PERAN PENGGANTI [3]

5
0
Deskripsi

Meski pernikahan belum melibatkan perasaan, Jimi tetap terkejut begitu Julio datang langsung memeluk erat Saga. Mungkin kalau dirinya tidak di situ, laki-laki dengan mata bulat itu akan mencium Saga! Dia menyuguhkan ekspresi kurang menyenangkan, mengeluh rumah yang jauh, jalanan macet, dan banyak lagi. Tatapan sinis juga diberikan untuk Jimi.

“Saga ....”

Sentuhan, atau lebih tepatnya, ujung telunjuk yang berulang kali mendarat di lengan Saga membuatnya membuka mata.

“Hm? Kita udah sampai?”

“Ya. Kamu tidur. Awalnya aku nggak mau bangunin. Tapi ini udah lebih dari setengah jam.”

“Ha? Kita berdiam diri di sini selama itu? Pak, kenapa nggak bangunin saya?” tanya Saga kepada Jimi, yang kemudian beralih ke sopir yang masih duduk anteng di balik kemudi.

Sopir tidak memberi jawaban, hanya anggukan dengan senyum sungkan, dan itu membuat Saga lebih sungkan. Dia merasa sangat tidak tahu diri. Bagaimana bisa di saat seperti ini, dia justru tertidur?

“Maaf. Bisa kita keluar sekarang?”

Begitu menutup pintu mobil, perhatian Jimi maupun Saga ditujukan pada bangunan di depan mereka. Rumah kecil berlantai dua, dengan pemandangan serba hijau tanaman sekeliling. Rumah ini tidak sendirian, ada tetangga tetapi dengan jarak yang lumayan jauh. Menurut Saga, ini tipe rumah singgah untuk melepas penat kota. Suasana sangat tenang dengan udara cenderung dingin.

“Keluarkan kunci, dan ayo masuk ke dalam,” ajak Jimi.

“Kita nggak salah rumah, kan? Total berapa jam perjalanan kita tadi?” tanya Saga sambil berjalan, tetapi pandangannya tidak terlepas dari Jimi.

“Maksudnya salah rumah? Hm ... kurang lebih tiga jam. Mungkin karena akhir pekan, jadi jalanan padat. Kalau hari biasa, menurutku bisa dijangkau sekitar dua jam dari kota.”

“Rumah ini terlalu ... kecil ...? Ya, tentu aja kalau dibandingkan rumah keluarga kita. Eh, rumah keluargamu besar, kan?” Saga meralat ke-sok-tahu-annya.

“Keluarga kita sengaja memberi rumah kecil agar saat di dalam rumah, kita sering bertemu ... barangkali maksudnya berpapasan.”

“Astaga ... mereka maunya apa, sih?” gerutu Saga sambil menjambak rambut frustrasi.

Dia bisa saja menganggap yang dilihat tadi hanya halusinasi: Jimi tersenyum walau sekilas. Bisa saja karena tingkah Saga. Senyum pertama hari ini, setelah kekacauan yang tidak bisa disebut biasa.

 

***

 

Selesai berkeliling rumah, yang memang tidak luas, Jimi dan Saga duduk di ruang tamu. Diam semakin terasa karena mereka tinggal berdua. Sesaat setelah memasuki rumah, sopir yang tadi mengantar langsung pamit pulang. Tentunya barang-barang Jimi sudah dikeluarkan dari mobil dan diletakkan di dekat pintu depan.

“Lantai satu ada ruangan ini, kamar tidur, dapur, kamar mandi. Lantai dua hanya ada dua ruangan, satu kamar tidur dan ruang baca. Di samping ada garasi dan udah ada mobil terparkir di situ. Sungguh persiapan yang luar biasa. Aku bisa tidur di kamar bawah, kamu yang di atas,” kata Saga.

“O-oke.”

“Kita nggak mungkin tidur bersama, kan?”

“Nggak. Tentu aja nggak tidur bersama.”

“Di belakang ada halaman dan ternyata ada sungai kecil. Hmmm, kurasa tempat ini menarik.”

Jimi menghela napas, dan ternyata terlalu keras.

“Ya ... keadaan yang membuat kurang menarik,” ralat Saga lagi.

“Saga ....”

“Ya?”

“Kehidupan seperti apa yang akan kita lalui di sini selama tiga bulan?” tanya Jimi, tanpa melihat lawan bicaranya. Dia malah sibuk bermain dengan kuku juga jari-jarinya yang kecil.

“Hidup seperti biasa. Anggap aku roommate kamu. Katamu tadi, menikah atau belum menikah bukan sesuatu yang luar biasa. Kalau kamu bersama kakakku, mungkin ada PR yang boleh kamu pikirkan, misal tentang perasaan. Tapi di sini yang ada adalah kita.”

“Jadi, tanpa perasaan?”

“Bukan begitu .... Hm ... jangan banyak berpikir. Oke? Cukup lalui hari demi hari seperti biasa.”

“Setelahnya?”

“Aku bilang jangan banyak berpikir, Jimi.”

Biar aku aja, batin Saga kemudian.

 

Obrolan terlalu serius, harus ada distraksi. Jimi dengan dibantu Saga, naik ke lantai atas untuk melihat kamar. 

“Mau pinjam bajuku? Kita masih pakai baju formal. Aku juga perlu menghapus make-up, mandi, dan banyak lagi.”

“Nggak. Aku nunggu Julio aja. Aku turun, ya. Kalau perlu bantuan, bisa panggil,” ucap Saga. Dia merogoh ponsel di saku celana, mengetikkan sesuatu, lalu yang terdengar kemudian getar ponsel Jimi. “Itu nomorku.”

Jimi hanya mengangguk, lalu melihat punggung Saga yang meninggalkan kamar. 

 

“Oke, Jimi! Selamat datang status baru. Kita bisa melakukan ini dengan sangat baik. Fighting!” semangat yang semoga tidak hanya sekadar ucapan.

 

***

 

“MINT?”

“Hm? Panggil Jimi aja.”

“Tapi kamu MINT!”

“Iya. Ya udah, terserah kamu.”

“MINT, kamu suka Saga?”

Jimi yang baru membereskan piring sisa makan malam, sejenak mematung. Dia tinggal berdua dengan Julio. Saga beberapa saat lalu permisi untuk menerima panggilan. Mungkin sudah mencicil menata segala kekacauan yang terjadi, menyesuaikan ritme kehidupan yang sekejap sangat baru.

Julio tadi datang setelah Jimi selesai membersihkan diri, berkirim pesan dengan Saga yang ternyata belanja ke toserba, dan bersepakat untuk masak. Tidak ada adegan masak berdua. Itu akan terlalu canggung. 

Meski pernikahan belum melibatkan perasaan, Jimi tetap terkejut begitu Julio datang langsung memeluk erat Saga. Mungkin kalau dirinya tidak di situ, laki-laki dengan mata bulat itu akan mencium Saga! Dia menyuguhkan ekspresi kurang menyenangkan, mengeluh rumah yang jauh, jalanan macet, dan banyak lagi. Tatapan sinis juga diberikan untuk Jimi.

“Suka yang kayak gimana?” tanya Jimi, “suka yang kayak kamu ke dia?”

“Kamu tahu? Aku suka Saga?”

“Ya ... meskipun aku udah lama nggak jatuh cinta, tapi mata kamu pas ngelihat dia beda. Hm ... tunggu sebentar ya. Aku bawa semua ini ke wastafel dulu. Kamu mau makanan penutup apa? Sekalian kita bicara. Kalau kamu mau ....”

Julio hanya menatap Jimi.

“Es krim?” tawar Jimi.

Julio mengangguk.

Jimi melangkah meninggalkan Julio, menaruh piring di wastafel tanpa langsung mencuci. Biar nanti saja. Sejenak dia tersenyum mengingat nasihat Ve. Jimi tidak boleh mengerjakan pekerjaan domestik rumah tangga seperti ini.

 

Pokoknya Jimi jangan mau kalau disuruh bersih-bersih rumah sendirian, masak, cuci baju, angkat galon, belanja, dan lain-lain. Soalnya Saga juga belum tentu bisa beneran genting, nambal eternit bocor, pasang pasak sama tiang, ngecor tembok, dan lain-lain!

 

Pintu belakang sengaja dibuka tidak begitu lebar. Saga terlihat duduk sambil berbicara melalui telepon. Sepertinya pembicaraan cukup serius. Di lain hari, Jimi juga mau duduk di sana, melihat kerlip lampu rumah tetangganya yang agak jauh, dan sungai di hadapannya.

“Aku udah lama ikuti kanal YouTube kalian,” kata Julio, yang otomatis menarik perhatian Jimi.

“Terima kasih.”

“Bahkan sejak masih hanya V yang muncul di layar.”

“Oh, ya? Jadi, kamu tahu kekonyolan kami yang bertengkar waktu Ve live Instagram?” tanya Jimi dengan mata terbelalak.

“Tentu! Bahkan aku melihat secara langsung!”

“Wah ....”

Canggung selanjutnya melingkupi mereka. Suara yang mengisi rumah hanya sesekali kecap dari mulut Jimi maupun Julio yang menikmati es krim.

“Julio ....”

Kini yang dipanggil sepenuhnya menatap Jimi, sambil tetap mengulum sendok kayu es krim. “Ya?”

“Maaf hari ini membuatmu patah hati.”

“Ah ... jangan gitu .... Kamu tahu, Saga nggak punya perasaan sama kayak aku. Cintaku bukan cuma ditolak, tetapi dikembalikan. Aku aja yang nggak sadar diri. Katanya, batu yang kena tetes air lama-lama bisa berlubang, kan? Nah, usahaku selama ini ... semacam itu.”

“Jadi, Saga itu batu?” tanya Jimi sambil tertawa.

“Nanti kamu bakalan tahu sebatu apa dia.”

“Oke .... Jadi, kamu memaafkanku?”

“Entah,” jawab Julio sambil mengendikkan bahunya.

“Hm ... boleh aku minta nomormu?”

“Buat tanya-tanya soal Saga? Lalu kamu pikir aku gila akan berbagi informasi tentang orang yang aku cintai, kepada orang yang udah dinikahinya?”

“Tepat!” goda Jimi.

Julio sangat menggemaskan.

“Aku perlu tahu tentang Saga, bukan dari Saga langsung. Pasti akan beda. Dan yang ada saat ini cuma kamu.”

No!”

“Kamu mau apa? Produk yang VDANMINT review? Aku bakalan kasih cuma-cuma.”

“Kamu nyogok aku?”

“Mau foto Ve terbaru? Bahkan eksklusif sebelum diunggah ke Instagram, aku bisa kasih ke kamu,” tawar Jimi.

“Aku nggak suka Ve.”

“Jadi?'

“A-aku ... aku mau foto kamu.”

Jimi yang tadinya berniat menyendok es krim, urung. Dia menatap Julio yang justru sibuk mengalihkan matanya ke berbagai arah, sambil menggaruk belakang kepala. Grogi. Dari arah belakang, Saga datang setelah beberapa saat lalu memasukkan ponsel ke saku celana.

“Julio mau pulang pukul berapa?” tanya Saga.

“Aku nggak mau pulang. Macet, tahu!”

“Siapa yang nyuruh kamu nyetir ke sini sendirian? Kan harusnya sama sopir. Ya kamu, sih!”

“Aku mau tidur di sini. Aku mau tidur sama Saga!” seru Julio sambil menatap tidak suka ke arah Jimi.

Ya Tuhan ... ke mana anak laki-laki manis beberapa saat lalu?

            

Kenyataan berjalan sebaliknya. Saga tidur sendiri, sedangkan Julio bergabung dengan Jimi di kamar atas. Julio punya banyak wajah. Di hadapan Saga, dia merengek agar bisa tidur bersama Jimi. Tentu hal ini hanya diketahui mereka berdua. Jimi diuntungkan karena bisa “mencicil” tanya apa pun tentang Saga. Sayangnya, Julio tipe alot cenderung menyebalkan untuk diajak negosiasi. Malah, banyak pertanyaan yang muncul darinya. Misal tentang apakah Jimi menyukai Saga.

“Aku bahkan nggak tahu kami akan bagaimana dan seperti apa, Julio. Nggak ada peta sama sekali,” jawab Jimi. Mereka berbaring dipisah guling di tengah. “Kamu masih mau berjuang untuk dapetin Saga?”

“Emangnya aku ada peluang buat dapetin kamu?” tanya Julio, polos.

“Kamu mau berjuang dapetin aku?”

“Boleh?”

“Nggak.”

Julio menarik guling dan melempar ke muka Jimi. Bukannya ngambek, Jimi malah tertawa terbahak-bahak, yang suaranya sampai didengar Saga di kamar bawah.

 

Apa yang terjadi hari ini? Entahlah. Bahkan aku juga masih mencari alasan pasti tentang semua itu. Apakah demi nama baik keluarga, rencana balas dendam untuk kakak. Atau karena dia yang berdiri di altar terlalu indah untuk dilewatkan, sekaligus dimiliki.

 

Setelah mem-posting tulisan itu di Twitter, Saga tidur.

 

***

 

 

Haska sedang menyiapkan jadwal VDANMINT ketika notifikasi obrolan grup berbunyi. Ve dengan jahil sudah mengerjai Jimi untuk setor foto orang yang tidur di sampingnya. Hati Haska sempat deg-degan sebelum foto dikirim, entah karena alasan apa. Harusnya itu tidak perlu, kan? Lalu, yang muncul justru orang lama yang kemarin dilihat di pesta. Ternyata penglihatannya tidak salah. Menggulir kontak di ponsel, nama Julio masih di sana. Belum sempat menghubungi, terlebih dulu Jimi menjelaskan kalau Julio adalah sepupu Saga.

“Oh,” gumamnya, dengan sesekali ikut membalas obrolan. 

Lebih lanjut, dia kembali berkutat dengan jadwal.

Status baru yang disandang Jimi, tempat tinggal yang jauh dari kota, pasti akan berpengaruh. Terlalu kurang ajar kalau sebagai manajer Haska tidak memberi jeda. Amunisi lain disiapkan jika ada produk yang harus di-review berdua sedangkan dua artisnya ada di tempat berbeda.

 

***

            

Kalaupun dunia menolak Jimi, Papa selalu ada, kan?

Saga juga selalu ada buat Jimi.

            

Jimi menatap layar ponsel dan membaca jawaban dari papa. Dia baru saja laporan tentang kedatangan Julio dan kekhawatiran yang seharusnya mungkin tidak perlu. Yah, terlalu pagi untuk overthinking. Sayangnya, itulah yang dilakukan Jimi sekarang. Julio beberapa saat lalu berpamitan, itu tandanya Jimi hanya akan berdua bersama Saga di rumah ini. 

“Kamu berencana membakar rumah ini?!” seru Saga dari arah depannya, kemudian berlari ke belakang Jimi untuk mematikan kompor.

Aroma gosong baru bisa dihidu Jimi.

“Sori ... sori banget ....”

“Kalau Julio nggak banyak membual, pasti pancinya nggak akan gosong,” keluh Saga.

“Ha?”

“Ya .... Bahkan setelah semalam udah tidur bareng kamu, pagi ini sarapan bersama, dia merasa belum cukup lama di sini. Aku berulang kali menahannya untuk tidak balik ke dalam rumah, memintanya masuk mobil. Tapi ada aja yang diocehkan anak itu. Kamu lihat? Dia menggigit lenganku! Mungkin saking kesalnya aku usir. Hahaha,” kata Saga sambil menggulung kaos panjangnya untuk menunjukkan bekas gigitan merah di sana. “Kamu masih mau bikin apa? Mau kubantu?”

“Rebus telur,” jawab Jimi masih dengan sisa-sisa terkejut. Apakah barusan tadi Saga tidak menyalahkannya karena hampir membakar rumah? Malah menggerutu tentang Julio?

“Kamu baik-baik aja, kan?” Saga memastikan.

“Mungkin. Maaf melewatkan sarapan bersama kalian.”

“Nggak apa-apa, Jimi. Aku tahu kalau kemarin hari yang melelahkan. Ditambah ada Julio. Kamu butuh waktu buat sendiri. Makanya tadi juga aku larang Julio kembali ke kamarmu.”

“Terima kasih.”

“Barusan ibu kirim foto-foto kemarin.”

“Oh ... aku nggak mau lihat.”

“Kenapa?” kejar Saga.

“Pasti buruk banget.”

“Lebih buruk aku, tahu. Baju kakak emang nggak seharusnya kupakai. Ibu minta kita pilih satu foto buat dicetak besar.”

“Astaga ... kenapa omongan Ve ada benernya ...,” lirih Jimi.

“Apa?”

“Katanya, kalau foto harus tersenyum karena akan dicetak besar dan dipajang di ruang tamu. Jangan jelek. Nggak bisa diulang. Nikahnya, fotonya, pokoknya jangan sampai diulang.”

Saga tersenyum mendengar kalimat itu.

“Eh, kamu bisa bantu aku?” alih Jimi.

“Hm?”

“Bikin studio dadakan di samping kamar, di ruang baca, atau entah apa itu .... Haska, manajer kami, dini hari tadi bilang sama aku kalau ada produk yang harus aku endorsemen. Hari ini barangnya akan dikirim.”

“O-oke ....”

Permintaan Jimi tentu cukup mengagetkan untuk Saga. Dia tidak menyangka akan secepat ini “bekerja bersama”.

“Bantuan apalagi yang kamu butuhkan?”

“Memfotoku.”

“A ....” Saga tambah heran. Dia sepertinya harus segera bangun dan buru-buru melihat kenyataan tentang pasangannya. “Mau membuat foto versi kita sendiri? Maksudku bukan foto pernikahan yang aneh.”

“Aku nggak yakin bisa berpose bagus. Bahkan saat ini, bareng sama kamu.”

“Iya juga, sih. Bisa dimengerti.”

Kalau biasanya Saga mengembalikan ucapan Julio, kini dia harus terbiasa mendapatkan perlakuan yang sama dari Jimi.

 

Masih dengan make-up di wajah, baju melekat di tubuh, serta produk berserakan di lantai, Jimi duduk lemas di studio dadakan yang letaknya di samping kamarnya. Saga duduk tegang, dibiarkan begitu saja. Jimi capek.

“Aku baru sadar kalau ternyata nggak berguna sama sekali.”

“Setidaknya kamu bisa ke bawah dan ambilkan aku air minum,” pinta Jimi.

            

Setelah Saga turun, Jimi langsung meraih ponsel dan menekan nomor Haska.

“Aku nggak bisa kayak gini,” bisiknya sambil memijat kening.

“Kenapa?”

“Aku capek pose, hasilnya blur semua,” rengek Jimi hampir menangis. “Saga nggak bisa diandalkan, Haska. Mending aku beli tripot.”

Obrolan berlanjut sampai Saga kembali ke atas. Dia bisa menguping sedikit pembicaraan Jimi dengan manajernya. Dia menyodorkan botol minum yang sudah dibuka tutupnya.

“Terima kasih,” kata Jimi lirih, sambil menatap lekat Saga. “Hm … jadi, kalian nggak bisa ke sini? Haska …. Ya, aku kirim sore.”

 

“Gimana?” tanya Saga sambil menerima botol dari Jimi. Pasangannya itu juga melempar ponsel, agak keras. Mungkin dia sebal.

“Harus istirahat dulu? Mau nggak mau harus ada foto bagus. Bentar, aku tunjukin foto Ve. Dia udah beres pemotretan.” Jimi kebingungan mencari ponsel yang beberapa saat lalu dibuang. 

Pada layar, terpampang puluhan foto Ve dengan pose menawan dan hasil mengagumkan.

“Kalau mau ada jeda, berarti kamu harus ganti baju lagi, make-up lagi?”

Jimi mengangguk.

“Itu lebih merepotkan. Ayo sekarang kita lanjut aja.”

Di mata Jimi, Saga sangat bersemangat. Sebalnya beberapa saat lalu, entah karena tingkah pasangannya atau kesal dengan keadaan, tiba-tiba ingin ditertawakan. Harusnya Jimi sadar kalau dia bekerja bukan dengan tim profesional biasanya. Tidak baik menyimpan amarah.

“Kan, ada kamu. Bisa bantuin aku pakai baju,” canda Jimi.

“Boleh?”

Jimi duduk tegak dari posisi sebelumnya yang bersandar di kursi. “Aku nggak serius, Saga.”

“Oh.”

“Sebentar. Kamu nggak punya teman? Maksudku, teman seusia kita.”

“Banyak. Ada Jean dan Juna juga. Lainnya, temanku anak-anak,” ucap Saga sambil tersenyum, seolah sangat bangga ketika menyebutkan yang terakhir. “Jadi, soal ganti baju tadi hanya bercanda, ya? Tolong kasih tahu aku kalau kamu mau bercanda lagi. Biar aku paham.”

“Konsepnya nggak gitu. Masa aku harus kasih tahu, sih! Kamu hidup di hutan, ya?” seru Jimi, entah sebal atau gemas.

“Iya.”

“Saga ….”

“Di tempatku sebelumnya, aku lebih banyak menghadapi anak kecil. Jadi, mungkin bercanda kita beda frekuensi. Aku nggak sekaku yang kamu kira, kok. Tenang, aku pembelajar yang baik dan cukup cepat, bisa dipastikan bisa imbangi kamu.”

“Kamu harus mulai biasa menghadapi aku, nggak melulu anak kecil.”

“Kamu kecil,” ucap Saga.

“Hahaha ….”

“Padahal aku nggak bercanda, kok kamu tertawa?”

 

***

 

Selesai dengan hasil yang tidak begitu memuaskan, tetapi cukup. File dikirim kepada Haska. Di sela membersihkan make-up, Jimi meminta Saga bercerita lebih banyak tentang dirinya.

Saga mengelola semacam rumah baca. Itu kegiatan sampingan sebenarnya, karena merasa kalau bisnis bapak ya gitu-gitu aja. Cenderung membosankan. Tahun pertama di tempat itu, Saga bertemu dengan beberapa mahasiswa yang tergabung dalam program Indonesia Mengajar. Penyelenggaraannya adalah pemerintah. Jadi, lulusan dengan jurusan apa pun dapat mengabdi ke daerah pedalaman. Tahun berikutnya, program itu diganti dengan Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal (SM3T). Bedanya, hanya lulusan sarjana pendidikan yang bisa mengikuti program ini. Jelas, sasarannya adalah mengajar. 

“Aku banyak teman, kayak yang aku bilang tadi. Tapi mereka datang dan pergi. Aku sih nggak apa-apa. Beda dengan anak-anak. Mereka merasa diberi harapan banyak, ditinggalkan, lalu perasaan kehilangan itu membekas lama. Meski begitu, dengan hadirnya lulusan baru, bikin taman bacaan menjadi lebih besar.”

Indonesia Mengajar ataupun SM3T menurut Saga semacam “program pelarian” yang digagas pemerintah. Tentu biar lulusan yang luar biasa banyak dan belum mendapat kerja, tidak menganggur terlalu lama. Ya, biar ada kegiatan gitulah. 

“Oke-oke aja buat si lulusan baru. Nyari pengalaman, jalan-jalan, dibayar, katanya dapat kemudahan buat jadi pegawai negeri, palingan bonus kena malaria atau hanyut di sungai sampai mati.”

“Saga, itu bukan bonus.”

“Yang orang-orang nggak pikirkan adalah bagaimana dengan masyarakat setempat yang diiming-imingi perubahan, setelah itu ditinggalkan. Menambal kecewa, luka, juga kehilangan itu nggak mudah, lho. Apalagi buat anak kecil.”

Jimi jadi berpikir, harusnya Saga tetap di sana, di tempatnya.

“Pada akhirnya, aku juga jadi orang-orang yang sebelumnya kubenci, yang meninggalkan banyak hal di sana.”

“Demi aku?” tanya Jimi, wajahnya sudah sangat murung.

“Hahaha. Eh, kok malah ngobrol serius, sih.”

“Kamu akan balik setelah tiga bulan kita di sini?”

“Kamu mau aku pergi?”

Perjodohan bangsat! umpat Jimi dalam hati. 

“Maaf, ya. Kamu harus ninggalin banyak hal demi aku. Eh, maksudnya untuk semua ini. Sedangkan aku, sama sekali nggak ada yang aku tinggalkan. Kita benar-benar nggak sepadan.”

“Hahaha … kamu emang gini, ya? Sering menyalahkan diri sendiri? Tenang, aku ada temen di sana kok. Aku udah jelasin semuanya, juga keadaan kita. Jadi, ini bukan masalah yang besar. Aku udah atasi itu. Setidaknya, untuk sementara.”

Jimi mengangguk.

“Sekarang, aku mau tahu cerita tentang kamu. Harus kamu yang bicara, aku nggak mau baca artikel dari internet.”

 

***

 

Jimi selesai membersihkan make-up di wajahnya, mencuci muka, dan ganti baju lebih santai. Mereka turun dan memilih halaman belakang untuk dijadikan tempat bersantai sambil menjelaskan diri satu sama lain. Pikirnya, bukan pilihan yang baik jika duduk menghadap Saga. Bukan soal pemandangan di depan sana yang terhalangi. Namun lebih pada mengurangi canggung. Dia tidak mau terlihat jelas menghindari tatapan mata Saga, pun sebaliknya. Tidak nyaman jika Saga melihat Jimi sibuk melayangkan pandangan entah ke mana di hadapan pasangannya itu.

“Kamu lebih suka bahasa lisan atau tulis?”

“Lisan. Di tempatku sebelumnya, aku lebih banyak berbicara dan saling berhadapan langsung.”

“Oh.”

“Jadi?” tanya Saga masih menengok ke kanan, ke arah Jimi yang hari ini memakai kaus putih yang lebih bisa disebut kekecilan. Ya, karena sangat pas di tubuhnya. Saga bisa jamin kalau Jimi mengangkat tangannya atau membungkuk mengambil sesuatu, pinggangnya akan terekspos cuma-cuma. Bawahan Jimi memakai celana panjang piyama semalam. Sangat santai dan terlihat rumahan.

Jimi mengotak-atik ponsel sebentar, lalu menunjukkan layarnya kepada Saga. “Lihat foto close up Ve ini, deh.”

Saga mengangguk tanda sudah mengerti yang dimau Jimi.

“Saga.”

“Hm?” Saga beralih menatap Jimi.

“Kami beda banget, kan?”

Saga tersenyum, “Siapa yang bilang kalau kalian kembar identik?”

Bisa dibilang, semuanya berawal dari perbedaan di antara Ve dan Jimi. Ve itu baik banget. Sekarang agak menyebalkan karena sudah punya uang. Ah, tidak, ding. Itu bercanda. Sebelum—cukup—terkenal, dia sosok pekerja keras. Ve tidak mau jadi pengikut. Harus jadi pelopor. 

“Apaan banget, kan? Idealis,” cibir Jimi, masih dengan mode bercanda. “Pelan-pelan, Ve nunjukin banyak hal buatku. Kalau ungkapan ‘usaha nggak bakal mengkhianati hasil’, bukan cuma omong kosong.”

Jimi menghela napas sebentar. Sejak memulai cerita, dia sudah berpaling dari Saga. Namun, dia sadar kalau laki-laki di sampingnya itu menatap lekat.

“Aku nggak pernah nunjukin secara langsung kalau hidupku lebih baik daripada Ve. Tapi dia tahu kalau aku nggak senelangsa dirinya. Dulu tiap makan atau beli apa pun dan pakai uangku, Ve selalu mengganti. Aku udah beberapa kali menolak, tetapi tiap sampai rumah dan membongkar tas, pasti aku menemukan uang dengan nominal harga makan hari sebelumnya atau apa pun yang itu udah pasti Ve yang menaruh. Aku nggak pernah berhasil ngasih dia sesuatu karena selalu dikembalikan dengan bentuk berbeda dan harganya setara. Kenapa ya, ada orang seperti itu? Dan tentu, karena hal ini kami sangat sering bertengkar. Sebenernya yang harusnya tersinggung kan Ve, tapi dia sering kelewatan dan malah aku yang lebih tersinggung.”

Ada hari-hari tertentu, Jimi sengaja mentraktir Ve.  Misal ulang tahun. Namun ketika giliran Jimi ulang tahun, Ve seperti menggantinya. Meski ya, itu jaraknya hampir setahun. Definisi ajaib sangat melekat pada diri Ve.

“Wow.”

“Sadar kalau uang nggak berlaku buat dia, akhirnya aku ngasih hal lain. Aku selalu dukung dan bantu apa pun yang aku bisa. Ve bikin kanal YouTube dan bahas soal skincare khususnya buat laki-laki. Nggak mudah memulai ini. Ya, kamu tahulah, imej yang akan didapat. Seperti, laki-laki kok dandan, kok klimis, kok glowing, dan lain-lain. Itu udah dulu banget, sih. Keadaan sekarang udah jauh beda. Makanya aku sering heran, kayaknya Ve datang dari masa depan. Hahaha.”

“Kamu bantu apa buat dia, Jimi?” tanya Saga.

“Menguatkan kalau ada hujatan, nemenin dia bikin video, nyari produk yang awalnya dikit lama-lama jadi banyak, sampai akhirnya mengelola produk preloved dia yang dijual. Awalnya pusing dan aku hampir beli semua produk itu terus aku buang ke tempat sampah. Tapi aku mikir lagi, pasti hubunganku dengan Ve juga bakalan buruk dan aku yang akan dimasukkan ke tempat sampah sama dia hahaha.”

“Berapa lama kamu bertahan kayak gitu?”

“Sekitar tiga bulan apa, ya? Nggak lama. Hujatan berujung berkah, sih. Orang-orang yang ngatain Ve, lama-lama juga ikuti apa aja yang diunggah Ve. Ibaratnya kalau kamu punya pengikut 10 ribu, bisa jadi 9 ribu benci kamu. Tapi bodo amat, kan?”

“Terus, apa maksud kamu nunjukin foto Ve tadi?”

“Cerita ini bakalan panjang, Saga.”

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Peran Pengganti
Selanjutnya PERAN PENGGANTI [4]
5
0
Haska bisa dengan mudah bilang kalau perasaan di antara dirinya dan Jimi sudah selesai. Iya, mereka pernah membahas ini dengan serius dan berjanji akan selamanya berteman dan bekerja tanpa melibatkan perasaan. Hanya saja, Ve ragu dengan itu. Sebab, diam-diam dia perlu waktu lama untuk menerima semua. Sekarang? Entah. Mungkin masih ada sisa-sisa, dan itu membuatnya khawatir sekaligus iri.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan