#13. BAYANG TERANG

0
0
Deskripsi

Cahaya siang menerangi iris mata Devika menjadi cokelat cerah.

Samitra hanya bisa membiarkan perhatiannya tersedot warna tersebut. Dia sadar bahwa pemandangan ini ia bisa nikmati justru karena sang perempuan sedang syok. Alih-alih merasa bersalah, ia malah menyusun sejumlah rencana yang ia namai Projek Munculin Macam-Macam Ekspresi Devika.

“Sebentar,” ujar Samitra, menyuarakan pikirannya. “Mata kamu bukannya item?”

Bibir mungil yang membuka itu menutup. Lalu bergerak, “Nyobain kontak lens baru.” Seakan tersadar dari hipnosis, Devika buru-buru memunguti buku yang jatuh. “Vika duluan, ya?” Ia menumpuk dan lalu mendorong lori pergi. “Makasih dah nolongin!”

Giliran Samitra yang bengong. Bahkan saat Popo dan Kukun yang memanggul Oji mendekat, sang pemuda masih bergeming.

“Emang bukan basa-basi sih pertanyaannya,” komentar Oji.

“Tapi gak gitu juga,” tambah Kukun.

Samitra mendecak, “Itu di luar rencana.”

Kukun mengintip melalui telapak tangan yang membentuk teropong, “Padahal rodanya masih goyang tuh. Tapi dorongnya kenceng banget.”

Oji ikutan meneropong, “Udah gitu, gak ngasih jawaban lagi.”

Kental rasa kesal dalam gerutu Samitra, “Terusss aja bahas!”

“Jadi gimana rasanya, Bos?”

“Rasa apa nih?” pipi Samitra terasa hangat oleh malu.

“Digantung,” jawab Oji.

Samitra memicingkan mata.

Popo memegang pipi, cemas. “Serem amat digantung. Ntar mati dong.”

Oji mengerutkan kening, “Apaan sih? Secara teknis, lo tuh udah mati, Po.” 

Popo menepuk dada lega, “Oh, ya udah. Gantung aja.”

“Siapa juga yang nawarin elo!” hardik Oji.

Terdengar suara tawa yang dibuat-buat. “Bayangkara sekarang diajarin lawak toh.” Suara sol sepatu gunung menapaki aspal sangat kentara.

Samitra dan ketiga wadwanya memutar badan ke arah si pendatang.

Si pemilik suara berhenti sekitar tiga langkah di depan mereka. Berkacak pinggang, tatapannya condong ke bawah, diiringi seringai congak. Sayangnya, ketimbang terlihat berwibawa, gerakannya tampak seperti hasil latihan sekolah kepribadian. Dan bukan yang bagus. Lebih mirip baru minggu pertama masuk, para guru menyerah, dan sekolahnya bubar.

Wajah orang itu sendiri tidak asing bagi Samitra maupun para wadwa yang sudah mengintip kenangan traumanya. “Wow. Ical?”

“Dikit lagi udah kayak reunian, ya?” Bentuk kepala yang dulu lonjong dalam kenangan Samitra kini lebih tegas dengan rahang menonjol. Proporsi badannya masih terlihat gempal, tapi lebih berotot.

“Elo jadi wakil pasukan Bayang sekarang, Cal?”

“Iya dong,” jawab sang pria dengan pongah. “Siapa lagi yang pantas selain Rizal Antolian, Bayang nomor satu.” Jempolnya menunjuk diri. “Ranting Cilandak,” tambahnya sambil pura-pura batuk agar tidak kentara.

Pose tubuh yang selalu ingin menatap rendah orang juga masih sama. Poni rambutnya yang ditata klimis undercut, jatuh ke depan gara-gara menunduk. Ia mengibaskannya ke belakang. 

Samitra mendekat. Kepalanya juga menunduk. Bukan untuk sombong, melainkan karena memang kepala Ical hanya sepantaran leher Samitra. “Lo sekarang... beda ya, Cal?”

Ical, yang ngotot menundukkan kepala, melirik kesal ke ujung atas kelopak mata. “Elo yang tumbuhnya keterlaluan. Gak normal!” Poninya kembali jatuh.

Samitra saling berbalas pandang dengan Oji, “Kami udah duga sih ini pasti diberesin pasukan Bayang. Sang pemuda tersenyum lega dan menepuk bahu Ical, “Untunglah bener.”

Ical menepis tangan Samitra. “Kami ngelakuin ini bukan buat elo, tahu? Cuman karena masyarakat kita belum bisa nerima keberadaan nisacara seganas kemarin.”

Samitra melihat sekeliling, “Gak apa-apa ngobrolinnya di luar gini?”

Tangan kanan Ical menahan poninya agar tidak jatuh. “Heh, jangan ngeremehin Bayang dong. Udah ada yang jaga dari dua sisi. Emang lo gak heran dari tadi gak ada lagi yang lewat?”

Binar mata Ical terlalu kentara. Samitra mafhum sisi teman masa kecilnya yang pengin dipancing untuk membanggakan diri ini belum berubah. “Nggak sih,” geleng Samitra. “Gue cuman lega aja bisa kuliah lagi.”

Sorot mata Ical jelas memancarkan kekecewaan. “Ah. Iya, ya. Lo menolak jadi Bayangkara. Gue heran, bokap lo diem aja.”

“Gue juga gak ngerti kenapa masih dibiarin hidup,” jawab Samitra sambil tersenyum tipis. Tanpa menoleh pun ia bisa menangkap gerakan Kukun dan Popo yang memandang khawatir. Ia mengela napas.

“Nah, kan. Kalo gak ngerti, nanya aja. Kayak gimana masalah di sini bisa beres, misalnya.” pancing Ical lagi.

Samitra menggeleng lagi, “Dijadiin kesurupan massal, kan?” Ia menunjuk para wadwanya satu demi satu, “Udah jelas, kan?” Oji, Kukun, dan Popo gantian mengangguk. “Beres berarti. Pamit, ya?”

Ical menghadang mereka, “Itu kan cuman keliatan di luarnya aja. Dalamnya kompleks sekali. Yakin gak penasaran sejauh mana usaha kami cuci piring buat kelakuan kalian yang sembarangan?”

Samitra menarik napas. Panjang. “Ya udah kasih tahu aja sih, Cal, kalau emang mau.”

Ical bersidekap. Raut wajahnya menunjukkan kecewa, “Eh, kok gitu sih? Bukannya mau nyombong, ya?”

“Tiap orang yang bilang ‘bukannya mau nyombong’ itu sebenarnya mau nyombong sih,” gumam Oji.  

Ical berpaling pada sang tuyul, “Hah?”

“Katanya ini cuacanya cocok banget buat dengerin cerita lo, Cal,” timpal Samitra.

Ical tersenyum lebar, “Oh, cerah, ya?”

Samitra mengelap keringat dengan punggung tangan, “Bukan. Panas kayak di neraka. Pas lah buat disiksa.”

Ketiga wadwa menahan tawa.

“Emang bayangkara dari dulu gak tahu terima kasih. Padahal tanpa Bayang, kalian cuman jadi kara. Sebatang kara, ahahaha!” tawa Ical terdengar lebih palsu daripada barang dengan merek pelesetan, seperti sepatu Adindas atau TV Sambung. “Gini ya, tingkat kampus doang sih kecil. Kalau kejadiannya pas CFD juga kami bisa---“ Ical berhenti dan mengalihkan pandangannya satu per satu.  

Wajah Samitra masih mengarah pada Ical, tapi sorot matanya tidak fokus.  

Popo pun terdiam. Dalam benaknya ia menghitung barisan pocong melompati pagar.

Ical mendecak, “Perhatiin orang ngomong dong.”  

Entah sejak kapan, Kukun dan Oji sudah mengenakan kacamata, yang jelas-jelas digambari mata. Kepala Oji teleng, mulutnya sedikit membuka.

“Woi! Tidur, lagi!”

Kukun mengangkat kacamata, “Nggak kok.” Tapi suaranya seperti sedang mengigau. Dan matanya masih terpejam.

“Jelas-jelas lo merem!” tuding Ical.

ZzzzzZZZZ--Hrk!

“Dan dia ngorok!” tunjuk Ical ke Oji yang sedang ngiler.

Samitra menengahi, “Bercanda kok, Cal. Intinya, gak usah dijelasin detail pun kami sangat berterima kasih dan menghargai kerja keras Pasukan Bayang.” Mata kirinya mengedip berkali-kali pada ketiga wadwa.

Oji sigap mengacungkan jempol, “Betul beut!”  

Popo bingung, “Samitra kelilipan tu—MMPH!” Mulutnya dibekap Kukun.

Ical mendengus. “Bagus, lah.” Ia mengubah posisi hingga tepat di hadapan Samitra. “Jadi kita bisa langsung sepakatin timbal baliknya.”

Samitra menelan ludah. “Gimana kalau dianggap impas aja karena kita temen masa kecil?”

Samitra dan Ical tertawa kecil.

Gelak mereka lanjut membesar.

Hingga akhirnya nyaring membahana, “HAHAHAHAHAHA!”

Ekspresi Ical berubah drastis jadi datar, “Nggak.”

Samitra mengangkat bahu, “Namanya juga usaha.”

“Utang budi ini jangan sampai lupa,” Ical melangkah mundur. “Gak usah cari kami, kami yang akan kontak elo.”

Samitra ingin berkata, “Nggak ada niat nyari juga sih,” tapi memutuskan untuk diam.

Ical membanting sebuah jimat gumpalan kertas, “Sampai jumpa lagi!” Tapi tidak terjadi apa-apa. Ia memungut lagi azimatnya, mengeluarkan geretan, lantas menyundutnya. Asap putih pekat mengepul. Si pemuda klimis mencampakkan bom asap tersebut ke dekat kaki, “Sampai...” Dia berhenti karena masih banyak celah antarasap yang menunjukkan tubuhnya. Ia lantas mengipas-ipas kepulan dengan kedua tangan agar menyebar rata. “Jumpa lagi!” serunya kemudian dari balik kabut putih.

“Waw,” ujar Samitra, dengan ekspresi yang bertolak belakang dengan rasa kagum.

“Hebatnya,” tambah Kukun dengan sentimen serupa.  

“Langsung hilang gitu,” timpal Oji, sedatar permukaan kolam pancing yang tak ada ikannya.

Hanya Popo yang menengok ke arah semak-semak di pinggiran yang bergerak. Sang pocong menunjuk, “Dia di situ ko—MMPH!” Wajahnya ditutupi telapak Kukun dan Oji.

Samitra merasakan getaran di pahanya. Muncul nada dering berirama dangdut, “Ring tone-nya tuh di sini, di dalam ponselku...” Ia melihat nama yang tercantum di layar: Barry Tanpanamakeluarga, lalu menerimanya, “Halo, Bar?”

Popo sedang berontak dari bekapan Oji dan Kukun, “Hmmph! Hak fisa napaass!”

“Kamu emang gak perlu napas,” ucap Kukun tak acuh.

Oji masih merangkul wajah Popo agar tak terlempar. Namun, ia tetap curi-curi menengok ke arah Samitra. Sang pemuda tampak hanya menempelkan ponsel ke kuping. Hanya sesekali mulutnya membuka.

“Gantian, Ji!” ujar Kukun yang memanjat punggung Popo. Sang pocong protes tapi terlihat tidak serius.

Oji melompat turun dan mendekati Samitra yang mengantongi ponsel. “Barry gimana?”

Sang bayangkara menggaruk-garuk kepala, “Dia bilang mau mampir ke rumah. Pengin ngobrol.”

“Aman dong, ingatannya juga udah dihapus.” Oji mengangkat kedua tangan seakan melempar konfeti. Derai tawa Kukun yang menunggangi Popo seakan mewakili suasana hatinya.

“Kayaknya nggak,” tatap Samitra dingin. “Tadi dia bilang pengin ngobrolnya sama ‘kalian berempat’.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya CATATAN PENCINTA KUCING: PURA-PURA BODOH
1
0
Kami sekeluarga sering jalan keliling komplek untuk memberi makan kucing liar. Satu saat, kami menemukan sekeluarga kucing sedang nongkrong di sebelah rumah. Satu induk, dua anak.Salah seekor anak kucing menunjukkan gejala-gejala ingin buang air besar. Gelisah, celingak-celinguk, dan bawa ponsel buat main game. (Bercanda, lah. Kucing nggak bisa pegang ponsel. Paling laptop.)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan