
Selalu ada banyak cerita dari warkop atau warmindo di Jakarta. Salah satunya kisah Agung, si peracik Indomie yang cukup dikenal di kalangan pekerja yang sering mampir di warkopnya Pak Mardi. Melalui Indomie, Agung, dengan caranya sendiri mencoba menyelami hati Dita, seorang mbak-mbak kantoran yang jadi langganan di warkop. Dita, yang membuat banyak kupu-kupu hinggap, sampai Agung tergelitik.
***
Cerita ini fiksi, namun saya terinspirasi dari satu warung Indomie yang berada di belakang sebuah...
Kepulan uap dari dandang bubur kacang hijau yang mengudara bersama asap rokok pengunjung, tidak membuat pandangan Agung ke luar terganggu. Indranya selalu waspada mana kala ada yang melintas. Lokasi warung tempat Agung bekerja, berada di jalan pintas yang menghubungkan dua kawasan bisnis di Jakarta. Menjelang magrib, warung sudah pasti dipadati karyawan pulang kerja. Rata-rata adalah pekerja kantoran yang mampir untuk sekadar minum kopi sachet-an atau mengganjal lapar dengan Indomie. Hampir gelap, sosok yang ditunggu Agung pun terlihat. Perempuan muda berusia dua puluh lima memakai setelan blazer dan rok span, menjinjing tas serta tumpukan dokumen. Namanya, Dita.
Dengan lebar warung kurang dari enam meter, Agung punya setidaknya sembilan detik untuk mengagumi Dita yang lewat di depan warung. Itu pun jika Dita mengambil langkah normal, tidak berlari atau terburu-buru. Kalau beruntung, Dita kadang berjalan pelan dan menunduk sambil memandang ponselnya. Di hari-hari baik, Agung bisa mendapat anggukan dan senyum Dita yang menoleh ke dalam warung. Sayangnya, itu bukan hari baik. Agung yang sudah menyiapkan lambaian—jaga-jaga kalau Dita menengok ke arahnya, harus menelan ludah karena yang diharapkan tidak terjadi. Mungkin Dita lelah dan ingin segera ke kost, pikir Agung. Dia pun terduduk di belakang panci bubur kacang hijau, tenggelam dalam riuhnya warung kopi yang sesak karena Pak Mardi, si pemilik warung, menyetel siaran langsung sepakbola.
***
Kalau ada ungkapan Indomie abang-abang warkop lebih enak dari pada buat sendiri, mungkin mereka salah satu yang pernah mencicipi Indomie racikan Agung. Pelanggan tetap warungnya Pak Mardi pasti sepakat. Agung mengaku tidak punya resep rahasia, semua bumbu Indomie itu sudah lezat, katanya. Namun, Agung memang punya cara-cara memasak Indomie supaya kadar enaknya bertambah.
Semua mie, baik yang goreng atau kuah, direbus tepat dua setengah menit dengan air mendidih yang bergejolak. Menit pertama api kompor harus besar maksimum, di menit kedua api kompor dikecilkan hingga nyalanya sedang, kemudian mie diangkat dan ditiriskan. Dengan begitu kekenyalan mie akan pas. Untuk mie rebus biasanya diangkat beberapa detik lebih awal karena nantinya akan bertemu kuah panas, sehingga mie tidak kelembekan. Agung juga memasak air kuah mie di panci terpisah. Jika si pemesan menginginkan Indomie yang pedas, empat buah cabe rawit merah akan direbus bersama air kuah tadi. Cabe yang sudah cukup layu akan diulek langsung di mangkok, lalu dicampur bersama bumbu dan minyak mie. Kalau kurang pedas, Agung sudah menyiapkan cacahan cabe rawit dilengkapi bawang goreng sebagai topping. Jikalau ada pelanggan yang tidak menyukai rumus mie dua-setengah-menit yang Agung bikin, itu adalah Dita.
Agung ingat delapan bulan lalu saat Dita pertama kali datang ke warkop Pak Mardi. Sore gerimis yang cocok dipadukan dengan Indomie rebus, tapi yang Dita pesan saat itu adalah dua porsi mie goreng. Sebenarnya Dita mau Indomie goreng jumbo, tapi Pak Mardi tidak menyediakan. Padahal porsi jumbo lebih enak, tidak sesedikit porsi biasa, tapi tidak terlalu banyak seperti dua bungkus mie. Pokoknya pas saja. Pertama kali makan Indomie goreng buatan Agung, Dita bilang mie-nya masih keras. Dita lebih suka kalau mie-nya dimasak lebih lama, tapi jangan kelamaan juga. Baru kali ini setelah dua tahun Agung bekerja di warkop, ada yang keberatan soal tekstur mie. Gara-gara itu juga, Agung jadi meramu lagi waktu merebus yang sesuai dengan selera Dita, dia juga menyetok Indomie goreng jumbo khusus untuknya.
Setelahnya, terjadilah percakapan-percakapan yang mengesankan Agung. Usianya dengan Dita yang tidak berbeda jauh, pengalaman-pengalaman yang senada sebagai perantau, serta Dita yang pernah tinggal di Sukabumi, kampung halaman Agung, menjadi semacam tautan bagi mereka.
Ada waktu di mana Dita lebih sering berkunjung ke warkop Pak Mardi. Biasanya di hari-hari menjelang tanggal 25. Atau saat Dita pulang larut malam karena lembur. Dita bisa memesan dua porsi Indomie jumbo, melahapnya hingga tak bersisa, yang berakhir dengan kekenyangan, lalu menghirup sebatang rokok dan berbagi cerita dengan Agung. Pernah juga meminta Indomie kari ayam dengan sambel ulek yang banyak hingga wajahnya memerah karena kepedasan. Agung sudah paham mana kala Dita ingin makan mie yang pedas, pasti perasaannya sedang semrawut.
***
Hari itu, Rabu di pertengahan bulan, sepertinya bukan termasuk hari yang baik. Agung yang sedang menonton infotainment pagi dibuat terperanjat oleh Dita yang muncul di pintu warung. Kegembiraan Agung yang baru sedetik, sirna saat seorang pria mengikuti Dita di belakangnya, yang diperkenalkan ke Agung sebagai Dimas, pacar baru Dita.
“Kaget ya, Gung?! Lagi cuti gue hari ini...”
Yang disapa cuma bisa tersenyum kikuk. “Mau apa, Mbak Dit? Goreng apa kari?” tanya Agung sembari mengeluarkan panci masak.
Baru juga Dita buka mulut, Dimas sudah menyela, “Bubur kacang aja, Mas. Ngga usah pake ketan item sama santan. Oke, Dit? Masa pagi-pagi udah mie instan aja.”
“Tapi aku udah tiga mingguan juga sih ngga makan mie...”
“Terus? Gendut kamu nanti makan mie mulu. Ngga suka aku...”
Dita hanya melengos sambil melirik Agung yang lekas-lekas menghindari mata Dita. Saat melihat Dita dengan pacarnya, perasaan Agung bagaikan bulir-bulir kacang hijau yang hancur menjadi bubur, seperti yang sedang dia aduk-aduk itu.
***
Agung mengelap meja sambil melamun, sudah dua bulan Dita tidak ke warkop Pak Mardi. Bahkan di hari-hari menuju tanggal dua puluh lima atau sekadar singgah minum susu coklat hangat seperti yang sebelumnya sering dia lakukan. Jika sedang sepi, Agung biasanya nongkrong di depan warung sembari merokok bersama para tukang ojek yang beristirahat. Beberapa kali dia berpapasan dengan Dita yang naik motor bersama Dimas. Walau hati meringis, Agung senang lihat senyum Dita yang mengembang itu. Senyum yang mengingatkan Agung saat dia menyajikan dua porsi Indomie goreng dalam satu piring kepada Dita. Sebuah senyum yang menghapus raut penat di penghujung hari yang lelah.
Agung kangen mengobrol ngalor-ngidul bersama Dita, sambil menikmati tiap isapan satu-dua batang rokok. Kangen cerita Dita tentang bos dan teman-teman kantornya, juga tentang pekerjaannya di bagian administrasi sebuah perusahaan teknologi. Dita yang berulang kali menyemangati Agung untuk melanjutkan sekolah. Dita yang tidak pernah memandang rendah Agung. Duh, Agung jadi bingung kenapa dirinya begini.
***
Baru saja Agung selesai menyapu warung, bersiap menutup pintu karena jam sudah menunjukkan pukul 24, seseorang dengan mata sembab dan napas tersengal muncul di depannya
“Mbak Dita?!”
“Jangan tutup dulu! Gue mau makan. Masih punya Indomie goreng jumbo?”
“Ada. Pedes?”
Dita mengangguk sambil menyeka air matanya.
“Gung, dua bungkus ya. Cabenya banyakin.”
Agung kemudian menunjukkan lima buah cabe rawit kepada Dita, “Segini?”
“Tambah, lah. Sepuluh, dua puluh kek. Pokoknya yang pedes banget!”
Selagi memasak mie, Agung mendengarkan cerita Dita yang ternyata baru putus. Dita menangkap basah Dimas berselingkuh. Rupanya, Dimas juga pacaran dengan perempuan lain saat masih bersama Dita. Ada jeda yang diisi sesenggukan, lalu berlanjut pada sumpah serapah.
“Dasar cowok brengsek! Sama semuaaaa!!” suara Dita tercekat.
Agung enggan menanggapi. Dia lalu menghidangkan sepiring Indomie goreng dengan telur mata sapi. Ada garis ceria yang nampak begitu Dita melahap mie-nya. Agung tahu ada kesedihan yang bisa pudar sementara, ketika kita menyantap Indomie goreng yang legendaris itu.
Begitu selesai makan, Dita menutup wajahnya yang memerah dan berkeringat. Dia lalu menangis sampai berteriak kencang. Agung panik karena tangisan Dita membuat orang-orang yang lewat menengok.
“Mbak Dit, gapapa Mbak, putus cinta itu biasa...”
“BUKAN ITUUU! BERAPA TADI LO KASIH CABENYA??”
“Dua puluh...”
“BENERAN DUA PULUH?? AAAAAAK.....”
***
Setelah bergelas-gelas air, Dita pun menikmati puntung rokok keduanya bersama Agung. Sudah pukul satu dini hari, Dita tidak merasa ingin pulang ke kostnya. Angin Jakarta yang berhembus kencang, cukup membuat kaki-kaki kedinginan. Namun, di antara keheningan malam itu, hati Agung terasa hangat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
