
Seorang psikolog terkenal bernama Jessica yang memiliki trauma di masa lalu karena perlakuan kasar ayahnya terhadap ibunya. Untuk itu ia ingin menemui ayahnya dengan niatan berdamai dengan masa lalunya, tapi hal itu justru malah membuat traumanya semakin memburuk dan memunculkan penyakit psikologis lain dalam diri Jessica, membuatnya berhalusinasi tentang ayahnya. Sampai akhirnya dengan waktu yang cukup lama ia berhasil untuk berdamai dengan traumanya dan menyadari bahwa ia hanya bisa memaafkan...
PART 9
“Nggak papa sayang, nangis itu wajar, kan kamu lagi sedih. Kamu bebas buat ngungkapin perasaan apapun ke Ayah.”
“Ayah, maaf Jess suka nangis.”
“Apapun, Yah? Tapi...Ibu bilang Jess nggak boleh cengeng.”
“Ibu bener sayang. Kamu nggak boleh cengeng kalo lagi diluar, karena kamu punya banyak orang. Kalo orang-orang sedih ngeliat kamu sedih, gimana? Kasiankan? Tapi, kalo di rumah ini kamu punya Ayah sama ibu, kamu bebas buat ngungkapin perasaan kamu, Ayah sama ibu pasti bisa terima, malahan bisa bikin kamu happy lagi.”
“Tapi Ayah sama ibu bakal sedih nggak kalo ngeliat Jess sedih?”
“Ya pasti dong. Anak kesayangan sedih masa Ayah sama Ibu malah happy. Keluarga itu beda sama orang diluar sana, Jess. Keluarga akan selalu punya hati yang luas buat nerima kamu, buat jadi rumah disaat kamu lagi butuh tempat untuk berteduh.”
“Ayah janji nggak bakal ninggalin, Jess? Ayah kok nggak jawab? Yah? Jawab Ayah! Ayah janjikan nggak bakal ninggalin? AYAH!!!”
Jessica terbangun dari mimpinya. Ia bangun dengan bercucur keringat di seluruh badannya sampai membuat bajunya basah. Kenangan masa lalu yang berusaha ia pendam, pelan-pelan seperti tereka ulang di mimpinya.
Yang membuatnya kesal dan marah mengapa mimpi-mimpi itu selalu membawanya ke perlakuan hangat ayahnya kepadanya. Ayahnya muncul, memberikan kehangatan, lalu pergi menghilang begitu saja.
Saat itu juga Jessica langsung menelpon Andre dan meminta Andre untuk menemuinya setelah pulang kantor.
“Kenapa, Jess?” tanya Andre.
“Gue bingung, dan gue ngerasa gue harus ngobrol sama lo. Kalo gue cerita ke Farah, pasti dia cuma mikirin gue. So, gue mau lo nanggapin cerita gue secara netral. Okey?”
“Lo bisa tenang nggak? Nafas lo nggak beraturan gitu.”
Jessica menarik nafas dalam dan menelan ludahnya.”Gue beberapa hari terakhir ini sering banget mimpi bokap. Lo tau gue benci banget sama bokap gue, gue bisa panic attack kalo harus nginget masa kecil gue. Semuanya.”
“Okey. And then?”
“Tapi lo percaya nggak? Mimpi gue tentang bokap nggak pernah buruk. Justru malah kayak... banyak nunjukin kehangatan bokap ke gue, tapi gue selalu takut kalo gue bangun,” jelas Jessica
“Yang lo takutin apa?”
“Takut, karena gue tau nggak bakal bisa sama. Gue nggak mungkin ngeharap bokap buat balik lagikan?”
“Tapi lo pengen itukan?”
Jessica diam untuk beberapa saat. “Gue nggak tau, Ndre. Tapi, menurut gue itu nggak mungkin.”
“Denial lo cuma bikin lo makin keinget sama bokap lo. Menurut gue, lo cuma butuh ngerasain apa yang lo rasain. Lo nggak butuh boleh denial sama perasaan lo,” saut Andre.
“Gue takut sakit lagi, Ndre.”
“Lo takut sakit karena ekspetasi lo?” Jessica mengangguk. Andre mendekatkan kursinya ke dekat Jessica. “Ini opini gue, terserah lo terima apa enggak. Tapi, menurut gue, ekspektasi tu nggak papa, ekspektasi memang diciptain buat dua pilihan doang, Jess... bikin lo tambah happy, atau bikin lo kecewa banget. Tapi diluar itu semua, gue lebih takut nggak bisa ngasih rasa sayang gue secara maksimal, Jess, hanya karena ekspektasi gue.”
“Maksud lo?” tanya Jessica.
“Gini, sebenarnya lo masih sayang banget sama bokap lo, tapi karena lo takut sama ekspektasi lo, lo jadi nggak bisa ngungkapin semua perasaan sayang lo ke bokap lo. Lo denial sama perasaan lo. Lo nggak takut kalo suatu saat bokap lo pergi ninggalin lo buat selama- lamanya? Sementara lo belum ngungkapin atau nunjukin semua perasaan lo? Yakin lo nggak bakal nyesel? Untuk apa jauh mikir kedepan, kalo ngebuat lo nggak bisa ngehargain momen yang ada sekarang? And then... suatu saat bokap lo pergi, lo nyalahin bokap lo lagi, atas dasar semua penyesalan lo. Intinya, lo tu ada di waktu yang sekarang, Jess. Kalo sekarang lo ngerasain rasa sayang itu, ungkapin semua rasa sayang lo, jangan ditahan cuma karena takut sama ekspektasi lo doang. Harusnya rasa sayang itu ikhlas, Jess.”
Jessica benar-benar bingung dengan perasannya. Di satu sisi, ia merasa ucapan Andre mungkin benar. Namun, disatu sisi ia masih merasa denial dengan semua perasannya. Tujuan awal Jessica hanya berdamai dengan masa lalunya, bukan untuk megembalikan ayahnya.
“Thank you yah, Ndre,” ucap Jessica.
“Ya, semoga bokap lo nggak kayak bokap gue ya, yang nggak tau kemana sampai sekarang.” Andre dengan nadanya yang sedikit memelan. “Kalo ada apa-apa ngomong ke gue ya, Jess. Lo nggak sendirian. Lo punya Farah juga.”
Di sepanjang perjalanan pulang Jessica mampir ke tempat toko bunga. Ia ingin membeli seikat bunga matahari untuk ia taruh di kamarnya.
“Mau beli bunga matahari, Neng?” tanya penjual di toko itu. “Kok tau bang?” jawab Jessica.
“Lah? Nengkan sering kesini.” Penjual itu memberikan satu keranjang bunga matahari. “Ini neng, kayak biasanyakan?”
“Banyak amat, Bang. Saya cuma mau beli satu ikat doang.”
“Ohh... biasanya neng minta sekeranjang ini.”
Jessica heran dengan penjual itu, karena Jessica merasa baru dua kali mendatangi toko bunga itu. “Salah orang kali, Bang.”
“Neng Jessica, kan?”
Lah kok tau gue. Gumam Jessica, mengambil bunga, lalu kemudian berjalan kembali ke mobil.
Tiba-tiba ada telepon masuk dari Andre.
“Halo, Ndre. Kenapa?”
“Oh nggak papa. Gue Cuma pengen mastiin lo udah nyampe rumah apa belum.”
Jessica merasa heran dengan tingkah laku Andre. “Okey... Ini gue udah mau pulang kok.”
“Oh okey... Hati-hati ya, Jess.”
“Lo sehat, Ndre?”
“Apaan dah. Gue cuma khawatir doang.”
Perilaku Andre akhir-akhir ini memang sedikit membuat Jessica bingung, yang Jessica tahu Andre adalah orang yang cuek. Namun, disatu sisi Jessica juga paham, mungkin nalurinya sebagai rekan sejawat Jessica membuatnya bisa memberikan rasa simpati dan empatinya kepada Jessica.
Keesokan harinya Jessica memutuskan untuk kembali ke rumah tanpa penghuni itu. Ia menunggu, dan terus menunggu. Namun, ayahnya tidak kunjung menampakan diri. Sampai akhirnya malam datang, Jessica memutuskan untuk kembali pulang. Saat ia baru saja membuka pintu mobilnya, tiba-tiba ada seorang ibu yang datang menghampirinya.
“Nungguin siapa, Neng? Ibu perhatiin daritadi sore kayaknya neng duduk di depan teras.”
“Oh... iya, Bu. Nungguin penghuni lama rumah ini Bu, Pak Ronald.”
Ibu itu memasang wajah kaget. “Pak Ronald? Pak Ronald udah lama nggak disini, udah lama banget, Neng. Udah janjian?”
“Hmmm belum, Bu. Pak Ronald sering mampir ke rumah ini, Bu?”
“Enggak pernah, Neng. Semenjak cerai sama istrinya, dia udah pindah. Nggak tahu deh kemana.”
“Ha? Cerai, Bu?”
“Iya, Neng. Padahal, yang saya tahu Pak Ronald tu harmonis banget sama istrinya. Eh tiba-tiba cerai, warga sini nggak ada yang nggak kenal Pak Ronald. Baik banget soalnya.” Jessica hanya menganggukan kepalanya. Lalu, ibu itupun berpamitan dengan Jessica. “Yaudah neng saya tinggal dulu. Kalo neng ketemu Pak Ronald, saya nitip salam ya, Neng.”
Ucapan Ibu itu memberikan banyak pertanyaan di kepala Jessica. Kemudian ia mengambil satu tangkai bunga matahari dari keranjang bunga yang ia beli. Setelahnya ia mencium bunga itu untuk akhirnya ia taruh di sofa yang berada tepat di depan rumah tanpa penghuni itu. Jess kangen, Yah. Gumam Jessica.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
