DARAH PARA PENDEKAR | Bab 1, 2, 3 | Author: Ricky Wicaksono A.K.A Penulis Receh

29
10
Deskripsi

DARAH PARA PENDEKAR

Ricky Wicaksono/Penulis Receh

SINOPSIS:

Seratus tahun setelah pertarungan dua pendekar terkuat di puncak gunung Semeru, dunia persilatan kembali dikejutkan dengan kemunculan seorang pendekar muda dari aliran hitam bernama Elang Wiratama yang menguasai ilmu kanuragan tingkat tinggi, ajian Penghisap Sukma Penghancur Tulang. 

Ajian yang konon menyimpan rahasia hidup abadi itu membuat Elang terseret kedalam pusaran konflik dunia persilatan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya....

Bab 1 : Pertarungan di Puncak Semeru


Dibawah guyuran hujan dan sambaran petir yang menggelegar, dua pria setengah baya terlihat berdiri sambil mengatur nafasnya. Keduanya hanya diam dan saling menatap satu sama lain tanpa bergerak sedikitpun.

Sekilas, tak ada yang aneh dengan keduanya, tapi jika dilihat lebih teliti, tetesan air hujan yang mengguyur tubuh mereka berubah memerah karena bercampur dengan darah yang terus keluar dari luka sayatan pedan di tubuh masing masing.

Salah satu pendekar yang terlihat lebih tua dan berwajah tegas tiba tiba menyarungkan pedangnya menandakan sudah bersiap dengan serangan terakhirnya.

Melihat lawannya sudah menyarungkan kembali pedangnya, pendekar satunya yang mengenakan penutup wajah bergambar pedang menyilang mulai meningkatkan kembali konsentrasinya. Dia sadar, dalam ilmu pedang, serangan paling berbahaya adalah ketika pedang itu pertama kali meninggalkan sarungnya.

Tak mudah untuk menghadapi tipe jurus pedang seperti itu karena tidak ada yang benar benar tau kemana arah dan jenis serangan sebelum pedang itu tercabut dari sarungnya. Hanya ada beberapa pendekar tingkat tinggi yang mampu membaca arah serangan, itupun hanya sebuah perkiraan yang didapat dari pengalaman bertarung.

"Sepertinya, puncak Semeru akan menjadi saksi berakhirnya permusuhan kita, Setya. Malam ini, dibawah guyuran hujan, salah satu dari kita mungkin akan mati penasaran membawa dendam yang besar," Ucap pria yang mengenakan penutup wajah sambil menghela nafas.

"Dendam? Bukankah kau sendiri yang menciptakan dan memelihara dendam didalam hatimu, Sansan? Aku bersedia membuang pedangku sekarang juga jika kau pun melakukannya. Kita tak harus melakukan ini dan berakhir tragis seperti ini," Balas pria berwajah tegas.

Pria yang dipanggil Sansan itu tertawa kecil sambil menggeleng pelan, seketika bayangan indah masa lalunya bersama orang yang kini jadi lawan terberatnya itu muncul di kepalanya.

Bayangan saat mereka bersumpah untuk saling menjaga ditengah pusaran dunia persilatan yang kejam dan penuh kepalsuan. Namun, sumpah itu seolah menguap begitu saja ketika Sansan dengan kejam membunuh Ayu Utari, wanita yang paling dicintai Arya Setya.

"Aku sudah lelah Setya, dan aku benar benar muak dengan kebaikan palsu yang kau tunjukkan. Tak ada jalan bagiku untuk kembali setelah memenggal kepala gadis itu. Kita berdua sudah menderita begitu lama karena permusuhan ini, satu satunya cara untuk menghentikannya adalah salah satu atau bahkan kita berdua harus mati."

Arya Setya yang merupakan ketua perguruan Alang Alang Kumitir menatap mantan sahabat sekaligus adik seperguruannya itu dengan wajah sedih. Dia tidak menyangka kenangan indah dan perjuangan mereka dimasa kecil untuk menaklukkan dunia persilatan akan berakhir tragis dengan saling bunuh hanya karena seorang wanita.

"Tidak Sansan, masih ada kesempatan untukmu kembali ke Alang Alang Kumitir. Kematian Ayu di tanganmu mungkin sudah menjadi kehendak alam, asal kau mau memperbaiki kesalahan, aku akan mencoba memaafkan dirimu," Balas Arya Setya.

"Kembali ke Alang Alang Kumitir? Apa kau bercanda? Aku tak akan sudi kembali ke tempat yang penuh kepalsuan itu," Jawab Sansan sinis.

Setya terdiam sesaat, raut keputusasaan mulai tergambar jelas diwajahnya karena gagal membujuk adik seperguruannya.

"Ini semua memang salahku… Tolong maafkan kakak tidak berguna ini jika terpaksa membunuhmu," Arya Setya menarik nafas panjang sebelum bersiap dengan jurus andalannya. "Majulah, apapun hasil pertarungan ini kau tetap adik kecil yang kutemukan di desa Trowulan."

"Jangan terlalu sombong Setya, walau kau menguasai ilmu pedang Matahari milik guru, dalam beberapa tahun ini aku juga sudah bertambah kuat," Sansan menarik pedangnya ke depan.

Keduanya terdiam dalam posisi siap menyerang sebelum bergerak bersamaan ketika suara petir terdengar dari langit.

Saat keduanya bergerak, bebatuan yang ada disekitar area pertarungan kembali beterbangan di udara. Gesekan tenaga dalam yang meluap dari tubuh mereka membuat udara memadat dan mengangkat semua yang ada disekitarnya.

"Maafkan aku kakang Setya, ini harus kulakukan untuk menyelamatkanmu dari Iblis itu," Ucap Sansan dalam hati.

Arya Setya yang sedikit lebih unggul dalam hal kecepatan menyerang lebih dulu, memanfaatkan kuda kuda Sansan yang belum terbentuk sempurna, dia menendang batu kecil yang melayang didekat kakinya kearah lawan sebelum mencabut pedangnya.

Sangat cepat dan tanpa suara, hanya itu yang bisa menggambarkan gerakan Arya Setya setelah pedang tercabut.

"Jurus Pedang Matahari tingkat empat : Hembusan angin malam penghancur sukma!"

Serangan itu datang dengan cepat.

Dan sesuai dengan dugaan Sansan, serangan yang terlihat sederhana tapi mematikan itu tak mampu dihindarinya dengan sempurna, walau dia sudah mencoba membaca kemana pedang itu akan bergerak setelah keluar dari sarungnya.

Sansan mendorong tubuhnya kebelakang untuk mengurangi efek serangan, namun karena pijakan kakinya goyah akibat tekanan besar tenaga dalam Arya Setya, pertahanannya langsung terbuka lebar.

Melihat pertahanan Sansan goyah akibat serangan pertamanya, Arya Setya kembali melepaskan serangan yang jauh lebih cepat.

Bukannya gentar dengan serangan bertubi tubi Arya Setya, Sansan justru terlihat semakin bersemangat walau tubuhnya sudah mulai mencapai batasnya. Dia tampak sudah tidak perduli lagi dengan kemenangan, yang ada dipikirannya saat ini adalah membalas "kasih sayang" Arya Setya selama ini dengan caranya sendiri.

Sansan secara mengejutkan berhasil menangkis serangan Arya Setya di detik terakhir, tapi ketika dia berusaha menyerang balik, sesuatu yang mengejutkan terjadi.

Ayunan pedang Arya Setya berubah begitu lembut, dia menggeser sedikit pegangan tangan di gagang pedangnya untuk memindahkan beban ke tangan kiri sebelum melakukan serangan tusukan.

"Jurus pedang Matahari tingkat enam : Tusukan penghancur batu karang!"

Empat tusukan dalam waktu kurang dari satu detik menghujam tubuh Sansan tanpa bisa dihindari. Pria malang itu seolah merasakan dua waktu berjalan berbeda disekitarnya. Tubuhnya terasa melambat namun disaat bersamaan kecepatan Arya Setya justru meningkat tajam.

"Luar biasa…. Kau memang pantas menjadi murid kesayangan guru kakang," Tubuh Sansan langsung terhuyung, kali ini dia benar benar telah mencapai batasnya.

Dengan lubang menganga di perutnya, Sansan tetap memaksakan berdiri sambil berusaha menjangkau tubuh Arya Setya dengan tangan kirinya.

"Pada akhirnya yang lemah akan terkubur, dunia persilatan memang kejam," Sansan tersenyum dengan linangan air mata di pipi sebelum tubuhnya roboh ketanah.

Melihat adik kecilnya tergeletak tak berdaya di tanah, Arya Setya langsung membuang pedangnya dan meraih tubuhnya.

"Sansan!!!" Teriak Arya Setya sambil mendekap erat Sansan.

"Jangan menangis dan jangan pernah menunjukkan sisi lemahmu di hadapanku karena kau adalah pendekar yang sangat aku kagumi," Ucap Sansan sambil menahan rasa sakit.

"Apa ini semua karena pedang pusaka Langit?" Ucap Arya Setya lirih.

"Kau terlalu polos kakang, sejujurnya aku sama sekali tak tertarik dengan pedang sialan yang diberikan guru padamu…" Ucapan Sansan terhenti saat dia batuk darah.

"Kakang, apa kau tau terkadang kebenaran di dunia persilatan ditentukan oleh kekuatan? Berhati hatilah karena dunia persilatan tak seindah yang kita bayangkan dulu. Aku…" Ucapan Sansan terputus, dibawah guyuran air hujan dipuncak Semeru, pendekar yang telah membunuh ratusan bahkan ribuan nyawa itu meregang nyawa sambil tersenyum dipangkuan orang yang paling dia hormati.

"Sansan!!!" Teriak Arya Setya sambil terus memeluk tubuh adik seperguruannya itu dibawah guyuran hujan. Langit seolah ikut bersedih dengan akhir tragis dua sahabat yang tumbuh bersama di perguruan Alang Alang Kumitir.

Tewasnya Sansan tidak hanya menghentikan permusuhan panjang diantara mereka tapi juga mengukuhkan Arya Setya sebagai pendekar terkuat di Nusantara. Namun gelar terkuat itu hanya bertahan sebentar karena sejak malam itu juga, Arya Setya menghilang bagai ditelan bumi bersama pedang Langitnya.

Dia seolah ingin mengubur semuanya termasuk pedang yang paling diburu di dunia persilatan itu bersama kematian adik seperguruannya.

***  

Bab 2 : Elang Wiratama


Seratus tahun kemudian…

Suasana Hutan Alas Purwo masih tampak gelap ketika seorang pemuda melesat dengan kecepatan tinggi menembus rimbunnya hutan. Sambil sesekali menoleh kebelakang, dia bergerak lincah dari satu pohon ke pohon lainnya tanpa peduli udara dingin yang menembus hingga ke tulangnya.

"Kali ini aku tidak boleh tertangkap lagi oleh si tua itu atau…." Wajah pemuda itu tiba tiba berubah kesal ketika sesosok bayangan yang mengejarnya sudah terlihat dibelakang, padahal dia sangat yakin sudah berlari dengan sekuat tenaga dan meninggalkannya cukup jauh di belakang.

"Bagaimana bisa tua bangka itu bergerak secepat ini," dengan nafas yang sudah tak beraturan, pemuda itu mencoba meningkatkan kecepatannya agar tidak tertangkap untuk kesekian kalinya.

"Mau sampai kapan kau terus berlari seperti itu Elang? Ilmu meringankan tubuhmu memang sangat mengejutkan untuk seseorang yang tidak pernah belajar kanuragan, tapi itu semua tidak akan berarti di hadapanku," Melihat kecepatan pemuda itu mulai menurun, bayangan hitam yang mengejarnya tiba tiba melemparkan sebuah batu sebesar ibu jari dari tangannya.

"Bug!" Batu yang bergerak dengan kecepatan tinggi itu menghantam kaki kanan pemuda malang itu hingga tubuhnya oleng dan jatuh ketanah.

"Kena kau!!" Pria tua itu melompat tinggi di udara sambil melemparkan kembali dua buah batu kecil sebelum mendarat di atas dahan pohon.

"Sial, kakek tua itu benar benar sudah tidak waras," Elang langsung melompat mundur saat melihat dua buah batu kecil bergerak dengan kecepatan tinggi kearahnya .

"Duarr!!" Wajah Elang langsung pucat pasi ketika batu yang dilempar oleh Sudarta, kakek yang tidak sengaja ditemuinya di sebuah penginapan itu membentuk lubang yang cukup besar di tanah.

"Hei!! Apa sebenarnya yang kau inginkan dariku kakek sialan!" Umpat Elang kesal.

"Aku hanya ingin kau menemaniku bermain sebentar, apa aku salah?" Jawab pria tua itu sambil tertawa mengejek.

"Kau bukan hanya salah tapi juga gila!!! Sudah ribuan kali aku mengatakan tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kanuragan dan sejenisnya, kenapa kau masih terus memaksaku?" Bentak Elang.

"Aku tidak membutuhkan persetujuan siapapun untuk menurunkan ilmu kanuragan, apalagi pada bocah sepertimu," Balas Sudarta tegas sebelum melompat turun dari atas pohon.

"Atas dasar apa kau mengatakan itu, hah? Apa kau pikir…." Belum sempat Elang menyelesaikan ucapannya, Sudarta sudah melepaskan beberapa totokan ke tubuhnya.

"Hei, apa yang kau lakukan dengan tubuhku?" Ucap Elang panik.

"Dasar dari semua ilmu kanuragan adalah pernapasan dan aliran darah, kau harus bisa memaksimalkan keduanya sebelum mempelajari sebuah jurus. Ketika tubuhmu bergerak dengan kecepatan tinggi, aliran darah juga akan meningkat dan itu bisa membuat tenaga dalam cepat habis," Sudarta mencengkram lengan kanan Elang sebelum menariknya mendekat.

"Kenapa kau selalu memaksakan kehendak pada orang lain sih, bukankah sudah kubilang…" Ucapan Elang terhenti saat sebuah pukulan keras yang mengandung tenaga dalam mendarat di tubuhnya.

"Untuk menjadi seorang pendekar, kau harus bisa mengatur aliran darahmu, terlebih saat sedang bertarung," Sudarta kembali melepaskan pukulan kearah perut Elang sebelum memutar tubuhnya cepat.

Tubuh Elang terdorong mundur. Namun, belum sempat dia bereaksi apapun, Sudarta sudah kembali menyerangnya.

"Saat banyak pendekar muda ingin menjadi murid si tua ini, bagaimana kau bisa begitu lancangnya menolak aku?" Dua pukulan cepat kembali mendarat di tubuh Elang.

"Jika memang begitu banyak yang ingin berguru padamu, lalu kenapa kau tidak menjadikan mereka murid?" Tak ingin terus dipukuli, Elang mencoba menyambut serangan itu. Namun karena dia tidak memiliki dasar ilmu kanuragan sama sekali, tubuhnya kembali menjadi sasaran empuk serangan kakek tua yang sudah beberapa hari ini selalu mengganggunya.

"Bergeraklah tanpa memikirkan arah serangan lawan karena itu akan membuat kecepatan menurun, biarkan tubuhmu mengeluarkan respon alami ketika di serang," Sudarta mencengkram lengan kiri Elang sebelum melepaskan serangan penutup yang membuatnya terjungkal ketanah.

"Hei, tua bangka! Kau tidak pernah mendengarkan ucapan orang lain ya?" Umpat Elang kesal sambil menahan rasa sakit.

"Tidak mungkin…. Apa tubuhnya tadi menghisap tenaga dalam milikku?" Wajah Sudarta tiba tiba berubah seketika, dia sangat yakin tenaganya sempat terhisap ketika menyentuh tubuh Elang.

"Ajian Penghancur Sukma Penghisap Energi? Tidak salah lagi, anak ini memiliki bakat unik yang membuatnya tanpa sadar menguasai ajian kuno itu," Ucap Sudarta dalam hati.

"Dengarkan aku baik baik kakek tua. Aku tidak tau apa tujuanmu melakukan ini, tapi setiap orang memiliki batas kesabaran. Jika kau terus seperti ini, jangan salahkan aku…."

"Kemampuanmu benar benar menarik, aku semakin tidak sabar untuk menurunkan ilmu kanuragan padamu," Sudarta kembali bergerak menyerang, namun kali ini dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya.

"Hari ini kau harus menjadi muridku!"

Elang kembali mengumpat saat serangan Sudarta datang lebih cepat, dia kemudian mendorong tubuhnya mundur untuk menghindari serangan itu sambil memperhatikan gerakan kaki Sudarta.

"Bakat yang kau miliki benar benar menakjubkan, sangat disayangkan jika kau tidak segera mengasahnya," Sudarta mencoba menyerang titik vital Elang untuk melihat reaksi tubuhnya.

"Apa dia berniat membunuhku?" Elang yang bisa merasakan serangan pria tua itu mulai mematikan langsung panik.

"Hei kek, tunggu! Bukankah ini sudah terlalu berlebihan?" Elang memutar tubuhnya cepat ketika serangan pria tua itu mengincar lehernya. Namun, belum sempat dia menyeimbangkan kembali tubuhnya, sebuah pukulan cepat mengarah ke perutnya.

Sadar tak akan mampu menghindar tepat waktu, Elang menyambut serangan itu dengan tangannya.

"Ingin mengadu tenaga dalam? Jangan bercanda! Bocah sepertimu…." Sudarta tersentak kaget saat melihat gerakan Elang berubah. Dia menggunakan punggung lengan kanannya untuk membelokkan arah serangan, sedangkan tangan kirinya bergerak cepat mengincar perut pemuda itu.

"Kau!"

Tidak berhenti di situ, Elang kemudian menarik kaki kirinya kebelakang untuk menyeimbangkan tubuhnya sebelum kembali melepaskan beberapa serangan dengan cepat.

"Tapak Penghancur Iblis? Tidak mungkin, darimana kau belajar jurus milik aliran sesat itu!" Sudarta bereaksi cepat, dia menyambut serangan itu dengan tangan kanannya sebelum melepaskan tendangan keras ke perut Elang.

Elang terdorong beberapa langkah kebelakang sebelum tersungkur sambil memegang perutnya.

"Sakit sekali….." Elang mengerang kesakitan sambil tangannya menunjuk nunjuk pria dihadapannya itu.

"Hei, tua bangka, apa kau benar benar berniat membunuhku?!"

Sudarta terdiam dengan wajah bingung, sorot matanya menatap tajam kearah Elang seolah ingin menelannya hidup hidup.

"Aku yakin dia tadi menggunakan jurus tapak Wajah Setan milik Lembah Siluman. Bagaimana bisa dia menguasai jurus yang hanya boleh dipelajari oleh para tetua perguruan sesat itu?" Ucap Sudarta dalam hati.

Melihat Sudarta mematung kebingungan, Elang tak menyianyiakan kesempatan itu, dia langsung bangkit sambil bergaya seperti hendak menyerang.

"Sepertinya kau mengenali jurus tapak milikku ya, kakek tua? Masih ada waktu untuk mundur, sekarang pergilah dan tinggalkan aku sendirian atau....." Elang menggerakkan tangannya seolah ingin menggunakan jurus tapaknya tadi. Dia ingin menggunakan nama perguruan kakeknya untuk mengancam Sudarta.

"Lembah Siluman.... Jika kau memang berasal dari perguruan sesat itu, aku justru semakin bersemangat untuk membawamu ke jalan yang lurus!" Sudarta tiba tiba melepaskan aura yang cukup besar dari tubuhnya.

"Hei... Hei... Bukankah seharusnya tidak seperti ini?" Ucap Elang panik.

*** 

Bab 3 : Lembah Siluman

"Apa katamu!! Elang melarikan diri lagi?" Seorang pria setengah baya berwajah tegas langsung menggebrak meja saat mendengar laporan bahwa cucu kesayangannya telah melarikan diri dari perguruan.

"Mohon maafkan aku ketua, tuan muda sepertinya melarikan diri melalui pintu belakang saat terjadi pergantian penjagaan. Kami sudah berusaha mengejarnya sekuat tenaga sampai kaki gunung Semeru tapi tak berhasil," Jawab pemuda berperawakan kurus dengan suara bergetar menahan takut.

"Mengejar cucuku?!  Apa kalian pikir mampu melakukannya?" Bentak pria itu kesal.

Pemuda itu langsung terdiam dengan wajah tertunduk. Dia tampak pasrah karena bagi para pendekar Lembah Siluman, gagal menjalankan tugas sama saja dengan mati.

"Sifat anak itu benar benar mirip dengan ibunya yang selalu mempermalukan aku dan perguruan Lembah Siluman!!" Pria itu terdiam sesaat, dia berusaha mengendalikan amarahnya terlebih dahulu sebelum memberikan perintah.

"Airin, bawa beberapa pendekar Lembah Siluman Perak dan temukan Elang apapun caranya! Kali ini, aku sendiri yang akan menghukumnya," Perintah pria itu pada seorang pendekar wanita yang sejak awal berdiri dibelakangnya.

"Pendekar Siluman Perak? Mohon maafkan aku ketua, tapi apa tidak terlalu berlebihan mengirim mereka…."

"Apa kau tidak mendengar perintahku?" Pria itu tiba tiba menggerakkan tangannya kearah ke pemuda yang masih berlutut dihadapannya dan mencabut pedangnya dari jauh.

Dengan satu kibasan tangan, pedang yang sangat tajam itu tiba tiba berputar di udara sebelum melesat cepat dan memenggal leher pemuda malang itu.

"Jika kau tidak ingin bernasib sama dengannya, pergi dari hadapanku sekarang juga dan bawa cucuku kembali!!!" Ucap pria itu sambil melepaskan aura yang cukup besar dari tubuhnya.

"Ba… Baik ketua, hamba akan segera membawa tuan muda kembali," Jawab Airin sambil menelan ludahnya sebelum bergegas pergi.

"Anak bodoh itu!!! Apa sebenarnya yang ada didalam kepalanya? Apa dia tidak sadar nyawanya akan melayang jika para pendekar aliran putih mengetahui jati dirinya," Umpat pria itu sambil mengepalkan tangannya.

*

"Hei, apa kau tidak bisa makan dengan cara biasa? Jika nafsu makan itu tidak bisa kau kendalikan, suatu saat dirimu akan tewas tersedak," Sudarta menggelengkan kepalanya saat melihat cara makan Elang, ini pertama kalinya dia melihat manusia dengan nafsu makan sebesar itu.

"Kau terlalu banyak bicara orang tua. Makan ya makan, caranya memang seperti ini," Balas Elang sambil menyambar ayam hutan terakhir yang masih berada di atas api unggun. Dia tampak tidak peduli jika potongan ayam itu harusnya menjadi milik Sudarta yang belum makan sama sekali.

"Dan sekarang kau tidak menyisakan sama sekali makanan untukku?" Balas Sudarta sinis.

"Apa kau selalu cerewet seperti ini….." Elang menghentikan ucapannya sesaat untuk menelan potongan ayam hutan yang ada di mulutnya sebelum kembali bicara.

"Dengarkan aku, kau yang memaksaku tinggal, jadi kau juga yang harus menanggung makananku. Lagipula kau bisa menangkap belasan bahkan puluhan ayam hutan dengan ilmu meringankan tubuhmu. Lalu kenapa harus meributkan makanan yang sedikit ini?"

"Tapi aku yang menangkap ayam ayam hutan itu, setidaknya sisakan sedikit untuk mengganjal perutku," Protes Sudarta cepat.

Elang tak lagi menjawab ucapan Sudarta. Konsentrasinya sudah terfokus pada potongan ayam hutan terakhir ditangannya.

"Selain itu, untuk seorang pendekar, apa yang kau lakukan ini adalah sebuah kesalahan besar. Bagaimana bisa kau memakan ayam hutan pemberian seseorang yang baru saja dikenal tanpa curiga ada racun didalamnya?" Lanjut Sudarta.

"Racun? Jangan bercanda, walau kau adalah orang tua yang menyebalkan, tapi aku yakin dirimu tidak akan melakukan hal hina seperti itu."

"Kau yakin?"

Elang terdiam sesaat, wajahnya mulai berubah ketika melihat senyum licik terbentuk di bibir Sudarta.

"Kau tidak benar benar meracuni makan ini bukan?" Kejar Elang.

"Racun Kalajengking Perak diciptakan oleh seorang ahli racun bernama Karsa yang tewas beberapa tahun lalu. Keunikan dari racun ini adalah tidak memiliki rasa dan bau sehingga sangat sulit dideteksi.

"Kita bahkan tidak akan sadar sedang terkena racun ini sebelum darah segar mulai keluar dari hidung dan telinga sebagai tanda organ dalam mulai terluka," Jawab Sudarta sambil menunjuk hidung Elang.

"Tidak mungkin, kau…." Elang menghentikan ucapannya saat merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya, dan betapa terkejutnya dia ketika melihat bercak darah segar ditangannya.

"Sepertinya efek racun itu mulai merusak aliran darahmu. Jika kau ingin selamat, jangan banyak bergerak terlebih dahulu dan ikuti semua perintahku," Ucap Sudarta sambil mengamati darah segar yang terus keluar dari hidung Elang.

"Kau benar benar benar sudah gila, tua bangka! Cepat berikan penawarnya padaku sekarang!!" Elang langsung bangkit dari duduknya dan berjalan mendekati Sudarta. Namun, baru satu langkah dia berjalan, tubuhnya tiba tiba kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah.

"Sial, rasanya sakit sekali, tubuhku seperti terbakar kobaran api…. Kakek tua, cepat berikan penawarnya padaku," Pinta Elang sambil merangkak mendekati Sudarta.

"Maafkan aku nak, bakar besar yang kau miliki terlalu berharga untuk di sia-siakan. Hanya ini satu satunya cara yang bisa aku lakukan untuk memaksamu mempelajari ilmu kanuragan," Sudarta menatap Elang iba sambil memegang penawar racun yang dia sembunyikan di balik pakaiannya.

"Hei, apa kau tidak mendengarkan aku? Cepat berikan penawar itu dan berhentilah mempermainkan nyawa orang!!!"

"Sayangnya aku tidak memilikinya karena penawar racun Kalajengking Perak ikut terkubur bersama penciptanya," Sudarta kemudian berjalan mendekati Elang dan membantunya duduk sebelum melepaskan dua totokan di ditubuhnya.

"Apa katamu, tidak ada penawarnya? Apa kau begitu ingin membunuhku?" Bentak Elang panik.

"Tak ada gunanya berteriak seperti itu sekarang, ikuti saja semua yang aku perintahkan jika kau ingin selamat," Balas Sudarta sebelum mengalirkan tenaga dalamnya ke tubuh Elang untuk menahan penyebaran racun Kalajengking Perak.

"Sebenarnya, masih ada satu cara untuk menyelamatkan nyawamu, yaitu dengan mengeluarkan racun Kalajengking Perak melalui tenaga dalam."

"Tenaga dalam? Tidak! Bukankah sudah ribuan kali aku mengatakan tidak tertarik sama sekali dengan ilmu kanuragan!" Balas Elang cepat.

"Aku hanya memberitahu cara untuk mengeluarkan racun itu. Jika kau memang tidak tertarik, aku tak akan memaksa," Jawab Sudarta pelan.

"Kau!!! Jadi ini tujuanmu sebenarnya meracuniku!" Elang berusaha mencekik Sudarta, namun tangannya dengan cepat ditepis oleh pria tua dihadapannya itu.

"Kau memiliki tubuh istimewa yang diimpikan oleh semua pendekar dunia persilatan. Aku hanya berniat membantumu untuk….." Belum sempat Sudarta menyelesaikan ucapannya, empat orang tiba tiba muncul dari balik pepohonan dan langsung bergerak menyerangnya.

"Sudarta, berikan nyawamu!!!" Teriak para pendekar itu.

"Perguruan Tapak Beracun? Sial, mereka datang disaat yang tidak tepat," Sudarta memutar tubuhnya cepat dan menyambut serangan mereka bersamaan.

"Jurus pedang Dewa Naga naik ke langit!"

Saat serangan mereka hampir berbenturan, salah satu pendekar perguruan Tapak Beracun menarik serangannya. Dia bergerak menyamping dan mengincar Elang yang masih belum bisa bergerak.

"Gawat, dia mengincar anak itu…." Sudarta berusaha menghadang pendekar itu, namun dua temannya melempar jarum beracun yang memaksa Sudarta melompat mundur.

"Pemuda itu terlihat lemah, sepertinya aku bisa menjadikannya sebagai sandera untuk memaksa si tua itu menyerahkan kitab pedang matahari," Pendekar itu memusatkan tenaga dalam di tangan kanannya sebelum melepaskan jurus tapak ke tubuh Elang.

"Tapak Penghancur tulang!!!"

"Hei… Hei tunggu, aku tidak ada hubungannya dengan pria tua itu," Elang mencoba menghindar, namun karena gerakannya yang melambat akibat efek racun kalajengking Perak, serangan pendekar itu mendarat telak di tubuhnya.

Elang langsung menjerit kesakitan, terlebih setelah energi tapak penghancur langit mulai menyebar ke seluruh tubuhnya.

"Kalian!!! Apa pantas cara kotor seperti ini dilakukan oleh orang yang mengaku sebagai pendekar?" Sudarta meningkatkan kecepatannya, dia berusaha menjauhkan dua orang yang terus menekannya.

"Jangan berlagak suci Sudarta, apa kau pikir aku tidak tau darimana perguruanmu mendapatkan kitab pedang Matahari?"

"Kau!! Akan aku pastikan kalian semua mati hati ini!!" Balas Sudarta geram.

Pertarungan ketiganya meningkat dengan cepat, walau kemampuan dua pendekar Tapak Beracun berada dibawah Sudarta, tapi gabungan serangan mereka mampu menyulitkannya.

Saat konsentrasi Sudarta sudah benar benar terfokus pada tiga pendekar Tapak Beracun, sebuah teriakan kesakitan tiba tiba terdengar di udara.

"Kau! Bagaimana kau bisa menghisap tenaga dalamku!!!"

"Menghisap tenaga dalam?" Ucap Sudarta dan tiga lawannya bersamaan.

Bersambung ke Bab selanjutnya…

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Darah Para Pendekar
Selanjutnya Penakluk Dewa | CH. 7 - 8 | Penulis: Syafir Yahya
12
1
CH 7 -  Kebodohan dan KepandaianCH 8 -  Rahasia Hao Li Judul: Penakluk Dewa Penulis: Syafir YahyaSinopsis:Disaat kedua orang tuanya menjadi buronan Kerajaan Naga Merah, lahirlah seorang anak bernama Hao Li. Di saat Yu Jing Xi berpikir akhir dari cerita mereka sudah dekat, keberuntungan datang kepada anaknya. Memberikan Hao Li kehidupan yang tidak bisa mereka berdua berikan. Beberapa tahun selang, kehidupan Hao Li hanya sebatas mencari binatang buas sebagai makanan dan bertengkar dengan dua orang yang paling disayangnya. Ketika dia mengira kehidupannya akan sama seperti orang kebanyakan, sebuah kristal berwarna merah gelap dia temukan. Kristal itulah yang membuatnya menjadi jenius dalam sekejap, memiliki bakat tinggi yang menantang surga. Tapi bagaimana jika Kristal yang di dapatkannya hanyalah salah satu pecahan dari sembilan Kristal? Apa yang akan terjadi jika Hao Li menyatukan mereka semua? *** Ini ceritanya, perjalanan dan petualangannya... Saat dia melangkah, jutaan nyawa melayang... Saat pedang di tangannya dia ayunkan, gunung dan lautan terbelah menjadi dua... Hembusan napas dan tatapannya bahkan menakuti para dewa... Dia dikenal sebagai Penakluk Dewa, Maharaja Tertinggi di Empat Benua. Link Bab 1 -2 : Penakluk Dewa CH. 1-2
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan