Dilabrak pelakor

1
0
Terkunci
Deskripsi

Bab 1

"Byur ...," tiba-tiba air mengguyur tubuhku, saat aku sedang duduk disebuah restauran  sambil memainkan handphone. Kebetulan makanan yang dipesan belum datang.

"Eh, apa-apaan ini? Kenapa aku disiram?" tanyaku sambil berdiri dan mengibaskan jilbab, serta pakaianku yang sudah basah tersiram.

"Itu memang pantas kamu dapatkan, dasar pelakor!" ujar seorang perempuan yang berasal dari arah belakangku.

Aku pun merasa kaget, saat ada orang yang menyiramku dari belakang. Aku langsung menengok ke arah...

Post ini tidak mengandung file untuk diunggah/baca ataupun tulisan panjang.

Dukung suporter dengan membuka akses karya

Pilih Tipe Dukunganmu

Karya
1 konten
Akses seumur hidup
150
Sudah mendukung? Login untuk mengakses
Selanjutnya WANITA DIHATI SUAMIKU
2
2
(1)“Berikan Mas waktu tiga bulan, Dek. Jika dalam tiga bulan Mas tidak bisa, kamu boleh memilih jalanmu sendiri. Kamu boleh minta pisah dari Mas.”Di tengah kebisuan yang melanda, Hann menyampaikan isi hatinya pada Fitri, gadis yang menjadi calon mempelainya. Kepalang tanggung untuk membatalkan pernikahan mereka. Penghulu sebentar lagi akan sampai. Para tamu undangan dan saudara dari kedua belah pihak juga sudah hadir.Bahkan keluarga Hann sudah sampai dari ibukota sejak dini hari. Jauh-jauh mereka menempuh perjalanan dari Jakarta  ke Semarang untuk menyaksikan pernikahan ini.“Belum terlambat Mas kalau kamu batalkan pernikahan ini.” Untuk apa menikah tanpa cinta? Untuk apa menjadi istri bila di hati suaminya ada wanita lain?Suasana kamar sepi. Fitri yang meminta para perias untuk keluar. Dia ingin mengobrol sebentar dengan Hann, lelaki yang akan menjadikannya istri.Mereka berdua sudah berdandan rapi. Tinggal menunggu kedatangan penghulu. Maklum, kata pegawai KUA hari ini banyak yang menikah. Dan mereka mendapat nomor urut tiga.“Mas tidak akan melakukan itu. Mas tidak mau membuat mereka kecewa.”“Tapi setelah menikah Fitri enggak mau disentuh sama Mas Hann.” Fitri memandang pantulan dirinya melalui cermin besar di meja rias. “Maaf, Fitri enggak bisa. Fitri enggak mau jadi pelampiasan.”Hann menghela nafas. Dalam pikirannya, dia membayangkan bagaimana menjalani hari-hari berumah tangga dengan Fitri. Tanpa cinta. Tapi harus berpura-pura penuh cinta. Tidak bahagia tapi harus terlihat bahagia dimata orang lain.Pernikahan ini bukanlah karena perjodohan. Mereka berdua sudah menjalin hubungan selama dua tahun terakhir. Perkara Hann yang tiba-tiba bimbang menjelang hari pernikahannya adalah saat pria itu bertemu lagi dengan Nesha, mantan pacarnya waktu SMA.Nesha dan segala pesona serta kenangan indah, membuat Hann terjebak dalam masa lalu. Terjebak dalam cinta pertama yang tidak pernah berkesudahan.“Jangan meminta hak. Karena Fitri mungkin enggak akan bisa memenuhi kewajiban Fitri sebagai seorang istri,” papar Fitri tegas. Setegas gurat wajahnya.“Tapi memberi nafkah lahir dan batin itu kewajiban Mas, Fit.” Hann berkelit. Meskipun belum yakin dengan segenap hati mampu memberi nafkah batin.Lagi-lagi karena Nesha. Sebab cinta pertamanya itu telah berhasil memenuhi ruang hatinya. Hann takut saat menjalankan kewajibannya, justru dia membayangkan wanita lain.“Beri Fitri nafkah lahir saja. Masalah nafkah batin, Fitri akan menunggu selama tiga bulan. Jika Mas Hann tidak juga membuka hati, Fitri mundur Mas.”Tiga bulan waktu yang sudah mereka berdua sepakati bersama. Pernikahan ini hanya akan berjalan tiga bulan lamanya. Kecuali bila nanti Hann berubah pikiran. Dan membuka lagi hatinya untuk Fitri.“Fitri tidak harus mengemis nafkah dari Mas Hann,” cicit gadis yang memakai kebaya pengantin itu.Hann tidak mendengar nada kesedihan atas ucapan Fitri. Gadis itu mengucapkannya dengan lantang. Dengan tegas dan berani bahwa dia siap mundur.“Maafkan Mas Hann, ya Dek.”“Minta maaf untuk apa Mas Hann?” Fitri mengawasi Hann dari pantulan cermin. Tidak sudi dia melihat mata itu secara langsung. “Fitri yang selama ini salah mengartikan kebaikan Mas Hann.”Fitri mengatur nafas lalu melanjutkan. “Tapi kenapa Mas Hann enggak memberi jawaban waktu Fitri bilang, Fitri suka sama Mas Hann!”Hann menunduk. Dadanya sesak, butuh banyak oksigen untuk memenuhi rongga paru-parunya. Demikian juga Hann merasa sudah mempermainkan perasaan Fitri. Dia tidak tega untuk menolak saat Fitri datang dengan mata berbinar. Menyatakan perasaan suka dan cinta. Tapi dia juga tidak bisa menerima begitu saja, seorang gadis yang sudah dianggap seperti adik perempuannya sendiri.“Mari kita lanjutkan pernikahan ini. Sudah kepalang tanggung Mas Hann. Fitri enggak bisa menyakiti Bapak sama Ibu. Hari ini mereka sangat bahagia. Mas Hann enggak mau mempermalukan keluarga kita kan?” Senyum seringai tergambar disudut bibir tipis Fitri.Hann mengangguk lemah. Pernikahan ini untuk menutup rasa malu kedua belah pihak. Iya, hanya untuk itu. Tidak lebih. Tidak ada cinta yang menyala-nyala dalam dirinya.“Mari menikah Mas Hann. Walaupun Fitri sudah berhenti bermimpi menjadi Nyonya Hannafi Pratama.”Hann tidak pernah menyangka Fitri mempunyai hati setegar itu. Gadis itu sudah tumbuh dewasa, bukan lagi anak kecil yang cengeng dan pandai merengek. Bahwa luka yang ditorehkan oleh Hann justru dijadikan senjata oleh gadis itu untuk menyerang balik.Pintu diketuk dari luar seiring dengan salam yang dilontarkan. Seorang gadis menyembul dari balik pintu. Dia melempar senyum manis untuk Fitri.“Mira?” Fitri terkejut dengan kedatangan sepupunya. Teman curhat satu-satunya.Mira menghambur ke pelukan Fitri. Setelah cipika-cipiki barulah gadis itu menyalami Hann.“Lama enggak ketemu Mas,” sapa Mira. “Selamat menempuh hidup baru.”“Terima kasih Mir,” jawab Hann.“Aku titip Fitri,” lirih Mira setengah berbisik. “Jangan buat nangis sepupu aku ya,” ancam gadis berjilbab pink.Hann mengangguk. Tidak yakin juga sebenarnya. Setelah menikah, mungkin setiap hari Fitri akan dibuatnya menangis. Setiap hari Fitri bisa saja terluka dengan sikapnya. Setiap hari mungkin dia akan mengecewakan Fitri.Seseorang memberi tahu bahwa penghulu sudah datang. Mira menggandeng lengan Fitri. Membantu calon pengantin wanita berjalan. Karena kebaya yang dikenakannya panjang dan ketat. Sementara Hann berjalan di depan.Di ruang tamu, tempat ijab qobul, sudah dipenuhi banyak orang. Sebagian besar dari mereka adalah keluarga besar Fitri dan beberapa keluarga Hann yang datang dari Jakarta dini hari tadi. Mereka adalah Om dan Tante Hann dari pihak Ayah dan Ibu. Ada juga sepupu Hann.“Sudah siap Mas?” tanya penghulu berbaju dinas KUA setelah kedua calon pengantin duduk di tempatnya. “Mbak sudah siap?” tanyanya kemudian pada Fitri.Kedua calon pasangan itu sama-sama mengangguk sebagai jawaban. Setelah sekapur sirih nasihat pernikahan diwejangkan oleh penghulu, masuklah pada acara inti.Bapak Fitri bertindak sebagai wali nikah. Dia menggenggam erat tangan Hann. Menatap lurus menghunjam pada calon menantunya. Mengucapkan ijab dengan lantang dan penuh penekanan.“Saya terima nikah dan kawinnya Fitri Azizah binti Zainur Rohim dengan mas kawin tersebut tunai.” Hann menjawab dengan sekali tarikan nafas.“Sah?” Penghulu bertanya pada para saksi.“Sah!” Serempak mereka menjawab. Otot yang tadinya ikut tegang kini sudah lemas lagi mendengar qobul yang diucapkan Hann. Sebagian tersenyum lebar, sebagian lagi dari mereka menyusut air mata.“Alhamdulillah....”Berbahagialah mereka semua. Kecuali dua hati yang menjalani. Hann melirik pada pengantinnya yang anggun dalam balutan kebaya putih. Sudut matanya berair, meskipun gadis itu berusaha menutupi.Sama, Hann juga terluka dengan pernikahan ini. Tapi dia lelaki yang penuh tanggung jawab. Dia sudah datang melamar, urung untuk membatalkan. Dia punya prinsip. Punya harga diri.“Selamat untuk pernikahan kalian,” ujar seorang saudara Fitri sembari menjabat tangan kedua mempelai bergantian.‘Selamat untuk sebuah penderitaan panjang?’ Fitri memekik dalam hati. ••○••TES PASAR. LANJUT RAMAI .  EH, RAMAI LANJUT. WANITA DI HATI SUAMIKU (2)Hann menggulir layar ponsel di tangannya. Jarinya berhenti pada satu nama. Nama yang mendiami hatinya sejak lama.Bimbang antara ingin memanggil atau tidak. Dia melirik kepada Fitri yang masih dirias oleh seorang MUA kondang di kota ini. Gadis yang dua jam lalu dinikahinya terlihat cantik dan manis. Busana hitam khas pengantin Jawa melekat di tubuhnya.Acara resepsi sebentar lagi digelar. Hanya menunggu Fitri selesai dirias.Dari tempat duduknya, Hann memperhatikan wajah Fitri. Gadis itu tersenyum manis pada siapa saja. Pandai benar istrinya itu menyembunyikan luka. Berpura-pura baik-baik saja di depan semua orang.“Kak Hann.” Seorang gadis belia mengejutkan Hann. “Kita foto yuk,” ajaknya kemudian.Hann menurut saja. Dia berdiri, tangan kanannya merangkul Najma, gadis belia itu. Sedangkan tangan kirinya diangkat setinggi bahu dengan dua jari membentuk huruf V.Najma tak kalah heboh. Dia memajukan bibirnya. Serta kedua jarinya kanannya pun membentuk huruf V, menempel di pipi.“Ih, Kak Hann lebay!” protes Najma setelah melihat hasil jepretannya sendiri. “Pose biasa aja Kakak. Enggak usah sok imut.”“Memang dari cetakannya sudah imut.”“Ulang ... ulang ... ulang.” Najma merapatkan tubuhnya pada Hann. “Pose biasa aja Kak!”Pose biasa saja itu seperti apa? Hann mendengkus, tapi dituruti juga kemauan keponakannya itu.“Jangan kaku, Kak Hann. Bukan mau foto KTP ih,” protes Nama setelah melihat hasil fotonya. “Emang susah ngajak om-om foto,” cibirnya kemudian.Astaga! Tega amat Najma. Umur Hann baru akan memasuki kepala tiga dua bulan lagi. Itu umur yang matang, tapi bukan berati tua. Hann meringis sembari membetulkan blangkon di kepalanya.“Kasihan Mbak Fitri nikahnya sama om-om.” Celetukan Najma mengundang perhatian Fitri.Pengantinnya menoleh. Tersenyum penuh. Senyum yang tetap manis meski mungkin hatinya menangis. Hann membalas senyuman itu. Fitri memang masih muda. Usianya baru dua puluh satu tahun. Baru lulus D3 keperawatan setahun yang lalu.“Ayo Kak Hann lanjut foto. Mau aku posting,” ajak Najma.Bukankah ajakan itu menyelamatkan dirinya dari tatapan Fitri? Beruntung juga punya keponakan belia yang super reseh. Hann menikmati sesi swafoto bersama Najma.Setelah belasan kali berubah-ubah pose, akhirnya Najma puas dengan hasil yang terakhir. Bukan puas sejujurnya, lebih tepatnya karena dia diusir oleh Hann yang mulai kesal dengan tingkah bocah kelas 2 SMP itu.“Sudahlah. Capek.” Hann duduk lagi di kursinya. Mengambil ponsel yang tadi ditinggalkan.“Waktunya posting.” Najma terkekeh sambil memandangi layar ponselnya. Dia mengunggah sebuah foto ke media sosialnya. Beserta capture ‘HWD Kakak Ganteng’ diakhiri emot c-ium.Setelah Najma menghilang di tengah kerumunan, Hann kembali menatap layar ponsel. Berperang antara ingin menghubungi nomor itu atau tidak.Hann merutuk hati dan pikirannya yang tetap tertuju pada satu nama. Harusnya dia sedang berbahagia karena telah sah menyandang gelar sebagai suami. Tapi, yang terjadi malah bertolak belakang.Otak menggerakkan hati dan pikirannya untuk memikirkan satu nama. Sedangkan hati dan pikirannya memerintah tangannya untuk menyentuh ikon panggil pada nama yang tertera di layar itu.“Nesha,” ucapnya ketika wajah itu muncul di layar.Wajah yang selalu dirindukan. Wajah candu itu, kerap membayangi malam-malam panjangnya. Setiap kali Hann berusaha melupakan, justru wajah itu makin lekat di ingatan.“Dek, Mas ke kamar sebelah dulu ya,” pamit Hann pada Fitri. Istrinya mengacungkan ibu jari tanda mengizinkan.Mudah sekali Fitri memberinya izin? Tapi, sudahlah. Bukankah ini kesempatan baginya untuk melepas rindu?Hann ingin lari ke kamar, tapi kain yang dipakai membuatnya sulit berjalan. Dia hampir lupa kalau sudah berdandan lengkap khas pengantin Jawa. Setelah bersusah payah, Hann sampai juga di tempat tujuan. Padahal pintu antara dua kamar itu bersebelahan. Seharusnya cepat, tapi bagi Hann rasanya lambat.“Kadal!”Hann terpaku menatap layar ponselnya. Bukan wajah Nesha yang muncul, tapi...?“Kadal!” Malika menyapa. Tapi justru terkesan seperti ledekan. “Nikah kok enggak bilang-bilang!”Si kedelai hitam kesayangan petani rupanya yang mengangkat telepon. Sejak masa sekolah dulu, Hann sering dibuat kesal oleh temannya yang satu itu.Hann menghela napas sebelum menghadiahi Malika sebuah senyuman. Susah sekali untuk bersikap manis pada wanita berhijab lebar itu.“Kadal, kadal ... Nesha mana?” tanya Hann ketus.Siapa yang suka dengan panggilan ‘Kadal’ coba? Tidak ada keren-kerennya sama sekali. Tapi ya, memang itu tujuan Malika menyebutnya Kadal. Biar terlihat tidak keren di mata Nesha.“Ada, lagi tidur. Ada apa nanyain Nesha? Mau pamer kalau hari ini nikah?” Malika terkekeh.“Cepat kasih ke Nesha.”“Mau ngapain? Nesha enggak mau diganggu.”Hann melayangkan genggaman tangannya ke depan layar ponsel. Kalau orangnya nyata, sudah Hann tim-puk kepala Malika.“Ya deh, tunggu bentar.”Wajah Malika menghilang. Wanita itu mengubahnya menjadi kamera depan. Namun, Hann dibuat panik saat melihat Nesha terbaring di atas brankar.Hann menyuruh Malika memberikan ponsel itu pada Nesha. Dia ingin melakukan video call sedari tadi.“Nesh, kamu sakit? Kenapa tidak bilang dari kemarin?” tanya Hann cemas.“Enggak, Hann.” Wajah yang pucat itu tersenyum. Membuat Hann menjadi semakin tidak karuan. Di saat Nesha sakit, harusnya dia selalu berjaga di sisi wanita itu.“Nesha masuk rumah sakit gara-gara suaminya.” Jawaban Malika membangkitkan rasa marah Hann. “Dia memaksa Nesha untuk berhubungan. Akibatnya Nesha pendarahan, Hann. Dan hampir saja kehilangan janinnya.”Marahnya sudah di puncak ubun-ubun. Dia berjanji akan membuat perhitungan pada suami Nesha. Suami macam apa yang tega memaksa istrinya begitu tidak berperikemanusiaan. Nesha sedang hamil muda, harus dijaga dan bukan disakiti.“Saya akan buat perhitungan dengan Reno!” janji Hann kemudian.“Bukan salah Mas Reno, Hann.”“Itu salah kamu Kadal!” komentar Malika. “Coba kamu enggak muncul lagi ke dalam hidup Nesha. Pasti hubungan Nesha sama Mas Reno baik-baik aja.”Salah siapa? Bukan Hann yang meminta untuk bertemu lagi dengan Nesha setelah tiga belas tahun terpisah. Bukan pula Nesha yang meminta.Akan tetapi takdir yang menggariskan. Kisahnya dengan Nesha memang belum usai. Lantas, salahkah bila Hann ingin mengulanginya untuk kedua kali? Berbagi kasih seperti saat remaja dulu.“Mas Hann,” sapa Fitri. “Sudah selesai telepon Mbak Nesha? Acara sebentar lagi dimulai.”Hann menoleh. Pengantinnya berdiri di depan pintu. Dia bangkit dan menarik tangan Fitri masuk ke dalam kamar. Kemudian menutup pintu dan memutar anak kunci.“Nesha sakit, Dek.”“Terus?”“Mas ingin ketemu.”Kuat-kuatlah hati Fitri. Gadis itu mengangguk disertai seulas senyum tipis. Saat resepsi sebentar lagi, tapi suaminya izin untuk bertemu dengan wanita lain?Sesak benar rasanya. Fitri ingin menangis, tapi air matanya sudah kering.“Mas Hann mau ke Jakarta? Jangan aneh-aneh Mas. Apa kata orang-orang nanti? Fitri ditinggalkan suaminya saat acara resepsi. Miris sekali, Ya Alloh.”“Tapi Dek?”“Terserah Mas Hann.” Fitri menjauhkan tangannya saat Hann hendak meraihnya. “Fitri memberi kebebasan penuh. Fitri enggak mau jadi istri yang suka mengekang suaminya.”Dia berbalik badan. Memutar anak kunci dan ingin segara berlalu dari hadapan suaminya itu.“Sampai di sini Fitri tahu. Bahwa Fitri memang enggak pernah jadi prioritas Mas Hann.”..WANITA DI HATI SUAMIKU (3)Acara temu manten yang dijadwalkan pukul setengah dua siang, akhirnya batal sebab pengantin pria mendadak sakit perut hebat.Paling tidak, begitulah alasan Fitri menutupi keadaan yang sebenarnya. Mana mungkin dia melanjutkan rangkaian resepsi pernikahan, jika mempelai pria kabur?“Mas Hann?” Tanpa air mata, Fitri meremas pakaian pengantin yang ditinggalkan suaminya.Beskap hitam dan kain batik teronggok di atas kasur. Ditinggalkan begitu saja di sana. Untung saat masuk ke kamar, Fitri sudah mengunci pintu terlebih dahulu. Sehingga tidak menimbulkan rasa curiga.Jendela kamar yang terbuka lebar menjadi saksi bagaimana aksi nekat Hann. Pria yang berikrar di depan penghulu pagi tadi, sore ini pergi meninggalkan Fitri. Gadis yang selalu bermimpi bahwa hari pernikahannya akan menjadi hari spesial.Tidak terlupakan. Hari ini akan menjadi hari yang tidak terlupakan olehnya. Alih-alih berbahagia, gadis itu justru dibuat kecewa yang luar biasa.“Mas Hann sakit perut. Tidak mau diganggu. Tidak boleh ada orang yang lihat. Hanya ingin berduaan saja dengan Fitri,” kata Fitri kepada siapapun yang bertanya perihal batalnya acara temu manten.Kata-kata Fitri menyebar cepat bak virus penyakit yang mewabah. Siapa saja yang hadir percaya dengan kebohongan gadis manis itu.“Tapi Mas Hann enggak mau ditemui,” papar Fitri saat ibu mertuanya meminta izin masuk ke kamar. “Mas Hann cuman mau Fitri yang menemani.”“Tapi Bunda khawatir, Fit.”“Bunda enggak percaya sama Fitri?”“Oh, bukan begitu. Iya, Bunda percayakan Hann sama suster Fitri.” Bunda mengelus pipi menantunya yang sudah lepas dari makeup. Bahkan tanpa polesan bedak pun, Fitri begitu tampak cantik.Bunda tidak sedang bercanda saat memanggil menantunya dengan sebutan ‘suster Fitri’. Gadis itu memang seorang perawat di salah satu rumah sakit swasta di ibukota.“Fitri masuk lagi ya, Bun. Menemani Mas Hann.”“Manja sekali anak sulung Bunda, Fit.”Bukan manja, tapi keterlaluan! Fitri ingin berteriak sekencang-kencangnya. Namun, dia tidak mau kedua orang tuanya tahu. Fitri tidak mau membuat mereka kecewa dan sedih.“Hann sakit perut,” kata Bunda memberi tahu keluarga dan tetangga besan yang turut membantu di acara hajatan mereka.Sebagian orang memaklumi, sebagian lagi kecewa. Tapi Fitri tidak menanggapi. Dia juga kecewa, sangat kecewa malah dengan sikap Hann. Kepergian suaminya menggores luka di dalam sana. Perih meski tak berdarah.Namun, dia juga tidak bisa membuat keluarga besarnya malu. Maka, berbohong adalah jurus terbaik saat itu. ..“Sudah malam, Hann belum mau keluar juga?” tanya Bunda saat mendapati Fitri di ruang tengah sedang menyendok sepotong ayam goreng ke atas piring berisi nasi.“Katanya enggak mau diganggu, Bun.” Lagi-lagi Fitri harus berbohong untuk menyenangkan hati ibu mertuanya.Dan untuk menyempurnakan kebohongan, Fitri keluar kamar untuk mengambil makan malam. Dia menyiapkan nasi dua porsi sekaligus. Satu untuknya. Satu lagi untuk Hann, mungkin nanti esok pagi sekali akan pulang.Mungkin saja. Fitri masih berharap suaminya ingat pulang. Seburuk apa pun perlakuan Hann padanya, Fitri akan selalu memberi maaf.Katakan saja Fitri terlalu polos. Sudah disakiti sedemikian hebat, masih saja berharap. Harusnya Fitri meradang. Marah dan mengamuk saja bila nanti suaminya datang. Namun cinta memang kadang tidak tahu aturan.“Itu buat Hann?” tanya Bunda dengan dahi berkerut.“Iya. Mas Hann lapar, tapi dia mau makan di kamar katanya.” Aneh benar ibu mertuanya, memang apa yang salah pada porsi yang diambilkan untuk Hann?Terlalu banyak atau terlalu sedikit? Entah. Fitri tidak ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Bunda. Dia ingin segera kembali ke kamar dan mengunci pintu dari dalam.“Kenapa Bun?” tanya Fitri heran melihat perubahan raut muka ibu mertuanya.“Enggak, enggak apa-apa.” Bunda menggelengkan kepalanya.“Tidak apa-apa kalau Nak Hann ingin makan di kamar.” Ibu Fitri yang baru datang ikut nimbrung dalam percakapan. “Masih sakit perut suamimu, Fit?”Fitri menggeleng. Mudah-mudahan Hann tidak sakit perut betulan.“Mungkin dia sedang ingin dimanja sama kamu,” kelakar ibunya Fitri. “Biasa, pengantin baru.” Wanita itu melirik ke arah  besannya.Bunda memaksa diri untuk tersenyum. Anak sulungnya memang manja, tapi kalau soal makanan dibawa ke kamar? Itu seperti bukan kelakuan Hann.“Layani suami kamu dengan baik ya, Nduk.” Ibu Fitri memberi wejangan.Fitri mengangguk saja. Dia pamit sambil membawa nampan berisi dua piring nasi dan dua gelas teh hangat. Sengaja dia membawa dua porsi biar orang-orang tidak curiga.Sampai di kamar, dia meletakkan nampan itu di atas nakas. Sebab saat bersamaan, ponselnya bergetar. Seseorang menghubungi. Mas Hann. Nama itu muncul di layar. Fitri segera menggeser ikon telepon berwarna hijau ke atas.“Mas Hann di mana?” Pertanyaan itu yang pertama kali keluar dari bibirnya.Fitri bersusah payah mengontrol emosi. Dia harus berbisik agar tidak ada yang mendengar obrolannya. Di luar masih ramai, sebab acara hajatan memang belum usai.“Fitri tunggu di kamar. Sebelum subuh Mas Hann harus sudah sampai. Jangan membuat mereka curiga, Mas Hann.”Ultimatum yang cukup bijaksana. Fitri tidak mungkin meminta Hann datang detik itu juga. Jadi, masih banyak waktu untuk suaminya pulang. Perjalanan Jakarta-Semarang tidaklah begitu lama jika naik kereta ekspres.Hening. Fitri mendengarkan Hann bicara. Senyum tersungging di bibir. Dia sudah menyusun rencana untuk memiliki suaminya seutuhnya.“Mas Hann lakukanlah kewajiban sebagai seorang suami. Fitri meminta hak, Mas.”Panggilan berakhir. Fitri menggeser layar yang masih menyala. Membaca lagi pesan yang dikirim Mira tadi sore.[Buatlah suami kamu tidak bisa berpaling. Layani dia dengan sebaik-baiknya. Buat diri kamu menjadi candu baginya.] ..WANITA DI HATI SUAMIKU (4).. [Buatlah suami kamu tidak bisa berpaling. Layani dia dengan sebaik-baiknya. Buat diri kamu menjadi candu baginya.]Pesan dari Mira memang terkesan tabu baginya. Mana mungkin untuk seorang gadis sepertinya melakukan yang memalukan semacam itu. Namun, lagi-lagi ini tentang keberlangsungan pernikahannya dengan Hann.Fitri pusing membayangkannya. Melayani suami dengan sebaik-baiknya dan menjadi candu untuk suami? Dia baru akan memulai, sangat awam bagi gadis berusia  dua puluh  satu tahun itu hal-hal yang berbau ranj-ang pasutri.Mira memang aneh dan sok tahu!“Gimana caranya, Mir?” Fitri menuliskan balasan pesan. Meski bergidik, tapi penasaran juga.Eh tapi, Mira juga belum berumah tangga. Apa mungkin gadis itu tahu? Dari mana Mira punya pengalaman seperti itu? Jangan-jangan, ah Fitri jadi berburuk sangka dibuatnya.Ting! Suara pesan masuk di ponselnya.Fitri membuka pesan. Dia kecewa, rupanya Mira juga tidak tahu caranya. Ya , maklum saja lah. Gadis itu belum menikah. Pacar saja tak ada. Fitri menyesal sudah berprasangka yang tidak baik.Ting!Pesan masuk lagi. Kali ini Fitri tersenyum. Kenapa dia bodoh, banyak kan tutorialnya di Youtube? Dengan jari gemetar, dia akhirnya mengetik di kolom pencarian.Cara melayani suami.Fitri melempar ponselnya ke kasur. Dari sekian banyak video, hampir semuanya mengarah kepada kegiatan antara suami istri di atas tempat tidur. Salahnya sendiri, dia mengeklik video yang salah. Muncul ilustrasi pasangan yang sedang memadu kasih.Gambar itu membuat Fitri mual. Parahnya malah terekam jelas di dalam memorinya.“Mira payah,” cicit Fitri sambil memeluk bantal. Membenamkan wajahnya di sana demi menghilangkan jejak-jejak video yang dilihat. Namun sayang, semua terlambat. Otaknya bekerja lebih cepat. Video singkat itu berputar-putar di dalam benak.Ting! Ponselnya berdenting lagi. Fitri mengambilnya. Membaca pesan dari saudara sepupunya itu.[Kamu musti beli rantai deh kayaknya.][Buat apa?][Biar Mas Hann enggak kabur-kaburan.]Bibir Fitri mengerucut membaca pesan Mira. Dia sudah memberi tahu  sepupunya tentang Hann yang kabur lewat jendela kamar.[Beli rantai di mana sih?][Apotek]Ini lagi anak satu. Fitri sedang galau merana masih saja jadi bahan candaan. Awas saja, kapan-kapan Fitri bawa alat suntik![Jangan kalah sama masa lalunya.]Pandai sekali Mira memberi nasihat. Mau jadi konsultan pernikahan? Kalau menjalani pernikahan sepahit yang Fitri rasakan, apa mungkin gadis itu sanggup? Fitri rasa tidak.[Masa lalunya Mas Hann terlalu berkilau, Mir.][Masa lalu letaknya di belakang.][Kalau masa depan di depan?][Masa lalu itu kenangan. Tapi masa depan adalah tujuan. Dia mungkin akan tetap jadi kenangan Mas Hann. Tapi kamu tujuan Mas Hann sekarang.]Fitri tersenyum. Membaca pesan Mira membuat hatinya sedikit tenang. Dia akan berputar haluan mulai sekarang. Menuntut hak yang semestinya diterima seorang istri. Nafkah batin!“Masa lalu itu kenangan,” gumam Fitri. “Tapi Masa depan adalah tujuan.”Mira dapat kata-kata sebagus itu di mana? Fitri tidak yakin kalimat itu tercetus dari sepupunya. Mungkin hasil mencomot dari kalender toko emas. Siapa tahu?[Keep spirit, Fitri!]Nah, kalau sok-sokan berbahasa asing begini, itu baru Mira yang asli. Kalau Mira yang penuh petuah dengan kata-kata sastrawi, sudah pasti itu KW.[Thanks, Mir. Kamu emang Bestie. Enggak ada duanya.] Seperti mendapat kekuatan baru. Fitri akan membalas perlakuan Hann. Enak saja main kabur-kaburan. Perbuatan suaminya hampir saja membuat malu keluarga besar.Fitri mencari kontak Hann di ponsel. Menuliskan pesan pada suaminya.[Fitri tunggu Mas Hann di kamar. Jendela enggak Fitri kunci. Masuklah dari tempat Mas Hann kabur.].. POV HannHann sudah menukar pakaian pengantinnya dengan kaos dan celana serba hitam. Ditambah dengan jaket berwarna senada dan topi hitam pun bersarang di atas kepala. Parah, mirip buronan saja! Buronan mertua!Setelah memastikan semuanya aman, dia melompat melalui jendela. Posisi jendela berada di samping rumah. Sepertinya semesta mendukung rencana jahat itu. Benar, di sana sepi. Tidak terjangkau dari perhatian orang-orang.Berjalan mengendap, sampai juga dia pada halaman belakang rumah tetangga. Kemudian dia melangkah dengan santai, agar para tamu undangan yang hilir mudik tidak menaruh curiga bahwa dialah pengantinnya.“Ojek Mas,” kata Hann setelah sampai di perempatan jalan besar. Rumah Fitri memang dekat dengan jalan besar. “Stasiun ya.” Kendaraan roda dua itu melaju dengan cepat menuju tempat tujuan.  Hann tersenyum di belakang tukang ojek. Tindakannya gil-a. Memang, cintanya pada Nesha masuk dalam kategori itu.Akan tetapi Hann tidak peduli dikatakan tidak waras. Demi Nesha dia akan sanggup jadi apa pun.“Kamu sungguh-sungguh menculik saya dari pelaminan,” kata Hann dari atas sepeda motor. Dia tersenyum geli pada dirinya sendiri.  Nekat dan cari penyakit bukan? Kabur di hari pernikahan untuk bertemu mantan pacar.“Apa Mas? Wong saya tukang ojek, dudu penculik Mas,” sahut tukang ojek berjaket kuning. (Apa Mas? Orang saya tukang ojek, bukan penculik Mas)“Bukan sampeyan Mas.” Rupanya bapak tukang ojek mendengarnya? Hann jadi malu.“Oh....”Sepuluh menit berlalu. Sepeda motor berhenti di depan gerbang stasiun.“Terima kasih Mas,” papar Hann sambil menyerahkan selembar uang pecahan seratus ribuan.“Duit kecil Mas. Ndak punya kembalian.”“Ya sudah buat sampeyan semua.”Tukang ojek itu berseri-seri bak dapat undian. Sebelum tancap gas, dia berkali-kali mengucapkan terima kasih. Katanya Hann orang pertama yang naik ojeknya hari ini. Eh, sekalinya dapat penumpang dibayar lebih.“Semoga sukses ya Mas,” kata tukang ojek berkumis itu.Hann mengangguk. Tukang ojek itu berlalu. Kemudian dia menggeleng sambil senyum-senyum. Semesta memang mendukung. Terbukti bukan, tukang ojek saja mendoakan agar sukses dengan tujuannya.“Sukses kabur?” Hann menggeleng. Tertawa geli. Orang sedang kabur malah didoakan sukses. “Sukses ketemu istri orang? Semoga doa bapak ojek dikabulkan.” ..WANITA DI HATI SUAMIKU  Bab.5 Menemui Wanita Tercinta.. Lepas Maghrib, Hann sampai di Jakarta. Tujuan utamanya tentu saja rumah sakit. Rasanya sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Nesha. Ingin tahu keadaan wanita itu. Biar bagaimanapun rumah sakit tetaplah tempat yang menyeramkan. Dia takut kekasih hatinya kenapa-kenapa.Semesta memang sedang berpihak padanya. Sebab tadi siang tidak ketinggalan kereta. Ada untungnya juga bukan, dulu langganan naik kereta, jadi tahu jadwal keberangkatan.Hann membuka sebuah pintu kamar inap. Ruang Anggrek VVIP 2. Malika yang memberi tahu lewat pesan chat tadi sore. Tidak selamanya buruk rupanya berteman dengan si kedelai hitam kesayangan petani itu. Dalam hal ini, Malika adalah orang yang paling berjasa.Sebab bila Malika tidak memberi kabar tentang Nesha masuk rumah sakit, belum tentu juga Hann berasa di sini.Di kamar ini. Melihat tubuh wanita yang dicintainya terbaring lemah. “Nesh ....” Hann menyapa pelan. Takut membuat sang pujaan hati terganggu dengan kedatangannya.Dia berjalan mendekat. Nesha tengah memejamkan mata. Entah tidur atau apa. Yang pasti, wajah pasi itu tetap saja cantik di mata Hann.“Nesha,” sapa Hann untuk kedua kali. Tangannya menyentuh lengan Nesha. Membangunkan wanita itu. “Saya datang.”Lamat-lamat mata Nesha membuka. Dia tersenyum penuh begitu tahu Hann menemuinya.“Hann?” Nesha kaget mendapati Hann sudah ada di dalam ruangan. Bahagia yang tiba-tiba membuncah menghilangkan rasa sakit di perutnya. Dia ingin duduk guna menyambut Hann. Kalau bisa, malah dia ingin berlari dan memeluk lelaki itu.“Jangan bangun,” pinta Hann kemudian menarik sebuah kursi ke dekat brankar. Duduk di sana sembari mengelus lembut punggung tangan Nesha.“Kenapa kesini?” tanya Nesha bingung. Suaranya masih lemah.“Saya rindu.” Tidak ada kebohongan dari ucapan Hann. Benar, dia memang rindu padahal baru kemarin siang bertemu.“Ish...ditanya benar-benar.”Itu pula jawaban yang sebenar-benarnya. Untuk apa pura-pura tidak rindu? Nesha dan segala kenangan begitu candu baginya.“Kamu ngapain kesini?” Nesha berusaha duduk. Masih dengan pertanyaan yang sama.“Jangan duduk. Tiduran saja,” cegah Hann sambil membaringkan lagi tubuh Nesha.“Aku udah enakan, Hann.” Nesha berkelit.“Nanti sakit lagi.”“Enggak Hann.”Malas berdebat, Hann membiarkan Nesha duduk. Tak lupa dia menaruh bantal di belakang punggung Nesha agar wanita tercintanya berada pada posisi yang nyaman.“Di mana suami kamu?”“Mau apa nyari Mas Reno? Dia masih ngantor.”Suami tidak bertanggungjawab! Hann menyeringai sinis. Pria macam itu mana cocok bersanding dengan Nesha? Istri sakit malah ditinggal-tinggal, bukannya ditemani.“Saya mau membuat perhitungan. Berani sekali dia melukai kamu.” “Buat apa sih, Hann? Jangan cari penyakit.”Karena Nesha tidak mau wajah Hann babak belur lagi karena dihajar Reno. Luka lebam di wajah itu juga belum hilang sepenuhnya, akibat hantaman dahsyat dari Reno beberapa hari lalu. Dan tidak menutup kemungkinan bukan, jika mereka berduel Hann yang kalah?Sudah pasti Hann kalah. Mana bisa Hann berantem? Lelaki seperti Hann bisanya cuma merayu wanita, kan?“Belum makan?” Hann melihat makan malam Nesha yang belum tersentuh di atas nakas.“Nanti aja belum laper.”“Saya suapin.”“Enggak usah bersikap manis di depanku Hann.”“Kenapa?”“Karena kamu suami orang lain.”Ada perasaan bersalah menyusup dalam sanubari Hann. Dia ingat Fitri, mempelai wanitanya. Yang ditinggalkan begitu saja tanpa pamit.“Pulanglah Hann,” ucap Nesha.“Saya ingin tahu keadaan kamu.” Hann mengelus punggung tangan Nesha.“Aku sudah bilang tadi siang. Kalau aku baik-baik aja. Kenapa nekat kesini juga?”Karena cinta. Tapi lidahnya terasa kelu untuk menjawab. Tidak semua hal tentang cinta harus diumbar, bukan?“Istri adalah rumah bagi suami, Hann.” Nesha mengatakannya sembari memaksa senyuman.Hann menggeleng. Tidak semua istri adalah rumah, pekiknya. Bisa saja istri hanya tempat singgah sementara. Dan rumah impiannya tetaplah Nesha.“Pulang!” gertak Nesha mulai kesal.“Kamu mengusir saya?”“Iya. Pulang sekarang Hann.”“Saya mau pulang asal kamu tidak jadi resign. Saya butuh kamu di kantor, Nesha. Tidak ada sekretaris yang sebaik kamu.”Di tempat kerja itulah mereka berdua bertemu lagi setelah tiga belas tahun. Pertemuan yang tidak disengaja. Hann tidak pernah menyangka bahwa keputusannya untuk pindah tempat kerja, justru membawanya kembali pada Nesha. Pada kenangan yang selamanya akan abadi dalam ingatan.“Kalau tidak setuju juga tidak apa-apa. Saya tidak akan pulang. Saya akan tetap di sini sampai kamu sembuh,” ancam Hann.“Iya. Aku setuju. Tapi kamu pulang.”Senyum di sudut bibir Hann tercetak sempurna. Usahanya tidak sia-sia. Nesha tidak jadi mengundurkan diri dari pekerjaannya. Itu berarti, dia akan bertemu Nesha setiap hari, bukan? Meski Sabtu dan Minggu libur, nanti Hann usahakan untuk tetap menemui wanita itu.“Oke.” Hann mengelus pucuk kepala Nesha. “Cepat sembuh.”“Jangan bersikap manis seperti ini Hann,” sungut Nesha.Akan tetapi Hann tidak peduli. Dia hanya ingin Nesha tahu, bahwa sampai kapan pun cinta dan perhatian yang dia berikan tidak pernah berakhir. Meskipun takdir belum berpihak pada mereka.“Saya pulang dulu,” pamit Hann dengan jemari mengelus pipi Nesha. “Hei...jagoan, jangan bandel sama mama yah,” ujar Hann pada janin yang ada di perut Nesha.“Hati-hati, Hann. Pulanglah ke rumah kamu. Jangan berhenti atau singgah di tempat lain.”“Rumah saya itu kamu, Nesh.”“Hann!”Hann pura-pura kesakitan setelah dihadiahi sebuah cubi-tan di lengannya. Hari ini cubi-tan, besok apa lagi?Kemudian pria itu bangkit dari kursi. Melambaikan tangan sebagai tanda undur diri. Dia harus segera balik ke Semarang sebelum pagi tiba.Saat membuka pintu, dia berjumpa dengan seorang gadis. Baik Hann ataupun gadis itu sama-sama terkejut.“Siapa?” tanya gadis berambut lurus panjang itu. ..
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan