
Jimi menggulir ponsel, melihat foto-foto lamanya dengan Juna. Bukannya tidak move on, hanya saja mulai hari ini dia seperti napak tilas: mengunjungi tempat yang dulu pernah disinggahi bersama Juna. Beberapa hari lalu, Jimi juga sudah memastikan menghapus nomor cinta bertepuk sebelah tangannya itu sebagai nomor darurat. Jadi misal ada kejadian seperti di bar beberapa waktu lalu, setidaknya insiden memalukan kuadrat tidak akan terulang lagi.
iii
Dua bulan lalu, tidak ada yang lebih ditunggu Jimi selain tanggal 25. Dia yang baru saja diterima kerja, mendapat gaji di tanggal itu! Satu bulan setelahnya, tanggal 25 menjadi bencana. Bulan berikutnya, tanggal 25 menjadi awal mimpi aneh yang sering kali tidak mau diakhiri—meski akhirnya tetap berakhir ketika Jimi bangun.
***
ii
“Kenapa kamu datang menjemputku? Kamu udah nggak sayang aku lagi, Juna! Stop ngasih harapan ke aku!” rengek Jimi dengan suara frustrasi—dan sesungguhnya terdengar terlalu percaya diri. Meski bar bercahaya samar, tetap terlihat kalau wajahnya sangat merah.
“Karena kamu beberapa saat lalu meneleponku. Alasan itu yang membuat pemilik bar menghubungiku, Jimi. Ayo kita pulang,” jawab Juna sambil menarik lengan Jimi untuk disampirkan ke bahunya.
Jimi menurut. Otaknya sibuk mengingat hal-hal ajaib yang mungkin saja dia lakukan beberapa saat lalu. Usaha itu sia-sia karena pening segera menghantam kepala. Atau, sebenarnya kejadian ini pun menjadi bagian dari kata ajaib yang dimaksud tadi?
“Sejak kapan kamu punya mobil?” tanya Jimi dengan nada heran, beberapa saat setelah dia dan Juna keluar dari pintu bar. Juna masih memapah langkah Jimi dan bersiap menyeberang jalan karena di sana sudah terparkir mobil hitam cukup mewah. Mereknya tidak diketahui secara pasti, meski sekuat tenaga Jimi sudah menyipitkan mata untuk fokus.
Seseorang keluar dari sana—yang akhirnya menjadi fokus Jimi berikutnya. Dia berjalan menghampiri Jimi dan Juna.
“Astaga! Anak ini benar-benar mabuk parah, Juna. Ayo buruan bawa ke mobilku.”
Hah? Anak? Hei, aku sudah 25!
Protes itu hanya ada di dalam pikiran Jimi, tidak dilisankan.
Malam itu adalah peristiwa tanggal 25 bulan kedua Jimi gajian, sekaligus yang dia anggap sebagai bencana. Bukan hanya tentang malu yang harus ditanggung karena mabuk parah sehingga dijemput Juna—cinta sepihak Jimi. Lebih dari itu. Jimi muntah di mobil mewah milik laki-laki tampan yang tak lain dan tak bukan adalah pacar baru Juna!
Tolong tunjukkan Jimi jalan lain menuju rimba raya dan tidak usah balik lagi saking malunya.
“Kamu sudah bangun, Jimi?”
Suara itu yang didengar pagi berikutnya. Jimi yang beberapa waktu lalu sudah tersadar, refleks memejamkan mata kembali: pura-pura masih tidur. Ingatannya bersusah payah dikerahkan untuk meniti kejadian apa saja yang terjadi semalam. Lalu, dia langsung membelalakkan mata dan bangun dari tempat tidur yang sudah disadari bukan miliknya.
“Apakah aku harus membersihkan mobilmu? Aku ingat semalam muntah di sana! Astaga. Maafkan aku!”
Panik itu malah ditanggapi senyum sangat menawan. Ya Tuhan, Jimi rasanya ingin menjadi kentang saja.
“Selamat pagi! Kepalamu pasti masih pusing. Minum ini biar pengar kamu reda. Aku tunggu di luar. Ayo sarapan, sebelum aku antar kamu pulang.”
Hari itu Jimi tahu, meski tidak boleh membandingkan satu sama lain, dirinya kalah banyak dengan Jean.
***
iii
Jimi menggulir ponsel, melihat foto-foto lamanya dengan Juna. Bukannya tidak move on, hanya saja mulai hari ini dia seperti napak tilas: mengunjungi tempat yang dulu pernah disinggahi bersama Juna. Beberapa hari lalu, Jimi juga sudah memastikan menghapus nomor cinta bertepuk sebelah tangannya itu sebagai nomor darurat. Jadi misal ada kejadian seperti di bar beberapa waktu lalu, setidaknya insiden memalukan kuadrat tidak akan terulang lagi.
“Permisi, kami sedang ada varian es krim baru rasa mint choco. Maukah kamu mencoba dan memberi komentar?”
Seorang yang sepertinya salah satu karyawan di kedai es krim itu berdiri di sisi kiri Jimi.
“Oh. Boleh. Gratis?” tanya Jimi.
“He em,” jawabnya sambil meletakkan gelas kecil berisi es krim yang disebutkan tadi.
“Kamu sendirian ke sini?”
Jimi mengangguk sebagai jawaban.
“Bisakah aku duduk di sini?”
Jimi mengernyit. Namun gummy smile laki-laki yang mempunyai tinggi sama dengan dirinya itu seperti sihir yang meminta untuk bilang, “Silakan, tidak masalah.”
Lalu Jimi menatap name tag yang tersemat. “Saga?”
“Ya?”
Tidak ada yang diingat oleh Jimi dari mimpinya tadi pagi selain nama Saga.
***
“Oit! Pulang kerja anterin beli sepatu, yuk.”
Seseorang berkata pelan ke arah Jimi. Itu Ve.
Meja mereka memang bersebelahan karena berada di divisi yang sama, dan ternyata lahir pada tahun yang sama. Banyak yang bilang kalau mereka seperti soulmate. Jimi selalu nyengir malas, sedangkan Ve nyengir bangga menanggapi julukan itu.
“Ribet amat. Tinggal beli online, kan bisa,” jawab Jimi, lebih mengarah pada penolakan.
Ve memutar bola mata jengah. “Aku udah muak sama urusan online.”
“Lucu,” decih Jimi.
“Setengah tujuh. Cus! Oke!” Ve membuat keputusan, atau lebih tepatnya paksaan.
Traveloke, sebuah perusahaan yang menyediakan layanan pemesanan tiket pesawat dan hotel secara daring dengan fokus pada perjalanan domestik, menjadi tempat kerja Jimi dan V saat ini. Lima bulan belakangan perusahaan yang masih tergolong baru itu merekrut banyak karyawan. Jimi yang sudah terlunta sebagai pengangguran lama, akhirnya terangkat derajatnya karena Traveloke. Dia senang dan bangga akhirnya bisa bekerja. Bulan ini masa training selesai dan mereka berdua sangat percaya diri akan menandatangani kontrak kerja yang sesungguhnya. Ya, berdasarkan evaluasi selama 2 bulan, kinerja Jimi dan Ve terbilang bagus.
“Mending kalau ada waktu luang dipakai buat tidur nggak, sih? Ini malah berburu sepatu,” Jimi masih memprotes, meski sekarang tengah berada di salah satu mal besar dan menunggui Ve memilih barang yang dimau.
“Kan, di toko online mereka nggak ada diskon, dan di sini juga nggak ada. Makanya mending beli langsung,” ucap Ve yang sebenarnya ditujukan ke Jimi, tetapi matanya tetap ke layar ponsel.
“Maksud?”
“Hehe … aku mau membuktikan aja sih.” Ve menyodorkan layar ponsel. Gambar sepatu putih yang di sana sama persis dengan yang di sini, di hadapan mereka, juga menampilkan harga yang sama.
“Jadi beli?”
“Jadi! Hadiah buat diri sendiri karena 3 bulan ini sudah bekerja keras dan lulus training!”
“Dih, percaya diri betul! Belum ada pengumuman resmi, Ve!”
“Yakin aja dulu,” jawabnya sambil berjalan menjauhi Jimi, menuju ke rak dan menanyakan tentang ukuran bahkan alasan kenapa tidak ada diskon untuk sepatu yang dipilihnya.
“Dasar!” gumam Jimi, sambil tersenyum.
Jika Ve bilang bosan dengan perkara online, cukup masuk akal. Mengingat pekerjaan mereka memang berhubungan dengan hal itu. Sesekali menghibur diri tidak ada salahnya. Hm, meskipun Jimi sudah kerap melakukan itu jika … lagi-lagi mengingat Juna.
Sejak pulangnya pagi menjelang siang dari rumah Jean—ya, dia benar-benar pacar Juna, Jimi memang menghentikan segala harap kepada Juna. Namun sesekali kangen itu tanpa permisi datang. Godaan untuk menghubungi selalu saja ada, tetapi Jimi kuat. Juna dia jaga dalam ingatan dan kenangan saja.
“Makan?” ajak Ve. “Aku yang traktir.”
“Wih … padahal sepatu kamu hampir sejuta, tapi masih mau jajanin aku? Ayo! Siapa takut!”
“Tapi setelah ini janji langsung pulang ya, Jim. Jangan mampir-mampir lagi.”
Jimi tahu maksud Ve, dan menjawabnya dengan senyuman. Dia tidak mengiyakan juga menyangkal.
Ve sudah mendengar semua cerita Jimi tentang Juna, Jean, juga aktivitas kurang kerjaan mendatangi tempat-tempat yang dulu pernah dikunjungi bersama Juna. Katanya hanya melepas kangen, tapi menurut Ve itu malah terdengar menyedihkan. Dua orang yang dulunya bukan siapa-siapa, satu sudah bahagia sedangkan satunya penuh nestapa.
“Aku lagi nggak kangen kok.”
Ve merespons dengan ekspresi muntah dan Jimi menjambak rambutnya. Seruan ampun keluar dari mulut Ve, setelah itu mereka tertawa-tawa hingga memasuki food court.
***
Jimi membuktikan omongannya, malam ini dia tidak kangen. Buktinya, sepulang dari mal, dia langsung menuju rumah. Sepi seperti biasanya sehingga tak perlu berlama-lama di lantai bawah. Siapa pun yang lewat depan rumah itu, bisa melihat kalau kehidupan hanya ada di lantai 2, yakni kamar Jimi. Dia memang malas di bawah, kecuali urusan masak—itu pun hanya menu simpel—dan cucian. Selebihnya, hampir semua kegiatan di kamar. Masuk akal, untuk pekerja shift kejam seperti Traveloke, pulang kerja adalah tidur. Kalau ada yang pulang kerja malah kelayapan itu tidak normal. Jimi kadang-kadang menjadi orang yang tidak normal itu sih.
“Hm? Nggak biasanya nenek menyalakan lampu kamar lantai 2,” gumam Jimi ketika membuka tirai jendela.
Berkebalikan dengan dirinya, Nenek Phia justru lebih menghidupi rumah lantai 1 miliknya. Di kompleks itu hampir semua rumah berukuran sama, dengan bentuk yang mirip pula. Namun selama ini, Jimi sangat jarang mendapati kamar yang berseberangan dengan miliknya itu terang.
“Apa kaki nenek sudah tidak bermasalah?” tanyanya lagi, masih kepada dirinya sendiri.
Nenek Phia tinggal sendiri di rumah yang berhadapan dengan milik Jimi. Mereka cukup akrab karena Jimi banyak membantu seperti mengangkat galon, memasang gas, mengganti lampu mati, dan banyak lagi kecuali membangun peradaban. Selain ucapan terima kasih, Nenek Phia sering memasak makanan enak dan meminta Jimi ke rumahnya. Dua orang yang tinggal bertetangga tetapi hidup hanya sendiri itu, beberapa kali makan bersama dan sekadar cerita remeh. Setidaknya menjaga hubungan sosial, karena tidak ada manusia yang benar-benar bisa hidup sendirian.
Sekelebat Jimi melihat bayangan seseorang di kamar rumah seberang. Jendela tertutup, berbeda dengan Jimi. Tapi siluet itu jelas bukan Nenek Phia. Tubuhnya menunjukkan kalau sosok itu laki-laki.
Jimi terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri hingga tanpa dia sadari, jendela di seberang dibuka. Buru-buru Jimi sembunyi karena tidak mau dibilang penguntit. Sekilas dia bisa melihat wajah laki-laki itu. Asing tetapi tidak cukup asing. Jimi rasa pernah melihatnya, tetapi entah di mana.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
