tersungkur.Barry mengangkat wajah dan melihat sejumlah orang lari mendekat. Ia mengenali Samitra di paling depan. “SAM! JANGAN KE SINI! ADA SET—““BUKAN SETAAAAAN!” potong Siluman Bertaring. Dua cambuk akar melilit Barry dan Devika.Samitra berhenti. Kakinya melangkah sekali. Lalu berhenti lagi. Kedua barisan giginya saling menekan kuat hingga otot rahangnya menonjol.“Buset,” ucap Popo yang berhenti di belakang Samitra. “Dulu trio macan. Sekarang duo pohon.”Oji melompat turun dari pundak Popo, “Sayangnya ini gak bisa beres dengan reboisasi hutan.”Kukun menatap Samitra cemas, “Tapi, kalau kita maju, Sam... gak bisa kuliah lagi.”Samitra memandang Barry dan Devika yang diangkat dan ditarik mendekat oleh kedua siluman. Kepalanya menunduk. Tubuhnya bergetar karena emosi yang berkecamuk. Keningnya berkerut begitu dalam, hingga matanya pun memejam. Suara lenguhan Barry dan rintihan Devika masih merasuk dalam pendengarannya yang tajam.Mendadak getaran tubuhnya berhenti. Saat Samitra mengangkat wajah dan membuka mata, hilang sudah semua emosi. Tatapannya seakan berpusat pada titik yang jauh. Sang pemuda pun lanjut melangkah. Tanpa keraguan. Tidak buru-buru.Oji dan Popo saling memandang. Mereka mengenali Samitra yang ini. Tapi tiada kegembiraan dalam tatapan mereka.Tangan Kukun mengangkat ke arah Samitra, tapi urung menahan. “Sam,” katanya lirih. Jarak tangan dan bahu Samitra hanya beberapa senti, tapi terasa begitu jauh. Seperti rentang yang tak akan tercapai.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan