
Cerita ini terinspirasi dari seorang yang saya kenal. Beliau pekerja gigih walau tubuhnya kadang sudah tidak bisa dikompromikan karena usia. Berkali-kali beliau menumpahkan betapa sulitnya mengasuh anak remajanya. Kemajuan teknologi saat ini seringnya melunturkan adab. Saya mencoba menuangkan keresahan yang dialami orang tua yang sudah kekurangan daya dalam cerita ini.
Cerpen pertama di Karya Karsa. Semoga ada cerita-cerita selanjutnya ya nanti. Alias, yaa ayo rajin terus menulisnya…
Mbok Nuning kehabisan kata-kata begitu pulang mendapati anak remajanya, Dimas, masih di posisi yang sama seperti saat dia meninggalkan rumah tadi. Berselonjor di teras, matanya terpusat pada gim daring di ponsel. Beberapa jam sekali pindah ke dalam untuk mengambil pengecas, lalu lanjut main lagi. Tidak jarang Dimas mengumpat sembari mengisap rokoknya. Entah mulai kapan anak itu merokok, mungkin tidak lama setelah Karyo, suami Mbok Nuning yang juga bapaknya Dimas, mangkat lima tahun lalu.
Walau tiap hari juga begini, jika masih ada tenaga sisa, Mbok Nuning akan menghampiri Dimas, membilangi kalau baiknya kamu makan dulu, mandi, ibadah, atau lakukan apapun yang lebih berguna dulu. Kadang Dimas hanya melenguh, namun seringnya membentak, mengatainya cerewet, bawel, dan ngga usah ngurusi. Hari itu, Mbok Nuning memilih langsung ke kamarnya. Terlalu lelah kalau harus mendebat Dimas. Sore tadi Mbok Nuning diberi kerja tambahan oleh Bu Dadi, membersihkan gudang yang lama tak tersentuh. Dan itu dikerjakannya setelah menyetrika tiga keranjang baju di rumah Bu Martoyo.
Selesai membersihkan tubuhnya, Mbok Nuning mematut diri di cermin. Menggepit segaris kulit yang menebal di bawah pusarnya. Bekas luka yang dia bawa seumur hidup. Tujuh belas tahun lalu, Karyo bilang Mbok Nuning membawa keajaiban. Di usia yang hampir setengah abad, Mbok Nuning hamil lagi. Dipikirnya sudah mati haid, ternyata kehamilan yang pernah dinanti bertahun-tahun lalu terjadi. Mereka yang menikah di usia belia sebenarnya sudah memiliki dua anak laki-laki.
***
Sumarto, lahir setahun setelah Nuning dan Karyo menikah. Mandri, lahir dua tahun kemudian. Saat Sumarto dan Mandri remaja, Karyo mengutarakan keinginan untuk punya anak lagi, tak masalah laki-laki atau perempuan. Nuning pun tak keberatan, karena ia juga kepingin menimang bayi lagi. Bertahun-tahun mencoba, namun tidak berhasil. Mereka pun mengubur keinginan itu, saat Sumarto membawa seorang gadis ke rumah yang diperkenalkannya sebagai calon istri.
Baru menggenapi usia dua puluh, Sumarto sudah jadi suami orang. Sementara Mandri, tidak ingin cepat menikah. Buat Mandri pernikahan hanya akan menambah sengsara dan tidak mengeluarkannya dari lingkaran kesusahan. Dahulu, Karyo hanya sanggup menyekolahkan Sumarto dan Mandri sampai tingkat menengah pertama. Tentu saja karena ketiadaan biaya. Karyo lalu mengajak anak-anaknya ikut bekerja sebagai kuli bangunan bersama seorang kontraktor bernama Pak Said.
Suatu waktu, Sumarto menyetujui ajakan seorang teman menjadi transmigran di pulau seberang. Dengan iming-iming biaya hidup murah dan gaji besar, Sumarto dan Ayu, istrinya, menjadi pekerja di perkebunan sawit. Dua tahun pertama, Sumarto selalu memberi kabar dan mengirimkan uang kepada orang tuanya. Kadang disertai oleh-oleh khas kota setempat. Tahun-tahun berikutnya Sumarto mulai sukar dihubungi. Bagai tersambar petir di siang bolong, Karyo dan Nuning menerima kabar bahwa Sumarto dan Ayu ditemukan tewas di tempat kerja mereka. Pihak berwenang menyatakan kematian pasutri itu adalah murni kecelakaan kerja. Nuning dan Karyo tentu sangsi, tapi tak bisa apa-apa. Mereka bahkan tak bisa membayar ongkos pemulangan kedua jenazah, apalagi harus berurusan soal penyelidikan yang tidak pasti. Ikhlas pun menjadi satu-satunya pilihan.
Kedukaan yang ternyata tidak habis dalam waktu sebentar, membuat Karyo dan Nuning harus mendekap sungkawa ini selama-lamanya. Kemudian, senyum-senyum mulai merekah saat kehamilan Nuning. Karyo yang tidak lagi bekerja sebagai kuli bangunan karena usia, kini bersemangat lagi. Tidak ingin mengandalkan uang kiriman dari Mandri, Karyo pun menjajal berbagai pekerjaan, mulai dari pengangkut sampah, pemungut puing dan besi bekas, sampai bersih-bersih di warung tegal.
Walau sungkan, Mandri yang kini menjadi asisten Pak Said, kadang menawarkan pekerjaan kepada ayahnya. Mandri adalah pekerja yang ulet. Sejak diajak sang ayah bekerja bersama Pak Said dulu, Mandri lalu mempelajari keahlian-keahlian baru. Dari menjadi tukang gali, Mandri belajar mengenai struktur bangunan, jenis material, pemasangan lantai granit, parket, hingga pengecatan dalam dan luar ruang. Tidak heran Pak Said menjadikannya mandor, kemudian diangkat sebagai asisten. Pekerjaannya yang rapi dan memuaskan mendatangkan banyak klien baru untuk usaha Pak Said. Mandri bangga melihat sentuhan tangannya kini berada di rumah-rumah orang kaya.
Fisik Nuning yang melemah menjelang persalinan saat itu, membuat dokter mengambil keputusan operasi. Lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Dimas. Dimas membawa kebahagiaan tersendiri bagi Karyo. Potongan jiwa yang ikut mati ketika Sumarto berpulang, kembali bangkit saat merangkup Dimas kecil. Karyo merasa lebih hidup, namun sayangnya ini tak sejalan dengan kondisi tubuh yang mulai sakit-sakitan. Yang tak disangka pasangan ini, membesarkan anak di usia senja ternyata jauh lebih berat dari perkiraan mereka. Mandri yang sibuk dan kini ikut Pak Said ke berbagai kota, kadang menyempatkan diri menengok orang tua dan adik bungsunya. Nuning pun harus berjibaku, mengurus suami sakitnya dan Dimas, yang tentu butuh perhatian penuh ibunya. Kebutuhan hidup yang meningkat serta tak mungkin mengandalkan Mandri terus-terusan, memaksa Nuning menawarkan jasanya sebagai pembantu rumah tangga pulang-pergi di komplek sebelah. Kadang Dimas kecil dititipkan ke tetangga, sering pula diajak bekerja. Dunia menjadi lebih berat bagi Mbok Nuning saat akhirnya Karyo wafat.
***
“MBOK...MBOK BUKA MBOK!”
Ketukan keras di pintu membuyarkan kantuk Mbok Nuning yang baru saja memejamkan mata.
“Ada apa, Nak?”
“Bagi dua ratus ribu, Mbok!? Cepetan aku butuh sekarang!”
Belum juga mendapat respon apapun, Dimas sudah menggerayang kamar ibunya.
“Tadi ‘kan Mbok kerja sampe sore, pasti ada tambahan ‘kan? Aku butuh sekarang!!”
“Mbok belum gajian, Nak, tambahan juga ngga seberapa. Cukup buat beli lauk sampai hari Rabu. Buat apa ‘toh, Nak?”
Dimas tidak menjawab, matanya sibuk mencari sesuatu. Ketemu! Dimas memungut sebuah kaleng, mengambil seluruh lembaran rupiah di dalamnya tanpa mempedulikan si empunya, menghitungnya, lalu mendengus kesal karena tidak sesuai harapan. Dimas pun ke luar kamar dengan membanting pintu, membuat Mbok Nuning menghela napas panjang sambil menggumam mohon ampun kepada Tuhan.
**
Waktu setelah ibadah subuh adalah waktu sakral untuk Mbok Nuning. Dengan tenaga seadanya, Mbok Nuning akan membawa seember pakaian kotor menuju loteng rumahnya, sepetak area di atas genting yang dijadikan tempat untuk mencuci dan menjemur baju. Di daerah padat penduduk di pinggir ibukota ini, Mbok Nuning senang masih menemukan secuil damai, menyilau matahari terbit ditemani burung gereja yang beterbangan di antara antena televisi yang terpasang di tiang bambu memancang di atap-atap rumah.
Kicauan burung-burung gereja mengerumuni nasi aking yang terhampar di atas asbes, terdengar seperti kidung yang menenangkan batin resah Mbok Nuning. Kata Karyo, burung gereja itu istimewa, tidak takut pada manusia, dan senang terbang di pemukiman. Masih ada burung gereja di sekitar kita, berarti tempat tinggal kita masih bagus udaranya. Tak ada pagi yang Mbok Nuning lewatkan tanpa kerinduan kepada mendiang suami.
“Karyo..Karyo... aku kangen kowe, Yo. Rumiyin, ndhidhik lare mboten ngeten niki, kok sak meniko angel sanget. Jaman wis ganti, Yo...”
(Aku rindu kamu, Karyo... Dahulu, mendidik anak tidak seperti ini, sekarang mengapa susah sekali. Jaman sudah berubah, Yo...)
Selesai urusan menjemur baju, Mbok Nuning bersiap bekerja ke rumah Bu Martoyo, dilanjutkan ke rumah Bu Dadi. Dimas seperti biasa masih tertidur, pasti dia begadang main gim semalaman. Sejak dibelikan ponsel oleh Mandri, Dimas seperti tidak mengenal dunia nyata. Waktunya dihabiskan dengan nongkrong sambil main ponsel. Semua uang simpanan Mbok Nuning habis hanya untuk Dimas. Surya, putra sulung Bu Martoyo, bilang kalau anak-anak sekarang pasti sedang keranjingan main gim daring.
Untuk ikut bermain, seorang pemain harus mengisi kredit dengan membeli ‘koin’ menggunakan uang asli. Kata Surya lagi, Dimas setiap hari pasti online dan sering membeli ‘koin’ melalui teman mereka yang lain. Mbok Nuning masih bingung, namun berusaha untuk memahami. Mbok Nuning tidak mengerti ponsel, tapi dia punya satu dibelikan Mandri. Itu pun ponsel biasa, layarnya tidak berwarna, yang penting Mandri bisa telepon ibunya.
***
Ponsel biasa yang sudah lama tidak berdering itu mendadak bersuara. Mbok Nuning sempat gugup menekan tombol terima telepon. Sebuah suara parau dengan napas tertahan terdengar di seberang sana.
“Mbok? Mbok..?!.”
“Mandri? Halo?! Mandri ini? Halooo?!”
“Mbok, kalau ada yang cari saya, Mbok bilang tidak tahu aja. Sudah ya, Mbok jaga diri ya...”
Belum sempat menjawab, telepon sudah diputus. Perasaan Mbok Nuning tidak enak, kepalanya tiba-tiba pening. Saat akan berangkat bekerja, Mbok Nuning menengok kamar Dimas, dan tidak menemukan anak itu dimanapun. Dimas tidak pulang? Apa mungkin dia main gim dengan anak lain di pos siskamling semalaman? Perasaan Mbok Nuning makin tidak keruan.
Pagi yang sibuk di kediaman Pak Martoyo, seluruh anggota keluarga dan dua personel berseragam berkumpul di teras rumah. Kedatangan Mbok Nuning disambut Bu Martoyo dengan mimik khawatir. Seorang berseragam dengan alat tulis menghampiri Mbok Nuning dan mulai mencerca berbagai pertanyaan. Rumah keluarga Martoyo semalam kemalingan. Beberapa barang berharga dirampas. Surya berhasil mengenali salah satu dari tiga orang pelaku, yang tidak lain adalah Dimas, putra bungsu Mbok Nuning. Para maling amatir ini pun langsung diamankan subuh tadi. Motif para pelaku diantaranya kebutuhan uang untuk bermain gim daring.
Belum juga memproses apa yang terjadi di rumah Bu Martoyo tadi, Mbok Nuning bertemu lagi dengan orang-orang berseragam, kali ini di depan rumahnya. Para pihak berwenang ini datang bersama Pak Said, mengabarkan bahwa mereka mencari Mandri yang kabur membawa uang renovasi rumah seorang klien senilai hampir dua milyar. Sebuah kabar yang membuat sesak dada, Mbok Nuning pun jatuh pingsan. Pak Said dan yang lainnya pamit pada tetangga, dan akan kembali untuk mencari keterangan dari Mbok Nuning esok hari.
***
Waktu setelah ibadah subuh adalah waktu sakral untuk Mbok Nuning. Kali ini, tak ada ember yang dibawa ke loteng. Tali jemuran berwarna oranye yang biasa melintang, kini menjadi simpul di bawah tiang bambu.
“Karyo...
“...aku kangen...”
Kibasan kaki yang menggantung, membubarkan sekawanan burung yang sedang menggerumuti nasi aking. Santapan terakhir mereka, karena tak ada sisa nasi yang bisa dikeringkan. Besok-besok mungkin tidak ada lagi burung gereja yang hinggap di atap rumah ini.
_____
Photo by Nicolas Beuret on Unsplash
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
