Teman Khayalan [28]

5
2
Deskripsi

Setelah membaca teks di layar ponselnya, Jimi langsung memangkas jarak di antara dirinya dan Saga. Laki-laki itu dipeluk sangat erat. Respons Saga tentu saja bingung. Tangannya canggung apakah akan membalas pelukan Jimi atau tetap mematung seperti sekarang.

“Jangan pergi. Jangan tinggalin aku,” bisik Jimi, yang tentu saja tidak bisa didengar Saga.

Bertemu lagi dengan Juna dan Jean semakin menguatkan ingatan Saga tentang dua laki-laki itu. Ketika di galeri, Jimi memang sudah menjelaskan kalau Juna dan Jean yang membawa Saga ke rumah sakit setelah jatuh ketika memasang lampu. Malam itu pikiran Saga belum terlalu fokus karena asingnya berada di tempat umum. Belum lagi setelah gugup menghadapi orang yang datang kepadanya—untung ada Jimi yang membereskan. Kini, Saga sudah bisa melihat jelas wajah samar-samar yang dulu menatapnya panik bersama Nenek Phia.

Saga juga bisa mengerti kenapa Jimi bisa jatuh cinta dengan Juna. Bukan, bukan berarti Saga memiliki perasaan yang sama. Hanya saja, untuk orang asing yang baru bertemu, Juna bisa sangat baik menempatkan diri.

Dia yang mengatakan kalau bisu dan tuli bukan salah Saga, jadi tidak perlu minta maaf. Selain itu, Juna juga yang memberi tahu Jean bahwa laki-laki itu bisa berbicara dengan Saga meski dia berbeda dengan yang lain. Juna langsung paham kalau Saga bisa dengan baik membaca gerakan bibir.

Juna memperlakukan Saga dengan sangat baik sebagai sesama manusia.

Bagaimana seseorang tidak akan tertarik dengan sosok seperti Juna? Begitu pun dengan Jimi, yang sudah kenal dengan Juna dalam waktu lama.

 

“Sejak kapan kamu ingat?” tanya Jimi.

Saga yang masih memegang ponsel, langsung mengetik pesan untuk Jimi.

SG: Setelah di galeri. Malamnya aku mimpi kita di taman, dan kamu menyebut nama Juna.

JM: Kalau aku tadi nggak tanya, apa kamu bakalan tetap diam?

SG: Tapi kamu tanya, kamu sadar kalau aku udah tahu tentang Juna … dan kalian.

JM: Seberapa banyak?

SG: Sebanyak yang kamu mau.

Itu artinya, Saga memang menjadi orang serba tahu di mimpi mereka.

SG: Aku terlalu pusing kalau mikirin semua ini kenapa bisa terjadi. Namun akhirnya ya … aku menerima aja. Aku senang bisa menjadi orang yang nemenin kamu buat merelakan Juna.

Pada kunjungan Juna dan Jean pagi ini, sejujurnya ada misi tersirat dari Saga. Dia ingin sekali melihat reaksi Jimi ketika ada Juna dan Jean di tempat sama. Saga pikir Jimi akan kikuk atau canggung. Nyatanya, semuanya berjalan biasa, hampir serupa saat mereka ada di galeri.

Itu artinya juga keberhasilan bagi Saga yang muncul di mimpi Jimi. Kehadirannya sebagai figuran benar-benar membantu tokoh utama: Jimi.

JM: Jadi, kita cukup sampai di sini?

Saga menatap Jimi dengan ekspresi bingung.

JM: Selama ini kita melakukan banyak hal buat memancing ingatan kamu soal mimpi-mimpi itu. Sekarang kamu udah tahu semuanya.

SG: Kukira sebelum itu semua, kita teman, Jim. Apa aku salah?

Setelah membaca teks di layar ponselnya, Jimi langsung memangkas jarak di antara dirinya dan Saga. Laki-laki itu dipeluk sangat erat. Respons Saga tentu saja bingung. Tangannya canggung apakah akan membalas pelukan Jimi atau tetap mematung seperti sekarang.

“Jangan pergi. Jangan tinggalin aku,” bisik Jimi, yang tentu saja tidak bisa didengar Saga.

 

Hari itu, rencana Saga untuk tidur dan malas-malasan berubah total. Jimi pun tidak punya keinginan untuk segera pulang ke rumahnya. Mereka melakukan banyak hal di kamar Saga. Meski tetap ada perbedaan hubungan keduanya di dalam mimpi dan kenyataan, setidaknya batas-batas tanda tanya yang dulu pernah ada sudah hilang. Saga seolah sudah mengerti semua tentang Jimi, begitu pula sebaliknya.

Jam makan siang, Nenek Phia meneriaki Jimi untuk mengajak Saga turun. Menu yang tidak jauh berbeda dengan pagi tadi, tetapi menjadi sangat berbeda rasanya saat ini. Jimi makan dengan lebih bahagia hingga nenek penasaran dengan laki-laki yang sudah dianggap sebagai cucunya itu.

“Sejak kapan kalian baikan?” goda Nenek Phia.

“Ha?” Jimi pura-pura tidak paham dengan pertanyaan itu.

“Kami nggak bertengkar, Nek.”

“Tapi kamu menghindari Saga. Jangan kira nenek nggak tahu kalau kamu pulang kerja lebih malam dan berangkat lebih pagi. Saga nungguin kamu, tahu?”

“Tahu.”

“Hih!” gemas Nenek Phia yang hanya ditanggapi tawa oleh Jimi.

Saga tidak begitu paham dengan percakapan Jimi dan Nenek Phia yang terlalu cepat. Jadi dia hanya melihat sekilas sambil menyuap makan siangnya.

“Hei. Lihat aku,” kata Jimi sambil menyentuh jari Saga. “Kenapa kamu nggak pakai bahasa isyarat?”

Ribet. Nenek, tolong jelaskan ke Jimi karena aku malas nulis. Aku mau makan.

Membaca tulisan itu membuat Jimi dan Nenek Phia tertawa.

Sebelum Saga datang ke rumah ini, Nenek Phia pun berpikiran seperti Jimi. Ya, kalau tuna rungu dan tuna wicara, komunikasi yang memungkinkan adalah dengan bahasa isyarat. Makanya nenek mencari tutorial di YouTube dan mencetak gambar tangan yang menunjukkan huruf A hingga Z. Ternyata mempelajari itu tidak mudah. Apalagi untuk orang yang sudah tua seperti dirinya.

“Nenek hanya takut kalau nggak bisa menyambut dan menerima Saga dengan baik di sini. Namun di luar dugaan, Saga justru lebih memilih bahasa tulis. Dia juga bilang kalau waktu untuk belajar bahasa isyarat akan lama, mending waktu yang ada dipakai untuk mendekatkan hubungan kami,” jelas Nenek Phia.

“Oh ….”

“Kamu pasti juga bisa melihat banyak sekali tempelan note di sana-sini. Di kulkas terutama. Itu bahasa paling mudah yang kami gunakan. Memang akan sedikit repot kalau sedang makan begini. Tapi ya … itu pilihan Saga.”

Jimi menekan punggungnya ke sandaran kursi. Ditatap lama laki-laki yang masih sibuk mengupas jeruk di hadapannya. Ada banyak kata yang ingin disampaikan, tetapi sangat sulit dirangkai. Jimi sadar kalau dia mengagumi Saga.

***

Senin pagi di kantor, Ve dan Julio sudah berdebat tentang popcorn.

“Kita nonton terakhir itu udah pesan rasa karamel, jadi nanti malam gantian rasa asin, lah!” seru Julio.

“Kamu yang bayarin,” jawab Ve dengan malas.

“Ve … aku kan masih kuliah. Masa kamu tega kayak gitu?”

“Ya udah. Karemel.”

“Veee,” rengek Julio.

“Halo, Manusia!” sapa Jimi. “Mentang-mentang belum ada karyawan lain, kalian pagi-pagi udah pacaran aja ya!”

“Iri bilang, Bos!” ejek Ve.

“Lawas,” Jimi dan Julio mengucap itu hampir bersamaan, lalu tertawa.

Minggu ini mereka mendapat shift pagi, jadi lebih leluasa merencanakan jalan-jalan malam. Ve dan Julio sudah sepakat akan menonton film di bioskop dan perdebatan popcorn sudah dimulai sejak pagi ini.

“Ada film bagus?” tanya Jimi.

“Ada. Tapi sori ya, Jim, lo tuh nggak diajak,” kata Ve lagi.

Jimi hanya mendengus, pura-pura kesal. “Ya … aku juga bisa nonton kok.”

“Sendiri? Ha ha ha ha ….” Kini ejekan dari Ve dan Julio.

“Sialan, Setaaan!” umpat Jimi.

Sepanjang siang, Jimi jadi berpikir apakah harus mengajak Saga pergi ke bioskop. Ada beberapa pertimbangan juga yang dia pikirkan. Di dalam mimpi, mereka memang melakukan itu. Namun sekarang, keadaan Saga sama sekali berbeda.

JM: Mau temani aku ke bioskop? Ada film bagus.

SG: Boleh. Kapan?

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori karya
Teman Khayalan
Selanjutnya Teman Khayalan [29]
4
2
Saat kembali membuka mata, Jimi tahu kalau berada di dekapan Saga. Dia tenggelam di dada laki-laki yang lebih tua itu. Tangan Saga yang menepuk-nepuk punggung Jimi, membuatnya ingin kembali tidur pagi ini. Atau, ini adalah mimpi?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan